Share

7. Hati yang Lelah

Buana terus berputar pada poros, membawa perubahan waktu dari menit ke menit. Tak terasa sepuluh hari telah dilewati Anyelir dan Narendra di rumah baru dengan status yang baru pula. Meski sama sekali tak ada kebahagiaan di rumah itu, tetapi Anyelir tetap menjalankan kesehariannya dengan tegar. Perempuan itu berniat ke rumah sakit untuk memeriksa kandungannya. Sadewo pernah memberinya uang untuk mengontrol kehamilan. Meski pria itu merupakan dokter kandungan langganan Anyelir, tetapi terkadang dirinya tak bertugas. Jadi, untuk persiapan apabila dirinya sedang tak praktik, menantunya itu tetap bisa mengontrol kandungan. 

Bagsakara yang memancarkan kehangatan, menambah kekesalan di hati Anyelir. Sejak sebelum sarapan, ia sudah menanti sang suami bangun sebab dirinya hendak meminta tolong pada lelakiitu untuk mengantarnya ke rumah sakit. Akan tetapi, Narendra malah pergi begitu saja tanpa pamit, bahkan tak melirik istrinya sama sekali. Dengan raut senderut, Anyelir sempat mengirim pesan berharap kekesalannya berkurang dengan balasan Narendra. Akan tetapi, sampai detik ini, jam sudah menunjukkan pukul 10.00, tetapi balasan pesannya tak kunjung datang.

Anyelir menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya. Ia berusaha untuk tak meluruhkan bulir bening yang terhimpun di pelupuk dan ... berhasil. Ia pun menelepon Pak Karman. Akhirnya, dirinya harus ikhlas untuk menerima kenyataan memeriksa kandungan tanpa didampingi suami. 

Usai menghubungi sopir pribadi Sadewo, Anyelir mengganti dasternya dengan kemeja tunik warna marun. Sengaja dirinya memilih baju berkancing agar ketika USG, tak perlu mengangkat kemejanya. Ia tak memakai celana bawahan sebab kemejanya berukuran sebatas betis.

Setelah merasa pas dengan penampilannya, dirinya gegas keluar dan menunggu Pak karman di kursi teras. Beberapa menit kemudian, tampak mobil mewah yang tak asing bagi Anyelir, berhenti di depan pagar. Spontan Anyelir bergerak menuju mobil tersebut dan masuk ke dalam.

"Pak, Apa mertuaku ke rumah sakit hari ini?" tanya Anyelir kala sudah duduk di jok sebelah pintu nomor dua.

"Bapak sudah dua hari ini di ke Kaimantan, Non. Jadi, tidak ke rumah sakit." Pak Karman melajukan mobil dengan kecepatan sedang.

Anyelir sudah memberitahu melaui telepon bahwa dirinya hendak ke rumah sakit. Jadi, pria itu tak perlu bertanya lagi tujuan perempuan yang mengucir kuda rambutnya yang mulai panjang tersebut.

Begitu sampai di rumah sakit, Anyelir segera menuju poli kandungan yang ada di ruangan itu. Tampak ruang tunggu sudah dipenuhi beberapa ibu hamil dengan pasangannya. Hal yang membuat Anyelir semakin kesal. Ia iri dengan ibu hamil yang didampingi suami masing-masing. Terlebih, suami mereka melakukan hal yang sangat disukai Ibu hamil. Ada yang mengelus perut istri, ada yang mengipas istri sembari memegang tangannya. Ada yang menjadi tempat sandaran kepala istri, ada juga yang, hanya sekadar bercengkerama hangat dengan istri. Namun, tetap saja yang terakhir itu jauh lebih beruntung ketimbang dirinya. 

Anyelir menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya. Ia melangkah menuju sebuah meja pendaftaran, lalu mendafarkan dirinya dengan menunjukkan KTP. Setelah itu, dirinya melangkah menuju bangku kososng, lalu duduk di sana seraya mengelus perutnya. Sambil menunggu namanya dipanggil, Anyelir mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempang warna hitam, kemudian membuka menu aplikas hijau. Ada banyak pesan masuk dari Panji yang belum ia buka sejak subuh. 

Anyelir kembali menelan pil kecewa ketika tak melihat balasan pesan Narendra di sana. Akhirnya, ia memutuskan untuk berkirim pesan dengan Panji untuk menghilangkan kejenuhan.

