Malam ini kami lewati hanya dengan keheningan, tidak ada drama menangis ataupun emosi yang meledak-ledak dari istriku, Mutia.
Seharusnya aku senang, karena tidak perlu membuang tenaga untuk berdebat dengannya, tapi hati kecilku sedikit kecewa.Reaksi yang ditunjukan mutia seolah menggambarkan bahwa dia tidak lagi takut kehilanganku. Apa dia pun sama sepertiku, tidak lagi memiliki rasa yang seharusnya ada dan menguatkan hubungan diantara kami. Ada sedikit rasa cemas yang tergambar dalam hati, batinku pun terus berkecamuk.Sebelumnya Mutia sangat cerewet, mulutnya tidak bisa diam. Ada saja hal yang di bicarakan olehnya, tapi setelah aku mengungkapkan perihal keinginanku untuk menikah lagi, tiba-tiba reaksi yang diberikan Mutia hanya diam seribu bahasa. Dia tidak mengatakan tentang apapun lagi padaku.Aku mengacak rambut frustasi, merasa bingung dengan yang terjadi pada diri sendiri.Setelah merasa lelah karena sibuk berkecamuk dengan pikiranku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk tidur di samping Mutia dan menyusulnya ke alam mimpi.******Keesokan paginya, aku terbangun karena sebuah suara bising yang mengganggu indra pendengaran. Dahiku mengkerut, itu adalah bunyi alarm yang berdering tepat di waktu subuh.Aku bingung, sejak kapan ada jam kecil dengan bunyi nyaring di atas nakas. Biasanya Mutialah yang membangunkanku, dia akan terus mengganggu sampai aku terbangun dan menjalankan ibadah shalat subuh.Kuusap wajahku berkali-kali, lalu meraih jam kecil itu dan memencet tombolnya sembarang guna menghentikan suara yang memekakkan telinga itu.Kutengok ke arah kiri, tepat pada posisi Mutia tertidur semalam. Ternyata dia tidak lagi berada di sampingku.Aku segera terbangun untuk mencari keberadaan Mutia, hingga akhirnya aku menemukan dirinya yang sedang berada di ruang shalat.Mutia tengah duduk bersimpuh di atas sajadah dengan kain mukena yang membalut tubuh. Dengan khusyuk dia menyembah Rabb-nya, menengadahkan tangan diiringi isakan kecil dari bibirnya yang mungil.Mungkin dia sedang mengadukan segala keluh kesah serta kegundahan yang dia rasakan kepada pemilik dirinya."Kamu shalat sendirian?" tanyaku saat dia selesai dengan do'anya."Seperti yang kamu lihat, Mas," jawabnya tanpa menoleh padaku."Kenapa? Biasanya juga kamu bangunin aku untuk shalat bareng.""Tidak apa-apa, bukankah aku harus membiasakan diriku?" Dia berkata dengan lembut, seulas senyum terbit dari bibirnya. Akan tetapi, mengapa hati ini terasa ngilu saat mendengarnya.Mutiara melewatiku begitu saja, aku segera mengambil wudhu untuk menunaikan kewajibanku sebgai umat muslim.Seberengsek apapun diriku, tapi untuk shalat aku tidak pernah meninggalkannya. Itu yang selalu di ajarkan oleh kedua orang tuaku. Ah, iya, jika ibu dan bapak tahu apa yang telah kulakukan pada menantu kesayangannya, maka habislah aku.*******Aku mengerjap beberapa kali, sinar mentari yang menelusup melalui celah gorden membuat mataku yang baru terbuka begitu silau.Ternyata aku tidur lagi setelah melaksanakan shalat subuh, ini kebiasaanku saat libur bekerja. Aku keluar kamar dengan jalan sedikit sempoyongan dan mata yang belum terbuka sempurna.Mencari keberadaan Mutia, adalah hal pertama yang selalu kulakukan di pagi hari. Walau hanya sekedar menanyakan hal-hal sepele.Saat akan mandi, aku akan bertanya dimana handukku, padahal aku tau dimana letaknya. Saat akan makan, aku selalu meminta untuk mengambilkannya, padahal hidangan sudah siap di atas meja, aku hanya tinggal memindahkan ke atas piring.Meski begitu, aku masih saja bisa berpaling darinya, aku masih bisa menyakitinya, kadang aku berpikir aku ini hanya laki-laki bodoh.Akan tetapi saat mengingat Maura, ah, gadis itu benar-benar memesona. Membuatku melupakan segala kesempurnaan istriku, Mutiara.Aku masih