Share

Jet Pribadi

Author: DityaR
last update Last Updated: 2025-10-22 15:00:59

୨ৎ D E R R I N જ⁀➴

Aku masuk ke kantorku, di stasiun penyiaran radio. Semua staf administrasi melirikku dari balik komputer mereka. Ada yang menyapa, tapi aku langsung pergi ke studio rekaman buat menyelesaikan segmen aku.

Aku harus cerita ke pendengar soal pernikahanku agar mereka tetap percaya sama aku. Setelah itu, aku akan terbang ke Bandung bersama Toyi buat wawancara, di mana kita akan bicara kalau kita sudah menikah dan tentunya bahagia. Kata Toyi, wawancara ini penting banget.

"Hei, Noa," kataku sambil duduk di depan mic.

"Aku punya segudang pertanyaan soal kamu sama petarung MMA itu?" celetuk Co-host aku sambil tertawa.

Noa dulu yang meng-handle segmen yang sekarang aku kerjakan, tapi sekarang dia senang bisa jadi co-host bareng aku.

"Dan aku akan jawab semuanya."

"Terus dia gimana? Datang, enggak?" Satu-satunya alasan Noa bertanya begitu pasti karena dia ingin tanda tangan.

"Enggak. Aku bakal urus ini sendiri."

Aku abaikan bibir manyunnya saat dia bangkit mengisi ulang kopi.

Noa kembali lagi semenit kemudian, dan produser kita, Tetty, bilang kalau kita akan live dalam dua menit. Aku tarik napas, mempersiapkan diri, berharap bisa membuat semua orang puas dengan keteranganku tentang situasi ini, meskipun sebenarnya aku lagi berbohong.

Tetty kasih hitungan mundur dari balik kaca, terus menunjuk kita.

Aku benarkan posisi headset, duduk tegak. "Halo, Pecangers! Balik lagi bersama Derrin Sunya dan aku bareng Noa di sini."

Noa menyapa dengan suara palsunya yang sok jutek.

"Langsung aja, ya?" kataku, perutku makin jungkir balik. "Sepertinya waktu petarung MMA Toyi The Rock datang ke kota, semua orang langsung duduk di ujung kursinya. Aku tahu, kakak-kakak aku saja sampai ngiler melihat tuh cowok."

"Hey. Adik kamu juga," tambah Noa.

Aku tertawa, geleng-geleng kepala. "Gosip sudah menyebar ke mana-mana, dan di segmen ‘Morning Glory’, kalian semua tahu kalau kita lebih suka cerita yang sesungguhnya. Jadi begini, aku menikah sama Toyi The Rock di Bandung akhir pekan kemarin."

Noa pencet tombol, bunyi lonceng pernikahan pun langsung terdengar.

"Makasih, Noa."

"Kamu sudah kenal dia sebelumnya?" tanya Noa. Aku lempar tatapan tajam, tapi dia malah angkat kartu pertanyaan. "Salah satu pendengar kita yang bertanya."

"Enggak. Seperti yang kalian tahu, sahabatku, Marlin, dia itu kan maniak MMA, jadi saat kita liburan, dia sekalian beli tiket buat nonton pertandingan. Dari situ kita bertemu dan kenal. Dan keesokan harinya, aku sudah resmi menikah. Itu kenyataannya, Pecangers, dan segitu saja dulu yang bisa aku ceritain."

Noa angkat setumpuk kertas. "Masih ada beberapa pertanyaan lagi."

"Mereka bertanya soal pernikahanku juga?"

"Ada yang bertanya, kamu mau kado pernikah apa?"

Aku tertawa. "Oh, kita baik-baik aja. Tolong jangan beliin kita apa-apa."

"Ada yang bertanya lagi, kalian bakal tinggal di mana?" Noa masih saja terus kasih pertanyaan, padahal aku sudah kasih isyarat potong leher agar dia berhenti.

"Maksudnya?"

Dia angkat tangan begitu saja. Barulah aku sadar, aku bahkan enggak tahu kita akan tinggal di mana. Enggak mungkin kan Toyi mau kita benar-benar tinggal bersama?

Tetty terima telepon, dan sialnya Noa yang angkat.

"Kayaknya aku bakal jadi orang pertama yang nyebarin kabar ini," kata Noa. "Baru aja ada laporan kalau Toyi The Rock nyewa rumah tua keluarga Imanuel di tepi teluk."

