LOGIN
“Kemarin Mas Tris sendiri yang bilang kalau bulan ini sepi, uang yang ada tinggal buat modal sama ongkos jalan, terus kenapa tiba-tiba ada amplop itu. Itu uang dari mana Mas?”
“Uang dari mana katamu? Pertanyaan macam apa itu? Aku tiap pagi berangkat dari rumah itu menurut kamu aku ke mana? Nongkrong? Touring?” Nada bicara suamiku sedikit meninggi walaupun dia sedang asyik megepulkan asap rokoknya dan tangannya sibuk dengan handphone. “Mas, lima juta itu bukan uang yang sedikit Mas.” “Terus kenapa? Masih kurang?” “Mas, sudah dua tahun ini Mas mengerjakan semuanya sendirian tanpa pembantu, etalase dan rak banyak yang kosong karena utang kita pada supplier menumpuk. Belum lagi utang kita di luar sana, sudah berapa banyak utang kita yang sudah lunas Mas? Satu lagi, coba tolong ingat baik-baik berapa banyak yang selama ini Mas bisa berikan untuk kebutuhan keluarga kita? Sekarang Mas bawa amplop dengan uang sebanyak ini, bukankah sudah sewajarnya aku bertanya uang ini dari mana?” “Sudahlah Tari, aku capek kalau kamu mulai curiga nggak jelas seperti ini.” “Mas tahu kan kenapa aku bersikap seperti ini?” Aku menatap tajam suamiku yang duduk di depanku, lalu aku melirik ke arah amplop berisi uang yang tergeletak di meja. Mas Tris bergeser dari duduknya dan maju mendekati meja, dia lalu menekan puntung rokok terakhirnya ke asbak. “Kamu itu mau apa sebenarnya?” “Selama ini yang aku pegang kata-katamu Mas, aku pegang janjimu dan aku harap Mas tidak akan lupa itu selamanya.” “Kemarin kamu nangis minta duit, sekarang aku sudah bawa duit. Ini sudah di depan kamu loh tapi kamu malah banyak omong. Kenapa jadi nyambungnya ke janji? Kamu mau ungkit-ungkit lagi kejadian yang sudah bertahun-tahun lalu itu? Salah sambung kamu.” “Semua berawal dari uang kan Mas tapi jangan sampai karena saking terdesaknya lalu mencari dengan cara haram.” “Kamu jangan asal menuduh Tari, jangan ngomong sembarangan!” “Aku tidak bermaksud menuduh hanya mencoba mengingatkan, hampir tujuh belas tahun aku menjadi istrimu dan tentu aku sangat paham semua tentang kamu Mas. Pekerjaan sampingan apa yang Mas kerjakan sampai menghasilkan uang begitu banyak dalam waktu singkat padahal setiap pulang dari toko Mas selalu mengeluh kecapaian?” “Apa setiap detik, setiap menit aku harus laporan sama kamu? Yang penting sekarang aku bawa duit, kamu atur itu, selesai, titik. Kenapa malah membuat pertanyaan konyol seperti itu?” Mas Tris membentakku. “Bukan sekali dua kali kamu bohong Mas, tapi Mas nggak pernah ambil pelajaran, hasil kerja keras sendiri walaupun sedikit itu lebih baik daripada minta-minta sama orang lain.” “Siapa yang minta? Siapa yang minta hah? Aku tanya sekali lagi sama kamu, siapa yang minta? Mana buktinya aku minta? Mana? Dikasih duit bukannya terima kasih, malah ngomong ngawur, nuduh suami, fitnah suami. Jangan mentang-mentang karena kamu bisa kerja lalu kamu bisa merasa bebas menginjak harga diriku sebagai suami kamu. Aku masih pemimpin di rumah ini, jangan macam-macam kamu!” “Bukti? Harus selalu ada bukti ya menurutmu Mas? Dulu, apakah ada yang aku bawa untuk membuktikan kalau uang yang kamu berikan untuk istri dan anak kamu itu bukan dari kerja keras kamu tapi dari pemberian istri siri kamu yang kaya?” “Oh… jadi kamu sekarang malah menuduh aku minta-minta duit sama dia? Begitu maksud kamu? Pergi sana, tanya sana, tanya sama orang itu aku minta duit sama dia atau nggak, tanya sana!” Mas Tris langsung bangun dari duduknya saat aku mulai mengungkit masa lalu, wajahnya memerah saat bicara. “Terserah bagaimana Mas memahami kata-kataku, kalau memang itu bukan pemberian lalu Mas pinjam uang siapa lagi? Apa masih kurang utang-utang kamu Mas sampai istrimu ini malu ketemu orang-orang. Kenapa Mas susah sekali untuk bicara jujur? Mas tinggal jawab itu uang pinjaman atau pemberian orang lain, sudah selesai urusan.” Mataku mulai terasa panas, sudah mulai berkaca-kaca tapi aku masih menahan diri agar tidak sampai menangis. “Jawaban apa pun yang keluar dari mulutku tidak akan pernah kamu percaya. Kamu tahu karena apa? Karena hati kamu kotor, busuk!” Suara Mas Tris begitu keras, aku melihat dia mengepalkan tangannya, mungkin saking