"Bu, ijab kabul akan dilangsungkan minggu depan. Bagaimana menurut ibu, apa Amira sebaiknya hadir di pernikahanku nanti?" Ujarku pada ibu.
"Tidak usah. Hadirnya dia akan memperkeruh keadaan. Aku tak ingin acara pernikahan kalian di rusak olehnya. Apalagi Yoona, anak itu tumbuh menjadi anak yang sangat tidak sopan."Komentar ibu terhadap Yoona sangat aku benarkan. Yoona memang demikian adanya. Dia pembangkang, tidak punya sikap sopan sedikitpun."Tidak ada jalan lain, Habib, sebaiknya kau ceraikan Amira! Dia hanya akan menjadi bebanmu dan Laila nantinya.""Menceraikan Amira?" Aku melirik ibu."Iya. Apa kau keberatan?""Tidak. Sangat tidak. Tapi Laila melarangku untuk menceraikan Amira." Jawabku.Ibu melihatku dengan heran."Melarang? Kenapa? Bukankah hidup kalian akan lebih tentram tanpa dihanggu oleh wanita strooke itu?" ucap itu."Itulah yang aku pikirkan, Bu. Tapi bagi Laila tidaklah demikian. Laila khawatir hidup Amira akan terbengkalai jika kuceraikan. Dia khawatir siapa yang akan menafkahi Amira selain aku?"Ibu terdiam."Laila, dia benar-benar wanita luar biasa. Aku salut padanya. Tak apa kau menambahkan mahar yang lebih besar padanya. Aku malu pada Pak Haji Hasbullah bila memberi mahar Laila dengan nominal terlalu sedikit. Wanita semulia Laila patutnya dihargai dengan mahar yang pantas." sambung ibu.Aku membenarkan ucapan ibu. Aku juga malu mempersuntingnya dengan mahar yang sedikit. Dia wanita alim, berilmu, pintar, penurut, lemah lembut. Fisiknya yang sungguh sempurna seolah membuatku bersanding pada bidadari sungguhan tinggi semampai, kulit bersih dan penampilan yang benar-benar membuat bangga lelaki yang mempersuntingnya. Sesempurna itu. Apakah pantas dia dinikahi dengan sederhana? Tidak. Dia makhluk idaman setiap pria di dunia ini."Ibu masih ada tabungan. Ibu saja nanti yang akan tanggung biaya resepsi. Oh iya, nanti akan kusuruh Bik Tinah agar segera membersihkan rumah kalian. Membenahi semua barang-barang Amira dan Yoona dari sana. Ibu tidak ingin Laila terganggu dan tak nyaman karena barang mereka. Kau akan mengajak Laila tinggal di rumah itu, kan?" ucap ibu."Ya, Bu. Sebelum kami membeli rumah baru." tanggapku."Kau berencana ingin membeli rumah baru?""Ya, Bu. Rumah untuk Laila."Ibu terlihat bangga mendengar ucapanku."Cita-cita yang bagus." Beliau berkomentar.Sepertinya ibu sangat senang dengan Laila. Beda sekali dengan Amira. Dulu ketika aku menikahi Amira, aku tidak melihat raut wajah ibu sesumringah ibu. Ini adalah awal yang bagus. Restu ibu bukankah hal pertama yang akan menjadi penentu suksesnya bahtera rumah tangga?Lihatlah pernikahanku dan Amira, pernikahan itu tidak mendatangkan kenyamanan, Amira terlalu membosankan. Dikaruniai anak juga ternyata anak yang sangat keras kepala. Seperti ibunya."Menurut ibu bagaimana dengan Yoona?" aku meminta pandangan ibu."Yoona?" ibu menghela nafasnya dengan durasi lebih lama."Kau mengkhawatirkan Yoona?" beliau bertanya balik."Ya, sedikit."Ibu mendekatiku."Habib, maukah kamu ibu mengutarakan sesuatu?""Tentu saja, Bu.""Dari dulu ibu mengkhawatirkan