Aku cuma bengong. Rumah tua Imanuel itu keren banget. Memang butuh renovasi, sih tapi teras yang menghadap langsung ke teluk itu juara banget. Biasanya rumah itu disewa jauh-jauh hari buat musim turis. Aku benar-benar enggak mengerti bagaimana Toyi bisa mendapatkannya.

"Aku tebak, kamu bakal pindah ke rumah Imanuel sekarang, Derrin. Yuk lanjut." Noa tertawa.

Aku berharap Noa kembali lagi ke mode juteknya, biar enggak menambahkan hal-hal enggak penting ke segmen aku.

"Detailnya bakal aku ceritain lain kali. Di berita lain." Aku buru-buru ganti topik karena sudah terlalu banyak membicarakan diriku sendiri.

Begitu segmen aku selesai, aku lihat Toyi di bilik bersama Tetty.

Apa-apaan lagi, tuh?

"Dan itu saja buat hari ini, Pecangers. Sampai ketemu besok." Aku pencet tombol “Off Air” bahkan sebelum Tetty membiarkan Toyi masuk studio.

"Mantap, guys. Cowok kamu udah nungguin tuh, Derrin," kata Tetty dari bilik.

Aku copot headset, bereskan barang-barang. Noa menempel banget di belakangku saat keluar sampai aku bisa merasakan napasnya di tengkuk.

"Noa," desisku sambil memberikannya tatapan tajam.

Dia pegang kertas sama pulpen. "Aku mau tanda tangan."

Saat sampai di koridor, Toyi keluar dari ruang produksi bareng Tetty, mengobrol seperti sudah berteman lama. Mereka membicarakan pertandingan malam itu dan bagaimana Toyi terlihat enggak terlalu babak belur. Memar di rahangnya malah sudah mulai pudar. Aku benar-benar harus bertanya suatu saat nanti, kenapa dia memilih pekerjaan seperti itu.

"Hei," sapaku.

Toyi masukkan tangan ke kantong, berikan tatapan malu-malu yang menggemaskan, seperti dia lagi enggak percaya diri.

"Hai. Semoga kamu enggak keberatan aku datang." Suaranya jauh lebih pelan dibanding saat tadi mengobrol sama Tetty.

"Enggak apa-apa. Lagian kita juga emang harus pergi, kan?"

Dia mengangguk.

Noa batuk-batuk di belakangku, membuatku bergeser. "Kamu keberatan tanda tangan buat Noa?"

Toyi langsung keluarkan tangan dari kantong, ambil pulpen sama kertas dari Noa. Dia tulis namanya terus kembalikan.

"Makasih," kata Noa, memperhatikan kertas itu seperti anak kecil umur enam tahun yang bertemu sinterklas.

Toyi tersenyum. "Sama-sama."

"Oke deh, kita pergi."

Toyi jabat tangan Tetty, terus Noa. "Senang ketemu kalian."

"Main ke sini kapan aja," kata Tetty sambil merapikan rambut pirangnya.

"Iya," tambah Noa, masih terlihat syok.

Ya ampun, kita harus cepat-cepat pergi dari sini.

Aku ajak Toyi keluar stasiun radio, menemukan mobil hitam sudah menunggu di tepi jalan.

"Pesawatnya udah siap," kata Toyi.

Aku mengangguk santai, berjalan dengan mengabaikan tatapan semua orang.

જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴

Satu jam kemudian, kita sudah di udara. Naik jet pribadi itu rasanya benar-benar luar biasa.

Toyi memperhatikan pegunungan di bawah. "Pecang emang indah banget, ya?"

"Iya." Aku teguk minumanku.

"Kamu tinggal di sini dari kecil?" Dia menoleh, dan biru matanya lagi-lagi bikin aku terjebak.

Kalau saja aku bisa percaya instingku soal cowok, mata dia tuh mengatakan kalau dia bisa dipercaya, baik hati. Tapi aku enggak mau percaya.

"Aku besar di Bali. Saat Mama Papaku cerai, Mama pindahin kita ke Pecang, terus dia nyambung lagi sama Sahar dan akhirnya nikah sama dia. Sahar itu sepupunya Papaku."

Aku berpikir, kenapa harus disembunyikan?

