Share

Bab 2

Malam ini kami lewati hanya dengan keheningan, tidak ada drama menangis ataupun emosi yang meledak-ledak dari istriku, Mutia.

Seharusnya aku senang, karena tidak perlu membuang tenaga untuk berdebat dengannya, tapi hati kecilku sedikit kecewa.

Reaksi yang ditunjukan mutia seolah menggambarkan bahwa dia tidak lagi takut kehilanganku. Apa dia pun sama sepertiku, tidak lagi memiliki rasa yang seharusnya ada dan menguatkan hubungan diantara kami. Ada sedikit rasa cemas yang tergambar dalam hati, batinku pun terus berkecamuk.

Sebelumnya Mutia sangat cerewet, mulutnya tidak bisa diam. Ada saja hal yang di bicarakan olehnya, tapi setelah aku mengungkapkan perihal keinginanku untuk menikah lagi, tiba-tiba reaksi yang diberikan Mutia hanya diam seribu bahasa. Dia tidak mengatakan tentang apapun lagi padaku.

Aku mengacak rambut frustasi, merasa bingung dengan yang terjadi pada diri sendiri.

Setelah merasa lelah karena sibuk berkecamuk dengan pikiranku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk tidur di samping Mutia dan menyusulnya ke alam mimpi.

******

Keesokan paginya, aku terbangun karena sebuah suara bising yang mengganggu indra pendengaran. Dahiku mengkerut, itu adalah bunyi alarm yang berdering tepat di waktu subuh.

Aku bingung, sejak kapan ada jam kecil dengan bunyi nyaring di atas nakas. Biasanya Mutialah yang membangunkanku, dia akan terus mengganggu sampai aku terbangun dan menjalankan ibadah shalat subuh.

Kuusap wajahku berkali-kali, lalu meraih jam kecil itu dan memencet tombolnya sembarang guna menghentikan suara yang memekakkan telinga itu.

Kutengok ke arah kiri, tepat pada posisi Mutia tertidur semalam. Ternyata dia tidak lagi berada di sampingku.

Aku segera terbangun untuk mencari keberadaan Mutia, hingga akhirnya aku menemukan dirinya yang sedang berada di ruang shalat.

Mutia tengah duduk bersimpuh di atas sajadah dengan kain mukena yang membalut tubuh. Dengan khusyuk dia menyembah Rabb-nya, menengadahkan tangan diiringi isakan kecil dari bibirnya yang mungil.

Mungkin dia sedang mengadukan segala keluh kesah serta kegundahan yang dia rasakan kepada pemilik dirinya.

"Kamu shalat sendirian?" tanyaku saat dia selesai dengan do'anya.

"Seperti yang kamu lihat, Mas," jawabnya tanpa menoleh padaku.

"Kenapa? Biasanya juga kamu bangunin aku untuk shalat bareng."

"Tidak apa-apa, bukankah aku harus membiasakan diriku?" Dia berkata dengan lembut, seulas senyum terbit dari bibirnya. Akan tetapi, mengapa hati ini terasa ngilu saat mendengarnya.

Mutiara melewatiku begitu saja, aku segera mengambil wudhu untuk menunaikan kewajibanku sebgai umat muslim.

Seberengsek apapun diriku, tapi untuk shalat aku tidak pernah meninggalkannya. Itu yang selalu di ajarkan oleh kedua orang tuaku. Ah, iya, jika ibu dan bapak tahu apa yang telah kulakukan pada menantu kesayangannya, maka habislah aku.

*******

Aku mengerjap beberapa kali, sinar mentari yang menelusup melalui celah gorden membuat mataku yang baru terbuka begitu silau.

Ternyata aku tidur lagi setelah melaksanakan shalat subuh, ini kebiasaanku saat libur bekerja. Aku keluar kamar dengan jalan sedikit sempoyongan dan mata yang belum terbuka sempurna.

Mencari keberadaan Mutia, adalah hal pertama yang selalu kulakukan di pagi hari. Walau hanya sekedar menanyakan hal-hal sepele.

Saat akan mandi, aku akan bertanya dimana handukku, padahal aku tau dimana letaknya. Saat akan makan, aku selalu meminta untuk mengambilkannya, padahal hidangan sudah siap di atas meja, aku hanya tinggal memindahkan ke atas piring.

Meski begitu, aku masih saja bisa berpaling darinya, aku masih bisa menyakitinya, kadang aku berpikir aku ini hanya laki-laki bodoh.