jija Yoona bukan darah dagingmu."Aku tertegun. Sebenarnya aku juga merasa begitu. Jadi aku tidak bisa menyalahkan ibu dengan perkataannya. Ada beberapa alasan yang kadang membuatku merasa sebagaimana yang ini katakan."Lihatlah muka Yoona! Adakah ia mirip denganmu, atau keluargamu? Tidak. Caranya bersikap, apakah ada seperti keluarga kita? Tidak. Postur tubuh apalagi, kau berisi sedangkan Yoona kurus begitu. Garis wajah kalian tidak ada mirip-miripnya sama sekali."Ibu benar sekali. Dari dulu aku juga berpikir begini. Tepat setelah ibu menyadarkanku."Jadi ibu rasa, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan dari Yoona. Anak itu sudah remaja. Ia tentu bisa menjaga dirinya sendiri." sambung ibu kembali."Apakah kamu ingin menghabiskan waktu untuk memikirkan Yoona yang mungkin saja bukan anakmu?""Tentu tidak, Bu.""Syukurlah. Sekarang fokuslah pada Laila, keturunan dari Laila lebih mulia daripada Keturunan dari wanita keras kepala!""Ibu bernazar, jika nanti Laila hamil dan anak yang dikandungnya laki-laki, maka ibu akan merayakannya dengan perayaan mewah, dan akan kuundang Amira, supaya Amira tahu jika Laila bisa memberimu anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan keluarga kita."YoonaInginku bersujud lebih lama, agar Tuhan memberikan jawaban atas doaku, aku sangat mengharapkan Yang Kuasa memberikan keajaiban, yaitu kesembuhan ibuku tercinta.Aku tak punya siapa-siapa lagi selain Ibu yang menyayangiku. Aku punya ayah, tapi cintanya padaku sungguh tidak lebih besar daripada cintanya terhadap Laila, wanita yang sebentar lagi menjadi istri keduanya. Aku muak pada laki-laki yang kupanggil "Ayah";tersebut. Ketika ibu sakit, dia tak berpikir bagaimana caranya agar ibu bisa sembuh, malah ia menjadikan itu sebagai alasan agar bisa menikahi Laila. Aku benci ayahku.Aku menyeka Air mata yang jatuh. Untuk sekarang ini, tidak ada yang lebih aku harapkan selain dari kesembuhan ibu. Aku melepas mukena, melipat kembali, lalu menyimpannya di sisi ibuku. "Bu," aku menggenggam tangan ibu."Ya, Nak.""Yoona pergi menjual kue dulu ya, Bu. Pagi-pagi begini biasanya agak ramai. Do'akan semoga laris ya, Bu." Aku mencium kening ibu. Beliau mengangguk.Sebagai rutinitasku di pagi
Aku memasuki ruangan dimana ibu dirawat. Cepatlah sehat, Bu. Biar kita lalui hari-hari lebih berwarna. Aku yakin Tuhan akan mengakhiri semua ujian berat ini.Disana kulihat Pak Rangga tengah berbincang dengan Dokter Albert, dokter yang menangani penyakit ibu. Kenapa Pak Rangga bisa berada di sini? "Yoona, hari ini ibumu dipindahkan ke ruangan perawatan biasa." ucap dokter Albert memberitahuku."Iyakah, Dok?" Aku sumringah."Tentu saja."Aku senang bukan kepalang dengan kabar itu. Artinya ibu ada perkembangan yang lebih baik. "Kalau begitu, aku akan membantu membawa ibu ke ruang biasa." ujarku tak sabar."Tenang, Yoona. Ibumu sudah dipindahkan sejak tadi." ucap Pak Rangga."Iya, Yoona. Tadi Pak Rangga juga turut membantu." senyum Dokter Albert.Aku terenyuh. Ditengah-tengah kesendirianku dan ibu, ternyata masih ada yang peduli. Terimakasih Tuhaan, telah mengirimkan orang-orang baik untuk kami."Kalau begitu terimakasih banyak, Pak." Aku menatap keduanya."Sama-sama.""Anak hebat, j
