FAZER LOGINMeski berisik dengan suara-suara lagu yang diputar, keheningan di antara orang-orang di dalamnya terasa sangat jelas apabila diamati. Semuanya berfokus kepada Donfa Kragar seolah menyiratkan kalau Donfa Kragar memilih untuk diam, maka semuanya akan diam di detik itu juga.
Untungnya, tidak lama kemudian ada seorang pelayan yang mengetuk pintu kemudian masuk ke dalam. Ternyata, pelayan tersebut mengantarkan sejumlah botol yang jelas isinya adalah minuman keras yang memabukkan. Kedua temannya seolah menemukan angin segar untuk memulai pembicaraannya sekali lagi.
“Hehe, akhirnya yang dinantikan tiba juga. Minum lagi, ayo minum lagi semuanya! Puaskan dirimu dan lepaskan beban yang mengusik pikiran kita semua!” seru salah satu temannya Donfa Kragar.
Mendengar itu, Donfa Kragar melirik sejenak sebelum berkata, “Baiklah, ayo minum saja sepuasnya! Tak lama lagi, aku harus segera pulang juga!”
“Haha, wokeh!” sahut semua orang bersamaan.
Mereka bersemangat dalam hati masing-masing sampai menegak minuman yang ada sebanyak mungkin sampai habis tak bersisa. Tak disangka, waktu berlalu begitu cepat sehingga hampir semuanya benar-benar mabuk akibat terlalu banyak meminum minuman keras. Hanya Donfa Kragar yang tampak masih tersadar meski wajahnya juga sudah menandakan hampir tertidur saat itu juga.
“Urgh…! Sial, sialan! Ayahku yang sudah tua itu benar-benar brengsek sekali. Bagaimana bisa dia masih seenaknya menyuruhku melakukan hal yang tidak aku inginkan sebagai syarat menjadi pewaris, hah?! Aku, Donfa Kragar, bukan budak siapa pun termasuk ayahku yang tercela itu! Hmph!” gumam Donfa Kragar tak karuan terus saja mengoceh tidak jelas seorang diri.
Tok, tok!
Suara pintu diketuk sebelum akhirnya dibuka ketika seorang pria tua muncul dari lainnya seraya berkata, “Tuan Muda Donfa Kragar, jam sudah menunjukkan larut malam. Seharusnya Tuan sudah tahu kalau besok Anda harus melakukan inspeksi ke salah perusahaan cabang. Tugas ini diberikan langsung oleh Ayah Anda demi pembelajaran sebagai calon pewaris.”
“Cih, calon pewaris, huh? Pak Buwir! Saya ini sudah menjadi pewaris, bukan sekadar calon pewaris! Sialan kau, apa kau benar-benar ajudan terpercayaku atau malah budaknya ayahku sih, hah?! Jangan sekali-kali kau memerintahkanku melakukan apa yang disuruh oleh ayahku yang sudah bau tanah itu!” tegas Donfa Kragar yang masih setengah sadar membantah perkataannya pria tua sebelumnya yang bernama Pak Buwir.
Pak Buwir hanya bisa menghela napas ringan sambil menundukkan kepalanya. “Maafkan saya, Tuan Muda! Kalau begitu, izinkan saya terlebih dahulu mengantarkan Anda pulang dengan selamat sampai ke hotel terlebih dahulu. Selebihnya, pembahasannya bisa dilanjutkan esok hari!”
Tanpa menunggu balasan dari Donfa Kragar, Pak Buwir segera berjalan mendekat ke arah Donfa Kragar yang disekitarnya masih berjejeran para wanita dan teman dekatnya Donfa Kragar sedang terkapar karena mabuk berat. Dengan hati-hati, Pak Buwir akhirnya sampai di sisinya Donfa Kragar dan berusaha menopang tubuhnya untuk dibawa pergi ke dalam mobil.
“Aku, Donfa Kragar adalah pewaris sah Keluarga Kragar! Pastinya Keluarga Kragar akan menjadi milikku, sialan! Pak Buwir, ingat itu baik-baik!” seru Donfa Kragar yang masih mengigau hingga asal bicara tidak jelas dengan lirih nada suaranya.
“Baik, Tuan!” Pak Buwir hanya bisa membalas demikian singkatnya sambil terus membopong tubuhnya Donfa Kragar untuk segera pergi dari sana.
Setelah bersusah payah berjalan dengan bobot tambahan di sampingnya, Pak Buwir akhirnya berhasil membawa Donfa Kragar ke dalam mobil pribadinya. Dalam perjalanan pulang menuju hotel penginapan, Donfa Kragar masih saja terus menerus mengigau dengan kata-kata yang tidak terlalu berbeda seperti mengutuk ayahnya sendiri sambil memamerkan dirinya sebagai pewaris sah Keluarga Kragar.