Pasti nanti akan ada saja yang mengorek info ini, dan Toyi enggak boleh sampai kaget. Nyatanya, sekarang saja dia kelihatan lagi menimbang-nimbang aku bohong atau enggak.

Aku senggol lengannya.

Sial, keras banget.

"Iya, Papaku sama Sahar itu sepupuan, jadi Mama aku enggak perlu ganti nama belakangnya." Aku kasih dia senyum manis.

"Jadi, kakak-adik tiri kamu itu?"

Aku mengangguk. "Yup, mereka masih ada hubungan darah juga. Masih sepupu gitu deh. Tapi ya gitu, keluargaku agak aneh, emang."

"Menarik juga."

Aku tertawa. "Iya." Aku minum lagi. "Kalau kamu sendiri, asalnya dari mana? Kan kamu enggak tinggal di Bandung."

"Nusa Tenggara. Maksud aku, Mama sekarang tinggal di sana, tapi aku besar di Timor-timor. Kita enggak pernah kembali ke sana lagi. Begitu aku dapat gaji pertama, aku pindah ke Nusa Tenggara. Mama tinggal di sana dan aku nengokin dia tiap kali sempat.'

Mantap, anak mami ternyata. "Keren juga."

"Jadi dulu aku udah terbiasa sama udara dingin waktu kecil, tapi ya enggak parah banget kayak di Pecang, sih."

"Untungnya tiga bulan kita ini pas musim penghujan, soalnya di sini saat hujan turun udara jauh lebih hangat ketimbang kemarau."

Dia tertawa. "Benar juga."

"Meski aku sering kesal sama kelakuan keluargaku, tapi aku tetap enggak bisa bayangin kalau tinggal jauh dari mereka."

"Aku malah iri. Saat aku dewasa, malah cuma ada aku sama Mama."

Aku punya feeling, kalau aku bertanya apa saja ke dia, dia akan jawab jujur.

"Keluarga besar tuh asik sih, tapi ya contoh aja ini." Aku tunjuk ke arah kita berdua. "Mereka selalu ikut campur urusan aku. Bahkan sekarang, HPku masih dibanjiri sama chat soal kamu yang nyewa rumah Imanuel."

"Yah, aku emang butuh tempat tinggal, dan timku juga butuh tempat buat kerja. Jadi ruang tamu besar sama kamar tamunya yang bikin aku mutusin buat ambil rumah itu."

Aku menoleh ke dia, menyilangkan kaki. Matanya langsung turun mengikuti gerakanku, bikin perutku seperti ada sinterklas berenang. Aku bisa mengerti kenapa memutuskan buat menikah sama dia saat mabuk kemarin.

"Gimana caranya kamu bisa dapatin rumah itu? Maksudku, musim turis kan baru mulai hari ini, aku yakin rumah itu udah di-booking."

Dia angkat bahu.

"Ayo bilang!"

"Aku nawarin harga tinggi ke mereka."

"Terus gimana sama orang-orang yang sudah booking rumah itu buat liburan mereka?"

"Aku relokasiin mereka ke River Point Resort di Bangora. Aku dengar tempatnya lumayan."

Aku pun mendesah. River Point Resort itu hotel paling mewah di daerah kita. "Kamu, baik juga "

"Aku cuma enggak mau merusak liburan orang. Untungnya semua setuju." Jarinya mengelus pelan jahitan kursi. "Kadang aku masih ngerasa aneh."

"Anenya kenapa?"

"Dulu aku besar di keluarga miskin. Mama sampai kerja di tiga tempat sekaligus, dan aku enggak pernah pakai baju baru sampai akhirnya aku kerja sendiri. Terus sekarang bisa nyewa rumah sebesar itu sama mindahin timku ke Pecang buat tiga bulan?" Dia geleng-geleng kepala. "Kadang aku ngerasa ini semua mimpi."

Nah, muncul lagi sisi rapuh dia yang bikin hatiku tertarik. Aku memang enggak sempat riset banyak tentang Toyi karena waktunya enggak ada.

"Bukan mimpi, kok." Aku lihat sekeliling jet pribadi ini. "Gila aja, cuma dengan pakai tinju, kamu bisa dapetin semua ini."

"Oh, iya. Satu hal lagi," katanya sambil menyelipkan tangan ke kantong.

"Apa?"