marah dan jengkelnya dia padaku. Mas Tris lalu bergegas menuju pintu keluar, meninggalkanku yang hanya bisa diam dan menangis mendengar kata-katanya. Aku tahu persis seperti apa suamiku, uang yang ada di dalam amplop itu tidak mungkin berasal dari keringatnya. Sejak muda Mas Tris memang pemalas, dia tidak mau bekerja terlalu berat, dia juga tidak mau berpikir terlalu keras. Toko yang dari awal menjadi sandaran hidup kami adalah satu-satunya warisan dari orang tua Mas Tris yang masih tersisa. Mereka membangun sebuah toko untuk Mas Tris supaya dia bisa mulai belajar bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan keluarganya tapi ternyata tidak seperti yang diharapkan. Saat kedua mertuaku meninggal bersamaan karena kecelakaan, keadaan menjadi kacau dan berakibat pada rumah tanggaku. Ketergantungan Mas Tris pada orang tuanya membuatnya tidak bisa mengambil langkah yang benar karena dia seperti tidak mengerti apa pun. Mas Tris sering mengambil jalan pintas untuk mengatasi berbagai masalah dalam rumah tangga kami selama ini. Puncaknya saat keadaan ekonomi kami terpuruk karena toko hampir bangkrut, Mas Tris malah pergi dengan alasan mencari pekerjaan tapi kenyataan yang aku dapat adalah dia menikah siri dengan seorang wanita kaya. Kenyataan pahit yang sampai saat ini selalu menghantuiku, membuatku selalu punya pertanyaan atas apa pun yang dilakukan suamiku. Suara pintu berderit membangunkanku yang tertidur dalam posisi duduk di kursi tamu karena menunggu Mas Tris. Aku langsung berdiri sesaat setelah melihat Mas Tris mengunci pintu. “Mas, Mas… apa mau dibuatkan ...” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Mas Tris langsung masuk ke dalam menuju kamar tanpa peduli padaku. Aku tidak berani menyusulnya yang masih dalam keadaan marah karena takut kami malah jadi bertengkar lagi. Sudah cukup banyak yang didengar anak-anak dari perdebatan kami dan aku tidak mau menambah kekhawatiran mereka. Aku kembali menyandarkan tubuhku di kursi, melihat ke arah jam dinding, jam empat pagi, sudah hampir subuh. Aku mengusap wajahku beberapa kali lalu berdiri tapi kemudian terdiam sebentar saat menyadari sesuatu, hidungku mencium aroma wangi yang segar saat Mas Tris lewat tadi. Aku kenal betul, ini wangi sabun dan sampo kesukaan Mas Tris tapi kapan dia mandi, dia kan baru saja pulang. Dia pulang dari mana dengan tubuh wangi seperti itu?"Maksud kamu orang ini anak tetangga kamu yang baru saja kamu ceritakan?”“Iya Bu saya yakin sekali, di tiga foto terakhir dia baru muncul dan yang terlihat sangat jelas ada di foto yang terakhir.” “Tapi kenapa jadi ada dia juga di sini atau mungkinkah ini hanya kebetulan?”“Saya akan memastikan sendiri apa hubungannya Prasetyo dengan ini semua.”“Tari, jangan-jangan kita sudah salah membaca apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Bu Ning. Dia bisa bertanya seperti itu karena aku sudah cerita tentang pengakuan Prasetyo padaku. “Sesudah melihat foto ini, semuanya menjadi mungkin sekarang Bu.”“Iya benar, sekarang kita punya lebih dari satu kemungkinan. Kita mencari-cari siapa wanita di belakang Trisno tapi yang muncul malah Prasetyo dan bisa jadi dia adalah dalang yang selama ini kita cari-cari. Dari semua yang kamu ceritakan ke saya, Prasetyo ini memenuhi syarat untuk dijadikan tersangka, dia punya segalanya, uang dan koneksinya bisa dia gunakan dengan mudah untuk mendapatkan apa
“Saya sudah menunggu lumayan lama dan sudah meminta waktu secara pribadi untuk bertemu tapi dia tidak mau. Ini adalah pertama kalinya dia menolak membantu saya setelah sekian lama kami menjadi mitra bisnis. Saya benar-benar dibuat penasaran.”“Atau mungkin memang ini murni permainan yang di bawah saja Bu dan Bosnya memang tidak tahu menahu tentang ini karena dia pasti tidak mau mengorbankan hubungan baik dengan Ibu yang sudah terjalin selama ini. Seperti tidak sebanding saja Bu nilainya antara masalah ini dengan hubungan baik Ibu.”“Awalnya saya juga berpikir begitu makanya saya merasa sangat percaya diri waktu bilang ke kamu saya bisa bantu kamu secepatnya tapi ternyata tidak seperti yang saya kira. Dari awal dia memang sudah menolak saya tapi dengan cara halus sampai kemarin dia benar-benar bilang langsung kalau dia tidak bisa bantu. Sakitnya dia itu adalah cara halus dia untuk menolak saya, alasan dia untuk menghindari saya.”“Dia bohong sama Ibu?”“Iya, dia buat saya menunggu
