Hampura ya readers baru post lagi, qodarullah sejak kemaren siang lagi sibuk banget acara keluarga. selamat melanjutkan membaca, semoga ada manfaat yang bisa diambil. janga lupa tinggalkan komen dan likenya yaps
Setelah lelah menangis, Haniyah mulai mengatur nafasnya. Ia keluarkan kertas yang dia dapat dari peti, lalu dengan tenang ia berkata, “bantu aku mengalihkan semua harta warisan Kakek Om, aku gak mau menerima sepeserpun.”Rusli belum sempat membantah, Haniyah kembali bicara.“Om tahu kan gimana susahnya aku selama tinggal di sana? Om juga pasti ingat gimana susahnya aku keluar dari rumahnya, gimana jahatnya mereka sama aku dan Ibu. dan gimana ambisinya mereka dengan semua harta itu.”Rusli menghela nafas, dia tidak bisa memaksa Haniyah, tapi… “Dalam surat itu kamu hanya bisa menyerahkan 50% Han, gak boleh lebih dari itu.”Haniyah memasang wajah kesal.“Nggak ada cara lain Om?” Elkan buka suara.Rusli menggenggam tangannya sendiri sambil menunduk, berpikir keras mencari cara apakah bisa mengabaikan surat wasiat itu atau tidak.“Saya gak tahu apa yang membuat kamu menolak semua harta warisan dari Kakekmu Han, tapi menyerahkannya pada Danu, Elvina dan Calista, menurut saya juga gak baik.
Rusli mencoba menghubungi keluarga Adiguna yang dia kenal, dari semua nomor yang dia miliki, ada satu orang yang berhasil di hubungi dan kebetulan sekali dia adalah Teguh, ayah dari Mahesa Adiguna.Teguh dan Mahesa berjanji akan datang ke Baswara. Karena itu, Haniyah dan Elkan memilih menunggu di kantor Baswara sambil berbincang singkat tentang masa lalu, termasuk tentang hubungan Adiguna dan Wiryawan.“Jadi, mereka berteman sejak muda?” tanya Haniyah.“Iya, yang Om tahu begitu. Kakekmu dan Pak Adiguna sama-sama merintis dari bawah. Sejak mereka kuliah. Perusahaan Adiguna jauh lebih berkembang diawal, sementara perusahaan milik Kakek masih merangkak karenanya terbatas. Adiguna akhirnya memberikan bantuan dana, dengan kesepakatan 50% aset perusahaan Wiryawan akan menjadi milik Adiguna Company.&rdquo
Haniyah meletakkan peti kayu berukir pemberian kakeknya di tengah ruangan. Ia sudah mulai lelah mencoba membuka kunci peti itu, tapi tidak kunjung terbuka. Sejak pulang dari Ruko, dia sudah mencoba berkali-kali, tapi semua usahanya sia-sia.Dia duduk berselonjor kaki di samping tempat tidur, sementara Elkan baru saja kembali dari dapur dengan dua gelas minuman dingin di tangannya.“Masih belum bisa kebuka?” tanya Elkan.Haniyah mengangguk lemah. Tangannya masih menggenggam kunci yang ia yakini dapat membuka peti, meskipun sudah berkali-kali dicoba.Elkan meletakkan minuman yang dia bawa di samping Haniyah duduk, lalu ia duduk sedikit lebih dekat dengan peti. Elkan menarik peti itu, lalu meminjam kunci Haniyah dan melihat lebih dekat goresan kunci dan gembok y
Haniyah berpikir keras. Sejak mendengar cerita dari Rusli dia tidak bisa tenang. Ini bukan lagi soal dipaksa bercerai dan menikah dengan orang lain. Hal itu bisa diatasi. Dia juga yakin Mahesa tidak mungkin memaksa menikahinya, apalagi kalau dia mengatakan dia sedang hamil.Yang jadi masalah adalah, dia tidak ingin kembali masuk dalam lingkup keluarga Wiryawan, dia sudah cukup lega dan tidak memiliki urusan apapun dengan keluarga itu selama beberapa bulan terakhir. Sekarang… saat hatinya mulai tenang, kenapa dia harus dihadapkan dengan hal baru yang membuatnya kembali masuk dalam keluarga itu.Haniyah berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, ia mulai memikirkan banyak tempat yang menjadi tempat rahasianya bersama Kakek, sangat mungkin kalau kertasi itu disembunyikan di satu tempat yang pernah mereka datangi. Tapi dimana.
Haniyah tidak habis pikir dengan ucapan Danu yang baru saja dia dengar.“Sepertinya anda mulai tidak waras ya Pak Danu. Selain menginginkan semua harta kekayaan Kakek, sekarang anda juga menginginkan kehidupanku? Anda gila!” ucap Haniyah tanpa memperdulikan nada suaranya yang meninggi.Haniyah berdiri menahan emosi, tangannya terangkat dan satu telunjuknya mengarah ke pintu keluar. “Sekarang saya minta anda pergi, bawa teman anda karena kalian gak ada hubungan apapun dengan kami. Jangan sampai saya memanggil keamanan untuk mengusir kalian dari sini!” teriaknya gusar.“Jangan begini Haniyah, kamu—”“Pergi dari sini Danu! Kami tidak sudi melihatmu lagi. Sudah cukup kamu mengambil semua yang menjadi hak kami selama
Tring!Suara lonceng kecil di atas pintu menyambut kedatangan mereka. Aroma kopi yang lembut bercampur wangi kue kayu manis segera menyapa, membuat Haniyah menarik napas pelan dari balik maskernya. Untungnya, aroma di sini tidak menusuk, justru terasa menenangkan.“Ada yang beda gak sih sama cafe ini?” tanya Kamila sambil melepas totebag dari bahunya dan memencarkan pandangannya.Haniyah ikut menyapu ruangan yang dipenuhi meja kayu bulat dan sofa empuk warna krem. Di sudut, ada rak buku kecil dan vas berisi bunga segar—detail sederhana yang selalu membuat tempat ini terasa akrab.“Sepertinya memang ada perubahan, di situ biasanya ada butik bukan toko buku mini,” jawab Haniyah.Mereka memilih duduk di dekat jendela besar yang menghadap jalan. Sinar sore menyusup masuk, membuat suasana hangat. Seorang pelayan datang dengan senyum ramah, menyerahkan menu.“Satu Cokelat panas, satu capuccion,” kata Haniyah sambil tersenyum pada pelayan yang sepertinya baru, karena dia tidak merasa mengena