Kini tinggal Rudi yang melongo. "Apa? Tidak mungkin! Kalau Rani tidak ikut kamu seperti yang telah disebutkan dalam suratnya, lantas dia kemana?"
Sebenarnya ada sedikit rasa lega dalam hatinya saat mengetahui fakta bahwa istrinya tidak kabur dengan laki-laki lain. Itu artinya Ranu masih mencintainya.
Tapi hati Rudi memang masih bertanya-tanya tentang keberadaan Rani. Entah selamat atau tidakkah istrinya sekarang.
Erwin hanya mengedikkan bahu sambil menepis tangan Rudi yang mencengkeram kerah bajunya.
"Ya saya nggak tahulah. Yang suaminya kan kamu, Pak. Kenapa justru saya yang jadi tersangkanya?"
"Kamu pasti bohong ya?! Jelas-jelas dalam surat Rani disebutkan kalau dia kabur sama petugas bank Emok. Dan satu-satunya petugas bank Emok yang ke rumahku untuk menagih hutang kan cuma kamu. Kamu enggak usah ngeles lagi. Sekarang kembalikan istri saya!"
Beberapa pengunjung mulai ricuh. Beberapa diantaranya bahkan mulai mengarahkan kamera ponsel ke arah Rudi dan Erwin.
Seorang satpam mendekat dan melerai mereka.
"Jangan membuat gaduh di sini! Kalau mau gelut, silakan ke tempat lain!" seru salah seorang berbadan sangar dengan seragam bertuliskan sekuriti.
"Tunggu, Pak. Saya cuma ingin memperjelas kasus saya. Istri saya minggat sama dia!" Rudi menunjuk ke arah Erwin dengan emosi.
Erwin segera menggelengkan kepalanya. "Jangan fitnah. Kamu tidak punya bukti. Lagipula saya sudah punya istri. Ini istri saya. Buat apa saya membawa kabur istri orang lain?" tanya Erwin seraya menatap perempuan cantik di sampingnya.
Rudi menelan ludah. Dia memang tidak membawa kertas yang berisi tulisan tangan Rani.
"Heh, sudah. Saya tidak peduli istri siapa dan yang menculik siapa. Tapi satu hal yang pasti, kalian harus pergi dari sini. Cepat pergi dari sini kalau cuma buat kerusuhan!"
Rudi menatap Nilam yang keheranan. Tapi selintas ide muncul di kepalanya.
"Oke. Saya akan pergi."
Rudi segera bergegas meninggalkan Nilam yang melongo di depan semua pesanannya. Sementara itu Erwin dan perempuan yang datang bersamanya tetap berada di kafe tersebut.
Rudi segera naik ke motor dan memacunya menuju ke kantornya yang hanya berjarak 300 meter dari kantornya.
"Huh, untung saja aku bisa kabur dari tagihan kafe. Uang kemarin aja masih dipinjam Dewi. Sekarang Nilam minta ditraktir. Huh, nggak ada pekanya sih jadi cewek. Katanya mau mentraktir, eh ada orang basa basi, dia malah mau makan gratisan. Heran."
"Cepat banget kamu makannya?" sapa Toni seraya melahap nasi kuning dan nugget yang ada di kotak bekalnya.
Rudi menelan ludah melihat bekal yang ada di hadapan Toni. Baru kali ini dia merasa iri melihat temannya makan bekal yang dibuatkan oleh istrinya.
"Enak ya bekal buatan istrimu?" tanya Rudi seraya terus melihat ke arah isi bekal Toni.
"Apaan tuh isinya?" tanya Rudi kepo sambil melongokkan kepalanya untuk mengintip ke dalam kotak bekal milik Toni.
Toni yang terheran tetap menjawab pertanyaan dari Rudi.
"Nasi goreng, nugget homemade yang dibuat dengan penuh cinta," sahut Toni tersenyum.
"Hm, pret. Kamu pasti hanya melebih-lebihkan istrimu saja ya? Biar terlihat harmonis gitu." Ridu terlihat manyun.
"Sembarangan. Kamu benar-benar saling mencintai."