“Hah, Tuan Muda Donfa Kragar benar-benar sudah menyimpang terlalu jauh. Pria kecil yang kekanakan dahulu menjadi sosok yang tak karuan seperti ini. Kalau bukan karena masalah kala itu…, hadeh…!” pikir Pak Buwir dalam renungan diamnya ketika melirik Donfa Kragar melalui cermin sambil mengendarai mobilnya.
Ingatan terkait kejadian sekaligus masalah serius yang menimpa Donfa Kragar muncul di dalam benaknya. Kenyataan pahit yang bahkan Pak Buwir sendiri yang bukan pihak yang terlibat secara langsung menjadi merinding sekali dan tidak ingin mengingatnya sama sekali. Segala sifat bejatnya Donfa Kragar saat ini berawal dari sejak saat itu.
“Semoga masalah ini bisa segera selesai juga!” pikir Pak Buwir berharap dalam hatinya.
Waktu berselang, Pak Buwir akhirnya sampai di hotel penginapan. Dengan susah payah, Pak Buwir terus saja menggotong Donfa Kragar sampai ke dalam kamarnya sendirian. Setelahnya tiba di sana, beliau langsung membaringkan Donfa Kragar yang sudah terlelap dalam tidurnya sejak kelelahan mengoceh di dalam mobil sebelumnya.
Pak Buwir menatap dengan tenang ke arahnya Donfa Kragar sambil menarik selimut untuknya. Pak Buwir sempat bergumam pelan, “Semoga nyenyak tidurnya, Tuan Muda Donfa!”
Setelah itu, Pak Buwir segera keluar dari dalam kamar tersebut. Tak berselang lama pintu ditutup oleh Pak Buwir dari luar, Donfa Kragar tiba-tiba membuka kedua matanya. Tatapan matanya tampak lesu dan juga tegas di saat bersamaan. Dengan keadaan setengah sadar, Donfa Kragar bergumam pelan, “Aku pasti akan menjadi pewaris Keluarga Kragar, pasti!”
Di sisi lain, Pak Buwir yang sudah masuk ke dalam kamarnya sendiri mendapati ponselnya tiba-tiba berdering dengan keras. Dengan terburu-buru, Pak Buwir melihat kalau yang sedang memanggilnya tidak lain adalah Tuan Jurgan Kragar, ayahnya Donfa Kragar itu sendiri.
“Tuan Jurgan Kragar? Malam-malam begini, mengapa beliau menghubungi saya? Mungkinkah karena urusan besok di perusahaan cabang bersama Tuan Muda Donfa Kragar?” gumam Pak Buwir seolah mencoba menebak-nebak kemungkinan tersembunyi mengapa dirinya dihubungi oleh ayahnya Donfa Kragar secara langsung.Tak ingin terus menebak-nebak tanpa dasar alasan yang jelas, Pak Buwir segera menjawab panggilan masuk tersebut. “Halo, Tuan! Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”Pak Buwir tampak berhati-hati dalam kata-katanya. Di sisi lain, Jurgan Kragar tengah berada di dalam ruang kerja, tepat di kediaman utama milik Keluarga Kragar. Ekspresi wajahnya yang sudah keriput begitu sulit ditebak, tapi jelas sekali kalau sorot matanya begitu dingin rasanya.“Hmph! Bocah nakal itu ada di mana sekarang? Dari tadi saya coba hubungi, malah tidak dijawab-jawab dan bahkan sengaja dimatikan! Sudah bosan hidup kah, bocah tidak tahu diuntung itu, hah?!” teriak Jurgan Kragar begitu nyaring terdengar meski sebatas panggilan m
Meski berisik dengan suara-suara lagu yang diputar, keheningan di antara orang-orang di dalamnya terasa sangat jelas apabila diamati. Semuanya berfokus kepada Donfa Kragar seolah menyiratkan kalau Donfa Kragar memilih untuk diam, maka semuanya akan diam di detik itu juga.Untungnya, tidak lama kemudian ada seorang pelayan yang mengetuk pintu kemudian masuk ke dalam. Ternyata, pelayan tersebut mengantarkan sejumlah botol yang jelas isinya adalah minuman keras yang memabukkan. Kedua temannya seolah menemukan angin segar untuk memulai pembicaraannya sekali lagi.“Hehe, akhirnya yang dinantikan tiba juga. Minum lagi, ayo minum lagi semuanya! Puaskan dirimu dan lepaskan beban yang mengusik pikiran kita semua!” seru salah satu temannya Donfa Kragar.Mendengar itu, Donfa Kragar melirik sejenak sebelum berkata, “Baiklah, ayo minum saja sepuasnya! Tak lama lagi, aku harus segera pulang juga!”“Haha, wokeh!” sahut semua orang bersamaan.Mereka bersemangat dalam hati masing-masing sampai menegak
