Share

AMARAH

Elang melahap semua makanannya dengan semangat, sementara Bulan hanya menatapnya. Tak percaya bahwa satu jam lalu lelaki ini baru saja hampir membunuh seorang lelaki seperti iblis. 

Elang menatap makanan Bulan yang masih utuh dan tidak tersentuh sama sekali. "Kok gak dimakan?"

"Liat lu makan aja udah kenyang gue" 

"Oke. Buat gue ya" 

"Sana .." Bulan menggeser mangkok makanannya ke depan Elang. "Habis ini mau kemana?"

"Pulanglah" 

Mendengar kalimat itu, perasaan Bulan berubah jadi tidak enak. Rumah, menurut sebagian orang mungkin tempat yang menyenangkan. Tapi itu tidak pernah terpikirkan dalam benak Bulan. Rumah itu seperti kuburan baginya. 

"Gue nginep tempat lu ya" 

"Iih ogah" 

"Ah" 

"Lu tuh dah enak ya. Gak ada siapa siapa dirumah lu. Ngapain malah pulang ke rumah gue?. Lu tau kan rumah gue kayak gimana"

"Yaudah, lu nginep tempat gue ya"

Elang menipiskan matanya, menatap Bulan lalu menempeleng kepalanya. "Gila lu" 

"Kok Gila?"

" Geblek. Di rumah lu, malam malam cuma ada lu sama gue. Yang ada nanti kita buat anak"

"Bagus" Bulan tersenyum dengan bangga

"Bagus?.." Elang menatap Bulan, ia kembali menipiskan penglihatannya. "Bisa bisanya lu ngomong begitu didepan cowok. Jangan gitu. Nanti lu dikira cewek murahan lan" 

"Gue cuma kayak gini sama lu doang"  seru Bulan, perempuan itu merebut sendok yang digenggam elang lalu memberi suapan pada dirinya sendiri. 

"Lan?" Elang menghembuskan nafas panjang. "Lu cantik tau"

"Yes" 

"Lu bisa cari cowok lain"

"Agrrh" Bulan memutar bola matanya. Lalu berdiri. 

"Mau kemana?"

"Pulang! Itu kan yang lu mau?!"

"Lu marah?"

"Iyalah!" 

"Gue cuma ngusulin" 

"Gue tuh suka sama lu, ngerti gak sih Lang!! Apa susahnya sih lu mencoba ama gue!! Apa salahnya sih!"  

Teriakan Bulan membuat setiap orang memandang mereka sekarang. Elang yang merasa malu akhirnya meminta maaf pada semua orang yang ada disekitarnya. 

"Duduk Lan!" Elang mencoba bersikap tegas sekarang. 

"Gue mau pulang" Bulan mengambil tasnya lalu berjalan pergi meninggalkan Elang yang menjadi pusat perhatian orang saat itu. 

-----

Genggaman tangan Bulan dan Elang, masih terngiang-ngiang diotak Anggi. Perasaannya tidak karuan itu masih ada sampai sekarang, bahkan sekarang air matanya datang tanpa permisi. 

Ia benar-benar tak pernah menyangka dia akan tersakiti oleh Elang, orang yang memaksanya berpacaran. 

Anggi kembali berbaring, memeluk guling yang menemani setiap tidur malamnya. Memaksa diri sendiri untuk jatuh dan terdekap oleh mimpi. Saat ia berhasil dalam fase itu ,justru yang ia temui. Kesedihan yang lebih besar lagi. 

Ia melihat Elang bersama Perempuan lain dipelaminan. Anggi hanya bisa tertunduk, sekali lagi menangis dengan perasaan campur aduk yang gak terbayangkan sebelumnya. Tapi tiba tiba ia melihat sosok Bimasakti berwajah masam didepannya, berkata dengan lantang. "Bangun! cengeng!"

Mata Anggi terbuka dengan lebar, ia bahkan melotot. Ia terbangun dan langsung terduduk diranjangnya. Mimpi yang benar-benar buruk untuknya. Anggi menatap setiap dinding kamar kosnya, ia berfikir tentang mimpinya yang mungkin bisa jadi nyata. Suatu hari, Elang akan bersama wanita lain, menua dengannya, lalu menjadikan Anggi pengalaman hidup yang bahkan mungkin tidak diketahui siapapun. 

Pengalaman hidup yang tidak diketahui siapapun. Ini terkesan tak adil di hati Anggi. Dia juga ingin semua orang tau, bahwa Anggi juga bagian pengalaman hidup Elang. Meski hanya jadi pengalaman. 

Anggi mengusap air matanya, mandi dengan segera memakai seragam dan melakukan persiapan apa yang dibutuhkannya untuk dibawa ke Sekolah. 

Sepanjang jam pertama sekolah, Anggi bener2 mengabaikan pesan dari Elang. 

Ngii

Ngii

Ngii

Ang-gii Prameswari

Anggi lagi sibuk?

Anggi

Anggi masih marah?

Anggi marah lagi??

Anggi aku kangen

Anggi

Anggi

Anggi masih marah karena haid nya belum kelar nih

Nggi!