Akan tetapi saat mengingat Maura, ah, gadis itu benar-benar memesona. Membuatku melupakan segala kesempurnaan istriku, Mutiara.

Aku masih berusaha mencari Mutia ke semua ruangan yang ada di dalam rumah ini, hanya dapur yang belum kusambangi. Namun, tidak berhasil juga menemukan keberadaannya. Berulang kali aku memanggilnya, tetap saja tak ada jawaban.

Aku coba untuk pergi ke dapur, Mutia juga tidak ada disana. Entah kemana dia pergi sepagi ini, bahkan tanpa pamit padaku. Kujatuhkan bobot di kursi dekat meja makan, semua makanan kesukaanku sudah tertata rapi disana. Istriku memang luar biasa, tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai seorang istri, meski setelah apa yang kulakukan padanya tadi malam.

Aku membalik piring yang sudah tersedia di sana, berniat untuk menyantap sarapan yang dibuatkan Mutia. Namun, aku menemukan secarik kertas dibalik piring itu.

'Mas, aku pergi sebentar, sarapan sudah siap. Maaf tidak pamit, aku tidak tega membangunkanmu.' Begitulah pesannya.

Aku tersenyum samar, Mutia mengulangi kebiasaan lamanya, meninggalkan catatan saat tidak bisa berbicara langsung padaku.

Memoriku berputar pada kenangan manis kami berdua, bibir ini melengkung hingga membentuk sebuah senyuman. Begitu indah, tapi itu dulu. Saat ini, bahkan hatiku tidak menghangat saat mengingat perihal Mutia.

Dering ponsel membuyarkan lamunanku.

[Sayang, jalan, yuk. Mumpung libur.] Sebuah pesan masuk dari kontak berinisial M. Dia Maura, aku sengaja menggunakan nama itu, untuk mengelabui Mutia.

Aku berpikir sejenak, sebelum membalas pesan Maura.

[Baiklah, aku jemput jam sepuluh. Dandan yang cantik, ya.] Aku putuskan untuk menyetujui ajakannya. Mumpung Mutia tidak ada di rumah, jadi aku tidak perlu beralasan.

Ya, saat aku libur kerja, tidak ada waktu jalan-jalan bersama keluarga seperti yang orang lain lakukan pada saat weekend.

Mungkin karena aku dan Mutia belum memiliki momongan, padahal pernikahan kami sudah hampir lima tahun. Sepertinya hal itu jugalah yang membuat hubungan kami terasa hambar dari hari ke hari. Tidak ada celotehan anak kecil yang menghangatkan suasana rumah, semuanya terasa membosankan.

Sampai aku bertemu dengan Maura, kehidupanku yang sebelumnya terasa suram kini berubah menjadi indah. Membuatku benar-benar melupakan Mutia.

Setelah sarapan, aku segera bersiap untuk menjemput Maura di rumahnya. Biasanya, aku akan menghabiskan banyak uang saat jalan dengan Maura. Gadis itu selalu membeli apapun yang dia anggap bagus tanpa melihat nominal harga, tapi aku tidak masalah, karena itu untuk menunjang penampilannya. Toh, aku juga yang menikmatinya.

Penampilan Maura jauh berbeda dengan Mutia. Gadis cantik itu lebih tahu tentang fashion, dari pada istriku yang hanya selalu menggunakan gamis longgar dan kerudung berbentuk segi tiga saat keluar rumah.

Setelah menjemput Maura, kami memutuskan untuk pergi ke salah satu pusat perbelanjaan yang cukup terkenal di kota tempat kami tinggal.

Aku dengan bangganya menggandeng tangan putih dan mulus milik Maura. Ada kebanggaan tersendiri saat banyak pasang mata yang menatap iri pada kami.

Pasti mereka berpikir bahwa aku laki-laki beruntung yang bisa mendapatkan wanita secantik dan seseksi Maura.

Sedang asik menemani Maura berbelanja, tatapan mataku tiba-tiba berhenti pada sosok yang sangat kukenal, dia sedang duduk di pojok Cafetaria dengan orang asing.

Tanganku tiba-tiba saja mengepal, tak terima dengan pemandangan buruk yang baru saja kulihat.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Isabella
mungkin Mutia curhat
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Mutia mendingan pergi
goodnovel comment avatar
Dhivia Rifki
gitu laki2 gandeng cewe blh giliran istrinya duduk berdua tmn laki2 ga terima.....egois
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status