Share

Bab 5. Harapan (Emas) Palsu

Kini tinggal Rudi yang melongo. "Apa? Tidak mungkin! Kalau Rani tidak ikut kamu seperti yang telah disebutkan dalam suratnya, lantas dia kemana?"

Sebenarnya ada sedikit rasa lega dalam hatinya saat mengetahui fakta bahwa istrinya tidak kabur dengan laki-laki lain. Itu artinya Ranu masih mencintainya. 

Tapi hati Rudi memang masih bertanya-tanya tentang keberadaan Rani. Entah selamat atau tidakkah istrinya sekarang.

Erwin hanya mengedikkan bahu sambil menepis tangan Rudi yang mencengkeram kerah bajunya. 

"Ya saya nggak tahulah. Yang suaminya kan kamu, Pak. Kenapa justru saya yang jadi tersangkanya?"

"Kamu pasti bohong ya?! Jelas-jelas dalam surat Rani disebutkan kalau dia kabur sama petugas bank Emok. Dan satu-satunya petugas bank Emok yang ke rumahku untuk menagih hutang kan cuma kamu. Kamu enggak usah ngeles lagi. Sekarang kembalikan istri saya!"

Beberapa pengunjung mulai ricuh. Beberapa diantaranya bahkan mulai mengarahkan kamera ponsel ke arah Rudi dan Erwin. 

Seorang satpam mendekat dan melerai mereka. 

"Jangan membuat gaduh di sini! Kalau mau gelut, silakan ke tempat lain!" seru salah seorang berbadan sangar dengan seragam bertuliskan sekuriti. 

"Tunggu, Pak. Saya cuma ingin memperjelas kasus saya. Istri saya minggat sama dia!" Rudi menunjuk ke arah Erwin dengan emosi. 

Erwin segera menggelengkan kepalanya. "Jangan fitnah. Kamu tidak punya bukti. Lagipula saya sudah punya istri. Ini istri saya. Buat apa saya membawa kabur istri orang lain?" tanya Erwin seraya menatap perempuan cantik di sampingnya. 

Rudi menelan ludah. Dia memang tidak membawa kertas yang berisi tulisan tangan Rani.

"Heh, sudah. Saya tidak peduli istri siapa dan yang menculik siapa. Tapi satu hal yang pasti, kalian harus pergi dari sini. Cepat pergi dari sini kalau cuma buat kerusuhan!"

Rudi menatap Nilam yang keheranan. Tapi selintas ide muncul di kepalanya. 

"Oke. Saya akan pergi."

Rudi segera bergegas meninggalkan Nilam yang melongo di depan semua pesanannya. Sementara itu Erwin dan perempuan yang datang bersamanya tetap berada di kafe tersebut. 

Rudi segera naik ke motor dan memacunya menuju ke kantornya yang hanya berjarak 300 meter dari kantornya. 

"Huh, untung saja aku bisa kabur dari tagihan kafe. Uang kemarin aja masih dipinjam Dewi. Sekarang Nilam minta ditraktir. Huh, nggak ada pekanya sih jadi cewek. Katanya mau mentraktir, eh ada orang basa basi, dia malah mau makan gratisan. Heran."

"Cepat banget kamu makannya?" sapa Toni seraya melahap nasi kuning dan nugget yang ada di kotak bekalnya.

Rudi menelan ludah melihat bekal yang ada di hadapan Toni. Baru kali ini dia merasa iri melihat temannya makan bekal yang dibuatkan oleh istrinya.

"Enak ya bekal buatan istrimu?" tanya Rudi seraya terus melihat ke arah isi bekal Toni. 

"Apaan tuh isinya?" tanya Rudi kepo sambil melongokkan kepalanya untuk mengintip ke dalam kotak bekal milik Toni. 

Toni yang terheran tetap menjawab pertanyaan dari Rudi.

"Nasi goreng, nugget homemade yang dibuat dengan penuh cinta," sahut Toni tersenyum. 

"Hm, pret. Kamu pasti hanya melebih-lebihkan istrimu saja ya? Biar terlihat harmonis gitu." Ridu terlihat manyun. 

"Sembarangan. Kamu benar-benar saling mencintai."

"Kok bisa sih kalian saling mencintai? Emang berapa gaji yang kamu berikan pada istri kamu sehingga dia mencintaimu?"

Toni menghentikan suapannya dan menatap ke arah temannya itu. 

"Seluruh gajiku langsung masuk ke dalam rekening istriku, Rud. Jadi semua pengeluaran istriku yang mengaturnya."

Rudi mendelik. "Apa kamu bilang? Kamu kok bo doh banget sih Ton? Kamu kan yang kerja kok istri kamu yang nerima hasilnya? Nggak masuk akal itu!"

Toni tersenyum melihat keterkejutan Rudi. "Kamu itu yang nggak masuk akal. Kamu ngambil anak orang, kamu nikahin dia, dia ngurusin kamu, anak kamu, bahkan mungkin merawat keluarga kamu dengan ikhlas padahal kamu nggak ikut membiayai hidupnya sejak kecil, tapi kamu masih itung-itungan sama istri kamu? Wah otak kamu nggak beres, Rud!"

Rudi mendelik mendengarkan perkataan temannya. 

