"Rissa!' Naren berseru dengan nada terkejut.
Dia tak menyangka jika Marissa akan menjawab pertanyaan itu dengan pernyataan yang bisa saja menjadikan Tristan semakin salah paham."Biar saja, Naren. Biarkan dia menaruh curiga padaku, biarkan dia menganggap kita berdua memiliki hubungan selain hubungan ipar. Biar dia tahu, bagaimana rasanya curiga. Biar dia tahu bagaimana rasanya hidup dalam pengkhianatan," beber Marissa dengan cukup lantang."Cukup, Rissa." Naren menghentikan kalimat-kalimat yang terus mengalir dari mulut wanita itu. Segala caci maki yang Marissa katakan dihempas begitu saja oleh Tristan. Dia kembali ke sebuah kepercayaan jika istrinya tak melakukan apa pun berkat kalimat-kalimat yang seakan memojokkannya tadi."Aku butuh bicara denganmu, Naren." Tristan menaruh tas kerjanya dan dia berjalan ke arah pintu belakang.Naren menganggukkan kepalanya pada Marissa dan berjalan mengikuti adiknya. Dia cukup penasaran apa yang s"Dia tak curiga apa pun, Marissa." Naren mengirim pesan pada adik iparnya itu. Dia ingin Marissa menenangkan dirinya setelah perdebatan sengit antara dirinya dan juga Tristan. Naren merasa harus tahu lebih jelas atas apa yang terjadi pada Tristan sebenarnya. Sehingga di pagi hari setelah malam itu, Naren memutuskan pergi lebih awal untuk mencari tahu. "Di mana Naren?" tanya Tuan Baruna. "Mobilnya sudah pergi, Pa. Mungkin dia ada pekerjaan yang harus diselesaikan pagi ini," jawab Marissa. "Sejak kapan kamu tahu segalanya tentang Naren?" sela Tristan. Marissa memandang sinis ke arah suaminya, dia tahu jika Tristan sedang mencari kesempatan untuk membuatnya tergelincir. "Sejak aku tak mendapatkan perhatian dan kasih sayang darimu," celetuk Marissa. Kalimat yang keduanya lontarkan cukup mengelitik, hal itu juga terdengar sangat menjijikan di telinga Tuan Baruna yang sudah lulus tentang perkara cinta selama 60 tahun hi
"Mau kemana kita, Tan?" desak Marissa setelah sekian lama. "Tidak ke mana-mana, hanya sebuah tempat yang bisa membuat pikiran menjadi segar saja," balas Tristan. Mobil membawa mereka berdua berbelok ke sebuah tempat yang berada di tepian sebuah danau. Air yang biru terhampar begitu luas di depan mata keduanya. "Dia membawaku piknik?" batin Marissa sedikit terkejut. Tristan nampak berjalan santai, angin danau yang sejuk menyergap dan mengayun rambut Marissa yang tergerai panjang. Begitu juga dengan Tristan, dia terlihat sangat menikmati hembusan angin itu untuk mengisi paru-parunya yang hampir delapan bulan hanya terisi polisi udara keramaian kota. "Aku belum pernah membawamu ke manapun setelah kita menikah. Bahkan, kita membiarkan tiket bukan madu ke Swiss kita hangus begitu saja." Tristan terlihat tak biasa. Pria yang biasanya bicara dengan nada tinggi dan juga amarah, kini bicara dengan penuh kehati-hatian dan kelembutan.
"Apa yang kamu katakan, Naren? Dari mana kamu tahu semua itu?" Tuan Baruna terkejut dengan pertanyaan Naren. Rahasia besar itu hanya diketahui olehnya dengan mendiang sang istri. Dia merasa terkejut dengan pertanyaan Naren. Putranya itu beranjak pergi dari ruangan sang ayah. Tanpa dijawab pun, Naren sudah tahu jika kabar itu benar adanya. Dia sekarang tahu jika sikap Tuan Baruna yang sangat berbeda pada Tristan memiliki alasan yang cukup membuatnya kecewa. Naren mencoba menghubungi Marissa, dia menelepon wanita itu berulang kali tapi tidak ada jawaban. Naren tak tahu jika Marissa sedang bersama suaminya. "Kemana dia? Kenapa tak menjawab telepon?" tanya Naren pada dirinya sendiri. Pria itu kemudian menuju ruangan Tristan. Dia ingin memastikan pria itu sudah berada di ruangannya. Langkah kakinya begitu memburu, dia ingin segera bertemu adiknya itu. "Maaf, Tuan. Tuan Tristan tidak ke perusahaan hari ini," kata Laras menginformasikan.
