Assalamu'alaikum. Maafin terlambat update siang ini, lagi banyak kegiatan offline. Selamat membaca readers.
Suasana di kantor Elkan mendadak berubah drastis setelah Hanan menerima panggilan telepon dari orang suruhannya. Pagi tadi semuanya masih jadi asumsi, prakiraan tanpa dasar dan hanya sebuah tebakan—seandainya—sekiranya. Tapi siang ini, semua menjadi lebih jelas.Hanan masih duduk di sofa yang sama dengan Elkan, satu tangan menyentuh telinga kirinya, menyimak suara dari earpiece kecil yang terhubung langsung ke orang kepercayaannya di lapangan. Beberapa detik kemudian, ia memutus sambungan, menoleh perlahan ke arah Elkan.“Sudah bisa dipastikan, sesuai perkiraan Pak Arifin dan detektif yang kamu bayar… dalangnya memang Ronald,” katanya datar, namun matanya menyiratkan ketegangan mendalam. “Dan alasannya persis seperti yang disampaikan Pak Arifin, karena Carol.”Elkan mengepalkan tangannya, dadanya sesak. Marah dan kesal bercampur jadi satu.“Jadi… mau pakai cara apa?” tanya Elkan.“Negosiasi saja, aku siap.” Elkan menatap Haniyah
Pukul sembilan pagi. Hanan keluar dari mobilnya bersamaan dengan Elkan yang baru saja sampai. Tidak lama kemudian, motor Anandita dan Farid juga merapat. Setelah itu mereka berjalan beriringan menuju ruangan Elkan.Cahaya matahari menembus kaca jendela besar ruang kerja Elkan, menyinari meja kayu mahoni yang mengkilap. Aroma kopi hitam masih samar tercium dari cangkir yang baru saja disiapkan Haniyah. Suasana ruangan terasa tegang namun terkendali.Pagi itu Hanan datang dengan pakaian santai. Tidak sebagai CEO dari sebuah perusahaan besar. Ia mengenakan hoodie gelap dan celana jeans, wajahnya tenang namun matanya awas. Elkan meminta mereka semua duduk bersama. Hanya mereka, tanpa ada Brata atau anggota keluarga Elkan yang lainnya. Hanan mulai mendengarkan penjelasan Elkan tentang hal yang menimpanya, termasuk semua asumsi dari detektif yang ia bayar, Farid, Fathur dan juga Anandita. Wajahnya nampak lelah menghadapi ini semua, belum lagi dia juga dihantui rasa takut kalau orang-orang
Akash mematung. Kata-kata itu menggantung di udara, mengguncang pikirannya seperti badai yang datang tanpa peringatan.“Mafia?” tanya Elkan ragu. “Gak mungkin.” Suara itu keluar dari mulutnya nyaris sebagai bisikan. "Dia mungkin punya kuasa, punya uang banyak, tapi kalau mafia… rasanya gak mungkin.” Elkan benar-benar tidak percaya dengan ucapan mereka."Dia memiliki usaha perbankan Pak," ucap Farid pelan. "Usaha perbankan yang ia jalankan tidak sepenuhnya murni untuk urusan perbankan seperti yang diketahui umum. Usaha itu dibuat sebagai topeng… untuk mempermudah pencucian uang klien-klien besar yang selama ini dia jaga.”Tak hanya Akash, Haniyah pun ikut menggeleng tidak percaya setelah mendengar ucapan Farid.“Selama ini dia membantu orang-orang yang nggak mau uang kotornya kelihatan. Bandar narkoba, penyelundup, bahkan oknum pejabat. Uang haram itu disulap jadi seolah-olah bersumber dari investasi, tabungan bisnis, atau pembe
Jakarta malam ini sedikit mencekam. Sesuai pesan Anandita, malam ini Elkan pulang ditemani Farid dan Fathur. Brata merelakan asisten termudanya itu untuk mendampingi Elkan. Dia tahu pasti kemampuan ilmu bela diri Farid sebaik apa, maka pilihan tepat kalau dia dikirim untuk mengawal Elkan.Fathur berada di mobil yang sama dengan Elkan. Ia yang memegang stir karena tahu kondisi kepala Elkan yang terlalu penuh saat ini. Elkan bukan takut berhadapan dengan orang-orang itu, tapi kalau sesuai prediksi Anandita dan Sultan, dia tidak akan mampu melawan geng motor itu sendiri.Farid tidak ikut di dalam mobil, dia memilih mengekori dengan motor trail dari belakang.Mobil SUV hitam yang dikemudikan Fathur keluar dari arah gedung perkantoran di Jalan Gatot Subroto.Rahang Fathur mengeras saat menggenggam setir. Matanya tajam menatap ke jalan. Sesekali ia melirik ke spion, berharap motor yang mengikuti mereka sejak tadi menjauh.“Sepertinya
Mereka berhasil sampai di rumah dengan selamat. Perasaan mengganjal di hati Anandita masih terus berlanjut dan itu memancing rasa penasaran Haniyah. Mereka berada di ruang tengah karena Anandita ditugaskan tidak meninggalkan Haniyah sampai Elkan datang.“Mbak Dita kenapa? Kok kayak ada pikiran gitu?” tanya Haniyah penasaran.“Mbak, saya minta izin hubungi Pak Elkan ya?” Haniyah mengangguk saat mendapat jawaban Anandita yang lebih ke arah bertanya.Melihat Haniyah mengangguk, Anandita lekas menelepon Elkan. Kebetulan sekali saat itu Elkan masih bersama Brata dan Sultan.“Gimana Mbak?” tanya Elkan dari seberang sana. Haniyah sengaja mengaktifkan pengeras suara agar Haniyah ikut mendengar.“Kami sudah sampai di rumah dengan selamat Pak. Selama perjalanan ada satu motor yang mengikuti kami dari arah kampus, tapi kami berhasil meloloskan diri. Tapi… ada sesuatu yang mengganjal dalam kepala saya.”“Apa?” tanya Elkan dari sebe
Haniyah sempat terkejut saat melihat pesan yang ditunjukkan Anandita di ponselnya. Matanya tertuju pada sosok perempuan dewasa di hadapannya. Tidak ada raut kaget atau tertekan di wajah wanita itu, dia begitu tenang. Berbeda sekali dengan apa yang dirasakan Haniyah saat ini. Baru membaca pesan itu saja, dia sudah mulai panas dingin. Khawatir kalau sedang terjadi sesuatu, entah padanya atau pada suaminya.“Elkan gimana?” tanyanya pelan.Anandita tersenyum. “Jangan khawatir, di samping Elkan ada Fathur dan Farid di dekatnya. Mereka berdua punya kompetensi di atas saya.” Kening Haniyah mengernyit.“Mereka—” Kalimat Haniyah terhenti saat melihat Anandita mengangguk pasti. “Baiklah kalau begitu,” ucapnya tenang.Haniyah lalu mengajak Anandita duduk bersamanya dan memperkenalkannya pada Kamila."Mil, kenalin ini Mbak Dita, teman aku di Baswara," ucap Haniyah memperkenalkan keduanya. Kamila yang sejak tadi diam memperhatikan interaksi mereka akhirnya mengangguk pelan dan mengulurkan tangan