“Sekarang kamu jadi penganten, ya. Aku dandanin,” kata Ola sambil keluarin palet eyeshadow mainan dan kuas kecil. Tangannya cekatan, walau warna eyeshadow-nya nggak merata sama sekali.
Anak-anak di sekelilingnya duduk manis. Ola semacam pemimpin kecil—semua nurut, semua ngikutin arahannya. Dan Bara? Dia nontonin itu sambil ketawa pelan. “Lucu banget, sih...” Dia ambil kentang goreng satu, terus ngegigit burgernya pelan. Tapi makin lama, dadanya terasa aneh. Ada sesuatu yang ngganjel di tenggorokan. Matanya mendadak panas. Dia nunduk. Nggak ngerti kenapa. Air matanya jatuh begitu aja. Padahal dia nggak ngerasa sedih. Tapi juga nggak bahagia. Lebih ke... kosong. Atau... rindu. Rindu siapa? Dia nggak tahu. Yang dia tahu, waktu liat Ola ketawa sambil kibas-kibas rambutnya, terus kasih blush-on ke temennya, ada sesuatu di dalam hatinya yang kayak diketuk. Pelan. Tapi dalam. ••• Beberapa menit kemudian, Bara berdiri. Dia keluar dari Mekdi bawa kantong kertas berisi dua kotak Happy Meal—entah buat siapa. Mungkin buat kucing di rumah. Mungkin buat dia sendiri malam ini. Dia turun ke parkiran basement sambil buka kunci mobil dari remote. “Aduh... untung belum telat!” suara wanita terdengar dari arah samping. Seorang wanita, cantik, langsing, rambut hitam sebahu, mengenakan kaos putih dan rok span abu-abu. Dia turun dari mobil dengan panik sambil menenteng tas dan map kertas. Langkahnya cepat, setengah lari. Tumitnya berdetak di lantai semen parkiran. Bara otomatis nengok. Matanya membelalak. Jantungnya... deg. Wanita itu... Wajahnya... Langkahnya... Ada sesuatu dalam dirinya yang kayak ditarik mundur, ke tempat yang belum dia ingat. Tapi rasanya hangat dan familiar. Dia ngikutin arah wanita itu berjalan—sampai perempuan itu masuk ke dalam Mekdi lewat pintu samping. Bara buru-buru mau nyusul. Tapi dia terhenti di balik dinding kaca. Pandangan matanya terhenti. Dari tempatnya berdiri, dia bisa liat bagian dalam Mekdi dengan jelas. Dan di sana, ada seorang pria berjongkok dan merentangkan tangan. “Nola... sini, sayang!” teriak pria itu. Ola langsung lari, tertawa kecil, dan melompat ke pelukan pria itu. Bara membeku. Hatinya ngilu. Matanya nyari-nyari si wanita tadi. Dan... di situ dia. Berdiri di belakang pria itu, senyum hangat sambil ngerapihin isi tas kecil Nola yang warnanya mencolok banget. Wanita itu sibuk nyusun tisu, botol minum, dan boneka kecil. Sekali-sekali dia cek rambut Nola, terus kasih kunciran baru. “Cantik...” Itu kata pertama yang muncul di kepala Bara. Tapi bukan karena wajah wanita itu yang cantik. Tapi karena dia terlihat... utuh. Seperti bagian dari cerita yang lama hilang. Bara melangkah mundur. Dadanya sesak. Tangannya ngegenggam kenceng kantong McD sampai kertasnya bunyi. “Ola...” bisiknya. Dia melirik kembali ke arah keluarga kecil itu. Wanita itu menyentuh pipi pria yang tadi manggil Nola. Bara merasakan gelombang rasa asing mengempas ke kepalanya. Panas. Nyeri. Seolah ada kenangan yang mau keluar dari lubang kecil tapi nggak bisa. Dia pengen teriak. Pengen lari ke arah mereka dan bilang, “Kamu kenal aku kan? Kita pernah saling kenal, kan?” Tapi langkah kakinya... berat. Dia cuma bisa berdiri di balik kaca. Seperti orang asing. Yang nggak diundang masuk ke dunia itu. Dia menunduk. Lalu perlahan berbalik, jalan ke arah mobilnya. Tanpa sadar, jepit rambut pink kecil itu masih ada di sakunya. Dan di dalam mobil untuk pertama kalinya, Bara menangis tanpa bisa tahan dan dia mulai tau sesuatu alasan. “istriku,” ucap Bara dengan air mata. Bara