“Jincha, seriusan? Kamu jangan ikut-ikutan gila ya Tar!”“Ya ampun Ka, aku cuma cerita apa adanya.”“Ya tapi kenapa aku mencium aroma-aroma baper di cerita kamu, please Tari jangan dengerin semua bisikan-bisikan setan yang terkutuk itu!”Sika menggeser kursi yang dia duduki menjadi semakin dekat denganku, lalu memutar kursiku agar aku menghadap ke arahnya. Dia hanya sedang menunggu jawabanku tapi aku merasa dia berubah menjadi jaksa penuntut dan aku menjadi terdakwanya.“Aku cuma ngerasa berhadapan dengan orang yang berbeda, kayak bukan Pras, dari suara yang sedikit terdengar lebih berat, dari cara dan gaya bicara, sampai senyumnya.”“Kayak gini kamu nggak mau dibilang baper?”“Suamiku sendiri nggak pernah ngomong begitu Ka.”“Terus itu mau dijadikan alasan untuk menghalalkan kebaperan kamu, gitu maksudnya?”“Lebih ke kaget aja, kok bisa dia sampai seperti itu, gitu aja Ka.”“Paham. Saya teramat sangat memahami sekali dengan apa yang Nyonya muda rasakan. Sebagai seorang wanit
“Maaf tapi kalau saat ini Bude tidak di rumah saya permisi pulang dulu,” kataku langsung balik badan untuk segera pergi dari rumah itu.“Kiriman saya sudah sampai kan?” tanya Prasetyo yang membuatku terpaksa harus kembali berhadapan dengannya.“Mas yang kirim itu semua?” tanyaku pura-pura tidak tahu.“Kamu nggak tahu? Aku memang nggak nulis nama lengkap cuma inisial aja sih jadi wajar kalau kamu nggak perhatikan itu dari siapa tapi senang kamu sudah menerimanya. Lain kali kalau ada kiriman lagi dengan inisial “P” berarti itu dari aku.”“Tidak akan ada lain kali lagi karena ini yang pertama dan terakhir. Kalau Mas Pras masih berani mengirimkan sesuatu lagi ke saya, ke rumah saya, ke anak-anak, apa pun itu bentuknya saya akan kembalikan ke rumah ini.”“Wohoho…. Kamu mau libatkan Ibuku?”“Bukan saya tapi sikap Mas memaksa saya melibatkan Bude.”“Lestari…Lestari…kamu mau bilang ke Ibu, ke adikku ke siapa pun juga percuma sih. Oh iya kemarin sudah ngadu ke suami waktu dia melihat ak
“Mah, ayo cepetan masuk,” ajak Arla saat aku baru saja turun dari motor.“Itu Mah,” kata Arla langsung menunjuk sebuah standing flower saat aku masih berdiri di depan pintu.“Dari siapa? Ini nggak salah?” tanyaku pada anak-anak.“Tadinya Aran pikir juga salah tapi alamatnya memang bener rumah kita Mah. Yang nganter tadi juga nggak tahu identitas pengirimnya. Dia mau disuruh karena dikasih banyak uang dan jaminan kalau ini aman,” cerita Aran panjang lebar.Aku lalu berjalan mendekat dan langsung mengambil kartu ucapan yang diselipkan di antara bunga-bunga itu. Sebuah kartu kecil bertuliskan “cepat sembuh” dengan tulisan tangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Ada huruf “P” tertulis tepat di bagian tengah saat aku membaliknya, tidak salah lagi ini semua pasti dari Prasetyo. Semakin hari dia semakin berani saja, dia nekat kirim paket seperti ini saat Mas Tris tidak ada di rumah. “Ada satu lagi Mah yang dikirim sama bunga itu, kotak besar yang di samping rak. Tadinya mau Ara
“Si Trisno jalan dari arah sebelah kiri rumah kamu. Dari mana dia?” tanya Hendi. Kami bertiga sedang berkumpul di ruangan Hendi setelah jam kantor.“Sebelah kiri itu kaplingan tanah yang masih kosong itu loh Hen, yang baru dibangun pondasinya aja terus nggak ada kabar lagi sampai sekarang. Kalau sampingnya lagi masih ada beberapa rumah sebelum ketemu jalan kecil,” jawabku.“Guys, itu memang jalan kecil tapi cukup loh untuk papasan dua mobil, aku kan pernah lewat situ,” kata Sika.“Iya terus kenapa?” tanya Hendi.“Think Boss, think!” kata Sika.“Apaan lagi si kamu ini?” tanya Hendi kesal.“Kata si Mira pengantar kotak makan itu kan datang pake mobil yang selalu ganti-ganti. Sekarang think deh sama kalian kalau untuk mengantar kotak makan saja pake mobil apalagi untuk jemput si Trisno, masa mau disuruh jalan kaki aja. Trisno memang nggak bawa motor pas keluar rumah tapi dia bawa ponsel sodara-sodara. Dia bertengkar sama Tari, terus dia posisi terpojok, marah, pergi terus telepon







