Share

Bab 4

Penulis: Olin huy
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-17 00:25:05

Dalam hitungan mundur, tiga, dua, satu!

Ku buka perlahan. Benar sekali. Di dalamnya adalah benda berbentuk kotak. 

Coba kalian tebak! Isinya apa hayo? Aduh, aku dek-dekan. Sampai gemetar 'ni tangan.

"Karmila, dicari Bu Efi 'ni!" teriak Mas Darius. Ish, menyebalkan sekali. Ku intip saja dulu.

"Karmila ...! Sudah di tunggu 'ni," serunya lagi. Suara lelaki itu membuyarkan sesuatu yang ada di kepalaku.

Kotak itu ku letakkan begitu saja di nakas. Lalu ke luar menemui Bu Efi.

"Lho, Mbak Karmila kok belum siap-siap?" tanya Bu Efi. Bu Efi terlihat kaget melihatku. Aku pun tak kalah bingung.

"Si-siap, siap apa, Bu?"

"Lho, Mbak Karmila lupa atau amnesia? Bukankah kemarin Mbak Mila sendiri yang ngajak bareng aku untuk menjenguk Bu RT?"

"Oalah iya, Bu Efi. Maaf, aku lupa!" kataku. Tepuk jidat dah. Gara-gara berlian aku jadi amnesia. "Kalau begitu ku ambil tas dulu, Bu!" pamitku. Aku cepat-cepat ke kamar dan menyambar tas kecil di sana. "Ayo, Bu!" 

"Pakai mobilku saja, Mbak Mila. Kebetulan suamiku libur kerja," katanya.

"Memangnya dia mau mengantar kita?" tanyaku penasaran.

"Ya jelas maulah, Mbak. Masak antar istri sendiri nggak mau. Kalau nggak mau, kempesin saja ban mobilnya," canda Bu Efi. 

Ahahaha.

Kami tertawa serentak. Sekilas ku lihat Mas Darius yang sedang asik bermain dengan burungnya. "Andai saja Mas Darius mau belajar nyetir mobil. Jadi, dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membayar supir. Aku bisa diantarnya setiap kali akan pergi. 'Kan, nggak enak kalau pergi berdua dengan supir. Paling cuma bisa duduk diam main ponsel. Nggak seru!" batinku.

"Mas, kami pergi dulu ya!"

Aku salim dan ku kecup punggung juga telapak tangannya.

"Iya, hati-hati!" katanya dengan santai.

Di halaman rumah, ternyata sudah ada Pak Randi--suami Bu Efi. Kami masuk ke dalam mobil itu. Aku dan Bu Efi duduk di belakang.

"Lho, Bu Efi kok di belakang. Kenapa nggak di depan?" tanyaku bingung. Biasanya istri 'kan duduk di sebelah suaminya.

"Nggak, Mbak Mila. Di belakang saja, menemani Mbak Mila. Nanti kalau aku di depan, Mbak Mila malah jadi obat nyamuk lagi," ujar Bu Efi. 

"Hehe, iya juga 'sih," gumamku.

"Pak Randi tidak apa-apa di depan sendiri?" tanyaku. 

"Halah, biasa saja, Mbak. Sudah biasa setiap hari nyetir sendiri," kata Pak Randi.

"Kamu enak, Mbak Mila. Mas Darius punya sopir sendiri," kata Bu Efi.

"Enak Bu Efi, dong! Kemana-mana bisa berdua terus sama suami," balasku.

"Enak dari mana, Mbak? Aku kalau ke luar kota dan nyetir sendiri, rasanya capek banget. Kaki, tangan, otak juga. Apalagi kalau mengantuk juga. Pokoknya lengkap capeknya," kata Pak Randi.

"Benar Mbak Mila, Mas Randi kalau perjalanan jauh, dia jadi mudah sakit," Bu Efi menimpali.

"Iyalah, Mbak. Jadi Mas Darius itu enak. Kemana-mana tinggal ngomong 'ayo' lalu tiduran di mobil. Tahu-tahu sudah sampai tujuan," ujar Bu Efi.

Di sini aku mulai bingung. "Maksud ... Ibu apa? Bukankah enak nyetir sendiri, Bu Efi? Aku malah sering menyuruh Mas Darius untuk belajar mengemudikan mobil. Tapi, dia tidak pernah mau," kataku.

"Ya jelas nggak mau, Mbak. 'Kan lebih enak ada sopir," balas Pak Randi.