[Maaf, baru balas. Aku sedang di rumah sakit, meemriksa kandunganku]

Pesan terkirim dan langsung ada tanda bahwa sudah dibaca.

[Sama siapa? Kenapa tak mengabariku?Aku bersedia mengantarmu]

'Andai Narendra yang berkata seperti ini', harap Anyelir.

[Sendiri, diantar Pak Karman. Tak apa, aku harus menjadi perempuan mandiri yang tak ketergantungan dengan laki-laki]

[Baiklah, kalau begitu aku jemput. Jangan menolak!]

Anyelir sedang tak ingin bertemu lelaki mana pun saat ini. Ia sedang tak mood berbicara banyak dan jalan-jalan.

[Mohon maaf, untuk kali ini saja aku menolak. Aku janji, lain kali taka da penolakan]

Taka da balasan dari lelaki itu sampai nama Anyelir dipanggil seorang yang wanita yang duduk di depan ruang periksa. Gegas dirinya bangkit dari duduk dan bergerak menuju ruang dokter. Tampak seorang pria muda sebaya Narendra dan Panji mengenakan sneli duduk di kursi kerjanya.

Anyelir duduk di kursi pasien yang terletak di depan meja. 

"Selamat pagi menjelang siang, Nona Anyelir. Saya lihat datanya dulu, ya." Pria berkacamata itu tampak serius mambaca sebuah buku kecil berisi rekam medis Anyelir yang sudah dua kali memeriksa kandungan di rumah sakit tersebut. "Baik, Nona Anyelir apa ada keluhan?"

Anyelir menggeleng seraya tersenyum.

"Baiklah. Ayo, kita periksa! Kalau dari data, sepertinya kandunganmu kurang lebih tiga belas minggu, ya? Sudah tak mual lagi?" Dokter yang bernama Devan Airlangga itu melangkah menuju sebuah bed khusus pasien.

Anyelir mengikuti langkah dokter tersebut. "Sudah berkurang mualnya, Dok. Saya sudah bisa makan banyak," Perempuan itu menyeringai.

Selain dirinya dan Dokter Devan, ada seorang suster yang ada di ruangan tersebut. Dibantu tangga kecil, ia naik ke tempat tidur yang lumayan tinggi tersebut. Di atas kaki nya, terdapat monitor yang terhubung ke alat USG. Jadi, ia akan lebih leluasa melihat kondidi anaknya di perut.

Anyelir membuka dua kancing di bagian perut, kemudian mendaratkan punggung dengan hati-hati di ranjang. Suster yang bertugas sebagai asisten Devan mengoleskan gel di perut Anyelir. Lalu, Dokter Devan memainkan alat USG di perut perempuan hamil itu. Anyelir melihat sesosok janin di monitor. 

"Lihat, Nona! Kakinya semakin panjang, pun tangannya. Tuh, dia sudah bisa mengusap jarinya. Kalau kelamin, belum begitu jelas, ya, Nona. Sejauh ini sehat-sehat saja. Posisinya juga aman."

Anyelir tak dapat berkata-kata mendengar penjelasan dokter dan melihat buah hatinya di monitor. Netranya berembun. 

"Oh, iya! Di usia kandungan seperti ini, Nona mesti sering berbicara dengannya, begitu pun ayahnya karena dia sudah bisa mendengar dari balik perut."

Kali ini, senyum Anyelir pudar kala sang dokter menyebutkan suami. Sang dokter menangkap perubahan raut di wajah pasiennya. Ia pun mengalihkan pembicaraan.

"Maaf jika salah bicara. Ayo, kembali duduk. Saya berikan vitamin, ya." 

Anyelir menhgela napas berat, lalu beranjak dari posisi rebahnya, mengancing kemeja, kemudian bergerak ke temapt duduknya tadi. "Tak perlu minta maaf, Dokter."

"Baiklah, ini saya buatkan resep. Oh, iya! Jika butuh konsultasi ringan, bisa hubungi nomor saya." Sang dokter menyerahkan kartu namanya pada Anyelir.

Anyelir sedikit merasa aneh. 'Apa iya setiap pasien berkunjung, ia memberikan kartu nama? Apa, hanya aku saja? Ah, pede sekali aku. Mana mungkin aku berpikir dia menyukaiku'.

"Jangan melamun, Mbak. Pasien kami masih banyak menunggu di luar, sementara sudah semakin siang,' celetuk asisten dokter.

