"Kita hanya membutuhkan setengah dari ini. Jangan terlalu boros. Ada banyak kain menumpuk di gudang." Ujar Bonita melalui telepon dengan ayahnya karena baru saja mendapat kiriman tujuh lusin roll kain berbagai jenis dan warna."Kain-kain itu sedang diskon, Boo. Aku hanya membayar dua-pertiga harga aslinya." Ujar Nolan yang bersuara hangat di ujung sana. "Bagaimana denganmu dan Jeremy? Kalian tidak membakar rumah selama aku pergi, bukan?""Jeremy menggangguku sepanjang hari dan membuatku membereskan semua kegaduhan yang dibuat bersama teman-temannya di rumah." Desis Bonita seraya menatap ke luar etalase bridal —ke arah parkiran, lalu tersenyum pada sepasang pelanggan yang melambai padanya dari dalam mobil yang akan beranjak pergi."Kakakmu sebentar lagi menikah. Bersabarlah dengannya.""Andai aku tidak bersabar dengannya mungkin aku sudah pindah ke apartemen dan hidup sendiri.""Jeremy akan pindah setelah menikah dengan Melissa. Kamu pasti akan merindukannya nanti. Dia bersikap seperti
Berjam-jam berlalu setelah Bonita pergi dengan wajah masam dari bridal, tatapan Bonita yang memindai Benjamin masih terbayang jelas di pelupuk mata pria itu. Ada sesuatu yang tidak biasa dari tatapan Bonita yang tiba-tiba membuat Benjamin jatuh cinta pada pandangan pertama dua minggu yang lalu, tapi Benjamin tidak yakin bagaimana harus menjabarkan perasaan. Benjamin tahu tatapan itu berbeda dengan tatapan sosok gadis kecil di dalam pigura yang sedang dia tatap saat itu, walau keduanya orang yang sama."Boleh aku menyimpan yang ini?" tanya Benjamin tiba-tiba. Dia menenteng foto berpigura yang sebelumnya terpajang di meja sudut seraya berjalan ke sofa ruang keluarga, lalu duduk di seberang Jeremy dan Melissa. Itu pertama kalinya dia berkunjung dan rumah itu meninggalkan kesan hangat di hatinya sejak pijakan pertama. "Boo akan mengutukmu jika mengambil miliknya tanpa seizinnya." Tegur Melissa yang duduk bersebelahan dengan Jeremy."Adikku sangat sulit ditaklukkan. Menyerah sajalah." Ujar
Mobil Bonita dipacu menuju rumah. Dia membanting pintu mobil karena kekesalannya pada Benjamin belum tersalurkan. Dia berjalan cepat untuk membuka pintu depan dan segera menghampiri kamar Jeremy yang dia tahu tidak pernah dikunci, lalu mengambil tongkat baseball yang terpajang di dinding kamar. Dia berniat memukul tubuh Benjamin yang sedang terlelap di tempat tidur dengan tongkat itu, tapi membatalkannya. Dia melempar tongkat sembarangan hingga terdengar suara kelotak keras dan mengambil buku tebal yang tergeletak di meja sebagai gantinya. Benjamin berteriak kesakitan karena pukulan Bonita mengenai lengan, bahu. dan dadanya."Hapus fotoku, Brengsek!" Teriak Bonita seraya memukul tubuh Benjamin dengan buku asal saja. Bagian tubuh yang manapun, dia tidak peduli. Hanya dengan mendengar Benjamin mengeluh kesakitan sudah membuat hatinya bersorak karena pria itu memang pantas mendapatkan ganjaran."Hei! Letakkan buku itu, Boo!" Teriak Jeremy yang terbangun karena kegaduhan yang tiba-tiba te
Malam berlalu dengan kelegaan di hati Benjamin karena Jeremy berniat membantu, begitu pula dengan Bonita karena berhasil membalas rasa kesalnya hingga membuat mereka berdua tidur nyenyak. Namun, berbeda dengan Jeremy dan Melissa yang gelisah sepanjang malam karena memikirkan berbagai cara agar Benjamin mampu menjalin hubungan dengan Bonita. Mereka berpikir jika Bonita dan Benjamin menjalin hubungan, maka trauma yang dialami oleh Bonita mungkin akan reda. Bahkan jika hubungan itu berjalan baik, mereka akan lebih tenang meninggalkan Bonita di negara itu dengan Benjamin sebagai pendamping.Kecupan di dahi Bonita saat pagi menjelang membuatnya terbangun. Saat dia membuka mata, Nolan sedang menatapnya khawatir dan lega di saat yang sama. Bonita terduduk tiba-tiba saat menyadari keberadaan ayahnya, "Bukankah kamu berkata baru akan pulang besok?""Aku pulang lebih cepat karena melihat foto pria yang melamarmu di media sosial, tapi foto itu sekarang sudah menghilang." Jawab Nolan seraya duduk