"Kok bisa sih kalian saling mencintai? Emang berapa gaji yang kamu berikan pada istri kamu sehingga dia mencintaimu?"
Toni menghentikan suapannya dan menatap ke arah temannya itu.
"Seluruh gajiku langsung masuk ke dalam rekening istriku, Rud. Jadi semua pengeluaran istriku yang mengaturnya."
Rudi mendelik. "Apa kamu bilang? Kamu kok bo doh banget sih Ton? Kamu kan yang kerja kok istri kamu yang nerima hasilnya? Nggak masuk akal itu!"
Toni tersenyum melihat keterkejutan Rudi. "Kamu itu yang nggak masuk akal. Kamu ngambil anak orang, kamu nikahin dia, dia ngurusin kamu, anak kamu, bahkan mungkin merawat keluarga kamu dengan ikhlas padahal kamu nggak ikut membiayai hidupnya sejak kecil, tapi kamu masih itung-itungan sama istri kamu? Wah otak kamu nggak beres, Rud!"
Rudi mendelik mendengarkan perkataan temannya.
"Apa kamu bilang? Kalau istri kamu yang mengatur semua gaji kamu, bagaimana dengan uang untuk orang tua kamu? Bagaimana dengan kebutuhan kamu di luar rumah?" tanya Rudi penasaran.
"Ibuku hanya tinggal seorang diri di samping rumahku. Beliau nggak mau ikut kami. Kata ibuku enggak mungkin ada dua ratu dalam satu rumah. Kebutuhan ibuku aku dan kakak lelaki ku yang menanggung. Aku bilang istriku kalau ingin memberikan uang pada ibuku.
Dan dia dengan senang hati memberikan sebagian gajiku pada ibuku. Istriku bahkan mengumpulkan modal dari sisa uang belanjanya untuk membuat frozen food lalu dijual secara online maupun offline. Ibuku pun juga tidak mau berpangku tangan meminta uang pada anaknya. Ibuku ikut membantu istriku jualan makanan beku itu, Rud. Aku bahagia sekali. Karena mereka sangat rukun."
Tampak binar bahagia wajah Toni saat menceritakan tentang isteri dan ibunya.
"Trus kamu nongkrongnya gimana dong kalau uang kamu semua kamu berikan pada istrimu?"
"Rud, kita kan sudah punya istri. Alangkah bagusnya kalau kita jangan mementingkan ego sendiri. Kalau mau nongkrong, ya nongkrong sama anak istrilah. Kan di kantor sudah ketemu sama teman-teman. Masa mau nongkrong terus sama teman. Terus gunanya nikah apa dong?"
Rudi terdiam. Bukan karena dia sadar atau merenungi kata-kata Toni barusan, tapi lelaki itu kehilangan kalimat untuk membela diri.
"Kan kalau sama istri terus bosen, Ton. Kamu emang nggak bosen di rumah lihat istri pakai daster terus? Bolong lagi!"
"Heh, Rud. Kalau kamu ingin istri kamu punya badan atau wajah bagus, ya modalin. Belikan baju atau skin care lah. Nggak akan bosen kok. Kalau memang mau nongkrong sama teman ya jangan sering-sering lah. Makanya kamu harus pintar membuat suasana rumah tangga yang hidup biar betah, Rud."
Rudi hendak membantah kata-kata Toni saat mendadak terdengar jam istirahat kantor telah habis.
*
Rudi baru saja membuka pintu kamar saat ponselnya menjerit melengking.
"Halo, Ma. Ada apa?"
"Halo Rud, apa uangnya masih belum siap juga?"
"Aduh, Ma. Belum ada. Ini Rudi sedang nyari BPKB tapi ilang. Mungkin dibawa Rani."
"Astaga, istrimu itu benar-benar keterlaluan. Apa kamu tidak punya simpanan gaji sih, Rud? Apa cari perhiasan Rani yang mungkin saja tertinggal di sana. Mama benar-benar butuh banget nih!"
Rudi menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Sedang capek baru pulang kerja, sudah diributkan dengan masalah uang.
"Enggak ada, Ma. Mama kan tahu sendiri smua gaji sudah kuberikan pada Mama, Rani, dan sebagian untuk healing."
