"Maaf ya, aku tinggal. Tadi Ayah sedang ada di ruang tunggu," pamit Esti.Rendi tersenyum tipis, meski matanya masih tampak sedikit ragu. “Iya… hati-hati di jalan, Esti.”Esti mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih, Rendi. Sampai jumpa lagi, ya.”Bu Nanik menepuk lengan Esti dengan lembut. “Kamu sudah tumbuh jadi wanita yang tangguh, Esti. Ibu senang melihatmu.”Esti menunduk hormat, hatinya terasa hangat sekaligus berat. “Terima kasih, Bu. Aku juga senang bisa bertemu Ibu. Semoga Ibu selalu sehat.”Setelah berpamitan, Esti melangkah menuju ruang tunggu untuk menemui ayahnya. Di sepanjang perjalanan, pikirannya berkecamuk antara lega karena pertemuan itu berjalan baik dan rasa haru melihat ketulusan Bu Nanik. Haris, yang menunggu di dekat ayah Esti, menyambutnya dengan senyum hangat.“Sudah selesai?” tanya Haris.Esti mengangguk. “Iya.”Kemudian ia duduk di samping ayahnya.“Ayah, nanti kita periksa dulu tensi dan gula darahnya ya. Jangan khawatir, InsyaAllah semuanya akan lancar,
“Ayah, sarapan dulu, nanti takutnya lama menunggu antrian. Kalau Ayah belum makan, nanti kelaparan,” kata Esti sambil menyendokkan nasi ke piring ayahnya dengan lembut.“Ibu juga ikut, kan?” tanyanya sambil menoleh ke arah Bu Lina.“Enggak, Ibu di rumah saja,” jawab Bu Lina pelan, nada suaranya datar.“Oh, kirain Ibu ikut. Ayo kita sarapan, aku ambilkan nasi untuk Ibu ya?” Esti mencoba tetap ramah, menahan rasa kesal yang masih mengganjal hatinya.“Nggak usah, Ibu bisa ambil sendiri,” sahut Bu Lina singkat, menolak tawaran Esti.Esti terdiam sejenak, menelan rasa kecewa dan berusaha menetralkan emosinya. Meski begitu, tatapan matanya menyiratkan kekecewaan yang tersimpan rapat.Pak Rusdi dan Haris memperhatikan interaksi itu dari sudut ruangan. Haris tahu betul perasaan istrinya, meski Esti tersenyum dan bersikap ramah, hatinya masih terluka oleh sikap Bu Lina.“Oh,” Esti hanya mengeluarkan suara pelan sambil berusaha tersenyum. Dengan hati-hati, ia menyerahkan centong nasi kepada ibu
“Mas, lihat sendiri kan… bagaimana sikap Veni. Angkuh sekali. Apa ia lupa, bagaimana ia bisa sekaya sekarang? Ada bantuan dana dari Ayah, yang menjual sawah untuk membantu usaha Veni. Sedangkan aku…” Suara Esti bergetar, menahan rasa kecewa yang menumpuk.Haris meraih tangan Esti dan menggenggamnya lembut, mencoba menenangkan hatinya. “Tenang, Sayang… jangan terlalu dipikirkan. Kita tahu siapa yang benar-benar berusaha dan siapa yang hanya memanfaatkan.”Mereka duduk di tepi tempat tidur, suasana kamar yang remang dan hening malam menambah keintiman percakapan itu. Hari ini meninggalkan rasa berat di hati Esti, membuatnya merasa capek dan sedih.“Kalau aku lama tinggal di sini, bisa stress aku,” lanjut Esti, nada suaranya masih terdengar lesu.Haris menepuk punggung Esti, menatap matanya dengan lembut. “Aku di sini untuk kamu, Sayang. Kita hadapi semuanya bersama-sama. Ingat, kamu tidak sendiri.”Sejenak, Esti memejamkan mata, merasakan hangatnya kehadiran Haris. Meski dunia seakan me
Bik Rina bercerita panjang lebar kepada Esti, mengungkapkan sisi-sisi kehidupan orang-orang di sekitarnya, dari kisah Veni dan suaminya, hingga Rendi dan Dina. Veni, adik Esti, memang terkenal sebagai sosok yang berada di lingkungannya. Rumahnya besar, mobilnya mewah, dan hampir setiap langkahnya tampak dibingkai oleh kemewahan yang membuat banyak orang terpesona. Namun, di balik gemerlap itu, ada sikap angkuh yang membuatnya sulit disukai.Esti mendengarkan cerita Bik Rina dengan seksama, matanya sesekali menatap jauh ke luar jendela, seolah menimbang apa yang ia dengar.“Harta dan kekayaan memang sering menyilaukan mata,” gumam Esti perlahan saat ia berbincang dengan Haris, suaminya. Suaranya lembut tapi penuh makna.Haris menoleh, menatap wajah istrinya. Ada sedikit tanda ingin tahu di matanya.“Maksudmu Veni?” tanyanya, nada suaranya menahan rasa penasaran.Esti mengangguk, matanya menyorot ke arah suaminya dengan serius. “Iya. Dari cerita Bik Rina tadi. Mas bisa lihat sendiri, ka
Wajar saja kalau orang tua Rendi sering menyinggung dengan menyebut nama Esti, pikir Dina, matanya menerawang ke arah jendela dapur. Sepertinya mereka belum benar-benar ikhlas kalau Rendi menikah denganku.Ia mengingat awal mula perjuangannya merebut hati Rendi. Waktu itu, ia yakin begitu Rendi menjadi miliknya, kebahagiaan akan datang dengan sendirinya. Ternyata semua itu hanya khayalan. Rendi yang ia dapatkan bukan sosok penuh perhatian seperti yang ia bayangkan. Sering kali Rendi pulang larut, lebih banyak diam, dan seolah membawa bayang-bayang masa lalu bersamanya.Sepertinya memang Rendi masih sangat mencintai Esti.Dina menggenggam cangkirnya lebih erat, seakan takut rahasianya terbaca dari wajahnya. Pikirannya melayang pada kemungkinan terburuk. Kalau sampai Rendi tahu ada Esti di sini, pasti dia akan menemui Esti.Gambaran itu membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Ia membayangkan Rendi dan Esti duduk berdua, berbicara dengan tawa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang
Bik Rina memandang bergantian antara Esti dan Dina. Tatapan mereka berdua tidak lama, tapi cukup untuk membuatnya merasa ada sesuatu di baliknya. Kening Bik Rina berkerut. Ia mencoba mengaduk-ingat di kepalanya, mencari potongan cerita lama yang entah dari mana mulai menyeruak.Ah… iya. Esti dan Dina.Hatinya mulai merasa tidak tenang. Ia tahu, di masa lalu hubungan keduanya tidak pernah benar-benar baik. Esti pernah berpacaran dengan Rendi, lelaki yang kini menjadi suami Dina. Hubungan mereka waktu itu bukan hubungan biasa, mereka dekat, saling melengkapi, bahkan sudah mulai merencanakan masa depan bersama. Semua orang mengira mereka akan menikah.Tapi kemudian, angin berubah arah. Dina, yang diam-diam menyimpan rasa pada Rendi, mulai menebar cerita-cerita buruk tentang Esti. Kata-katanya licin, manis di telinga, tapi menyusup dengan racun halus. Ia membisikkan kepada Rendi hal-hal yang membuat Esti terlihat buruk, lalu menguatkan ceritanya kepada orang tua Rendi. Sedikit demi sediki