"Benarkah?" tanya Nolan dengan sebelah alis terangkat bertepatan dengan saat Bonita bicara. Dia bahkan seolah menganggap protes Bonita sebagai kepakan sayap lalat yang tidak ada artinya bagi percakapan di meja makan itu. Tatapannya menembus jarak antara dirinya dan anak gadisnya, lurus menuju pria muda yang baru ditemuinya hari itu."Aku mengenalnya dengan sebutan Boo karena Jeremy dan Melissa menyebutkan nama panggilan itu sejak kemarin." Ujar Benjamin yang berusaha memberi penjelasan bahwa dia mengenal Bonita dengan cukup baik. Dia ingin menjawab keberatan Bonita tentang nama gadis itu dan memberi kesan baik pada Nolan dalam satu kalimat."Baiklah. Sepertinya akan lebih baik jika kalian berdua berkenalan secara resmi, bukan?" tanya Nolan dengan tatapan beralih dari Benjamin ke Bonita.Bonita menatap ayahnya tidak percaya, tapi segera menoleh saat tangannya dijabat oleh Benjamin yang sedang tersenyum padanya. Senyum kemenangan di bibir Benjamin lebih membuatnya marah dibanding melihat
Kini, tidur Bonita gelisah. Dia terbangun berkali-kali demi menatap jam dinding kamar Helga yang berputar lambat sekali. Itu bukan pertama kalinya dia menginap di kediaman orang lain. Dia juga bukan tipe yang sulit tidur selain di kamarnya sendiri. Hanya saja, semua kenangannya bersama Benjamin sejak empat tahun yang lalu tiba-tiba menyeruak dan terbayang di pelupuk matanya sepanjang malam. Hatinya menjerit memohon pagi segera datang agar kenangan itu tidak membuatnya semakin frustrasi.Dia bangkit perlahan dan duduk dengan beberapa bantal menopang punggung. Kemudian menoleh pada Helga yang tidur di sebelahnya untuk memastikan Helga tidak terbangun, tapi sepertinya Helga tidak menyadari pergerakannya. Dia mengambil ponsel yang tergeletak di dekat bantal untuk mengirim pesan pada Melissa.[Benjamin memberitahu apa yang terjadi?]Decakan kesal keluar dari bibir Bonita saat menatap layar ponsel. Setiap menit yang bertambah di layar ponsel membuatnya semakin gelisah. Dia tahu perbedaan wak
Jalanan gelap yang dikenali Bonita sejak empat setengah tahun lalu membuatnya mengingat saat pertama kali bertemu dengan Benjamin. Dia sengaja melewati deretan berbagai ruko, yang mana salah satunya merupakan kafe yang didatangi olehnya dan Velica dulu. Toko perlengkapan petualang milik Benjamin berada di area yang sama. Hanya terpisah tiga blok dari kafe itu.Bonita mengendarai mobil ke arah toko milik Benjamin dan memarkir mobil di seberang jalan. Saat menyadari tidak ada mobil Jeep milik Benjamin di parkiran, tangannya merogoh ponsel dari tas dan menelepon toko."Hai, aku Kim di Star Adventure Equipment, dengan senang hati akan membantu." Sapa Kimberly dari ujung sana."Ini Bonita. Apakah Benjamin berada di sana?""Maaf, Boo, Ben tidak ada di sini. Kamu ingin menitipkan pesan?""Tidak perlu. Jangan beritahu dia bahwa aku menelepon. Berjanjilah padaku.""Baiklah.""Terima kasih.""Tentu, Boo. Semoga harimu menyenangkan."Bonita memutus sambungan telepon dan kembali mengendarai mobil.
Mobil yang dikendarai Bonita berkali-kali berhenti saat hatinya terasa sangat sakit. Kali itu, dia berdiam diri di tepi jalan yang hanya berjarak belasan meter dari rumahnya karena merasa tidak mampu berkendara dengan baik. Dia sedang berusaha menenangkan diri sebelum pulang. Sudut hatinya yang masih mampu merasa sangat berharap ayahnya tidak akan menyadari betapa buruk suasana hati anak gadisnya.Malam sudah sangat larut. Dia langsung pergi saat menyadari Benjamin sepertinya memang menaruh hati pada gadis selain dirinya. Tidak perlu sebuah pengakuan yang membenarkan hal itu dari bibir Benjamin karena tatapan matanya menjelaskan segalanya. Padahal Bonita berniat akan mempertahankan hubungan dengan Benjamin jika saja tidak melihat tanda-tanda kekasihnya itu mencintai wanita lain.Dia mengabaikan permohonan Benjamin untuk tetap tinggal dan berusaha kabur dari kejaran mobil Jeep Benjamin berjam-jam yang lalu. Dia sedang ingin sendiri, tapi tidak memiliki tempat lain untuk pulang selain ru