Share

Bab 3

"Mutia, apa yang kamu lakukan disini dan bersama orang asing ini?" Aku menghampiri istriku, kutinggalkan Maura dengan semua kantong belanjaan di tangannya.

"Mas Putra, ah, ini ... kenalkan, dia Aldiansyah, dia ...."

"Tidak perlu, aku tidak ingin tau siapa namanya, untuk apa kamu bersama pria ini? Kamu ini wanita bersuami, tidak pantas jalan berdua dengan pria lain."

Argh, entah mengapa aku begini, bukankah semalam aku mengatakan bahwa aku sudah tidak lagi mencintainya. Tapi lihatlah, mengapa ada hawa panas yang begitu cepat menjalar dalam diriku, membuat darah ini terasa bergejolak saat melihat Mutia sedang duduk betdua dengan seorang pria yang tak kukenali.

"Mas, tenanglah, aku bisa jelaskan." Mutia berdiri, meraih tanganku. Dia begitu tenang, tidak seperti sedang melakukan sebuah kesalahan, padahal jelas aku memergokinya jalan berdua dengan pria lain.

"Dia Aldiansyah, dia adalah ...." Mutia tersenyum sambil menoleh pada pria itu, tapi pria yang kudengar bernama Aldiansyah menggeleng pelan pada Mutia, seperti sedang mengisyaratkan sesuatu.

"Mas Putra." Tiba-tiba sebuah suara mengalihkan perhatian kami. Semua pasang mata tertuju ke arah sumber suara.

Maura berlenggok dengan anggun, mendekat ke arah kami. Lalu menggandeng lenganku yang satunya dengan mesra.

Aku panik, kenapa aku bisa lupa bahwa saat ini sedang bersama dengan Maura. Aku menatap wajah Mutia, menelisik setiap ekspresi yang keluar dari wajahnya.

Tidak, dia tidak terkejut. Dia hanya melepaskan pegangannya pada tangan kananku.

Aku kesulitan menebak isi hatinya. Ada apa dengan Mutiaku. Mengapa dia tidak cemburu, mengapa dia tidak marah seperti wanita-wanita lain saat mendapati suaminya sedang bersama dengan gadis lain. Aku menerka-nerka, apa mungkin karena laki-laki yang ada di hadapanku saat ini, apa dia yang membuat Mutia berubah jadi seperti ini padaku.

"Hai, Kak Mutia, ya? Senang bertemu denganmu. Aku Ma ..."

"Mutia, ayo cepat kita pulang." Sengaja kupotong ucapan Maura. Menarik paksa lengan Mutia, mengajaknya pulang sebelum Maura berkata yang iya-iya.

Namun, Mutia menolak. Dia menahan tanganku.

"Tunggu sebentar, Mas. Kenapa buru-buru? Kita minum saja dulu, ajak Maura sekalian," ucap Mutia lembut sambil tersenyum.

Aku sangat terkejut, bagaimana bisa dia tahu gadis ini bernama Maura. Padahal semalam aku tidak menyebutkan dengan siapa aku akan menikah lagi, dan barusan Maura belum sempat menyebut namanya karena aku keburu memotongnya.

Pikiranku benar-benar kacau, bukankah seharusnya aku senang, aku tidak perlu repot-repot memperkenalkan mereka. Toh, mereka juga nanti akan hidup bersama jika seandainya Mutia akan memilih bertahan denganku. Rasanya aku juga sedikit tidak rela membayangkan kalau Mutia memilih mundur, tapi aku juga tidak ingin kehilangan Maura kekasihku.

Arrgh, aku benar-benar kemaruk. Tidak bisa kupungkiri, nyatanya memang aku menginginkan keduanya.

"Gimana, Mas?" tanya mutia sedikit menggoyangkan tanganku.

"Tentu saja, aku juga sangat haus setelah berkeliling belanja." Tanpa tahu malu Maura menyahut sebelum aku menyetujuinya. Dia langsung duduk dan memesan dua minuman untukku juga. Akhirnya aku juga ikut duduk disana.

Aku tidak pernah menyangka bisa duduk di meja yang sama dengan Maura dan Mutia tanpa adanya kegaduhan, bahkan membayangkan pun tidak pernah kulakukan, nyatanya mereka bisa akur tanpa harus aku yang meminta.

Andai saja saat ini tidak ada Aldiansyah di samping Mutia, mungkin hal inilah yang selama ini aku idam-idamkan, sungguh dia sangat merusak suasana dan pemandangan.

