"ALEXA!"
Teriakan lantang memecah keheningan kamar. Pintu terbuka kasar, dan Rose, wanita paruh baya dengan wajah tegang penuh emosi muncul sambil menghentakkan selembar kertas ke atas meja. "Bu, bisakah ibu tidak menggangguku? Aku sedang main game," keluh Alexa malas, tak melepaskan pandangannya dari layar. Namun Rose tak memberi kesempatan. Dengan sekali tarik, kabel komputer tercabut. Layar gelap seketika. Alexa mendengus kesal, melepaskan headphone dan berdiri. Belum sempat ia melawan, sang ibu sudah mengacungkan kertas itu di depan wajahnya. "Kau sudah delapan belas tahun, Lexa. Sebentar lagi sembilan belas! Tahun ini seharusnya kau lulus. Tapi dengan nilai seperti ini…" Rose menepuk keras kertas itu, "universitas mana yang mau menerima murid sepertimu?!" Alexa hanya memutar bola mata. "Bu, lulus atau tidak, aku tetap pewaris perusahaan ayah dan ibu. Aku anak satu-satunya. Tidak ada yang bisa merebut itu dariku." Ucapan itu membuat Rose menarik nafas panjang, berusaha menahan ledakan emosinya. "Siapa bilang kau otomatis jadi pewaris? Dengan sikapmu sekarang, perusahaan bisa hancur di tanganmu!" Alexa menyeringai sinis. "Lalu apa? Aku cuma menikmati hidupku. Main game, belanja, jalan-jalan. Apa itu salah?" "Itu justru masalahnya!" suara Rose meninggi, nadanya meledak. "Mulai besok, ibu tidak mau tahu lagi. Ujian tahun ini kau harus lulus dengan nilai bagus. Kalau tidak, kau akan kehilangan semua asetmu!" Alexa terbelalak. "Apa ibu akan mencoret namaku dari kartu keluarga?!" Rose menatap tajam. "Kalau kau terus begini, ya. Besok ada orang yang akan menjemputmu. Kau akan tinggal bersamanya sampai sikapmu menjadi lebih baik. Sementara waktu, semua aset atas namamu akan dibekukan, jadi tidak ada cara lain untukmu bisa bepergian sesuka hati lagi, Lexa!" Alexa tercekat. "Apa?! Ibu mau buang aku? Aku putri satu-satunya di keluarga ini!" Rose menempelkan kertas nilai itu tepat di wajah Alexa. "Dengan nilai seperti ini, kau bahkan tak pantas jadi asisten, apalagi pemimpin perusahaan!" Setelah mengucapkan ultimatum itu, Rose berbalik dan keluar, meninggalkan Alexa yang masih membeku di tempat. Detik berikutnya, Alexa menggertakkan gigi. "Dibuang? Tidak! Sebelum orang suruhan ibu datang, aku akan kabur!" Malam itu, dengan nekat ia mengemasi barang-barang berharganya. Menjelang tengah malam, ia melompat dari balkon kamar di lantai dua dan lari ke jalan gelap. Namun nasib sial segera menamparnya. Seorang pencopet merampas tas berisi uang dan pakaiannya. Alexa panik, mencoba mengejar, tapi sia-sia. Belum sempat bernafas lega, dua pria asing menghadangnya. Sorot mata mereka tajam, penuh niat buruk. Alexa mundur, tubuhnya gemetar karena ia tidak punya kemampuan beladiri yang bagus. "Pergi!" serunya, tapi tangan kasar sudah menyeretnya. Alexa menjerit minta tolong, tapi gelap malam menelan suaranya. Ketika situasi semakin mencekam dan membuat Alexa berpikir malam ini tamat riwayatnya, tiba-tiba seseorang muncul. Pertarungan singkat terjadi, pukulan, teriakan, langkah tergesa sebelum Alexa ditarik masuk ke sebuah mobil berwarna hitam. Ia terengah-engah, jantungnya berdebar tak karuan. Perlahan menoleh, dan pandangannya langsung terpaku. Seorang pria matang dengan tubuh