berusaha mencari Mutia ke semua ruangan yang ada di dalam rumah ini, hanya dapur yang belum kusambangi. Namun, tidak berhasil juga menemukan keberadaannya. Berulang kali aku memanggilnya, tetap saja tak ada jawaban.Aku coba untuk pergi ke dapur, Mutia juga tidak ada disana. Entah kemana dia pergi sepagi ini, bahkan tanpa pamit padaku. Kujatuhkan bobot di kursi dekat meja makan, semua makanan kesukaanku sudah tertata rapi disana. Istriku memang luar biasa, tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai seorang istri, meski setelah apa yang kulakukan padanya tadi malam.Aku membalik piring yang sudah tersedia di sana, berniat untuk menyantap sarapan yang dibuatkan Mutia. Namun, aku menemukan secarik kertas dibalik piring itu.'Mas, aku pergi sebentar, sarapan sudah siap. Maaf tidak pamit, aku tidak tega membangunkanmu.' Begitulah pesannya.Aku tersenyum samar, Mutia mengulangi kebiasaan lamanya, meninggalkan catatan saat tidak bisa berbicara langsung padaku.Memoriku berputar pada kenangan manis kami berdua, bibir ini melengkung hingga membentuk sebuah senyuman. Begitu indah, tapi itu dulu. Saat ini, bahkan hatiku tidak menghangat saat mengingat perihal Mutia.Dering ponsel membuyarkan lamunanku.[Sayang, jalan, yuk. Mumpung libur.] Sebuah pesan masuk dari kontak berinisial M. Dia Maura, aku sengaja menggunakan nama itu, untuk mengelabui Mutia.Aku berpikir sejenak, sebelum membalas pesan Maura.[Baiklah, aku jemput jam sepuluh. Dandan yang cantik, ya.] Aku putuskan untuk menyetujui ajakannya. Mumpung Mutia tidak ada di rumah, jadi aku tidak perlu beralasan.Ya, saat aku libur kerja, tidak ada waktu jalan-jalan bersama keluarga seperti yang orang lain lakukan pada saat weekend.Mungkin karena aku dan Mutia belum memiliki momongan, padahal pernikahan kami sudah hampir lima tahun. Sepertinya hal itu jugalah yang membuat hubungan kami terasa hambar dari hari ke hari. Tidak ada celotehan anak kecil yang menghangatkan suasana rumah, semuanya terasa membosankan.Sampai aku bertemu dengan Maura, kehidupanku yang sebelumnya terasa suram kini berubah menjadi indah. Membuatku benar-benar melupakan Mutia.Setelah sarapan, aku segera bersiap untuk menjemput Maura di rumahnya. Biasanya, aku akan menghabiskan banyak uang saat jalan dengan Maura. Gadis itu selalu membeli apapun yang dia anggap bagus tanpa melihat nominal harga, tapi aku tidak masalah, karena itu untuk menunjang penampilannya. Toh, aku juga yang menikmatinya.Penampilan Maura jauh berbeda dengan Mutia. Gadis cantik itu lebih tahu tentang fashion, dari pada istriku yang hanya selalu menggunakan gamis longgar dan kerudung berbentuk segi tiga saat keluar rumah.Setelah menjemput Maura, kami memutuskan untuk pergi ke salah satu pusat perbelanjaan yang cukup terkenal di kota tempat kami tinggal.Aku dengan bangganya menggandeng tangan putih dan mulus milik Maura. Ada kebanggaan tersendiri saat banyak pasang mata yang menatap iri pada kami.Pasti mereka berpikir bahwa aku laki-laki beruntung yang bisa mendapatkan wanita secantik dan seseksi Maura.Sedang asik menemani Maura berbelanja, tatapan mataku tiba-tiba berhenti pada sosok yang sangat kukenal, dia sedang duduk di pojok Cafetaria dengan orang asing.Tanganku tiba-tiba saja mengepal, tak terima dengan pemandangan buruk yang baru saja kulihat."Mutia, apa yang kamu lakukan disini dan bersama orang asing ini?" Aku menghampiri istriku, kutinggalkan Maura dengan semua kantong belanjaan di tangannya."Mas Putra, ah, ini ... kenalkan, dia Aldiansyah, dia ...." "Tidak perlu, aku tidak ingin tau siapa namanya, untuk apa kamu bersama pria ini? Kamu ini wanita bersuami, tidak pantas jalan berdua dengan pria lain." Argh, entah mengapa aku begini, bukankah semalam aku mengatakan bahwa aku sudah tidak lagi mencintainya. Tapi lihatlah, mengapa ada hawa panas yang begitu cepat menjalar dalam diriku, membuat darah ini terasa bergejolak saat melihat Mutia sedang duduk betdua dengan seorang pria yang tak kukenali."Mas, tenanglah, aku bisa jelaskan." Mutia berdiri, meraih tanganku. Dia begitu tenang, tidak seperti sedang melakukan sebuah kesalahan, padahal jelas aku memergokinya jalan berdua dengan pria lain."Dia Aldiansyah, dia adalah ...." Mutia tersenyum sambil menoleh pada pria itu, tapi pria yang kudengar bernama Aldiansyah menggele
