Share

Bab 6

Ku cubit perut Mas Adit. Biar tahu rasanya malu sampai ke ubun-ubun itu bagaimana.

"Bagus itu," mata Mama berbinar.

"Bisa gak kita bahas yang lain aja?" tanyaku  kikuk."malu tahu, Mas."

"Kalian jangan bingung, nanti biar Mama yang urus semuanyaa. Kalian terima beres saja!" Mama bersemangat.

"Kok Mama semangat sekali, ya. Yang bulan madu kan Adit, kenapa Mama yang sibuk."

"Diam kamu Adit, kamu mau diakui sebagai anak Mama atau bukan?. Harus nurut sama Mama kali ini," Mama kelihatan serius.

"Ya deh, Mamaku Sayang," Mas Adit memeluk mamanya.

Harmonis sekali keluarga ini. Aku begitu bersyukur bisa menjadi bagian dari mereka. Kehangatan begitu terpancar dari keluarga mas Adit. Meskipun Mama dan Mas Adit seringkali berbeda pendapat, namun mereka tetap selalu menyayangi.

******

"Adit, Mama sudah pesankan villa untuk tiga malam. Jadi, kalian bisa menghabiskan bulan madu di sana," ucap mama sambil mengotak-atik gawainya. 

Aku yang tengah mengunyah keripik apel langsung berhenti begitu mendengar ucapan Mama. Kaget bercampur malu mendengarnya. 

"Kenapa lama sekali, Ma.  Sepertinya tiga hari terlalu lama. Hari Senin aku harus sudah mengajar lagi," ucapku.

"Aku juga, Ma" Mas Adit menyahut.

"Gampang, bisa diatur itu. Yang penting kalian bulan madu dulu, baru mikir kerjaan," ucap Mama seolah tanpa beban.

"Tapi, Reina hari Minggu sudah harus pulang, Ma."

Mama langsung menghentikan aktifitasnya. Waktuku tersisa tiga hari lagi. Mungkin Mama lupa jika aku sudah harus pulang hari Minggu sore. Aku yang suka mabuk perjalanan tak mau ambil resiko dengan pulang hari Senin pagi.

"Ya udah gak masalah, nanti hari Minggu kalian check out habis dhuhur saja," akhirnya Mama mengalah.

"Di villa mana, Ma, jadinya?" tanya mas Adit.

"D'Batu Villa, itu punya teman Mama. Bagus tempatnya berada di daerah puncak," Mama menunjukkan ponselnya. 

Tampak pemandangan yang begitu menakjubkan. Suasaana begitu romantis jika dilihat dari fotonya.

"Kenapa gak di villa kita saja, Ma? Biar Reina juga tahu," ucap Mas Adit.

"Kalau di villa kita sudah biasa, gak ada yang spesial nanti. Lain kali saja kita liburan keluarga, menginap di villa," Mama tak mau mengalah.

"Tapi, Ma, Adit gak tahu lokasi villa teman Mama itu," Mas Adit masih mulai berdebat. Sepertinya Mas Adit ini tak pernah bisa searah dengan Mama. 

"Kita tidak hidup di zaman purba, Dit. Kamu itu dosen, masa gak bisa mikir," ucap Mama ceplas-ceplos. 

"Mama ih, bikin sebel," Mas Adit merajuk.

"Kamu ini sudah punya istri, pakai acara merajuk segala. Gak malu kamu?" aku yang mendengar pertikaian ibu dan anak ini hanya menahan tawa.

"Mas Adit kan, gak punya malu, Ma," aku menyahut. Mas Adit mendelik kepadaku tanda tak suka. Aku dan Mama kompak tertawa melihat tingkah Mas Adit.

"Adit dan Reina tersayang, keputusan Mama sudah bulat, kalian harus bulan madu di D'Batu Villa. Kalian berangkat jam empat biar gak terhalang kabut di perjalanan. Adit, pakai GPS, jangan banyak alasan lagi!" titah Mama tak dapat diganggu gugat.

"Siap Komandan," Mas Adit akhirnya mengalah. Sementara aku, ikut saja. Toh, aku hanya menantu di keluarga ini.

"Mbok Yah, tolong kemari!" panggil Mama.

Mbok Yah yang sedang mengepel lantai tergopoh mendatangi Mama.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ucap Mbok Yah sopan.