berotot duduk di sampingnya. Aura maskulin, rahang tegas, dan tatapan tajam itu membuat Alexa nyaris lupa bernafas. "Anda baik-baik saja, Nona." suaranya berat, dalam, dan seksi. Alexa menelan ludah. Tidak disangka malam ini ia justru bertemu dengan pria yang sangat menggoda seperti ini, tanpa sadar lidahnya terceplos sebelum sempat berpikir. "Apa paman punya istri?" tanyanya. Pertanyaan yang sama sekali tak seharusnya ia ucapkan di malam penuh malapetaka itu.Theo menuntun Alexa masuk ke ruang perawatan sekolah, lalu menepuk kursi agar gadis itu duduk. Tanpa banyak bicara, ia menyerahkan selembar tisu. "Seka air matamu," ucapnya singkat, nada dinginnya kali ini dibalut ketenangan yang samar-samar menyerupai kepedulian.Alexa menerima tisu itu, berusaha menghapus sisa tangisnya meski suaranya masih bergetar. Ia tahu, ia tidak boleh mengatakan hal sebenarnya, bahwa baru saja ia menyaksikan Dylan, kekasihnya, mencumbu perempuan lain. Itu terlalu memalukan, dan Theo bukanlah orang yang tepat untuk mendengar rahasia itu.Akhirnya Alexa mengangkat tangan kanannya. Punggung dan telapak tangan itu masih merah, bukti tamparan keras yang tadi ia berikan pada Dylan. "Aku… terjepit pintu. Tanganku sakit," bohongnya cepat.Theo menghela nafas panjang, jelas tidak percaya. Wajah yang semula tampak khawatir kini berubah menjadi ekspresi jengah. "Sebaiknya kau lebih hati-hati, Alexa," gerutunya.Ia lalu mengambil kotak es dari lemari kecil di sudut ruang
Alexa sengaja bangun lebih awal, berangkat ke sekolah sebelum Theo sempat membangunkannya dengan cara aneh yang tak pernah ia duga. Setelah percakapan semalam, ada sesuatu yang membuatnya merasa terancam, atau mungkin hanya imajinasinya sendiri."Aku tidak seharusnya takut padanya. Kalau benar dia pedofil, dia tidak akan menargetkan diriku, kan?" batinnya. Namun seketika ia mengumpat dalam hati. "Sialan, tapi tubuhnya memang bagus sekali.""Tubuh siapa?" suara Felix membuatnya hampir melompat dari kursi.Felix meletakkan satu kotak sandwich di hadapan Alexa sambil duduk di bangku sebelahnya.Alexa tersentak kaget, lalu buru-buru menutupinya. "Seseorang yang bikin aku iri," jawabnya seenaknya.Felix menatap curiga, keningnya mengernyit. "Jangan bilang orang yang sekarang tinggal denganmu. Kau bahkan tidak pernah memberitahuku siapa dia. Kenapa bisa tiba-tiba kau tinggal di rumahnya?""Kau pikir aku kenal orang itu sebelumnya?" ketus Alexa sambil menggigit sandwich. "Aku bahkan tidak ta
Satu jam berlalu sejak Theo mulai menjelaskan materi, tapi Alexa sudah lebih dulu menyerah. Tubuhnya jatuh setengah malas ke atas meja, pipi menempel pada buku catatan yang isinya pun tidak ia pahami.Sementara itu, Theo tetap fokus. Dengan posisi setengah membelakanginya, pria itu sibuk menjabarkan rumus-rumus panjang di papan tulis. Dari celah lengannya, Alexa mengintip, lalu tanpa sadar mulai menirukan gerakan bibir Theo, seolah mengejek."Kau tidak lelah?" tanya Alexa tiba-tiba, suaranya terdengar manja sekaligus jengah.Theo menoleh sebentar, lalu menatap jam tangannya. Jarum pendek hampir menyentuh angka sepuluh. "Kau bisa istirahat. Besok sebelum pukul tujuh, kau harus sudah siap ke sekolah."Alexa memutar bola matanya, ingin membantah. Namun sebelum sempat berkomentar, Theo meraih buku catatan di depannya. Alis tebal pria itu terangkat tinggi ketika melihat hasil kerja Alexa selama satu jam terakhir.Ketukan ringan sebuah pulpen mendarat di kepala Alexa. "Aw!" pekiknya, sambil