Dokter Albert, dokter yang menurutku benar-benar fokus merawat ibu. Selalu saja ia rela terjun langsung melihat keadaan ibu. Tidak seperti dokter lain yang biasa menggunakan jasa perawat."Yoona, hari ini ruangan ibumu pindah ke lantai dua ya. Jangan khawatir, perawat disini akan membantu memindahkan ibumu. Tugasmu, temani dan terus kasih semangat buat ibumu! Anak baik, semoga ibumu lekas sembuh." Dokter Albert berucap sambil mengembangkan senyum.Tidak beberapa lama kemudian, tiga orang perawat masuk. Satu di antara mereka menyuruhku untuk segera berkemas. "Apa nanti kami tidak kembali ke ruang ini, suster?" tanyaku."Tidak, Dek. Makanya segera kemas semua barang.""Baik, Suster." Tidak bertanya lagi, segera kutaruh semua barang ke dalam koper.Aku menuruti langkah kaki para perawat yang sedang membawa ibuku. Ibuku hanya diam dan terlihat seperti belum mampu bicara. Tadi ibu sempat pingsan kata dokter.Hingga para perawat itu berbelok ke sebuah ruangan yang lumayan besar, bersih, d
AmiraKupandangi punggung Yoona dengan rasa iba. Sebagai anak seusia kelas 2 SMA, anak itu terlalu dini untuk bisa mengurusku sejauh ini. Bahkan dia tak segan-segan menjual kue hanya untuk mencukupi keuangan kami. Aku merasakan jika Yoona memang mengharapkan kesembuhanku. Yoona, dia adalah alasan mengapa aku harus berjuang untuk tetap bertahan hidup. Aku harus sembuh dari penyakit ini. Aku harus memperjuangkan putri semata wayangku itu.Sebelumnya aku hampir saja berputus asa menghadapi kenyataan yang pahit ini. Aku pun tidak mengerti mengapa aku harus jatuh sakit di tengah-tengah himpitan ekonomi yang sedang tak baik. Boleh dikatakan Aku tak punya banyak tabungan untuk bisa kupakai berobat. Masalahnya tidak hanya sampai di sini, ketika aku berjuang untuk sembuh, justru mas habib suamiku sibuk dengan Laila. Wanita yang sejak dulu memang sering ia puji-puji. Bahkan tindakan mas habib didukung pula oleh ibunya. Dua ujian ini seolah menyergapku pada masa titik terendah. Membuatku tidak p
Yoona"Yoona, kamu nampak sedih, kenapa? Bagaimana kondisi ibumu sekarang?" Jordan menghampiriku. "Ya, ibuku lebih baik sekarang," jawabku singkat."Syukurlah kalau begitu. Aku turut senang mendengarnya," ucapnya kemudian."Kita ke kantin, yuk! Biar aku yang traktir," ajaknya.Aku menggeleng."Terimakasih, tapi aku sedang tidak lapar sekarang." jawabnya.Entahlah rasanya aku sangat tidak berselera. "Yakin tidak mau? Atau mau kubelikan lalu dibawakan kesini makanannya?"Lagi-lagi aku menggeleng."Tidak usah, Jordan! Aku beneran tidak lapar!" ucapku."Hmm.. baiklah kalau begitu. Aku tinggal dulu ya," dia tersenyum lalu melangkah meninggalkanku."Eh, Jordan! Tunggu dulu!" Sergahku cepat.Jordan sontak berhenti lalu memandangku."Kenapa?" katanya seperti heran."Menurutmu seperti apa wajahku?" tanyaku."Maksudmu?""Ah, tadi aku belum selesai bicara! Hmm, maksudku, menurutmu aku lebih mirip ibu atau mirip ayahku?" Tanyaku.Jordan tampak mengernyitkan dahi."Pertanyaanmu aneh, Yoona. Semu