Karnias Saputri melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam lebih lima belas menit. Dalam keheningan, Karnias Saputri bergumam pelan, “Jam sembilan malam ya? Masih ada cukup waktu untuk menyelesaikan sisa pekerjaanku ini. Semangat Karnias, kerja keras pastinya tidak akan mengkhianati hasil akhirnya!”Sambil menepuk pipinya sendiri, bola matanya Karnias Saputri langsung terbuka lebar-lebar sebagai tanda dirinya yang tidak kenal lelah. Karnias Saputri termasuk beruntung karena bisa mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan cabang milik Keluarga Kragar. Penerimaan karyawannya tidak mematok ijazah kuliah sehingga Karnias Saputri yang masih SMA bisa ikut melamar.Tentunya, Karnias Saputri tidak melamar dengan tangan kosong apalagi tanpa persiapan sedikit pun. Bisa dibilang kalau Karnias Saputri termasuk orang yang cerdas. Meski tidak terlalu memukau secara akademik, setidaknya dia tekun dan teliti sehingga pekerjaannya sangat enak dilihat mata.Karnias Saputri
“Bu Karnias, maaf ya! Suamimu akan saya manjakan hari ini! Mungkin lain kali bakal jadi giliran Anda! Mu–mungkin juga tidak, ah…!” ucap Bu Linda dengan suara lembut sebelum terputus ketika merasakan sengatan listrik dari salah satu puncak gunung kembar miliknya yang dihisap dengan ganasnya oleh makhluk buas bernama Donfa Kragar.Karnias Saputri melotot ketika mendengarnya sekaligus geram ketika melihat pemandangan suaminya sendiri begitu ganas meremas dan menghisap tubuh sensitif yang besar sekaligus kenyal miliknya Bu Linda, tepat di depan matanya. Perasaan marah, benci, dan dendam yang sulit terlukiskan terasa bercampur aduk menjadi satu dalam momen bejat semacam itu.Pengalaman hidup yang mustahil dilupakan oleh Karnias Saputri, tak peduli apa yang terjadi ke depannya. Entah berapa lama rasa mengganjal di dalam hatinya akan terus ada. Selama terus didiamkan dan tidak ada sesuatu yang dapat melunturkannya, perasaan rumit akan terus menerus mendiami isi hatinya hingga membuatnya kehi
“Donfa Kragar, mencintai pria laknat sepertimu benar-benar kesalahan terbesar dalam hidupku! Aku pasti akan mengingat rasa sakit ini seumur hidupku! Kau tunggu saja balasan dariku, pasti berkali-kali lebih dahsyat dari penyiksaanmu selama ini!” pikir Karnias Saputri dalam hatinya yang benar-benar membenci dan mulai menyimpan dendam.Donfa Kragar tidak tahu isi hatinya Karnias Saputri, lebih tepatnya memang tidak mau tahu sama sekali. Alhasil, Donfa Kragar semakin ganas terus memukuli istrinya sendiri tersebut tepat di hadapan selingkuhannya. Sebuah kelakuan bejat yang sungguh sulit digambarkan hanya beberapa kata saja. “Gawat! Donfa ini benar-benar sudah terlalu berlebihan! Aku harus menghentikannya sekarang juga!” pikir Bu Linda yang sudah tak tega melihat Karnias Saputri terus menerus digampar selayaknya samsak tinju oleh Donfa Kragar tanpa memberikan sedikit pun perlawanan.“Cukup, Pak Donfa! Jangan terlalu keras memukulinya! Nanti kalau dia pingsan, bakal sulit mengurusnya! Lagi
Karnias Saputri segera menunjukkan jari telunjuknya sambil melangkah maju ke arahnya Bu Linda. Raut wajahnya yang cantik benar-benar memudar dengan amarahnya yang memuncak hingga membuatnya mendidih karena tak tahu harus berbuat apalagi demi melampiaskan amarahnya yang mengganjal di dalam hatinya tersebut.“Kau…! Masih beraninya kau tersenyum mengejek kepadaku, hah?! Dasar rubah berbisa, kau pantas mati seribu kali!” teriak Karnias Saputri dengan nada tinggi ketika mengutuk Bu Linda dalam amarahnya.Donfa Kragar menyipitkan matanya ketika mendengar bentakan istrinya tersebut. “Lancang sekali mulutmu, hah?! Cepat minta maaf yang tulus kepada, Bu Linda! Jangan coba-coba berani beranjak pergi dari tempat ini sebelum kau melakukannya tepat di depan hadapanku dan Bu Linda! Minta maaf sekarang juga!”Karnias Saputri yang sudah kehilangan akal seolah kembali tersadar dari amarahnya. Tatapan matanya seolah tidak percaya ketika mendengar suaminya berkata-kata tidak tahu malu dan mustahil masuk