Tiba-tiba saja pandanganku tertuju pada Aldiansyah yang duduk begitu dekat dengan Mutia.

"Hey, kamu, jauhan dikit dari Mutia, kalian bukan mahrom," ketusku pada Aldiansyah.

"Oh, oke, maaf," jawabnya lalu menggeser kursi hingga sedikit berjarak dengan Mutia.

"Sayang, tanganku pegal tau bawa belanjaan sebanyak itu sendirian. Kamu, sih malah pergi, bukannya bantuin aku." Maura merengut manja, lalu menggeser kursinya mendekatiku dan menyenderkan kepala di bahuku.

Dapat kulihat pandangan Mutia dan Aldiansyah kini tertuju padaku dan Maura.

"Sorry, ya, Bro. Harusnya belum nasehatin orang bisa dong, praktekin sendiri." Aldiansyah tersenyum mengejek. Arggh, Maura benar-benar membuatku malu.

Tatapanku beralih pada Mutia, penasaran dengan reaksi yang akan dia berikan.

"Kalau sedang jatuh cinta, memang dunia terasa milik berdua, ya, Mas. Al, sebaiknya kita pulang duluan saja, tidak baik mengganggu orang yang sedang kasmaran." Mutia tersenyum tanpa beban.

Aku membulatkan kedua bola mata, tidak percaya dengan penuturan Mutia barusan. Kenapa tidak ada sedikit pun kecemburuannya padaku. Ini sungguh bukan Mutia yang aku kenal dulu.

Kemudian Mutia dan Aldiansyah pun berdiri hendak pergi meninggalkan aku di sini bersama dengan Maura. Ketika Aldiansyah melewatiku, dia sempat berhenti sebentar dan membisikan sesuatu.

"Kau, akan sepenuhnya menyesal, Bro." Lalu dia benar-benar pergi bersama istriku.

Aku tidak habis pikir dengan Mutia, mungkin benar aku telah menyakitinya, menghianatinya, tapi tidak benar kalau dia membalasnya juga dengan berselingkuh, pergi berdua dengan pria lain. Wanita bersuami tidak boleh melakukannya, tapi aku, aku ini laki-laki, aku boleh memiliki istri lebih dari satu sedangkan wanita tidak.

"Maura, kita harus pergi dari sini. Aku akan menyusul Mutia."

"Mas, Kak Mutia pasti aman, kok. Dia kan pergi bersama Kak Aldi. Kamu temenin aku di sini, aku mau habisin minumanku dulu, haus tau." Maura berkata dengan manja.

"Tapi, Maura, aku tidak bisa tenang."

"Mas, bukankah sebentar lagi aku juga akan menjadi istrimu. Sedangkan Kak Mutia, belum tentu dia memilih untuk bertahan dan belum tentu juga dia bersedia untuk di madu, 'kan? Tapi aku, aku akan selalu ada untuk menemanimu, Mas," ucapnya dengan lembut.

Benar apa yang dikatakan Maura, inilah yang aku suka darinya, dia sangat cerdas. Selalu berkata dengan lemah lembut, Maura mampu menenangkan aku di saat gelisah seperti ini.

Hal yang tidak bisa aku dapatkan lagi dari Mutia. Bukan karena dia tidak pengertian, tapi memang aku yang tidak pernah lagi bercerita tentang apapun padanya.

******

Hari ini terasa sangat lelah, lelah hati juga pikiran. Memikirkan tentang Mutia dan Maura membuat energiku terkuras habis. Aku bergegas masuk ke kamar untuk berganti pakaian, kulit yang terasa sangat lengket membuatku ingin segera mengguyur tubuh ini, siapa tau bisa menghilangkan rasa penat.

Baru saja aku berjalan beberapa langkah menuju kamar mandi, samar-samar terdengar suara isak tangis yang bersahutan dengan suara gemericik air dari arah kamar mandi.

Apakah mungkin itu tangisan Mutia, kalau iya, mengapa di hadapanku ia terlihat begitu tenang dan kuat. Apa alasan sebenarnya dia menyembunyikan kesedihan dariku. Mungkinkah Mutia sudah tidak lagi mempercayaiku karena aku yang telah berani menghianatinya, batinku bertanya-tanya.

Ah, tapi aku tidak peduli lagi dengan itu. Terserah saja dia mau berbuat apa, bukankah dia juga sudah berani jalan berdua dengan laki-laki lain, bahkan sebelum hubungan kami benar-benar berakhir.

Sejatinya, dia juga telah menghianati pernikahan ini.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
Mutia mungkin sakit dan Aldi mungkin seorang dokter
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status