"Apa kamu bilang? Kalau istri kamu yang mengatur semua gaji kamu, bagaimana dengan uang untuk orang tua kamu? Bagaimana dengan kebutuhan kamu di luar rumah?" tanya Rudi penasaran. 

"Ibuku hanya tinggal seorang diri di samping rumahku. Beliau nggak mau ikut kami. Kata ibuku enggak mungkin ada dua ratu dalam satu rumah. Kebutuhan ibuku aku dan kakak lelaki ku yang menanggung. Aku bilang istriku kalau ingin memberikan uang pada ibuku. 

Dan dia dengan senang hati memberikan sebagian gajiku pada ibuku. Istriku bahkan mengumpulkan modal dari sisa uang belanjanya untuk membuat frozen food lalu dijual secara online maupun offline. Ibuku pun juga tidak mau berpangku tangan meminta uang pada anaknya. Ibuku ikut membantu istriku jualan makanan beku itu, Rud. Aku bahagia sekali. Karena mereka sangat rukun."

Tampak binar bahagia wajah Toni saat menceritakan tentang isteri dan ibunya. 

"Trus kamu nongkrongnya gimana dong kalau uang kamu semua kamu berikan pada istrimu?"

"Rud, kita kan sudah punya istri. Alangkah bagusnya kalau kita jangan mementingkan ego sendiri. Kalau mau nongkrong, ya nongkrong sama anak istrilah. Kan di kantor sudah ketemu sama teman-teman. Masa mau nongkrong terus sama teman. Terus gunanya nikah apa dong?"

Rudi terdiam. Bukan karena dia sadar atau merenungi kata-kata Toni barusan, tapi lelaki itu kehilangan kalimat untuk membela diri.

"Kan kalau sama istri terus bosen, Ton. Kamu emang nggak bosen di rumah lihat istri pakai daster terus? Bolong lagi!"

"Heh, Rud. Kalau kamu ingin istri kamu punya badan atau wajah bagus, ya modalin. Belikan baju atau skin care lah. Nggak akan bosen kok. Kalau memang mau nongkrong sama teman ya jangan sering-sering lah. Makanya kamu harus pintar membuat suasana rumah tangga yang hidup biar betah, Rud."

Rudi hendak membantah kata-kata Toni saat mendadak terdengar jam istirahat kantor telah habis. 

*

Rudi baru saja membuka pintu kamar saat ponselnya menjerit melengking. 

"Halo, Ma. Ada apa?"

"Halo Rud, apa uangnya masih belum siap juga?"

"Aduh, Ma. Belum ada. Ini Rudi sedang nyari BPKB tapi ilang. Mungkin dibawa Rani."

"Astaga, istrimu itu benar-benar keterlaluan. Apa kamu tidak punya simpanan gaji sih, Rud? Apa cari perhiasan Rani yang mungkin saja tertinggal di sana. Mama benar-benar butuh banget nih!"

Rudi menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Sedang capek baru pulang kerja, sudah diributkan dengan masalah uang.

"Enggak ada, Ma. Mama kan tahu sendiri smua gaji sudah kuberikan pada Mama, Rani, dan sebagian untuk healing."

Rudi langsung merebahkan diri di ranjangnya tanpa berganti baju maupun cuci tangan. 

"Ck, gimana sih ini! Mama butuh banget nih, Rud. Masa iya Mama minta duit lagi ke Agus? Mana Maya juga nggak punya tabungan."

"Ya minta saja ke calon suami Maya lah, bisa juga ke mas Agus. Dia kaya kan dibandingkan Rudi," tukas Rudi akhirnya. 

"Tapi kan Agus itu mantu Mama. Kamu yang anak lelaki Mama, Rud. Kata Maya, gaji calon suaminya masih didepositokan. Kan dia kerja di lepas pantai migas dan belum habis masa kontrak. Coba kamu pinjam ke kantormu dulu. Nanti biar suaminya Maya yang bayar ke kamu."

"Aduh, Ma, nggak a .... Eh, apa ini?"

Tangan Rudi mendadak menarik benda panjang dari bawah bantal yang biasa digunakan Rani untuk tidur. Mata Rudi membelalak saat melihat benda apa yang keluar dari dalam bantal.

"Ma, ini ada kalung, gelang, dan cincin. Melihat bentuknya, mungkin bisa lebih dari lima juta! Bo doh banget sih Rani menyimpan emasnya di sini dan ditinggal," tukas Rudi sambil mengelus emas di tangannya.

"Wah, bagus kalau begitu! Langsung jual saja, Rud. Nggak usah nyari Rani lagi. Biar kapok tuh si Rani. Beraninya kok minggat ninggalin suami. Istri macam apa itu!!" Mama Rudi terdengar mengompori. 

"Oke. Tenang saja, Ma. Aku akan langsung menjualnya besok."

**

Rudi dengan ruang membawa perhiasan yang ditemukannya di bantal Rani ke toko emas dengan riang. Namun begitu kagetnya dia setelah perhiasan milik Rani diperiksa.

"Maaf, Pak. Tapi semua perhiasan ini palsu. Imitasi. Tidak ada harganya," tukas pemilik toko emas itu seakan membuat dunia Rudi yang cerah menjadi kelam.

"Apa?"

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status