Rudi langsung merebahkan diri di ranjangnya tanpa berganti baju maupun cuci tangan.
"Ck, gimana sih ini! Mama butuh banget nih, Rud. Masa iya Mama minta duit lagi ke Agus? Mana Maya juga nggak punya tabungan."
"Ya minta saja ke calon suami Maya lah, bisa juga ke mas Agus. Dia kaya kan dibandingkan Rudi," tukas Rudi akhirnya.
"Tapi kan Agus itu mantu Mama. Kamu yang anak lelaki Mama, Rud. Kata Maya, gaji calon suaminya masih didepositokan. Kan dia kerja di lepas pantai migas dan belum habis masa kontrak. Coba kamu pinjam ke kantormu dulu. Nanti biar suaminya Maya yang bayar ke kamu."
"Aduh, Ma, nggak a .... Eh, apa ini?"
Tangan Rudi mendadak menarik benda panjang dari bawah bantal yang biasa digunakan Rani untuk tidur. Mata Rudi membelalak saat melihat benda apa yang keluar dari dalam bantal.
"Ma, ini ada kalung, gelang, dan cincin. Melihat bentuknya, mungkin bisa lebih dari lima juta! Bo doh banget sih Rani menyimpan emasnya di sini dan ditinggal," tukas Rudi sambil mengelus emas di tangannya.
"Wah, bagus kalau begitu! Langsung jual saja, Rud. Nggak usah nyari Rani lagi. Biar kapok tuh si Rani. Beraninya kok minggat ninggalin suami. Istri macam apa itu!!" Mama Rudi terdengar mengompori.
"Oke. Tenang saja, Ma. Aku akan langsung menjualnya besok."
**
Rudi dengan ruang membawa perhiasan yang ditemukannya di bantal Rani ke toko emas dengan riang. Namun begitu kagetnya dia setelah perhiasan milik Rani diperiksa.
"Maaf, Pak. Tapi semua perhiasan ini palsu. Imitasi. Tidak ada harganya," tukas pemilik toko emas itu seakan membuat dunia Rudi yang cerah menjadi kelam.
"Apa?"
Next?
"Maaf, Pak. Tapi semua perhiasan ini palsu. Imitasi. Tidak ada harganya," tukas pemilik toko emas itu seakan membuat dunia Rudi yang cerah menjadi kelam."Apa?""Iya Pak, semua perhiasan emas ini imitasi." Pemilik toko emas itu mengulangi jawabannya. "Tidak mungkin. Pasti Mas nya salah periksa. Ayo periksa lagilah!" Rudi bersikeras untuk memaksa. Pemilik toko emas itu hanya bisa menghela nafas. "Saya sudah memeriksanya berulang kali. Dan hasilnya tetap sama. Perhiasan emas ini palsu. Kalau Bapak tidak percaya, silakan bawa perhiasan ini ke toko lain."Rudi tercengang dan dengan terpaksa dia mengambil perhiasan itu dari penjual emasnya.Rudi terpekur dalam hati. 'Jadi perhiasan ini palsu? Apa perhiasan ini yang dulu menjadi warisan ibunya Rani?! Kalau benar perhiasan ini adalah bagian dari warisan ibunya Rani, berarti perhiasan Rani selama ini palsu juga. Tapi kalau perhiasan ini berbeda dengan warisan ibunya Rani, buat apa Rani memiliki perhiasan palsu ini? Apa perhiasan ini untuk
"Uda? Kok nggak memberi kabar dulu kalau mau datang?" tanya Rudi kaget melihat kakak lelaki Rani sedang berdiri di depan rumahnya. Wajahnya tampak tak bersahabat. "Mana adikku?" tanya Aris langsung masuk ke dalam ruang tamu rumah Rudi. "Ran! Rani!" Aris memanggil-manggil adiknya dan beranjak menuju ruang tengah. Rudi segera berlari mengejar kakak iparnya."Tunggu, Da. Rani tidak ada di sini!"Aris menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menatap ke arah Rudi."Kalau Rani tidak ada di sini, kenapa kamu nggak nyari adikku? Kenapa kamu justru membiarkan Rani menghilang? Apa kamu sudah lapor polisi, hah?" tanya Aris sambil mencengkram kerah baju Rudi. Rudi merinding melihat tangan kanan Aris terkepal ke arahnya. Tapi dikuat-kuatkan hatinya lalu dia menatap ke arah kakak iparnya. "Uda, seharusnya bukan Uda yang marah. Tapi aku!" tukas Rudi. Matanya menatap tajam ke arah Aris. "Apa maksud kamu? Katakan?!""Uda duduk dulu. Akan kuambilkan kertas berisi pesan terakhir Rani," tuk