Anyelir menoleh padanya dan memperhatikan nama yang tertera di tanda pengenal yang menempel di dada, Vania. "Eh, iya. Maaf, Suster Vania." Anyelir meraih kartu nama dan resep yang diberikan padanya. "Baiklah, terimakasih, Dokter dan Suster. Saya pamit dulu." Anyerlir beranjak, lalu melangkah seraya memasukkan kartu nama dan resep ke dalam tas.

Anyelir pun melangkah menuju tempat pengambilan obat yang tak begitu jauh dari poli kandungan. Begitu tiba di sana, ia segera menyerahkan resep ke petugas yang berjaga di sana. Setelah itu, dirinya duduk di bangku kosong sembari menunggu namanya dipanggil. Ia bersyukur, pasien sudah tak begitu banyak lagi karena sudah siang. Jadi, dirinya, hanya butuh waktu setengah jam menanti vitaminnya disiapkan.

Usai mengambil obat, dirinya lekas menelepon Pak Karman, kemudian berjalan menuju poli umum yang berada paling depan di rumah sakit tersebut dan dekat dengan gerbang rumah sakit. Ia memutuskan menunggu sopir pribadi mertuanya di bangku tunggu poli umum.

Anyelir mengeluarkan ponsel dari gawai dan membuka aplikasi hijau, berharap ada pesan dari sang suami. Namun, lagi-lagi angan itu, hanya sekadar semu. Dirinya membuka pesan dari Panji. Senyum terukir di wajah cantiknya kala mendapat perhatian dari lelaki itu. Akan tetapi, senyum itu sirna kala sebuah asa kembali menguar. Dirinya masih berharap suatu saat, Narendra yang memberi perhatian seperti itu.

Anyelir tak menyadari, sejak satu menit yang lalu, seorang pria berdiri di dekatnya dan memperhatikan dirinya yang asyik menatap ponsel. 

"Belum pulang, Nona Anyelir?"

Spontan Anyelir menoleh. "Dokter Devan?" Anyelir tak menduga bahwa dokter tersebut masih mengingat namanya, padahal ketika ia keluar dari ruang periksa, masih ada sekitar dua belas pasien mengantri.

Artinya, ada banyak pasien yang diperiksa Dokter Devan setelah dirinya. 

'Apa iya, dokter ini mengingat semua nama pasiennya? Namun, tak mungkin juga, hanya mengingat diriku saja', pikirnya.

Anyelir tak menyadari bahwa sejak tadi Dokter Devan berbicara padanya sampai sebuah tangan melambai tepat di depan netra.

"Ah, iya, Dokter. Maaf, tadi, bicara apa?"

Pria tampan yang tak lagi mengenakan sneli dan kacamata itu tertawa kecil. "Hei, kau melamun apa, Nona cantik?" Lelaki itu duduk di sisinya.

"Ah, tidak! Aku kagum saja, kau mengingat nama semua pasienmu." Akhirnya, ia punya kalimat cerdas untuk menjawab rasa penasarannya.

Dokter Devan tergelak. "Mana mungkin aku mengingat semuanya. Aku, hanya mengingat beberapa pasien saja."

Kali ini, Anyelir berusaha keras untuk bersikap biasa saja, padahal hatinya sedang tumbuh bunga-bunga bermekaran. Wanita mana yang tak senang ketika menjadi salah satu dari sedikit orang yang diingat pria tampan berprofesi sebagai dokter. Namun, Anyelir ingat harus mengalihkan topik pembicaraan.

"Oh, iya! Aku sudah ingat yang kau tanyakan tadi. Aku belum pulang karena sedang menunggu sopir menjemput."

Dokter menautkan alis. "Sopir? Memangnya, suamimu sibuk sekali, ya, sampai tak bisa menjemput?"

Anyelir menunduk, lalu menghela napas berat. "Aku tak punya suami." 

"Oh, sorry!" Dokter Devan sudah biasa bertemu pasien hamil tanpa suami, tetapi ia tak menduga bahwa perempuan di sampingnya ini, termasuk salah satu dari mereka.

"Tak apa, Dok, santai saja."

"Kalau sopirmu masih lama, katakan padanya tak usah menjemput saja. Biar aku antar pulang."

