"Istri Deri yang datang cuma satu ya?"
"Iya, mungkin yang satu lagi di jalan. Dia kan ada di Jakarta," Percakapan ibu-ibu itu begitu mengejutkanku. Jantungku seolah berhenti sejenak mendengar sepotong percakapan ibu-ibu yang berada tidak jauh dariku. Aku mencoba untuk tetap tenang, namun bayangan dan perasaan yang muncul dari kata-kata tersebut langsung mengganggu pikiranku. Dan percakapan ibu-ibu barusnya kembali mengulik hati dan juga perasaanku, mengenai pertanyaan ibu tadi yang menanyakan, aku istri Deri ya keberapa. Padahal aku tahu, aku satu-satunya istri Mas Deri. Dan ibu-ibu tersebut sekarang diam seribu bahasa ketika melihat keberadaan aku, yang ada mengukir senyum padamu. Kemudian berlalu pergi sambil membicarakan sesuatu, tapi kali ini aku tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Di tengah kegundahan karena pertanyaan dan juga percakapan ibu-ibu tadi, aku tetap melangkah dengan menggendong Lili, putri kami yang sedang sakit. Berjalan menuju rumah mertuaku, yang kini terasa begitu sunyi. Keheningan rumah itu kontras dengan keramaian yang sebelumnya ada. Hanya ada beberapa kerabat dekat Mas Deri yang tersisa di rumah. Setibanya di teras rumah, Mas Deri menyambutku dengan perhatian yang tulus. "Diana, Lili sudah tidak panas lagi kan?" tanyanya dengan khawatir, dan memeriksa putri kami yang tertidur lepas di gendonganku. "Alhamdulillah sudah mendingan, Mas." jawabku sambil menatap wajah Mas Deri, pria yang sangat aku cinta, karena memang Mas Deri adalah suami yang sangat baik. Namun, perasaan cemas tentang pertanyaan dan perbincangan ibu-ibu tadi mengenai Mas Deri belum juga hilang dari benakku. Aku ingin bercerita kepada Mas Deri tentang apa yang aku dengar tadi. Tentang pertanyaan ibu-ibu itu yang terus menghantuiku. Tetapi aku terdiam sejenak, merasakan kenyamanan dalam perhatian kecil Mas Deri saat mengelus kepalaku, yang tertutup kerudung. "Kamu lelah, kalau iya istirahat di kamar," kata Mas Deri lagi. Perhatian kecil darinya selalu membuat hatiku merasa nyaman, meskipun aku tahu dia pun sedang berjuang dengan perasaan dukanya setelah kepergian mendapat bapak mertuaku. Aku mengangguk dan mengikuti Mas Deri menuju kamar. Setelah menidurkan Lili yang masih tertidur pulas, aku duduk di samping Mas Deri, berusaha mencari kata-kata untuk membicarakan hal yang mengganjal di hati ini. "Mas," panggilku. Mas Deri menatap padaku sambil mengukir senyum, senyum yang selalu terukir dari bibirnya. Dan senyum yang membuat aku selalu nyaman bersama Mas Deri. "Ada apa Diana?" tanyanya. Namun, saat aku hendak membuka pembicaraan, Mas Deri meminta izin untuk mengangkat telepon yang masuk di ponselnya. "Diana, aku angkat telepon dulu. Nanti kita bicara lagi," ucapnya. Aku hanya mengangguk pelan, meski hatiku masih penuh dengan rasa penasaran yang mengganjal. Mas Deri pergi meninggalkan aku sendiri di kamar. Kesendirian itu semakin memperkuat keraguan dalam hatiku. Aku tak bisa menahan rasa ingin tahu. