Share

SISA CINTA UNTUK ISTRIKU
SISA CINTA UNTUK ISTRIKU
Penulis: Dewi Jingga

Bab 1

SISA CINTA UNTUK ISTRIKU 1

"Mas, pakaian untuk kerja aku gantung, celananya ada di rak paling atas. Pakaian dalam ada di lemari laci, ya. Jangan lupa." Selalu itu-itu saja yang dia ucapkan saat sedang berdua denganku di dalam kamar.

"Hmmh." Aku hanya memberikan jawaban singkat.

"Untuk baju sehari-hari aku menyimpannya di rak kedua dari atas. Semuanya sudah aku pisahkan, untuk memudahkan kamu mencarinya kalau nanti aku lagi gak ada di rumah." Lagi, ocehan yang tidak penting yang selalu dia ucapkan.

Dulu, hal itulah yang membuatku jatuh cinta padanya. Dia selalu memperhatikanku bahkan hal-hal kecil tentang diriku. Akan tetapi, ocehan itu kini menjadi hal yang paling tidak ingin aku dengar, aku merasa jenuh, aku pikir dia sangat berlebihan.

Sebenarnya dia istri yang sempurna, segala kebutuhanku disiapkan olehnya. Dari mulai baju kantor, makanan kesukaanku, dia juga termasuk pendengar yang baik saat aku ada masalah atau saat aku mengeluh tentang kelelahan yang kualami.

Entah apa yang terjadi padaku, sehingga aku kehilangan rasa cinta untuknya.

"Kamu kebiasaan deh, Mas. Handuk basah itu harusnya langsung digantung, kalo ditaro di kasur begitu saja bisa bau dan berjamur."

Mutia langsung meraih handuk yang teronggok di pojokan kasur. Aku memang terbiasa dilayani oleh istriku Mutiara, sebelumnya dia tidak pernah protes pada apapun yang kulakukan, Mutia akan membereskan segala kekacauan yang kubuat tanpa banyak bicara.

"Kamu ini cerewet banget, biasanya juga langsung diberesin. Kenapa sekarang jadi protes?" Aku sedikit menaikan nada bicaraku.

"Maaf, ya, Mas kalau akhir-akhir ini aku lebih cerewet. Maksud Mutia sebenarnya baik, kok. Biar nanti Mas terbiasa saja," ucapnya dengan begitu lembut.

Sekilas kutatap wajahnya, wajah yang dulu selalu menjadi candu, sedikit berbeda dari pertama kali aku bertemu dengannya. Namun, tetap tidak mengurangi porsi kecantikannya.

Akhir-akhir ini Mutia lebih sering terlihat pucat dan tidak bersemangat. Namun, entah apa yang telah terjadi padaku. Aku sama sekali tidak berniat untuk bertanya apapun tentang dirinya.

Mungkin aku jenuh, karena Mutiara terlalu cerewet. Dia selalu mengingatkan hal-hal kecil tentang diriku. Mengingatkan untuk makan siang saat di kantor, mengingatkan makanan apa saja yang tidak boleh aku makan, katanya takut asam lambungku kambuh. Aku bukan anak kecil, aku tau apa yang terbaik untuk diriku.

"Mas, maaf, ya. Akhir-akhir ini aku tidak bisa melayanimu dengan baik, entah kenapa sekarang aku gampang capek dan lelah." Lagi, ucapnya terlihat merasa bersalah.

Aku tahu apa maksud dari melayani yang di ucapkannya. Karena sudah tiga bulan terakhir ini aku tidak lagi menyentuhnya. Bukan karena Mutia yang menolak, tapi karena aku tidak memintanya, aku tidak lagi berselera dengannya. Saat hormonku meningkat, maka aku akan menyelesaikannya sendiri di kamar mandi. Sambil membayangkan wajah cantik dan tubuh seksi Maura, rekan kerjaku dikantor yang saat ini sedang dekat denganku.

Padahal, dulu aku tidak tahan berjauhan dari istriku, Mutiara. Aku selalu ingin menyentuhnya, tubuh dan segala apa pun yang ada pada dirinya sangatlah memabukkan. Lalu Mutia pun akan melayaniku dengan sepenuh hatinya.

Namun, semenjak kedekatanku dengan Maura, wanita berparas cantik yang memiliki sikap lemah lembut serta keanggunan yang mampu meluluh lantahkan perasaanku, aku bukanlah lagi Putra yang dulu.

Gairah yang sebelumnya selalu terasa menggebu-gebu saat bersama dengan istriku, kini harus menguap begitu saja. Mungkin karena saat ini tubuh Mutia yang nampak lebih kurus dari sebelumnya, dia juga tidak lagi seksi seperti dulu.

