Share

Bab 6: Memata-matai Suami Sendiri

Tiga hari berlalu setelah pertemuanku dengan Sarah. Tak ada yang berubah dari Mas Bagas. Hanya janji dan janji saja yang terus ia berikan. Aku pun sudah tak lagi merayu bahkan memancingnya. Kami sibuk dengan aktivitas masing-masing. Mas Bagas dengan pekerjaannya, sementara aku mengurus butik yang beberapa minggu terakhir jarang kukunjungi. 

"Mas, aku mau ke butik. Aku ikut bareng kamu, ya," ucapku sembari membenarkan letak jilbab di depan sebuah cermin berukuran lebar di dalam kamar. 

"Lho, Mas pakai motor, Dik."

"Nggak pa-pa. Lagian jalannya juga searah. Aku sedang malas nyetir." Aku membuat alasan. 

"Nanti kamu pulangnya gimana? Mas mana bisa antar pulang." Mas Bagas masih menolak. 

"Aku tunggu Mas pulang sore nanti."

"Wah, hari ini Mas agak telat pulangnya. Ada ketemu klien."

Aku melirik Mas Bagas. Dia sedang memasukkan laptop ke dalam tas kerja. 

Mas Bagas memang jarang mengendarai mobilnya ke kantor. Dia lebih senang memakai motor dengan alasan kalau terjebak macet, enak menyelip di antara antrean yang panjang. 

"Mas berangkat, ya, Sayang. Kamu hati-hati di jalan. Jangan ngebut. Ketemu nanti malam, Sayang."

Lelaki itu mengecup keningku, lalu berlalu dari kamar. Aku bergegas beranjak mendekati jendela kamar dan mengintip ke luar. Lelaki itu sedang memakai helm dan bersiap-siap berangkat. Tak menunggu lama, aku meraih tas slempang yang tergeletak di atas tempat tidur dan bergegas keluar kamar. Taksi online yang telah kupesan setengah jam lalu sudah hampir tiba. 

Aku menunggu dengan gelisah di depan rumah. Mas Bagas telah berangkat beberapa menit lalu. Tak henti aku melirik jarum arloji di tangan kiri, taksi yang kupesan belum juga muncul. 

"Ck! Lama sekali!" Aku berbisik di dalam hati. 

Sepuluh menit kemudian, taksi yang kupesan tiba di depan pintu pagar. Aku bergegas menuju taksi tersebut. 

"Jalan, Pak," ujarku dengan perasaan tak menentu. 

"Kita ke mana, Mbak?" tanya sang sopir. 

"Ke kantor advertising di jalan Thamrin."

Awalnya aku ragu untuk memata-matai Mas Bagas. Namun, melihat dia menolakku tadi untuk berangkat bersama, rasa ingin tahuku pun semakin melonjak. Ada apa dengan suamiku? Hal besar apa yang sedang ia sembunyikan? 

"Baik." 

Taksi yang kutumpangi pun melaju perlahan. Tak bisa mengebut karena kondisi jalan raya agak ramai. Pikiranku berkecamuk tak menentu. Rasa gundah dan was-was bercampur aduk. Bagaimana jika nanti ketahuan? Apakah Mas Bagas akan sangat marah? 

"Pak, berhenti di sini aja. 

Satu jam kemudian kami pun tiba. Aku tak mau menjadi sorotan. Sengaja aku meminta sang sopir menghentikan taksi agak berjarak dari kantor tempat Mas Bagas bekerja. 

" Gimana, Bu?" Sopir kembali bertanya. 

"Sebentar. Nanti saya bayar lebih."

Aku memilih tetap duduk di dalam. Pandanganku tak henti mengarah ke pintu gerbang kantor Mas Bagas. Tiba-tiba aku mendadak bingung. Hanya memantau dari dalam mobil saja, kurasa sungguh tak mungkin. Lalu? Apakah aku harus menemui suamiku di kantornya. Sampai kapan aku menunggu tak pasti di dalam mobil seperti ini? 

Beberapa menit berlalu. Rasa serba salah menyelimuti kalbu. Ingin pergi juga tak mungkin. Kepalangmerahan basah, aku harus segera mengambil tindakan. Kuputuskan untuk menghubungi Mas Bagas. 

"Iya, Sayang. Kamu sudah di butik?" Suara Mas Bagas terdengar dari seberang telepon. 

"Sudah, Mas. Tiba-tiba aku kangen kamu." Aku menjawab sekenanya.

"Mas juga kangen. Padahal baru juga satu jam nggak jumpa." Mas Bagas menimpali bersamaan dengan suara kekehan khasnya. 

"Nanti aku jemput makan siang, ya, Mas."

"Nggak usah, Dek. Mas sudah janji makan siang sama klien. Besok saja, ya."

Aku pun memutuskan panggilan telepon secara sepihak. Oke, Mas! Klien memang lebih penting bagimu. Selama ini aku terus memperhatikan jika rumah tangga kita hanya kamuflase semata. Entah apa tujuanmu menikahiku. Sungguh aku tidak bisa membaca isi pikiran serta hatimu. 