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ada sesuatu yang belum aku ketahui tentang Mas Deri? Apakah mungkin ada bagian dari hidupnya yang selama ini tersembunyi dariku? "Tidak," ucapku menepis pikiran negatif yang tiba-tiba melintas di benakku. "Aku harus cerita pada ibu mengenai perkataan ibu-ibu tadi." Aku tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk mengungkapkan rasa cemasku kepada ibu mertuaku. Keadaan sedang tidak mendukung, dan aku tidak ingin menambah beban di tengah suasana duka. Namun, rasa ingin tahu itu semakin membesar. Seharusnya, aku bisa menahan diri dan mempercayai suamiku sepenuhnya. Tetapi, percakapan ibu-ibu itu terus mengganggu pikiranku. Aku mulai bertanya-tanya, apakah aku terlalu overthinking atau memang ada hal yang tidak aku ketahui tentang suamiku? Entah mengapa, rasa ragu itu terus hadir di pikiranku. Dan akhirnya aku keluar dari dalam kamar untuk bicara pada ibu mertuaku. Bersambung....Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kampung halaman Mas Deri, setelah mendengar kabar duka atas kepergianya, setelah sekali lama aku tidak mendengar kabarnya. Perjalanan menuju kampung halaman Mas Deri kali ini adalah perjalanan yang penuh dengan campuran perasaan. Meski sudah cukup lama aku tidak mendengar kabar darinya, kabar duka atas kepergiannya membuatku merasa harus hadir di sana. Mas Deri bukanlah orang asing bagiku, dia adalah mantan suami, ayah dari Lili, dan seseorang yang pernah aku cintai. Meskipun hubungan kami sudah berakhir, kenangan bersama Mas Deri tetap ada, dan aku merasa bahwa aku perlu memberikan penghormatan terakhir padanya. Aku juga memutuskan untuk membawa Lili, meskipun awalnya dia enggan ikut. Lili masih cukup kecil dan mungkin tidak sepenuhnya mengerti mengapa kami harus pergi ke kampung halaman Mas Deri, tapi aku merasa penting baginya untuk hadir. Apalagi, meskipun hubungan kami tidak lagi bersama, Mas Deri tetaplah ayahnya. Tidak ada ala
Hari ini adalah tepat dua tahun yang lalu, aku dan Mas Deri memutuskan untuk berpisah. Sejak saat itu, hidupku berubah drastis, namun aku merasa cukup bahagia dan puas menjalani kehidupan sebagai orang tua tunggal untuk putriku, Lili. Dalam waktu dua tahun ini, aku telah belajar untuk menjadi lebih mandiri dan kuat, meskipun tentunya ada banyak tantangan yang harus kuhadapi. Aku merasa cukup bangga melihat putriku tumbuh menjadi seorang anak yang ceria, cerdas, dan penuh semangat.Hari ini juga menjadi hari yang penuh makna, karena Lili akhirnya memulai perjalanan barunya di sekolah dasar. Ini adalah langkah besar dalam hidupnya. Aku tahu betapa pentingnya momen ini, dan meskipun perasaan campur aduk melanda hatiku, aku merasa sangat bersemangat untuk mengantarnya ke sekolah untuk pertama kalinya. Sebagai orang tua tunggal, aku merasa bahwa aku tidak boleh melewatkan momen-momen penting dalam kehidupan Lili. Sebelum kami berangkat, aku memastikan untuk memberikan dukungan penuh a
Aku tidak menjawab pertanyaan dari Rehan, karena aku sendiri juga terkejut melihat mas Deri. Mas Deri, yang memiliki segalanya, kini aku melihat dia menjadi pemulung.Begitu malang nasibnya. Meskipun aku berusaha keras untuk melupakan segala kenangan bersama Mas Deri, kenyataan yang ada di depanku ini membuat semuanya kembali mengingatkan aku pada masa-masa masih bersama Mas Deri.Jujur setelah Lili ikut bersamaku, kehidupan kami berdua jauh lebih tenang. Namun, di sisi lain, hubungan dengan Mas Deri semakin renggang. Meskipun beberapa kali dia datang ke rumah Rina untuk menemuiku, aku tidak sekali pun memberinya kesempatan untuk berbicara denganku. Aku benar-benar menghindarinya. Begitu juga dengan telepon dan pesan yang seringkali dia kirim, aku memilih untuk tidak membalas. Aku merasa bahwa hubungan kami sudah berakhir, dan aku tak ingin kembali ke masa lalu yang penuh dengan kepedihan itu.Tapi sekarang, melihat Mas Deri yang sudah jauh berubah, aku merasa prihatin.Melihatnya m