POV Rani Flash back on."Rani, semua sudah makan. Piringnya jangan lupa dicuci ya?" tukas ibu mertuaku. Aku yang sedang membaca novel online favoritku mau tidak mau harus berhenti dan menoleh pada Mas Rudi.Meskipun pintu kamar tertutup tapi suara mertuaku yang di dekat ruang makan seolah bisa menembus dinding kamar kami. "Mas.""Apa?" Aku memanggil mas Rudi tapi suami ku masih asyik dengan ponselnya."Mas!""Apa sih?" tanya Mas Rudi sambil tetap bermain dengan ponselnya. "Kenapa sih kok aku terus yang disuruh nyuci piring dan nyapu-nyapu? Apa mentang-mentang karena aku paling miskin di sini jadi aku bisa disuruh apa saja?"Mas Rudi meletakkan ponselnya dan menatapku."Sudahlah, jangan lebay. Mamaku berarti kan ibumu juga. Kamu sudah enggak punya ibu dari lama kan? Wajar kan kalau mamaku menyuruh anaknya, yaitu kamu untuk membantunya dalam urusan pekerjaan rumah?" tanya mas Ardi membuatku tercengang. Dia selalu mempunyai alasan untuk memojokkanku atau membenarkan tindakannya dan
Flash back On :Aku mendelik. "Kamu boleh melupakan aku. Tapi kamu pasti tidak akan melupakan sapu tangan ini kan?""Bagaimana ini bisa ada padamu? Bukankah sapu tangan ini kuberikan pada ..,""Widuri. Teman sepermainan kamu saat masih SMP.""Mas Agus, kok bisa kenal Widuri?" tanyaku bingung. Mas Agus tertawa lalu menggembungkan pipinya dan melingkarkan jempol dan telunjuknya ke mata, seakan menjadi sebuah kacamata.Aku mendelik. "Mas Donat? Mas Agus itu mas Donat?" tanyaku kaget. Mas Agus tertawa. "Ya, nama lengkapku Agus Doni Kurniawan."Aku melongo tak henti-hentinya takjub pada metamorfosis mas Agus, dari gemuk menjadi kurus. "Aku rindu padamu, Ran," tukas mas Agus hampir memelukku.Dengan cepat aku menahan dadanya yang hendak menarikku ke dalam pelukannya. "Maaf Mas, kamu sudah punya istri. Aku nggak ingin ada fitnah di sini."Mas Agus terlihat kecewa dan menurunkan tangannya. "Apa kabar Widuri, Mas? Sejak pindah ke ibu kota, kami tidak pernah berkontak lagi.""Widuri sehat
*Terkadang ada sebuah nama yang tertulis di hati, tapi tidak tertulis di buku nikah.***"Apa?! Kamu minta berpisah? Aku enggak mau!""Kenapa?" "Kok tanya kenapa? Karena aku mencintai kamu lah!"Rani tersenyum kecut. "Mencintai? Tapi kamu jelas memanfaatkanku, Mas. Kamu tidak usah mengelak lagi. Aku sudah muak dengan semua yang dianggap wajar olehmu dan keluargamu!"Rudi segera turun dari motornya dan mendekati Rani. Wajahnya tampak memelas."Oke, kalau kamu tidak mau pulang. Kita bicara di sini. Setidaknya pinggirkan dulu motor kamu agar kita tidak menghalangi orang lewat."Beberapa pengguna jalan memperhatikan mereka. Karena jalan yang mereka lalui masih dalam area pasar, mau tidak mau banyak mata yang melihat percekcokan suami istri itu.Rani pun hanya menghela nafas dan akhirnya meminggirkan motornya."Tolong berikan aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku mencintaimu. Aku akan membahagiakan kamu dengan cara apapun," tukas Rudi sambil mendekat pada Rani. Perempuan itu menatap