"Tolong bantu Reina mempersiapkan keperluannya ya, mereka mau liburan tiga hari!"

"Baik, Bu."

"Jangan lupa madu yang saya beli kemarin masukan dikoper mereka juga!" Mama mengingatkan.

"Adit mau liburan, Ma. Kenapa bawa-bawa madu segala?"Mas Adit ini tak pernah tak protes dengan ide Mamanya. Ada saja hal yang diperdebatkan.

"Itu bukan madu sembarangan," sahut Mama mengacuhkan mas Adit.

"Mbok, tolong bawakan madu yang kemarin, dua-duanya ya!"

"Iya, Bu," sahut Mbok Yah dari dapur. 

"Ini, Bu," dengan cekatan Mbok Yah memberikan dua botol madu ke Mama.

"Nah, ini yang satu buat Reina, satu lagi buat kamu, Adit," Mama memberikan madu padaku dan mas Adit.

"Ini madu apaan sih, Ma?" tanya Mas Adit. 

"Di baca itu kardusnya, Pak Dosen. Apa masih perlu diajari membaca?" Mama mengejek, membuat Mas Adit makin manyun.

"Itu madu buat kesuburan, Mas," sahut Mbok Yah.

"Ini madunya beda, Ma, punyaku sama mas Adit?"

Baru kali ini aku tahu ada madu khusus pria  sendiri, untuk wanita sendiri. Madu punyaku berwarna merah muda sedangkan punya mas Asit berwarna biru. Kubaca labelnya, " Madu Promil".

"Kenapa harus pakai minum madu segala sih, Ma?" sungut mas Adit. 

"Namanya juga ikhtiar, Dit. Mama pengen cepat punya cucu. Semoga dengan ikhtiar minum madu ini, kalian bisa cepat memberi Mama cucu," ucap Mama penuh harap.

"Udah, turutin aja deh, Mas. Lagian cuma minum madu apa susahnya sih. Rasanya kan manis," aku mencoba menengahi.

"Adit dari dulu itu susah sekali yang namanya minum segala jenis obat dan jamu, Na. Meskipun sakit, dia tidak akan minum obat kalau tidak dipaksa. Nah, berhubung ada kamu, Mama minta tolong paksa dia minum madunya itu."

Aku tertawa geli. Sementara mas Adit mencebik kesal. Kartunya dibongkar oleh Mamanya sendiri.

"Mas, kita jalan-jalannya sekalian nanti sore aja, ya. Nanggung nih, aku juga belum persiapan," usulku pada mas Adit.

Sekarang sudah hampir tengah hari. Sementara aku belum mempersiapkan keperluan bulan madu selama tiga malam nanti. Meskipun kata Mama, Mbok Yah yang akan mempersiapkan, namun aku lebih suka melakukannya sendiri.

"Biar Mbok Yah saja yang siap-siap, Sayang. Kalau mau jalan-jalan dulu, gak masalah," mama berkata begitu lembut kepadaku, seolah aku anak perempuannya sendiri.

"Iya Non, biar Mbok saja yang siap-siap," ucap Mbok Yah sopan.

"Jangan panggil, Non lah Mbok, panggil saja Reina."

"Gak sopan nanti, Non," ucap Mbok Yah kalem.

"Panggil saja saya, Mbak Reina, ya Mbok. Mas Adit saja dipanggil, Mas, masa aku dipanggil, Non. Saya gak mau kalau dipanggil Non," Mama hanya geleng-geleng sambil tersenyum.

"Pantas saja Adit begitu kekeh milih kamu, karena kamu orangnya rendah hati," ucap Mama bangga.

"Iya deh Mbak Reina, pasti Ibu suka sekali punya menantu seperti mbak Reina ini, sudah kalem, ayu, sopan santunnya dapat pula. Moga cepat dapat momongan ya, Mbak," ucap Mbok Yah.

"Terima kasih, Mbok."

"Sama-sama, Mbak. Mbok permisi dulu, ya, mau siapin baju buat Mas Adit sama Mbak Reina dulu."

"Aku bantu, boleh Mbok?"

Mbok Yah nampak bingung. Dia minta persetujuan Mama.

"Biar saja, Mbok. Reina ini orangnya teliti sekali," Mas Adit meng-iyakan. Sementara aku hanya tersenyum.

Aku dan Mbok Yah menuju kamar, mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status