"Kayaknya kamu harus pakai ini." Dia sodorkan cincin berlian yang aku tinggalkan di kamar hotel. Terlihat sangat mahal, sampai aku takut harus tanggung jawab kalau rusak atau hilang.

Aku lirik pramugari yang duduk di belakang, lagi baca majalah.

"Aku balikin lagi setelah semua ini selesai." Aku selipkan di jari manis kiri. Cincinnya pun langsung berkilau.

"Santai aja." Dia tegakkan badan, meminum airnya.

Aku cuma bisa berharap punya kekuatan untuk melewati semua ini tanpa jatuh cinta sama dia, karena aku punya firasat kuat kalau cowok ini bisa menghancurkan hatiku kalau aku sampai kasih dia kesempatan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • STRANGER WITH BENEFIT   Bintang Jatuh

    ୨ৎ D E R R I N જ⁀➴ “Aku enggak nyangka butuh boots buat kencan ini. Dan aku juga enggak nyangka bakal ngos-ngosan gini.” Hiking, jelas bukan tipe kencanku, tapi aku enggak mau merusak momen. Toyi terlihat excited banget saat dia chat aku dari gym tadi, kasih tahu apa yang harus aku pakai. “Dikit lagi kok, habis itu kamu bisa copot. Tapi aku suka pemandangannya,” katanya. Aku tengok ke belakang dan menemukan dia lagi fokus memperhatikan pantatku. “Kayaknya masih kepagian deh buat pantatku muncul terus di depan mukamu.” Bangun dari ranjang Toyi pagi ini rasanya enak banget. Mencium aroma dia di sarung bantal, teringat bagaimana badannya menempel sama aku. Tangannya semalam yang enggak berhenti menjelajahi tubuhku. Aku menyesal banget kenapa enggak dari dulu mengambil langkah ini. “Sorry nih harus aku jujur, tapi aku udah naksir pantat kamu dari pertama kali kita ketemu.” Aku goyangkan pantat dan dia langsung maju dari belakang, kedua tangannya menekan bokongku. “Kalau kamu terus

  • STRANGER WITH BENEFIT   Pensiun

    Keesokan harinya, alarm HP-ku berbunyi. Aku tepok layar buat mematikannya. Derrin bergerak sedikit di pelukanku, dan aku kecup keningnya."Tidur lagi aja," bisikku, terus aku pelan-pelan turun dari ranjang.Aku enggak berharap banyak dari sesi latihan hari ini. Badanku masih pegal gara-gara “latihan” yang Derrin kasih tadi malam. Film yang kita tonton cuma bertahan lima belas menit sebelum dia mencium dadaku dan akhirnya berubah jadi hal lain.Ujung-ujungnya kita balik lagi ke shower, terus turun ke dapur jam dua pagi buat cari camilan. Aku enggak yakin berapa kali kita nge-seks di malam pernikahan di Bandung, tapi aku cukup yakin tadi malam jumlahnya mengalahi itu.Aku bohong kalau bilang enggak kepikiran bagaimana perasaan dia saat bangun pagi ini. Aku cuma berharap dia masih ada di titik yang sama kayak tadi malam, kalau akhirnya dia sudah berhasil menyebrangi jembatan traumanya.Setelah pakai celana latihan, kaos, sama hoodie, aku gos

  • STRANGER WITH BENEFIT   Ranjang Kita

    ୨ৎ T O Y I જ⁀➴ Aku benar-benar berharap ini bukan cuma mimpi gara-gara aku jatuh di shower, terbentur di kepala, terus berhalusinasi. Aku merangkak di kasur, hati-hati biar enggak menindih Derrin sepenuhnya, rasanya seperti mimpi. Apalagi setelah aku terus dihantui memori tentang memepetnya ke kaca di suite hotel waktu itu. Dia melilitkan tangannya ke leherku, jemarinya bermain di rambut basahku, menarikku turun biar bibir kita bertemu lagi. Tubuhnya lembut banget, licin seperti sutra, membuatku susah menahan diri untuk enggak langsung masuk ke dalam rahimnya. "Bentar, aku ambil kondom dulu," gumamku, melepas ciuman, meski aku enggak mau beranjak dari atas dia. Aku meraih ke meja samping tempat tidur, tempat aku menaruh kondom, karena memang aku sudah berharap dia bakal masuk kamarku suatu saat nanti. "Kamu tahu, kotak ini aku beli khusus buat kita." Aku ambil bungkusnya dan buka. Dia senyum, terus berlutut, membantuku memasangnya di sepanjang Juniorku. Gila, dia benar-