"Aku juga mencintaimu, Tan. Kamu tidak salah dengar, kok. Tidak perlu merasa bingung," ujar Marissa dan dia berjalan mendekati suaminya.Tristan nampak sangat canggung, dia yakin jika Marissa mendengarnya mengucapkan kata cinta untuk seseorang di seberang ponselnya tadi, hanya saja tak ada yang bisa dia lakukan. Sehingga tak ada reaksi apa pun yang Tristan lakukan saat itu. Dia hanya terdiam tanpa kata seperti tak terjadi apa pun."Kamu mau kemana?" tanya Tristan pada istrinya yang tiba-tiba berjalan ke arah pintu.Marissa menghentikan langkah kakinya, dia tak menyangka suaminya akan menegurnya di saat dia memergoki pria itu mengatakan cinta untuk orang lain. Hanya saja dia harus bersikap seperti orang bodoh yang tak tahu apa pun. Dia tak ingin membuat keadaan terlihat jelas sementara dirinya sendiri masih belum bisa menyingkirkan perasaan gundah gulananya karena memikirkan Naren."Ada sesuatu yang harus aku periksa," jawab Marissa tak beralasan.
Mata Marissa membulat terkejut, dia tak menyangka akan terjadi hal semacam itu. Apalagi Naren tak sadarkan diri, semua orang tahu jika kebanyakan akan berkata jujur saat mereka sedang mabuk. Hal tersebut membuat Marissa merasa tak bisa menjelaskan apa pun. "Dia mabuk berat, jadi mungkin yang dia ingat hanya beberapa jam saja sebelum dia benar-benar tak sadarkan diri. Sebelum pergi, bukankah kita berdua yang dia temui?" jelas Tristan. "Hm," balas Marissa sedikit lega. "Papa," lirih Naren yang sudah membuka matanya. Marissa segera pergi setelah Naren bangun, dia memilih untuk tak menampakkan diri karena takut terjadi hal-hal yang tak dia inginkan. Tristan yang dilewati istrinya segera ikut pergi mengikuti langkah kaki Marissa. Dia turun dan melanjutkan sarapan bersama sang istri. Kejadian semalam tentang telepon itu membuat Tristan merasa harus berhati-hati pada Marissa. Dia juga memendam ketakutan akan hubungannya dengan Naomi. "Kelua
Di sisi lain, Tristan yang sudah terlanjur berjanji pada Naomi melupakan pesan istrinya. Dia yang seharusnya langsung ke perusahaan ternyata memilih untuk berbelok ke rumah Naomi. Hatinya tak bisa dibohongi ketika terus ingin menjumpai wanita simpanannya itu. Saat mobil Tristan masuk halaman rumah, nampak seorang wanita dengan pakaian minumnya berada di depan pintu. Agaknya dia sudah merasa jika Tristan akan datang pagi itu. "Astaga, masuk!" Tristan bicara dengan nada kesal. Dia segera turun dari mobil dan mendorong masuk wanita itu karena pakaiannya yang terlalu terbuka. Sepertinya Naomi masih menggunakan gaun tidurnya yang tipis dan kurang bahan itu untuk menanti Trisan di depan pintu. Hal itu sontak membuat Tristan menjadi kesal dan marah."Kamu bisa memancing satpammu masuk rumah dengan pakaian itu," ujar Tristan. "Biar saja, siapa yang menyuruhmu tak datang kemarin?" protesnya ketus. "Jangankan datang, kamu justru memblokir nomorku," lanju
Naren berhasil mengikat Marissa semakin jauh, hubungan kali itu membuat mereka semakin terjebak dalam hubungan yang tak main-main. Jika semula Naren adalah pria yang begitu Marissa harapkan untuk membuatnya lebih baik, sekarang sudah berbeda. Naren menjadi banyak menuntut dan lebih gila dari awalnya setelah mengenal lebih dalam tubuh wanita itu.Hari berlalu dan segala sesuatu tentang Naren kerap membuat Marissa merasa tertekan. Walau tak bisa dipungkiri jika Naren jauh lebih perhatian daripada Tristan, tapi sikapnya sekarang lebih berbahaya. Naren tak segan melempar kalimat-kalimat yang menjurus ke sebuah kenyataan jika mereka memiliki hubungan walau kadang dia patahkan dengan kata bercanda, tapi hal itu membuat Marissa sering merasa khawatir."Kita dapat undangan makan malam ke rumah paman kalian, datanglah, Papa tidak bisa datang karena ada urusan," ujar Tuan Baruna saat sarapan.
"Kamu diam saja?" tanya Naren karena Marissa terlihat tak bicara sama sekali. "Hm," balasnya singkat. "Kenapa, Rissa. Akhir-akhir ini kamu sepertinya berubah," tanya Naren lagi. "Karena kamu berubah, Naren. Apa ada sesuatu yang kamu rasakan berubah dari dirimu sendiri sebelum menanyakan mengapa aku berubah?" desak Marissa memberanikan diri. Naren memikirkan apa yang adik iparnya itu katakan. Dia mencerna baik-baik kalimat yang dikemukakan Marissa. Jelas Naren tahu arah kalimat itu, karena dia melakukan semuanya dengan sengaja, sehingga tak heran jika sedikit banyak Naren menerima balasan yang sebenarnya tak dia inginkan. "Aku lebih sering kasar dan memaksa, aku juga beberapa kali membuatmu merasa takut berada di sisiku, benarkan?" kata Naren mengakui. "Bukan hanya itu, Naren. Aku semakin tak tahan karena kamu sering mengataka kalimat-kalimat berbahaya saat ada Papa dan Tristan. Kamu membuat beban di hatiku bertambah berat