POV MutiaAkhir-akhir ini tubuhku sering merasa lelah, padahal hanya mengerjakan pekerjaan di rumah saja. Aku juga sering merasa nyeri di bagian perut, terasa seperti kram. Kejadian itu terus berulang, hingga puncaknya pada hari Minggu kedua bulan ini, aku benar-benar tidak kuat menahannya lagi.Ini masih pagi, aku mencoba untuk membangunkan Mas Putra yang tertidur lagi setelah shalat subuh, itu memang sudah menjadi kebiasaannya saat libur kerja. Bermaksud untuk memintanya mengantarkan aku ke dokter, tapi nihil, dia tidak bangun.Aku bingung dengan perubahan sikap Mas Putra, dia tidak peduli lagi padaku, sikapnya yang dulu begitu manis kini terasa sangat hambar, tidak ada lagi perhatian-perhatian kecil yang selalu dia berikan padaku.Aku tahu, sebenarnya dia menyadari bahwa beberapa hari terakhir ini aku tidak baik-baik saja. Tapi dia memilih untuk tidak peduli."Mas, apa kamu bisa mengantarku? Tolong aku, kali ini saja." Ucapku sambil menahan sakit."Hmmh, kamu pergi sendiri saja na
Ini sudah tiga hari sejak peristiwa malam itu. Dan selama tiga hari pula Mutia melayaniku tanpa banyak bicara. Baguslah, aku sudah bosan mendengarkan ocehan-ocehan tidak penting yang keluar dari mulutnya. Saat ini Mutia tidak akan memulai pembicaraan kalau bukan aku yang memulainya lebih dulu.Suasana rumah jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ah, sepertinya bukan tenang, tapi sunyi seperti ada bagian yang hilang. Namun, rasanya tidak terlalu berarti.Mungkin sebenarnya dia marah padaku, makanya kecerewetan yang telah mendarah daging itu tiba-tiba hilang bak ditelan bumi, tapi biarkan saja. Aku ingin tahu, seberapa lama dia kuat untuk menahan dirinya. Aku yakin itu tidak akan berlangsung lama."Mas Putra, boleh temani aku minum teh?" tanyanya saat aku melewati Mutia yang sedang duduk di sofa.'Tuh, 'kan. Apa aku bilang, dia tidak akan kuat mendiamkanku terlalu lama. Buktinya Mutia duluan yang mengajakku menemaninya,' batinku jumawa."Tumben, kemarin-kemarin kamu seperti menghindar darik
Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun untuk mandi besar sebelum shalat subuh. Seperti biasa, Mutia sudah tidak ada di sampingku. Kini hanya bunyi alarm dari jam kecil yang senantiasa membangunkanku. Aku pikir Mutia akan kembali seperti dulu, membangunkanku dengan segala tingkah anehnya setelah semalam kami mereguk kembali manisnya cinta. Ternyata tidak, dia tetap jadi Mutia yang sekarang. Aku merasa kami hanya hidup serumah tapi tetap dengan urusan masing-masing. Mutia, sepertinya aku rindu kita yang dulu.Setelah mandi dan shalat, aku menyusul Mutia ke dapur. Aku tahu dia pasti berada di sana, kegiatan yang selalu dilakukannya selama menjadi istriku. Pagi-pagi menyiapkan sarapan dan segala kebutuhanku sebelum pergi ke kantor."Wah, sarapannya sudah siap." Aku berjalan mendekati Mutia.Mutia hanya tersenyum tipis, lalu menatapku dari atas hingga bawah."Kenapa liatin aku sampe segitunya?" tanyaku heran."Enggak, kamu udah siap? Padahal ini masih pagi.""Iya, ada yang harus di beresin