  • STRANGER WITH BENEFIT   Golden Shower

    ୨ৎ D E R R I Nજ⁀➴Aku duduk di ranjang, memandang kosong ke tembok. Bayangan mata biru Toyi yang biasanya penuh dengan ketulusan, tadi jatuh jadi putus asa setelah aku bilang aku enggak bisa. Itu terukir jelas di otakku.Aku copot sepatu, kesal sendiri karena Papaku lagi-lagi menghancurkan hidupku dengan masalah trust issue yang enggak selesai-selesai.Aku ambil HP, menelepon Marlin. Dia angkat di dering pertama.📞“Eh, girl!” Suaranya terdengar masih ramai, kayaknya dia masih di bar.“Kamu sibuk?” tanyaku sambil buka legging dan dalaman, terus ganti pakai celana piyama.“Kalau buat kamu, jelas enggak.”“Jadi, apa masalahnya?” tanyanya.“Kenapa kamu langsung mikir kalau ada masalah?” Aku nyalakan speaker, copot kaus, terus ganti pakai piyama model kancing depan. Dalam hati aku berpikir, setelah tidur nyenyak mungkin besok aku bisa baikan lagi sama Toyi.“Kamu punya nada khas, Derrin.”“Nada apa?”“Nada yang bilang, ‘aku lagi kenapa-kenapa.’ Ayo, cerita. Aku udah jadi sahabat kamu da

  • STRANGER WITH BENEFIT   Selamat Tinggal Pecang!

    ୨ৎ T O Y I જ⁀➴Begitu aku bilang ke Derrin kalau ini malam terbaik selama aku di sini, dia langsung bengong. Aku menunjukan beberapa gerakan ke para lansia, tapi sebenarnya mereka lebih pintar pakai pisau sama semprotan merica.Ada ibu-ibu yang bilang kalau dia bawa stun gun segala. Saat kita semua lagi makan es krim bareng, aku sempat kepikiran harusnya komplek ini pasang papan peringatan agar para penjahat berpikir dua kali sebelum macam-macam.Kita duduk melingkar di meja, aku bersama satu kakek namanya Lanon sama satu lagi Shanon.Topik obrolan mereka?Cuma peduli apakah payudaranya cewek-cewek yang pegang papan skor di ring itu asli atau bohongan.“Aku benaran enggak tahu,” jawabku lagi sambil melirik ke Derrin, yang masih sibuk menjelaskan ke Pingkan kalau "Tea" itu sebenarnya bukan teh benaran.Shanon bersandar ke depan. “Kita enggak bakal bilang ke Derrin atau Connie, kok. Ngaku aja, kamu benaran enggak pernah tidurin salah satu dari mereka? Gila, enggak percaya aku.”Aku meng

  • STRANGER WITH BENEFIT   Panti Jompo

    ୨ৎ D E R R I N જ⁀➴Jam enam sore, Toyi turun dari kamarnya, dia habis mandi dan wangi banget."Eh, aku kira aku bakal siap duluan dari kamu." Dia berhenti di meja depan, masukkan dompet sama kunci ke kantong.Aku memutar badan ke arah pintu. "Kamu kelihatan rapi banget buat sekadar pergi ke panti jompo. Apalagi kamu mau ngajar bela diri."Dia membuatku merasa malu dengan outfitku, legging sama hoodie. Nenek Connie pasti bakal mengomentari bajuku di depan geng nenek-neneknya."Aku pakai baju olahraga, kok." Dia melihat ke dirinya sendiri seperti lupa apa yang dia pakai."Iya, tapi rambut kamu rapi, dan kamu wangi."Dia senyum. "Jadi, maksud kamu sebenarnya, kamu ngakuin kalau aku seksi ... dan wangi?"Aku memutar mata, pura-pura kesal karena dia berhasil menangkapku. "Ayo, lah."Aku buka pintu terus kita keluar ke halaman depan."Aku bisa nyetir kok," katanya."Aku kan udah bilang aku yang nyetir.""Yah, aku pingin nyetir aja. Aku harus hafalin lokasi-lokasi sekitar, dan aku juga belum

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status