Dalam keadaan kecewa, aku meminta pak sopir agar segera meninggalkan lokasi tempat kami berhenti. Baru juga taksi yang kutumpangi hendak melaju, di depan sana aku melihat Mas Bagas keluar dari halaman kantor menggunakan sepeda motornya. Dia memakai tas ransel yang berisi laptop miliknya. Mau ke mana dia? 

"Pak, ikuti sepeda motor itu, Pak. Buruan. Jangan sampai hilang jejak."

Darahku berpacu dengan napas yang memburu. Hatiku pun ikut berdebar tak menentu. Aku menebak-nebak hendak ke mana gerangan tujuan Mas Bagas. Namun, pikiranku seakan buntu. Fokusku saat ini hanya tertuju pada satu titik, jangan sampai kehilangan jejak suamiku sendiri. 

Mas Bagas tidak akan curiga. Wajarkan di jalan besar banyak taksi yang lalu lalang? Sehingga taksi yang kutumpangi dengan mudah berada di belakang sepeda motor Mas Bagas yang melaju sedang. Jarak kami tidak terlalu dekat, akan tetapi dari dalam mobil, aku bisa melihatnya dengan jelas. 

"Pak, berhenti di sini."

Buru-buru aku menghentikan sang sopir. Sepeda motor Mas Bagas sudah berhenti di depan kami. Sepertinya dia hendak berbelok.

Ah! Sebentar! 

Itu, kan, penginapan. 

Kenapa Mas Bagas mengunjungi penginapan tersebut? 

"Pak, maju sedikit mobilnya."

Pak sopir mengangguk mengikuti perintah. Kini, taksi yang kutumpangi tepat berada di depan penginapan tersebut. Masih bisa kulihat Mas Bagas sedang memarkirkan sepeda motornya, lalu berjalan ke arah pintu masuk dan menghilang di balik pintu tersebut. 

Aku meraih ponsel dan menghubungi Mas Bagas kembali. Tak perlu menunggu lama, panggilan dariku segera bersambut. 

"Iya, Sayang."

"Mas ngapain di  .... " Ucapanku terputus. Aku cepat menyadari agar tak terlalu terburu-buru. Sebaiknya berpura-pura tidak tahu keberadaan lelaki itu sekarang adalah lebih baik. 

"Gimana? Suara kamu terputus, Dek."

"Oh, Mas lagi sibuk?"

"Iya. Mas mau ketemu klien. Nanti Mas telepon lagi, ya. Love you!"

Kali ini Mas Bagas memutuskan panggilan telepon. Hatiku berdenyut nyeri. Pasti ada yang tidak beres. Aku yakin itu. Katanya hendak bertemu klien, tapi kenapa di penginapan? Atau mungkinkah jika kliennya Mas Bagas menginap di penginapan tersebut? 

Pikiranku semakin kalut. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya jika Mas Bagas akan berkhianat. Namun, jika semua belum terbukti, aku tak berhak menuduh suamiku sendiri. 

"Ya Tuhan. Bantu aku. Apa lagi yang harus kulakukan?" Aku berbisik dalam hati. 

***

Setelah satu jam menunggu, tak ada tanda-tanda Mas Bagas akan keluar dari penginapan tersebut. Tak ada pilihan lain, aku keluar dari mobil dan bergegas menuju penginapan. Di depan meja resepsionis, aku menanyakan keberadaan Mas Bagas pada seorang wanita muda yang menyambutku dengan senyuman hangatnya. 

"Tamu atas nama Bagas Prakarsa ada di kamar Melati, nomor 25," ucap sang resepsionis ramah. 

"Bisa tolong antarkan saya ke sana, Mba. Saya istrinya."

Resepsionis muda itu mengangguk. Kemudian dia memanggil seorang lelaki yang mengenakan seragam senada dengan wanita muda tersebut. Kutaksir usia mereka tak terpaut jauh. Sang resepsionis wanita meminta temannya untuk mengantarkanku menuju kamar Mas Bagas. 

Detak di dada semakin bertalu. Keringat dingin membasahi pelipis serta telapak tangan. Aku benar-benar gugup. Sejak tadi aku merapal doa di dalam hati, semoga Mas Bagas tidak melakukan pengkhianatan dalam rumah tangga kami. 

"Silakan, Mba." Suara resepsionis lelaki itu membuyarkan lamunanku. Ternyata kami sudah tiba di depan kamar Mas Bagas. 

"Eh, iya. Makasih, Mas."

"Mari, Mba. Saya tinggal dulu." Sang resepsionis itu pun berlalu dari depanku. Tinggallah aku yang sedang terpaku di depan kamar penginapan. Berusaha mengatur napas serta emosi yang sedang tak stabil. Berulang kali aku mengucapkan istighfar di dalam hati. 

Aku memantapkan diri untuk mengetuk pintu kamar tersebut. Hingga beberapa kali ketukan, pintu kamar tak urung terbuka. Ke mana suamiku? Sedang apa di dalam sana? 

Kembali aku mengetuk pintu. Hingga tiga kali ketukan dan tiba-tiba pintu terbuka. 

"Hanum?"

Mas Bagas tampak kaget. Dia berdiri di depan pintu dalam kondisi bertelanjang dada. Hanya selembar handuk putih yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Aku pun tak kalah kaget melihat kondisinya. Apa yang baru saja dilakukan Mas Bagas? 

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sri Minarni
pasti Bagas selingkuh, lanjut thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status