Anyelir bernapas lega saat gawainya bordering dan menampilkan nama Pak Karman di layar. Ia segera mengusap tombol hijau. "Ya, Pak? Sudah di mana?"

"Sudah di depan gerbang, Non."

"Baiklah, tunggu, ya!" Anyelir mematikan panggilan suara.

"Dokter, saya permisi dulu, ya."

"Oh, iya. Hati-hati, ya!"

Anyelir melangkah keluar dari poli umum, menuju depan gerbang, sementara Dokter Devan masih menatap punggung perempuan itu sampai menghilang dari pandang.

Sementara itu, di mobil, seketika Anyelir mengeluarkan sebuah kartu nama di sana. Tertera nama dr. Devan Airlangga, lengkap dengan alamat rumah, tempat praktik, serta nomor ponsel dan telepon klinik. Refleks, ia mengeluarkan gawai, kemudian jemarinya menari dilayar, menyimpan kontak Dokter Devan. Setelah memasukkan kembali ponselnya, ia menyadari ada sesuatu yang aneh. 'Kenapa aku menyimpan nomor ponselnya sekarang?, Aduh, Anye! Ingat, kamu sudah punya suami. Meski Rendra tak menganggap dirimu ada, bukan berarti kamu harus membalasnya', gumamnya.

Saking asyik bersenandika, Anyelir baru menyadari bahwa mereka sudah tiba di rumah, kala Pak Karman menegurnya. Ia pun turun dari mobil. Dirinya melangkah melintasi halaman,diliriknya mobil sang suami yang ada di sana.

'Tumben, Mas Rendra sudah di rumah, tetapi kenapa dia tak membaca pesanku sama sekali jika sedang tak berkerja'.

Dirinya masuk ke rumah yang pintunya tampak terbuka sedikit. Cuping telinganya menangkap suara seorang perempuan dan lelaki sedang asyik bersenda gurau dengan bahasa-bahasa mesra. Ia melangkah pelan ke arah sumber suara, dan ... seketika seribu anak panah seakan-akan menghujam sekujur raganya ketika menyaksikan pemandangan di depan mata. 

Narendra sedang memangku seorang perempuan berambut sebahu dan mengenakan kemeja ketat. Kedua insan itu tampak berpagutan mesra. 

"Pantas saja, kau tak mengangkat teleponku dan tak membalas pesanku. Ternyata kau sibuk berbuat dosa?"

Spontan Narendra dan perempuan yang tak lain adalah Felicia itu menoleh. "Kenapa kau marah? Kau tak lupa, kan, pernikahan kita, hanya di buku nikah saja. Aku bebas berhubungan dengan Felicia, begitu pun denganmu. Silakan berhubungan dengan siapa pun. Jangan saling mencampuri urusan. Semua itu ada di surat perjanjian kita," cerocos Narendra tanpa mengubah posisi. "Lagipula, tak usah membahas dosa. Kalau kau suci, tak mungkin sampai hamil sehingga menyusahkanku menutup aibmu."

Ingin rasanya Anyelir menjambak rambut Felicia. Namun, ia sadar bahwa itu percuma. Narendra akan semakin membencinya. Ia pun sadar, dirinyalah yang mengganggu hubungan sang suami dengan Felicia. Ia membenarkan ucapan Narendra. Dirinya bukan perempuan baik-baik sampai harus hamil dan merepotkan banyak pihak.

Akhirnya, Anyelir melangkah cepat menuju kamar untuk meluapkan emosi yang terlampiaskan dengan air mata. Ia merebahkan raga dan meilih posisi miring sebab kehamilan membuat dirinya tak bisa menelungkup. Namun, tangisnya berhenti kala ponselnya berbunyi. Diraihnya tas tangan yang sempat dilempar ke lantai, lalu diraihnya ponsel. Tertera nama Panji melakukan panggilan video di sana. Anyelir meletakkan gawai yang masih bordering itu di katil. Namun, tiba-tiba sebuah pemikiran buruk tebersit.

'Untuk apa menangisi orang yang sama sekali tak menghargai perasaanku, bahkan menganggapku sampah yang tak penting. Aku juga berhak bahagia,'

Ia pun meraih gawai yang sudah berdering tiga kali, lalu mengusap tombol hijau. Dirinya melupakan sejenak rasa sakit yang mendera sekujur raga dan hati.

Adakalanya wanita merasa lelah menjadi baik. Jangan salahkan jika berbalik menyakitimu

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status