Sudah dua minggu akhirnya aku terpaksa stop mengunakan skincare. Termasuk skincare paling basic sekalipun. Mas Habib sangat pelit mengeluarkan uangnya untuk itu. Tipe kulitku yang kering ini terasa semakin kusam tanpa adanya pelembab. Benar-benar aku tak memegang uang sepeserpun. Bagi seorang wanita yang terbiasa mandiri, tentu saja Ini adalah sesuatu yang sulit.Bahkan ketika aku meminta uang sedikit saja untuk membeli skin care termurah yang kuketahui, mas Habib menolak dengan halus."Uang dua Puluh ribu lebih bermanfaat kalau kita belikan bumbu dapur daripada untuk beli skin care, Sayang. Kan Mas sudah bilang sama kamu, kalau kamu tetap cantik apa adanya. Sehingga tidak perlu dipoles dengan bahan-bahan kimia buatan manusia, Aku khawatir nanti benda-benda seperti itu yang bisa merusak kecantikanmu. Tentu kamu sudah pernah lihat kan korban krim-krim yang katanya bagus itu? Aku tidak mau kalau kamu jadi korban selanjutnya." Begitulah jawaban yang ia berikan."Lagi pula, lebih baik
"Mas, aku tidak pernah melarang niatmu untuk membahagiakan keluargamu. Tapi tolong, jangan abaikan kami, Mas!" Aku berkata jujur dari lubuk hati yang paling dalam."Jadi kamu anggap aku abai? Mir, jangan jadi istri yang tidak pandai bersyukur! Kamu lihat sendiri, setiap hari kalian masih bisa makan dengan kenyang! Kalian belum pernah merasakan kekurangan. Kamu tahu itu! Aku mencukupi semuanya dengan tanpa kurang suatu apapun. Tapi sekarang kamu malah menganggapku abai. Apa maksudmu?" ujar Mas Habib."Iya aku tahu kami tidak pernah kelaparan! Tapi apa yang kami dapatkan memang sungguh benar-benar sekedar makan, tanpa memikirkan apa kandungan gizi yang kami makan. Tapi, Mas, hidup ini bukan hanya tentang bisa makan! Bahkan yang dimakanpun lseharusnya dipikirkan kelayakannya.""Jadi kamu pikir makan kalian tidak layak?" Mata Mas Habib melotot.Aku mengucapkan istighfar dalam benak ini. Sepertinya perselisihan tidak akan mudah selesai meski berdebat seharian."Sebenarnya aku hanya ingin M
Aku sedang membereskan dapur sebelum berangkat ke rumah Bu Sarah. Kulihat mas Habib sedang memperhatikanku. Entahlah apa yang dia pikirkan."Mir!" ujarnya."Ya, Mas,""Kenapa sekarang aku lihat kamu semakin kusam saja! Penampilan semakin kucel, apa kamu tidak pernah mandi? Tidak pernah wudhu? Rambutmu juga terlihat sangat kering dan berketombe begitu!" Aku tertawa lirih mendengar perkataannya. Tapi ini bukan tawa bahagia. Ini tawa yang mewakili kesedihan."Apa aku akan jadi cantik dan glowing hanya dengan mandi dan wudhu, Mas?" Tanyaku datar."Dan rambut ini kering dan berketombe karena tak cocok dengan shampo yang kamu beli, Mas! Tak ada pelembab rambut atau apa. Jadi maklum jadi kusam begini." Ketika membeli sesuatu, Mas Habib tidak pernah memberikan pilihan padaku, termasuk shampo, dia akan membeli yang termurah dan dapat lebih banyak. Tak peduli rambutku cocok atau tidak. Untuk protes, itu tidak berguna. Aku sudah mencoba, tapi dia hanya akan mengatakan aku terlalu banyak menunt