POV MutiaHari ini aku ada jadwal cek up, bertemu dengan Dokter Aldian Syahputra pukul sembilan pagi.Kalian jangan salah paham dulu, ternyata Dokter Aldian Syahputra itu adalah sepupu jauhku dari pihak almarhumah ibu yang aku ketahui hanya bernama Aldiansyah. Ternyata aku yang salah informasi.Memang turunannya sudah jauh, dan kami tinggal di kota yang berbeda membuat kami jarang bertemu satu sama lain, terakhir aku bertemu dengannya saat pternikahanku dengan Mas Putra dulu. Aku tidak tau dia berprofesi sebagai seorang dokter, aku juga terkejut saat pertama kali bertemu dengannya di rumah sakit. Dia dipindah tugaskan ke rumah sakit di daerahku sudah hampir enam bulan. Saat ini Aldiansyah adalah dokter yang menanganiku.Ini hari Minggu, hari libur kerja, tapi entah kenapa Dokter Aldian menjadwalkan aku cek up hari ini. Harusnya dia juga libur dan berjalan-jalan bersama keluarga atau pasangan. Aneh bukan? Sebelum pergi aku menyiapkan sarapan untuk Mas Putra, aku melihatnya masih tidur
Aku tidak habis pikir, syarat yang diajukan Mutia ternyata begitu memberatkan aku. Kenapa pula harus pisah rumah, padahal bisa saja mereka hidup satu atap dengan akur. Kemarin saja waktu di Cafetaria mereka baik-baik saja."Aku akan mengajukan banding atas syarat yang diberikan Mutia," gumamku.Pagi-pagi saat Mutia menyiapkan sarapan, aku mendekatinya."Mutia, bisa kita bicara?""Bicara saja, sambil aku menyiapkan makanan, ini sudah siang." Mutia tidak menoleh, tangannya masih sibuk dengan bahan makanan."Soal persyaratan itu." Dengan lemas aku mengatakannya."Kenapa? Bukankah semalam kamu setuju, sudah tanda tangan pula." Mutia menoleh lalu memicingkan matanya."Iya, tapi apa gak bisa kita bertiga hidup serumah saja. Jadi tidak perlu ada syarat yang kedua dan ketiga. Aku yakin, kok. Kalian bisa menjalaninya dengan baik, kamu dan Maura itu sama-sama wanita yang baik kalian berdua adalah wanita yang kusayangi." Aku membujuk."Tidak, keputusanku sudah bulat. Kalau kamu keberatan, aku si
Sesuai janjiku dengan Maura tadi siang saat di kantor, aku mampir dulu ke rumah Maura. Mumpung orang tuanya tidak ada.Sebenarnya kedua orang tua Maura tidak terlalu menyukaiku, entah apa alasannya. Padahal aku ini selain tampan juga sudah mapan secara materi. Tetapi tak masalah, yang penting Maura mencintaiku dan mau menikah denganku. Urusan Ibu dan Bapaknya bisa belakangan."Mas, langsung masuk aja, yuk." Maura menarik tanganku."Sabar, dong, Maura. Pelan-pelan aja, lagian mau kemana, sih, buru-buru banget." Aku tersenyum padanya. Maura sangat antusias dengan kedatanganku ke rumahnya, biasanya hanya di depan gerbang."Di luar panas, Mas. Aku udah kegerahan ini, pengen mandi," jawab Maura. Dia melangkah lebih dulu dan aku mengikutinya dari belakang."Duduk dulu, Mas. Mau dibikinin minum apa?" "Kopi boleh. Biar gak pusing lagi." Tak lama datanglah Maura dengan secangkir kopi di tangannya."Minum dulu, ya, Sayang. Aku mau mandi dulu, nanti habis mandi aku pijitin." Maura mengedipkan
"Mutia, kita bicara sebentar, boleh?" tanyaku pada Mutia yang sedang menggantung pakaian kerjaku, malam-malam begini belum habis juga pekerjaannya. Tentu saja dia tidak pernah lagi mengeluh akan kelelahan yang dialaminya, meskipun setelah seharian penuh dia mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya itu. Dapat kulihat saat ini Mutia begitu menikmati tugasnya sebagai ibu rumah tangga dan melayaniku sepenuh hatinya."Sebentar, ya, Mas. Aku selesaikan ini dulu." Dia menoleh lalu tersenyum.Sekitar sepuluh menit aku menunggu,akhirnya Mutia selesai dengan setumpuk pakaian itu."Mau bicara apa, Mas?" Dia duduk di atas ranjang di sampingku."Mas akan secepatnya melamar Maura. Kamu tidak keberatan bukan?" tanyaku. Aku mengamati setiap ekspresi yang muncul di wajah Mutia.Dia tidak langsung menjawabnya, hanya diam dan membisu, untuk beberapa saat tatapan itu nampak kosong."Ya, tentu saja, bukankah lebih cepat lebih baik, jangan menunda-nunda niat baik. Untuk waktu aku serahkan padam