"Rin, kamu diam saja bisa tidak." ucap Rehan pada sang adik yang hampir saja memberi tahu Diana, tentang pekerjaan aslinya.Tentu saja Rehan berbicara, saat Diana dan juga Lili sedang mencoba permainan lain di wahana permainan yang mereka kunjungi."Mas, ngapain sih di tutup tutupi dari Mbak Diana, cepat atau lambat pasti Mbak Diana tahu kalau Mas ini sebenarnya bukan tukang bangunan, tapi pengusaha properti yang sukses." ucap Rina, dirinya benar-benar heran kenapa sang kakak, yang tidak ingin memberi tahu Diana jika dia adalah seorang pengusaha properti.Namun, Rehan tidak ingin menjawab pertanyaan dari sang adik."Eh malah diam." ujar Rina. "Dan kapan, Mas Rehan mau bilang sama Mbak Diana. Kalau Mas Rehan masih suka sama dia."Rehan menatap pada Rina, setelah mendengar apa yang dikatakannya."Mas jangan bohong, aku tahu Mas tuh masih suka sama Mbak Diana. Dan sekarang saatnya Mas mengungkapkan perasaan Mas pada Mbak Diana, sebelum ada orang lain yang mendekati Mbak Diana." saran Rin
"Diana, aku butuh kamu dalam hidupku, Diana," ucap Mas Deri, masih bersujud di depanku. Suaranya penuh dengan kesedihan dan harapan yang begitu mendalam. Aku tidak tahu harus berkata apa, dan lebih memilih untuk diam, seakan membiarkan waktu yang berbicara. Sungguh, aku sudah lelah dengan segala kenangan tentang Mas Deri. Kenangan yang dulu begitu indah, dan berakhir dengan kesedihan.Aku memilih untuk beranjak dari dudukku, meninggalkan Mas Deri yang masih bersujud dengan penuh penyesalan. Saat aku berbalik, pandanganku langsung bertemu dengan Rehan, yang sejak tadi berdiri dengan ekspresi tegas di wajahnya. Rehan sepertinya bisa merasakan kegelisahanku, dan dia tahu betul bahwa kehadiran Mas Deri di sini bukanlah sesuatu yang kuinginkan.Rehan kemudian mendekati Mas Deri, memberikan perintah tegas yang langsung menghentikan suasana canggung itu. "Jangan seperti ini, Der. Mending kamu keluar dari rumah ini," kata Rehan dengan nada yang jelas.Aku merasa sedikit lega, karena Rehan s
Rehan yang sedang bermain dengan Lili, kini menatap padaku setelah Rina mengatakan bahwa Mas Deri datang. Kata-kata itu seperti membawa aura tegang dalam suasana yang seharusnya ringan. Tak lama, Rehan bertanya dengan penuh perhatian padaku. "Kamu mau menemuinya?" Sebuah pertanyaan yang sungguh menggugah, namun aku bisa merasakan bahwa Rehan tahu persis apa yang aku rasakan. Dia tahu betapa sakitnya aku karena Mas Deri, tahu betapa dalamnya kecewa yang aku rasakan setelah apa yang terjadi dalam hidupku.Aku menggelengkan kepala menjawab pertanyaan itu dengan tegas. "Aku tidak ingin menemuinya, Re." Aku mencoba terdengar yakin, meskipun sebenarnya di dalam hatiku ada banyak perasaan yang bercampur aduk. Mas Deri adalah bagian dari masa lalu yang sulit untuk dihapus begitu saja, meskipun aku terus berusaha untuk melupakan segalanya.Sungguh, aku benar-benar tidak ingin bertemu dengan Mas Deri lagi. Setelah pengkhianatan yang aku alami, hatiku merasa begitu hancur. Banyak kenangan ind