Sepertinya untuk hal mengendarai mobil pun aku juga akan kalah berdebat. Untung ini membahas dengan orang lain. Kalau dengan suamiku, ujung-ujungnya bakal diceramahi.

Mungkin ini yang dinamakan WANG SINAWANG melihat, juga dilihat. 

Aku melihat seorang istri yang mobilnya di setir suaminya sendiri itu enak banget. Tapi, Bu Efi dan suaminya justru sebaliknya, mereka menganggap aku dan suamiku lebih enak, karena kemana-mana bawa sopir.

Pantas saja waktu itu, saat aku berkeinginan belajar mengemudikan mobil, dilarang keras oleh Mas Garwo alias sigaraning nyowo atau belahan jiwa. Mungkin dia takut kalau aku kecapekan. Atau takut istrinya kelayapan melulu. Hehe. 

***

Puskesmas tempat merawat Bu RT sudah terlihat cukup dekat. Pak Randi mulai mempercepat laju mobilnya hingga sampai di parkiran, aku dan Bu Efi turun. Lalu, aku dan Bu Efi masuk ke dalam. Sedangkan Pak Randi menunggu di luar.

Kami menyambangi sebuah kamar yang di dalamnya terdapat Bu RT, sedang terlihat terkulai lemah di ranjang.

"Assalamualaikum!" serantak kami mengucap salam.

"Walaikum salam, Bu Efi, Mbak Mila. Mari masuk!" Pak RT menyambut kami.

"Bu RT, bagaimana keadaannya?" tanya Bu Efi.

"Sudah agak mendingan kok, Bu. Mungkin besok sudah boleh pulang," jawab Bu RT.

"Ini cuma berdua saja?" tanya Pak RT sambil menunjukku dan Bu Efi bergantian.

"Kita bertiga kok, Pak. Sama Mas Randi. Dia menunggu di luar," ujar Bu Efi.

"Lho, kenapa tidak di ajak masuk?" Pak RT bertanya lagi.

"Biarkan di luar saja, Pak RT. Biar Bu RT tidak terlalu bising," jawab Bu Efi.

"Bu Efi ngelesnya kurang pinter. Padahal, tiga ibu-ibu vs dua bapak-bapak, akan lebih los tiga ibu-ibu. Jadi, meski yang pria di luar, tetap saja ruangan akan ramai," batinku.

"Kalau begitu biar aku ke luar menemani, Pak Randi," kata Pak RT.

Pak RT ke luar. Kami diam saja sampai punggung lelaki itu benar-benar tidak kelihatan. Hantu kali ya.

"Kemarin Bu Meta, Bu Fatia juga ke sini," ujar Bu RT.

"Oalah, kok mereka nggak ngajak kita ya Mbak Mila?" tanya Bu Efi.

"Mungkin karena mereka tidak suka dengan Mas Darius, Bu Efi!" jawabku. Sepertinya aku kembali berpikiran negatif lagi dengan kumpulan ibu-ibu rumpi.

"Mereka cerita apa saja ke sini, Bu RT? Secara, signal mereka 'kan kuat. Kabar orang se-RT bisa tahu semua. Mengalahkan chanel TV," ujar Bu Evi.

Bu RT tersenyum mendengar pertanyaan warganya yang satu ini.

"Kira-kira aku cerita nggak, ya? Aku serba salah ni," ujar Bu RT.

"Kenapa bingung Bu RT? Cerita saja," desak Bu Efi.  

"Masalahnya, mereka sudah bicara padaku, kalau aku nggak boleh bilang-bilang sama orang," katanya lagi

Aku cuma bergeming sambil mikir. Sepertinya mereka membicarakanku. Terlihat dari sikap Bu RT yang sungkan terhadapku.

"Halah, nggak apa-apa Bu RT. Lagian, si Fatia itu nggak mungkin bisa menyimpan rahasia. Paling beritanya juga bocor kemana-mana," ujar Bu Efi.

Kemudian Bu RT menatapku. Meski bibirnya masih sedikit pucat, tapi badannya sudah terlihat segar.

"Karmila, kamu jangan marah, ya. Sebenarnya mereka membicarakanmu," kata Bu RT.

Drundungdungdung. Biar seperti yang ada disinetron,hehe.

Benar 'kan dugaanku. Mereka pasti membicarakanku. Kali ini bukan sekedar berpikir negatif. Tapi fakta.

