Share

Bab 7

"Bu, ijab kabul akan dilangsungkan minggu depan. Bagaimana menurut ibu, apa Amira sebaiknya hadir di pernikahanku nanti?" Ujarku pada ibu.

"Tidak usah. Hadirnya dia akan memperkeruh keadaan. Aku tak ingin acara pernikahan kalian di rusak olehnya. Apalagi Yoona, anak itu tumbuh menjadi anak yang sangat tidak sopan."

Komentar ibu terhadap Yoona sangat aku benarkan. Yoona memang demikian adanya. Dia pembangkang, tidak punya sikap sopan sedikitpun.

"Tidak ada jalan lain, Habib, sebaiknya kau ceraikan Amira! Dia hanya akan menjadi bebanmu dan Laila nantinya."

"Menceraikan Amira?" Aku melirik ibu.

"Iya. Apa kau keberatan?"

"Tidak. Sangat tidak. Tapi Laila melarangku untuk menceraikan Amira." Jawabku.

Ibu melihatku dengan heran.

"Melarang? Kenapa? Bukankah hidup kalian akan lebih tentram tanpa dihanggu oleh wanita strooke itu?" ucap itu.

"Itulah yang aku pikirkan, Bu. Tapi bagi Laila tidaklah demikian. Laila khawatir hidup Amira akan terbengkalai jika kuceraikan. Dia khawatir siapa yang akan menafkahi Amira selain aku?"

Ibu terdiam.

"Laila, dia benar-benar wanita luar biasa. Aku salut padanya. Tak apa kau menambahkan mahar yang lebih besar padanya. Aku malu pada Pak Haji Hasbullah bila memberi mahar Laila dengan nominal terlalu sedikit. Wanita semulia Laila patutnya dihargai dengan mahar yang pantas." sambung ibu.

Aku membenarkan ucapan ibu. Aku juga malu mempersuntingnya dengan mahar yang sedikit. Dia wanita alim, berilmu, pintar, penurut, lemah lembut. Fisiknya yang sungguh sempurna seolah membuatku bersanding pada bidadari sungguhan tinggi semampai, kulit bersih dan penampilan yang benar-benar membuat bangga lelaki yang mempersuntingnya. Sesempurna itu. Apakah pantas dia dinikahi dengan sederhana? Tidak. Dia makhluk idaman setiap pria di dunia ini.

"Ibu masih ada tabungan. Ibu saja nanti yang akan tanggung biaya resepsi. Oh iya, nanti akan kusuruh Bik Tinah agar segera membersihkan rumah kalian. Membenahi semua barang-barang Amira dan Yoona dari sana. Ibu tidak ingin Laila terganggu dan tak nyaman karena barang mereka. Kau akan mengajak Laila tinggal di rumah itu, kan?" ucap ibu.

"Ya, Bu. Sebelum kami membeli rumah baru." tanggapku.

"Kau berencana ingin membeli rumah baru?"

"Ya, Bu. Rumah untuk Laila."

Ibu terlihat bangga mendengar ucapanku.

"Cita-cita yang bagus." Beliau berkomentar.

Sepertinya ibu sangat senang dengan Laila. Beda sekali dengan Amira. Dulu ketika aku menikahi Amira, aku tidak melihat raut wajah ibu sesumringah ibu. Ini adalah awal yang bagus. Restu ibu bukankah hal pertama yang akan menjadi penentu suksesnya bahtera rumah tangga?

Lihatlah pernikahanku dan Amira, pernikahan itu tidak mendatangkan kenyamanan, Amira terlalu membosankan. Dikaruniai anak juga ternyata anak yang sangat keras kepala. Seperti ibunya.

"Menurut ibu bagaimana dengan Yoona?" aku meminta pandangan ibu.

"Yoona?" ibu menghela nafasnya dengan durasi lebih lama.

"Kau mengkhawatirkan Yoona?" beliau bertanya balik.

"Ya, sedikit."

Ibu mendekatiku.

"Habib, maukah kamu ibu mengutarakan sesuatu?"

"Tentu saja, Bu."

"Dari dulu ibu mengkhawatirkan jija Yoona bukan darah dagingmu."

Aku tertegun. Sebenarnya aku juga merasa begitu. Jadi aku tidak bisa menyalahkan ibu dengan perkataannya. Ada beberapa alasan yang kadang membuatku merasa sebagaimana yang ini katakan.

"Lihatlah muka Yoona! Adakah ia mirip denganmu, atau keluargamu? Tidak. Caranya bersikap, apakah ada seperti keluarga kita? Tidak. Postur tubuh apalagi, kau berisi sedangkan Yoona kurus begitu. Garis wajah kalian tidak ada mirip-miripnya sama sekali."

Ibu benar sekali. Dari dulu aku juga berpikir begini. Tepat setelah ibu menyadarkanku.

"Jadi ibu rasa, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan dari Yoona. Anak itu sudah remaja. Ia tentu bisa menjaga dirinya sendiri." sambung ibu kembali.

"Apakah kamu ingin menghabiskan waktu untuk memikirkan Yoona yang mungkin saja bukan anakmu?"

"Tentu tidak, Bu."

"Syukurlah. Sekarang fokuslah pada Laila, keturunan dari Laila lebih mulia daripada Keturunan dari wanita keras kepala!"

"Ibu bernazar, jika nanti Laila hamil dan anak yang dikandungnya laki-laki, maka ibu akan merayakannya dengan perayaan mewah, dan akan kuundang Amira, supaya Amira tahu jika Laila bisa memberimu anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan keluarga kita."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status