Setelah kepergian pihak bank yang datang memberikan surat pemberitahuan mengenai penyitaan rumah, suasana rumah Deri dan Desi terasa sangat mencekam. Desi, yang selama ini hidup enak dengan Deri kini benar-benar terpukul. Rumah yang selama ini menjadi tempatnya berteduh bersama suaminya, kini terancam akan hilang. Ketika Desi mendekati Deri yang tampak sedang tenggelam dalam pikirannya, suasana tegang semakin terasa."Mas! Ini apa hah?!" Desi berteriak dengan nada yang penuh amarah, sambil melemparkan surat pemberitahuan dari bank ke arah Deri. Semua perasaan frustrasi dan kekesalan yang ia rasakan meledak begitu saja.Deri yang tadinya sedang memijit keningnya, mencoba untuk menenangkan diri setelah membaca surat tersebut. Namun, ia merasa sangat tertekan. Ketegangan antara mereka semakin memuncak. "Bisa tidak jangan teriak!" ujar Deri dengan nada kesal sambil menatap Desi yang masih berdiri dengan wajah penuh kekesalan. Deri mencoba untuk tetap tenang, meski hatinya bergejolak.N
Aku benar-benar kecewa dengan Mas Deri, setelah mendengar kabar bahwa Lili, putriku yang baru berusia lima tahun, kabur dari rumah Mas Deri. Dan aku yakin, Desi lah yang menjadi salah satu alasan Lili merasa tidak nyaman dan akhirnya memutuskan untuk melarikan diri, setelah aku melihat perlakuan kasar Desi kemarin pada putriku. Itu yang membuat hatiku semakin sakit dan kecewa.Saat mendengar kabar itu, aku merasa dunia ini seolah runtuh. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Lili, seorang anak kecil yang terpaksa berada di tengah situasi yang sangat membingungkan dan penuh tekanan. Aku tak ingin berdebat dengan Mas Deri, karena rasanya pertengkaran hanya akan memperburuk keadaan, jadi aku memilih untuk mencari Lili sendiri. Rehan yang selalu mendukungku dalam setiap situasi sulit, memutuskan untuk menemaniku dalam mencari Lili. Aku merasa sedikit lebih tenang karena ada Rehan di sampingku, meskipun hatiku masih penuh kecemasan.Kami berdua berkeliling di kompleks
Aku terus memikirkan Lili, putriku, hingga aku tidak sama sekali nafsu untuk makan.Pikiranku dipenuhi oleh bayangan Lili yang lemah dan kurus. Setiap kali aku menutup mata, gambaran wajahnya yang pucat dan matanya yang sendu terus menghantui. Waktu rasanya begitu lambat berlalu, dan aku hanya ingin esok datang secepatnya, agar aku bisa pergi ke rumah Mas Deri untuk bertemu Lili. Aku ingin memeluknya, memberinya kasih sayang yang selama ini tak bisa aku berikan, dan membuatnya tahu betapa aku sangat merindukannya.Saat aku masih tenggelam dalam pikiran-pikiranku, pintu kamar yang sebelumnya tertutup, kini terbuka perlahan. Tanpa menoleh, aku sudah bisa menebak siapa yang masuk. Rina yang sudah beberapa kali membujuk aku untuk makan malam, tetapi aku tak ada selera. Namun, kali ini suara yang terdengar berbeda. Itu suara Rehan, bukan Rina."Ini aku, Diana," kata Rehan, dengan suara lembut, meski aku bisa merasakan ada kekhawatiran yang samar dalam suaranya.Aku langsung menoleh dan