Anggi

Anggi menatap setiap pesan pesan itu. Hanya dia baca, tapi kembali mengabaikannya. 

"Woey... Elang buat ulah" Raffi berseru pada setiap siswa yang ada diruang kelas Anggi. Disusul Revi yang dengan langkah kecilnya menghampiri kami. Sementara setiap siswa mulai berlari keluar, mencoba melihat keributan yang terjadi. 

"Gila Elang Gila..."

"Ada apa sih?!" 

"Sumpah ,itu anak bisa mati" 

"Emank Elang ngapain?" Bimasakti yang mengabaikan omongan Raffi pada akhirnya terpengaruh juga karena wajah khawatir dari Revi yang gak biasa. 

"Baron bisa mati deh Bim, lu harus ngehentiin Elang" 

"Ya emank Baron diapain!!!"

"Wajahnya terus terusan dipukul sama bola basket"

"Hah?! Apa apaan si tuh anak!" Bima dengan cepat bangkit dan keluar dari ruangan. 

"Kok bisa?"

"Gak tau... Kayaknya Elang lagi badmood banget deh .."

"Apa apaan" Anggi ikut bangkit, ia berlari kecil menuju tempat biasanya Elang melakukan aksi eksekusi bullyan.nya. 

Saat ia mulai masuk dalam kerumunan, ia mendengar teriakan paling kencang dari Bima. Sebuah beberapa hantaman dan sebuah dentuman keras ke lantai. Saat Anggi sudah berada dibarisan paling depan, ia melihat Bima dan Elang yang bergulat hebat. Sementara Septian, Angga Dan Bagas seolah masih mencoba mencari cara menghentikan mereka berdua. 

"APAA APAAAN INI. BERHENTI!!!" suara nyaring dan tegas Pak Rahman, wakil kepala sekolah Budi Utama. Satu satunya orang yang berani menegakkan keadilan di sekolah ini. Meski tetap ia tidak punya kuasa cukup untuk membuat anak istimewa keluar dari sekolah"BIMA!!! ELANG BISA BISANYA KALIAN BERANTEM . DISEKOLAH!! HEH!!!"

"Bapak gak liat ada orang yang mau dibuat mati sama dia?!" Bima menjelaskan sembari mengusap darah yang keluar dari bibirnya. 

Pak Rahman melihat Baron yang sudah babak belur. Mendekat padanya untuk memastikan siswanya baik baik aja. Pak Rahman menatap Elang, benar benar tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Ia mulai melihat setiap siswa yang menonton pertengkaran ini. "Benar benar gak punya empati kah kalian? Hal begini ditonton??. Siapa disini yang anak PMI?"

Anggi dan beberapa orang yang juga Anggi kenal maju ke depan. "kalian obati tiga anak ini. Setelah itu bawa ke ruangan bapak"sambung Pak Rahman. 

"Baik Pak" 

Bima , Baron dan Elang duduk ditempat tidur UKS dibatasi oleh tirai untuk mengurangi emosi mereka. 

"Awas aja Sampek ada yang ngobatin Baron" Elang kembali berulah dengan kata katanya. 

Semua anggota UKS saling bertatapan termasuk Anggi. 

"Awas aja kalo Sampek gak ada yang ngobatin Baron" Bima menambah masalah sekarang. 

Semuanya benar-benar dibuat bingung. Dua lelaki paling kejam, memberikan titahnya. 

"Eh gimana nih?" 

"Aduhduh ada ada aja siih"

"Gausah obati Baron aja gimana? Soalnya kalo Bima gak sekejam Elang"

"Bener sih.." 

Anggi yang mendengar keputusan itu gak bisa tinggal diam. "Yaudah, aku aja yang ngobatin"

"Nggi?! Lu yakin" 

"Yess!!" Dengan cepat Anggi mengambil kapas dan peralatan yang dibutuhkan. Masuk ke tempat Baron yang sudah babak belur. 

Anggi melihat air mata Baron yang tiba tiba keluar. "Makasih nggi, makasih" 

"Sama sama.. sini obati muka lu dulu. Emank kenapa lu Sampek dihajar Elang sih?"

"Gue gak mau jadi budak nya buat seminggu ini"

"Apa?? Budak?? Kenapa dia nyuruh lu jadi budaknya?"

"Gak tau gue... Gue juga ngerasa gak pernah punya salah sama Elang"

"Siapa yang ngobatin Baron heh!!" Elang berteriak dengan kencang , bener2 memenuhi ruang UKS. 

Anggi berjalan ke ruangan Elang dengan meyakinkan dan berkata. "Gue" Anggi menatap sinis pada kekasihnya sendiri "izinkan gue ngobatin dia, dan gue akan jadi budak lu buat seminggu" 

Elang terdiam. 

"Kenapa? Itu kan yang kamu mau?!"

Anggi kembali berbalik meninggalkan kamar Elang menuju ke Baron dan mengobati lukanya hingga tuntas. Sementara yang dilakukan Elang diam hingga semuanya selesai. Dia tidak pernah bisa berkutik saat si manjanya itu mulai bersikap tegas. 