berkendara dan mulai memikirkan apa yang ia rasakan saat ini. Ia tampak kesal sambil memukul setir mobilnya. “Nola... Ola?! Nola... Ola?! Itu nggak asing. Aku tahu! Aku tahu itu siapa! istri aku! Dan wanita tadi… dia mirip banget sama Dina? Dena? Ah, shit!” geram Bara, frustrasi terhadap dirinya sendiri. Menjelang malam, Bara duduk di balkon kamarnya. Ia menikmati segelas kopi hitam sambil melamun memikirkan Nola. “Nola... Ola. Aku coba tanya Mama,” gumamnya, lalu beranjak dari sofa dan keluar dari kamar untuk menemui ayah dan ibunya. ••• “Hai... gimana hari pertama di sini? Gimana kantor?” tanya Martha sambil tersenyum di ruang tv. “Kantor bagus, hari ini bagus, dan... aku mau tanya sesuatu, Ma, Pa,” ucap Bara serius. Ia mengacak rambutnya lalu bersandar pada sofa. “Soal apa?” tanya Sastro sambil menurunkan lensa kacamatanya. “Nola... Ola. Aku tahu aku pernah punya seseorang dalam hidupku, Ma, Pa,” kata Bara. Martha menoleh pada Sastro. Sastro mengusap-usap hidungnya. “Maksudnya kamu? Kamu ngomong apa sih?” tanya Martha sambil tersenyum dan melipat kedua tangannya. “Aku... aku pernah nikah, kan?” tanya Bara pada kedua orangtuanya.Martha terlihat bersedih. Ia merasa bahwa Bara telah berubah. "Kamu kenapa ngomong gitu sama Mama? Mama ini yang melahirkan kamu, mana tega Mama bohong? Mama adalah orang yang merawat kamu, jadi Mama tau banget apa aja yang terjadi sama kamu. Kalau kamu memang merasa Mama ini banyak salah atau menyimpan kebohongan... Mama nggak marah. Mama tetap sayang sama kamu dan doakan kamu mendapatkan yang terbaik." Martha meninggalkan kamar itu. Ia menutup pintu dengan perlahan, lalu melangkah menuju kamar utamanya. Bara tampak menyesali apa yang baru saja ia ucapkan—jika itu menyakiti ibunya. Namun, hati kecilnya meyakini kalau dia memang telah menikah dengan Dona, dan Nola adalah buah cinta mereka yang dulu pernah bersama. Ia termenung, membiarkan pikirannya kembali menelusuri memori lama. Bara mengingat semuanya—kapan pertama kali bertemu Dona, masa-masa kuliah, tempat makan favorit mereka, bahkan momen kecil yang tampak remeh tapi membekas dalam hati. "Papa Wira sama Mama Ella... iya!
Seketika Rangga berbalik arah dan menampar wajah Dona dengan keras. "Ah!" Dona menjerit pelan, menutup wajahnya dengan tangan. Bara melihat semuanya dari dalam rumah. Tangannya mengepal. Ia ingin keluar, ingin menghajar lelaki itu, tapi ia tahu ini bukan waktunya. Rangga berlalu pergi dengan mobilnya, suara mesinnya meraung tajam sebelum menghilang di tikungan. Dona berdiri gemetar. Air matanya tumpah. Ia merasa hancur. Bara segera menghampiri. Dona mundur, merasa malu, ingin melarikan diri dari pandangan pria itu. Namun Bara menahan langkahnya. Ia menarik Dona ke dalam pelukan. Dona menangis dalam pelukannya. Tak ada kata yang bisa menjelaskan rasa hancurnya. Dan untuk pertama kalinya... ia merasa aman. ••• Sadar akan statusnya sebagai istri orang lain, Dona menyeka air matanya dan perlahan melepaskan pelukan Bara. "Maaf, Pak. Nggak pantas buat saya melakukan ini," ucap Dona sambil berusaha tersenyum, meski matanya masih basah. "Saya yang minta maaf. Tapi saya c