Terlebih, rona di wajahnya kini telah memudar, karena Mutia lebih sering terlihat pucat dan lelah, membuatku tidak lagi tertarik padanya.

Mutia kembali menjatuhkan bobotnya di atas kasur, dia beringsut mendekatiku.

"Mas ...."

Aku melirik padanya, dia terlihat kebingungan. Entah apa yang ingin dia bicarakan.

"Kenapa?" Aku bertanya, tapi mataku tetap fokus ke layar HP.

"Emmh, tidak, aku hanya ingin lebih dekat denganmu malam ini," ucapnya parau.

Mutia sangat aneh malam itu, seperti ada yang ingin dia ungkapkan.

"Apa Mas Putra tidak menginginkan diriku malam ini?" Ini adalah pertanyaan pertamanya padaku setelah hubungan kami merenggang beberapa bulan terakhir, aku tau dia menginginkan kebersamaan denganku seperti saat sebelumnya.

"Mutia, dengar. Aku merasa pernikahan kita saat ini sangatlah hambar. Apa kamu juga merasakannya?" tanyaku intens, aku menatap matanya dalam.

"Hmmh." Sebagai jawaban Mutia hanya bergumam sembari mengangguk.

"Bolehkah aku mengajukan satu pertanyaan? Ah, tidak. Lebih tepatnya satu permintaan."

Mutia kembali menganggukan kepalanya, kini air matanya ikut berderai. Ada rasa tak tega saat aku akan mengungkapkannya, walau bagaimanapun Mutia adalah wanita yang pernah kucintai, tapi saat ini egoku lebih mendominasi.

"Beberapa waktu terakhir ini, aku kehilangan pesonamu. Rasa cintaku untukmu perlahan memudar, entah sejak kapan. Yang pasti, rasanya tidak seperti dulu. Mungkin aku terlalu kejam mengatakan ini padamu, tapi ini lebih baik bukan. Daripada aku meninggalkanmu tanpa alasan." Kini bukan hanya air mata, bahunya pun ikut berguncang. Aku tau dia terluka, karenaku.

Aku merengkuh tubuhnya, menarik Mutia ke dalam pelukan. Wanita yang dulu mati-matian aku bahagiakan, kini dengan terang-terangan aku campakan.

"Aku akan menikah lagi, dengan ataupun tanpa restumu. Terserah, kamu akan menyerah atau tetap bertahan." Sepenggal kalimat yang kuucapkan tepat di dekat telinganya.

Aku mengungkapkannya dengan suara lembut, tapi aku yakin baginya ini adalah hantaman terhebat yang aku pukulkan pada dirinya. Luka terbesar yang pernah aku goreskan pada hatinya.

Isak tangis itu perlahan memudar lalu tak lagi terdengar, hanya tersisa air mata yang kini menggenang di wajahnya.

Aku mengurai pelukan pada Mutia, kutelisik raut wajahnya. Tidak, dia tidak marah, tidak ada amarah pada wajah cantiknya. Reaksi yang diberikan Mutia hanya datar, dia tidak mengelak atas pernyataanku, apalagi bertanya kenapa aku setega ini padanya. Dia hanya diam, mengusap sisa air matanya perlahan, lalu merebahkan tubuhnya disampingku. Hanya nampak punggung yang semakin hari semakin terlihat kurus.

Aku butuh jawaban, agar aku bisa menentukan langkah apa yang harus kuambil ke depannya.

"Mutia," kupanggil namanya pelan, berharap dia akan memberikan jawaban atas permintaanku tadi.

Hening, Mutia tidak mengatakan hal apa pun. Hanya terdengar deru nafasnya dalam keheningan malam. Mungkin saat ini dia sedang marah padaku.

"Berikan jawaban itu secepatnya, aku menunggu."

Kuusap lembut lengan bagian atas milik Mutia. Entahlah, meskipun aku merasa sudah tak lagi memiliki rasa cinta untuknya, tapi berbuat kasar pun aku tak mampu. Dia wanita baik nan lemah lembut yang pernah aku kenal. Tidak akan berani aku berbuat kasar padanya.

Ini hanya soal hati, yang sudah tidak lagi terpaut padanya.

"Beri aku waktu, hanya tiga hari," ucapnya datar.

Diluar dugaanku, aku pikir dia akan marah dan menangis lalu memohon padaku agar tidak meninggalkannya. Namun, Mutia begitu tenang, entah kemana kecemburuannya yang dulu begitu besar padaku.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Isabella
mungkin Mutia sedang sakit
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Mampir baca
goodnovel comment avatar
Iin Romita
bahasa nya lembut...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status