Dan hukuman yang Elan dapatkan, membersihkan auditorium tanpa bantuan OG dan OB. 

"Curang kenapa Bima juga gak dihukum pak!"

"Curang? Curang? Kamu bisa berkata curang? Sedangkan dirimu sendiri adalah seseorang yang harusnya sudah dikeluarkan sekolah dari lama"

Elang kembali menunduk "maaf pak" katanya sekali lagi. 

Anggi mengeluarkan nafas panjang. Menatap Ubin lantai, ia berfikir tentang Elang yang selalu begini saat ia berhenti peduli soal kekasihnya. 

Sekujur tubuhnya dipenuhi rasa takut sekarang, Bukan karena kelakuan iblis elang. Tapi sesuatu yang mungkin akan dilakukan keluarga Elang. 

"Sorry gue telat" ucapan Elang sangat dingin. Ia kembali menutup pintu kamar hotel. Dan duduk di atas ranjang. 

"Sini liatin wajah kamu" Anggi melihat wajah dengan tambahan luka lebih banyak. "Ba-danmu gi-mana?"

Elang tersenyum "enggak papa" 

"Elangg..." 

"Beneran, kalo ada Anggi semuanya gapapa. Ta-pi anggi jangan cuekin Elang lagi..." Nada Elang yang begitu manja, membuat rasa bersalah memenuhi hatinya sekarang. Anggi mulai menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi, jika tadi pagi ia tak mendiamkan Elang, pasti gak akan begini, dia tak akan menghajar Baron, dan keluarga Elang juga gak akan menghajarnya. Ia tau bagaimana Elang, tapi Anggi malah bergulat dengan emosinya sendiri. 

Sebuah ketukan pintu membuat Anggi dan Elang kembali saling pandang. "Biar aku yang buka" kata Elang. "Gue hubungi Bagas tadi buat nyari obat antiinflamasi" 

Elang membuka pintu. Ia mendapati sosok tambahan bersama Bagas, Septian. 

"Ian? Gas??"

"Kenapa masa gue gak boleh tau luka lu! Cepet buka baju lu. Kita oba-" Septian memandang sosok Anggi. Lalu menatap Elang, meminta kejelasan. "Emank bisa ya, request anak PMR buat ngobatin luka diluar sekolah?" 

Bagas tersenyum kaku pada Elang "sorry gue lupa..." 

"Ini ada apa ya??" Tanya Septian sekali lagi. 

"Gak ada apa apa" kata Anggi. "El duduk, lukamu harus cepet diobati biar gak tambah parah" 

Elang seperti seorang anak yang duduk diranjang, dan menuruti kata Anggi dengan patuh. 

Septian masih memandang dengan keheranan. "Gue bener bener butuh penjelasan" 

"Mereka pacaran" jelas Bagas singkat. 

"Gue pikir lu pacaran sama Bulan, udah Sampek pegangan dan pelukan gitu, gue pikir lu-"

Elang memberikan jari tengah pada Ian, sebelum Ian kembali membuat kata kata  "diem gausah banyak bacot  Ian, gue gak pernah pacaran sama Bulan" 

"Okee..." 

Sesaat mereka dalam keheningan sampai Septian kembali berbicara. "Bisakah kita ngundang cewek lagi? Gue ngerasa gimana gitu. Ngeliat cewek syar'i sama kita ,cuma sendirian. Gue kayak yang ngerasa berdosa aja gitu" 

"Mau ngundang siapa?? Bulan?? Gila lu" ujar Bagas. 

"Ma-war?"

"Mawar siapa?" Ujar Elang. 

"Temen gue.. "

"Undang Mawar ya nggi?"

"Gausah jangan."

"Kenapa?"

"Dia emberr.. nanti bisa bisa malah satu kos tau"

"Susah ..." Septian kembali menatap Anggi "tapi ini bener- bener bikin surprise buat gue. Karena setelah kejadian itu, gue gak pernah liat elang Deket sama cewek selain sama Bulan. Apalagi liat pacarnya sekarang . Waoow" 

"Kenapa?" Anggi menatap sinis Septian. 

"Neraka dan Surga"

"Anjiir lu Ian" 

"Mending lu pergi dari pada buat El tambah emosi"

"Sorry sorry deh.. "

"Oh ya gimana keadaan Bima"

"Gapapa gas, dia mah kalo masih ada tugas yang diamanatkan sama dia, kayak manusia kebal dia. Rasa sakitnya ilang semua. Dia masih lukis Sampek sekarang"

"Masih??? Emank dia gak pulang Ian" Anggi mulai penasaran. 

"Enggaklah. Ngapain juga"

"Dia gak pulang dari kemari Lo Ian"

"Buat anak anak kayak kita, Gak pulang merupakan hal yang paling menyenangkan, kita mending tidur diluar terkadang dari pada dirumah" ucap Elang. 

"Iya ngii. Kalo kata Bima. Tuhan itu adil. Kita diberi kaya tapi gak buat bahagia"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status