Theo baru saja membawa dua buku dari kamarnya menuju ruang baca, bersiap memulai pelajaran pertama untuk Alexa. Namun langkahnya terhenti begitu suara deru motor terdengar dari luar.Dengan langkah cepat, ia membuka pintu, dan matanya langsung menangkap sosok Alexa yang kabur, membonceng di belakang seorang pemuda dengan motor sport.Theo mendengus pelan, bibirnya meliuk tipis. "Aku rasa ujian kesabaranku dimulai lebih cepat dari yang kuduga."Motor yang ditumpangi Alexa berhenti di sebuah area balapan liar. Sorak-sorai anak muda, bau bensin bercampur asap knalpot, dan cahaya lampu jalan yang temaram membuat suasana sore menjelang malam itu mendidih.Alexa melepaskan helmnya dan menyerahkannya pada pengendara, Felix, sahabatnya sekaligus pembalap malam itu."Kenapa sekarang kau tinggal di tempat lain, Lexa?" tanya Felix, menatapnya penuh selidik.Alexa menoleh, nada suaranya penuh nada menantang. "Aku diusir dari rumah oleh ibuku. Sekarang aku harus tinggal di rumah itu demi mengejar
Keesokan harinya, Alexa duduk di ruang tamu sambil menggaruk pelipisnya yang sama sekali tidak gatal. Ia masih tidak percaya dengan kebetulan konyol yang menimpanya, pria yang semalam menyelamatkannya dari dua penjahat ternyata adalah guru privat yang ibunya pilihkan. Sungguh, keberuntungan macam apa ini?Rose, sang ibu, berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya jelas-jelas masih menyimpan amarah karena ulah Alexa yang mencoba kabur semalam."Theo, ini putriku, Alexa Moore," ucap Rose tajam. "Aku sudah lelah menasehatinya setiap hari. Jadi aku minta bantuanmu untuk mendidiknya. Aku ingin nilai Alexa jauh lebih baik tahun ini."Theo, pria matang yang semalam tampak gagah saat menolongnya, kini menatap Alexa dengan tatapan tenang namun menusuk. Namun Alexa pura-pura tidak peduli. Ia sengaja mendongak ke langit-langit, menolak balas menatap, seakan-akan keberadaan pria itu tak lebih penting dari debu di karpet."Putrimu ini punya banyak kelebihan, Nyonya," ucap Theo akhirnya.Rose
"ALEXA!" Teriakan lantang memecah keheningan kamar. Pintu terbuka kasar, dan Rose, wanita paruh baya dengan wajah tegang penuh emosi muncul sambil menghentakkan selembar kertas ke atas meja. "Bu, bisakah ibu tidak menggangguku? Aku sedang main game," keluh Alexa malas, tak melepaskan pandangannya dari layar. Namun Rose tak memberi kesempatan. Dengan sekali tarik, kabel komputer tercabut. Layar gelap seketika. Alexa mendengus kesal, melepaskan headphone dan berdiri. Belum sempat ia melawan, sang ibu sudah mengacungkan kertas itu di depan wajahnya. "Kau sudah delapan belas tahun, Lexa. Sebentar lagi sembilan belas! Tahun ini seharusnya kau lulus. Tapi dengan nilai seperti ini…" Rose menepuk keras kertas itu, "universitas mana yang mau menerima murid sepertimu?!" Alexa hanya memutar bola mata. "Bu, lulus atau tidak, aku tetap pewaris perusahaan ayah dan ibu. Aku anak satu-satunya. Tidak ada yang bisa merebut itu dariku." Ucapan itu membuat Rose menarik nafas panjang, berusaha mena