"Mereka bicara apa, Bu?" tanyaku.

Bu RT terlihat sungkan untuk bicara. "Emmm, itu Mil. Katanya, Darius sok-sokan mau beli emas 1kg. Tapi nggak jadi. Apa benar?" tanya Bu RT. Bu Efi ikut melongo. Haduh, dasar mulut ember. Ternyata ceritanya disebar luaskan. Bisa viral di komplek 'ni. Merdengar soal emas, otakku kembali ke rumah. Eh, kembali teringat benda kecil yang ada di kamarku. Jadi pengen buru-buru pulang.

    

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUAMI USIL   Bab 30

    "Mila, buka pintunya! Kalau pintu kamar di tutup, aku tidur di mana?""Terserah kamu saja, Mas. Salah sendiri pakai janjian sama, Ros." "Mila, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Buka dulu, Sayang. Biar kujelaskan."Mas Darius terus saja membujukku. Tapi biarkan saja. Dia sudah ketahuan main belakang dengan wanita lain. Mungkin akan lebih baik jika aku pergi dari rumah ini. Aaa, tidak, tidak. Kalau aku pergi dari rumah ini, Mas Darius keenakan dong. Dia bisa semaunya sendiri."Mila, buka dong pintunya. Aku cuma bercanda tadi," teriaknya dari luar. Tapi tak kuhiraukan.Setelah beberapa saat, tidak terdengar lagi suaranya. "Apa Mas Darius pergi? Jangan-jangan dia jadi jalan-jalan sama si Rosi itu," batinku. Ya sudahlah, aku tidak peduli. Lama-lama aku juga jenuh di kamar melulu. Aku pun memutuskan untuk ke luar.Saat aku membuka pintu, terlihat sebuah kaki menjulur di atas kursi sofa.Astaga, bandot tua. Mahluk aneh. Kukira sudah pergi jalan-jalan dengan si Ros yang ia telepon tadi

  • SUAMI USIL   Bab 29

    Saatnya ngetes istriku. Apakah dia sudah bisa memahami cara pikirku atau belum."Sayang, kamu hari ini ada acara nggak?" tanyaku sambil tiduran di pangkuannya. Ia sibuk dengan ponselnya."Kebetulan aku juga lagi kosong. Jalan-jalan, yuk!" ajakku."Kemana?" Mila bertanya tanpa melihatku. Aku nyengir dan menahan tawa. "Sepertinya istriku yang bawel ini akan kena jebakan," batinku"Sekitar sini saja," kataku."Sebenarnya aku sedang males 'sih, Mas. Tapi demi menemanimu, ayo!""Ya sudah, aku ganti baju dulu. Kamu juga ganti. Buruan!" titahku.Mila menaruh ponselnya di nakas kemudian berganti pakaian."Ayo, Mas. Aku sudah siap!""Iya, ayo! Mas juga sudah dari tadi nungguin kamu."Pagi ini cukup cerah. Tidak mendung juga tidak panas. Birunya langit menambah keindahan pagi ini. Sudah cukup lama juga tidak cari angin bersama istri.Biasanya berjalan sebentar saja Mila sudah mengeluh capek. Tapi kali ini kenapa diam saja? Aku jadi pusing kalau istriku seperti ini."Sayang, kamu capek nggak? Ka

  • SUAMI USIL   Bab 28

    Dua tahun kemudian usaha mi ayam Septi sukses. Ia bisa melunasi hutangnya pada Mas Darius. Kami pun diminta ke rumahnya sekalian silaturahmi dan makan mi ayam gratis.Sebenarnya Septi mau mengantarnya ke sini. Tapi, Mas Darius sekali-kali juga pengen berkunjung ke rumah adik perempuannya itu. Jadi nggak harus yang muda mengunjungi yang tua melulu."Mas, mau bawa oleh-oleh nggak?" tanyaku saat siap-siap mau ganti baju."Tenang, aku sudah siapkan," katanya. Lega banget dengarnya. Suamiku memang the best.***"Mas, katanya sudah menyiapkan oleh-oleh untuk Septi, mana?"Aku bertanya serius, dia malah cengengesan."Oleh-olehnya ya, kamu!""Hah! Ya Gusti, jangan bercanda, Mas! Kalau tahu begini, aku tadi siapkan. Kalau begitu kita mampir ke toko buah saja. Kita bawakan buah," kataku dengan kesal. Punya suami bawaannya bikin emosi. "Menepi dulu, Kang Arif!""Siap, Bu!"Kami turun dan memilih-milih buah di sana."Enaknya beli buah apa, Mas?" tanyaku meminta saran."Apa saja enak!" jawabnya."