Nola yang baru saja berganti pakaian, terkejut melihat ibunya digendong Bara. “Mama? Mama kenapa? Om, Mama sakit ya?” tanya Nola cemas. “Mungkin Mama kamu capek. Kita jagain Mama kamu, ya. Kamu punya aroma terapi? Healer gitu?” tanya Bara lembut. “Ada! Sebentar, Om!” kata Nola yang segera berlarian menuju kamar. Bara memegangi tangan Dona. Ia tampak khawatir, menyentuh pipi wanita itu perlahan, lalu mengecup tangannya penuh sayang. ••• Di ruang kerja Martha — percakapan telepon: “Saya minta tolong semuanya benar-benar beres! Bersih! Anak saya sudah mulai ingat masa lalu!” seru Martha dengan nada panik dan tajam. “Baik, Ibu Martha. Kami sudah melakukan penghapusan bukti surat menyurat, akta pernikahan, dan kelahiran bayi. Semuanya sudah kami hilangkan. Tim Anda sangat profesional dalam hal ini,” ucap pria di seberang telepon dengan nada tenang. “Kalau sampai dia dapatkan data itu, saya nggak segan bikin kehancuran buat kalian semua,” desis Martha penuh ancaman. •••
“Iya, temen mama juga. Jadi Uncle punya dua temen yang cantik, nih,” kata Bara sambil tersenyum. Nola langsung memeluknya erat lagi. Dona mendekat dan terlihat bingung melihat kedekatan Bara dan Nola. “Mama, ini sih temen aku, tau nggak? Uncle ini temen baru aku,” ucap Nola sambil tersenyum dan menyibakkan rambutnya ke belakang. “Kok bisa? Kenal di mana?” tanya Dona sambil mengernyitkan dahi. Bara membuka pintu mobil untuk dua orang yang ia cintai, lalu perjalanan pun dimulai. “Uncle... aku panggil Om aja, ya. Dan jangan kasih tau mama kalau kita temenan duluan,” bisik Nola ke telinga Bara. Namun, Dona mendengarnya dan tertawa kecil. “Oke, ini rahasia kita berdua. Mama nggak boleh tahu,” ucap Bara sambil tersenyum, lalu mencium pipi gempal Nola. “Hah?! Aku dicium?! Ih... harusnya aku dandan dulu, tau nggak!” seru Nola yang langsung sibuk membuka tas sekolah dan mengobrak-abrik isinya, mencari alat makeup mini. Dona dan Bara tertawa melihat tingkah anak mereka.
“Oh ya, itu tujuan saya, karena sesuai dengan basis pendidikan terakhir saya,” jawab Dona, kini lebih bersemangat. “Oke,” ucap Bara singkat. “Oke? Oke doang?” tanya Dona, masih bingung. “Iya. Kamu kerja. Mulai kapan aja, suka-suka kamu. Hari ini siap?” “Hari ini sih saya bukan nggak siap, tapi harus jemput Ola di sekolah. Maaf ya kalau kedengarannya nggak profesional. Tapi besok saya bisa atur, karena kakek neneknya udah siap jaga Ola,” jelas Dona jujur. “Nggak masalah. Kamu bawa anak ke kantor pun boleh,” jawab Bara santai. “What? Jangan deh, Pak. Kecuali memang kebetulan banget nggak ada yang jaga, mungkin baru saya bawa. Tapi sebisa mungkin saya usahakan nggak,” ucap Dona cepat. “Nggak masalah. Bawa aja. Nggak ada yang bisa larang kamu bawa anak,” ucap Bara sambil tersenyum, menatap istrinya yang masih kaku tapi berusaha tenang. “Oke... oke deh. Nanti saya bawa Ola kalau memang mendesak,” jawab Dona. Bara kembali mengantar Dona keluar dari ruangannya, lalu bersama
“Oh, oke. Siap, Mas,” balas Dona sambil tersenyum. Sedikit lega—setidaknya ada kepastian. Dona pun beranjak dari sofa ruang tunggu, melangkah menuju lift. Saat pintu lift terbuka, ia masuk dengan tenang. Tubuhnya berdiri tegak. Jari telunjuknya menekan tombol “G” dan tombol penutup pintu. Namun, belum sempat pintu lift menutup sepenuhnya, sebuah tangan menahannya dari luar. Pintu terbuka kembali. Refleks, Dona sedikit mundur memberi ruang. Bara—pria itu—masuk ke dalam lift dengan langkah mantap. Ia menekan tombol penutup pintu lift, lalu menatap lurus ke depan... Sampai matanya tak sengaja menangkap bayangan di sampingnya. Sekejap... Napasnya tercekat. Sosok yang selama ini ia cari... kini berdiri hanya beberapa sentimeter darinya. ••• Bara menoleh ke arah wanita cantik yang telah lama ia cari. Tangannya sedikit gemetar, seolah hendak menyentuh tangan lembut itu. Tapi ia tahan—ia hanya memandang. Dona merapikan rambutnya, lalu menoleh ke arah Bara. Ia tersenyum