Rudi dan Rani serentak menoleh ke sumber suara. "Mama?!"Mama Rudi menyeringai dan masuk ke dalam rumah. "Kamu benar-benar istri durhaka, Ran!" tunjuk mertuanya.Rani melirik tajam pada mertuanya. "Maaf, Ma. Kalau dulu mungkin Rani akan manut-manut saja. Tapi saat ini Rani tidak akan pasrah begitu saja. Rani akan membenahi apapun yang Rani pikir tidak adil," tukas Rani membuat mertuanya mendelik. "Kamu berani sekali ya sekarang?! Pantas dari dulu Mama sudah tidak sreg dengan kamu. Ternyata kamu memang bukan istri yang baik untuk Agus. Mama benar-benar kecewa dengan kamu, Ran!" sembur Mama. Tangan Rani terkepal. Ingin marah tapi ditahannya sekuat tenaga karena dia sadar bahwa dia berhadapan dengan orang yang lebih tua.Rani menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kesabaran. "Ma, apa Mama pikir Mama saja yang menyesal. Saya juga menyesal.""Apa kamu bilang? Kamu benar-benar istri yang tidak berbakti. Nggak tahu malu! Istri yang tahunya cuma makan dan tidur saja dan nggak perlu
"Len, duduk! Itu bukan salah Rani. Aku hanya ingin kamu hamil. Apa itu salah? Atau begini saja, bagaimana kalau Rani saja yang jadi istriku?" tanya Agus dengan wajah serius. "Mas, kamu jangan suka bercanda. Ini sama sekali tidak lucu. Lagipula, apa katamu, Mas? Kamu mau meninggalkanku demi bersama Rani? Mas Agus sudah nggak waras atau kamu kesurupan?" tanya Leni dengan pandangan mengejek terhadap adik iparnya. "Mas Agus, jangan ngeprank kami dong. Kami tahu kalau mas Agus akhir-akhir ini sering membuat video di YouTube tentang kiat-kiat sukses menjadi pengusaha. Tapi nggak bikin acara tentang prank kan?" ujar Maya seraya tertawa. "Iya nih Gus, kalau kamu memang ingin mengejutkan kami, jangan seperti ini caranya. Kamu kan bisa mengejutkan kami dengan mendadak membelikan rumah, mobil, atau sekalian penthouse tanpa kami tahu. Jangan bikin panik dengan prank kamu deh?!" sahut Mama Rudi sambil menatap wajah menantunya itu. "Mas, kamu pasti ngomong kayak gini karena kamu cuma ingin aku
Sontak wajah mertua Rani memucat. "Aduh mama lupa kalau sekarang waktunya membayar hutang setelah Mama pinjam bank keliling sebanyak 20 juta untuk dikirim ke calon suami kamu, May!" seru Mama Maya. "Apa? Ada-ada saja Mama ini. Bukankah sudah Maya bilang untuk menggadaikan sertifikat rumah ini saja?" tanya Maya kesal. Mamanya mendelik. "Kok kamu nyalahin Mama sih? Kan kamu yang nyuruh Mama nyari uang untuk suami kamu. Lagipula kalau sertifikat rumah apalagi segede gini, bisanya untuk jaminan pinjaman di atas lima puluh juta di bank, May. Jadi ya Mama kemarin terpaksa pinjam ke renternir.""Berapa cicilan perbulannya, Ma?" tanya Maya. "Perbulan Mama lima juta. Mama minta waktu untuk melunasi semuanya dalam waktu 3 bulan.""Astaga! Bunganya banyak amat sih, Ma? Dari dua puluh juta menjadi dua puluh lima juta? Bunganya lima juta sendiri dalam waktu tiga bulan!"Mamanya mendelik mendengar perkataan Maya. "Lalu Mama harus gimana? Mama kan nggak punya tabungan sebanyak 20 juta. Nggak bis