  • SUAMI USIL   Bab 27

    Hari ini adalah waktunya kami pulang dari berlibur. Ayah dan ibuku satu mobil dengan Fadil."Mas, bagaimana kalau nanti kita adu ketangguhan mobil? Jalanan berkelok, banyak jalan yang berlubang. Aku yakin mobilku yang menang," ujar Fadil pada Mas Darius."Mm, bagaimana Kang Arif, berani nggak?" Mas Darius menoleh pada supir."Siap, Pak Bos!" Kang Arif begitu bersemangat."Fadil, jangan begitu! Bahaya ugal-ugalan di jalan. Kamu tahu sendiri 'kan ibu takut kalau kebut-kebutan di jalan," Ibu menimpali."Tenang saja, Bu. Cuma uji ketangguhan saja. Bukan kebut-kebutan," balas Fadil.Kami pun naik ke mobil masing-masing. Memang ada sedikit jalan berkelok-kelok dan banyak lubang. Sebenarnya aku juga takut. Namun melihat semangat Mas Darius dan Kang Arif, aku cuma bisa diam."Bagaimana ini, Pak? Mas Fadil sepertinya yang lebih unggul," kata Kang Arif."Tenang saja, Kang. Kita santai saja. Berdoa saja mobil Fadil bannya kempes," kata suamiku."Ish, jangan begitu, Mas. Di sana ada ayah dan ibu.

  • SUAMI USIL   Bab 26

    "Ini bagaimana ceritanya kalian bisa sekongkol ngerjain aku?" tanyaku pada Fadil.Fadil menggaruk-garuk kepalanya sambil melirik kakak iparnya yang meringis kesakitan."Emm, anu-Mbak. Sebelum ke sini, kami sudah janjian. Dan sebenarnya, ayah dan ibu juga hadir, Mbak.""Ayah dan ibu?""Iya, Mbak.""Lalu mereka di mana sekarang?""Itu mereka ...!" Fadil menunjuk ke arah belakangku."Astaga, Ayah, Ibu! Ya Allah, aku kangen sama kalian." Ke peluk kedua orang tua itu. Kemudian Mas Darius mendekat dan menyalami orang tuaku."Em, hebat akting kalian, ya. Jadi, pemulung yang cuma makan nasi dan garam itu, Ibu!""Hmm, Mila, ini agar kamu bisa berubah. Masak umur sudah semakin matang masih saja emosian, nggak sabaran, gengsian juga. Buang sikap seperti itu, Mila.""Ini sudah watakku, Bu. Ibaratnya adalah pakaianku sehari-hari. Jadi, tetap akan seperti ini terus," kataku. Benar 'kan. Batuk gampang diobati, dan watak sulit untuk dirubah."Tentu saja aku bicara dengan ibu secara lemah lembut."Hih

  • SUAMI USIL   Bab 25

    "Gado-gadonya isinya lengkap ya, Mas! Ada karbohidrat dari lontong dan kentangnya. Ada protein dari telur dan kacang pannjangnya, termasuk sambalnya juga. Ada zat besi dari bayam. Komplit banget. Tinggal nanti kita beli buah dan susu," kataku. Bagaimanapun sebagai seorang ibu itu harus memperhatikan nilai gizi dari setiap apa yang dimakan anggota keluarga. Aku tidak mau suamiku kekurangan gizi. Apalagi di usianya yang tidak muda lagi. "Makan ya makan saja, Mila. Ngapain mikirin gizi. Karbohidratlah, proteinlah, vitaminlah, kalorilah. Kalau mikirin semua itu, yang ada kita justru sakit bukan karena kekurangan gizi. Tapi sakit memikirkan gizi."Ish, ngeyel banget kalau dibilangin. "Mas, gizi itu penting buat gubuh kita lho. Kalau kita kekurangan karbohidrat, yang ada kita lemes. Nggak bisa mikir.""Emm, kata siapa? Mas nggak percaya. Buktinya bayi cuma minum susu nggak makan nasi dan sayur juga sehat.""Itu beda, Mas. Susu sudah banyak kandungan vitamin dan lainnya. Termasuk lemak," k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status