Share

Bab 5

Author: Olin huy
last update Last Updated: 2023-07-17 00:25:54

Benar 'kan dugaanku. Mereka pasti membicarakanku. Kali ini bukan sekedar berpikir negatif. Tapi fakta.

"Mereka bicara apa, Bu?" tanyaku.

Bu RT terlihat sungkan untuk bicara. "Emmm, itu Mil. Katanya, Darius sok-sokan mau beli emas 1kg. Tapi nggak jadi. Apa benar?" tanya Bu RT. Bu Efi ikut melongo. Haduh, dasar mulut ember. Ternyata ceritanya disebar luaskan. Bisa viral di komplek 'ni. Merdengar soal emas, otakku kembali ke rumah. Eh, kembali teringat benda kecil yang ada di kamarku. Jadi pengen buru-buru pulang.

"Mila, Mbak Karmila!" seru Bu Efi. Ia menggoyang-goyangkan pundakku.

"Ditanya Bu RT kok malah bengong. Bagaimana, apakah benar berita itu?" tanya Bu Efi. Aku berusaha menarik bibir agar terlihat senyum meski sedikit mengembang. Dalam hati rasanya malu ... setengah mati. 

"Iya 'sih benar," jawabku sambil cengengesan. 

"Oalah, ahahaha, Mila ... sabar banget ya kamu ini. Punya suami macam Darius. Jadi berita itu benar? Ya Gusti ...." Bu RT dan Bu Efi tertawa sambil memegang perutnya.

"Mila, Mila ... kalau aku jadi kamu, sudah ku masukkan suamiku ke dalam ketiak. Ahahaha ..." seru Bu Efi.

"Aduh, aduh, cukup. Rasanya aku mau pipis," ujar Bu RT. "Ayo bantu aku ke kamar mandi!" ajaknya.

Aku dan Bu Efi segera memapah Bu RT ke kamar mandi. "Makanya, Bu. Jangan kencang-kencang kalau tertawa. Untung bisa bisa menahannya. Kalau ngompol di kasur apa nggak malu?" kataku.

"Ya habisnya suamimu lucu, Mil. Kok ada ... orang kaya gitu. Tapi, berkat obrolan tadi aku terhibur lho, Mil. Rasanya tubuhku tambah bugar," kata Bu RT.

Setelah selesai, kami membawa Bu RT ke ranjang lagi. Karena kami sudah terlalu lama di situ, aku dan Bu Efi pun berpamitan.

"Bu, kami pulang dulu. Ini ada sedikit semoga berguna," kata Bu Efi. Lalu kami menyerahkan amplop pada Bu RT.

"Ya Allah, ibu-ibu terima kasih. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian," kata Bu RT.

Ini saat yang aku tunggu-tunggu. Segera pulang dan sampai rumah. Bayangan kotak itu  sudah menari-nari di ingatanku seperti bayangan mantan.

***

Disaat aku sampai rumah, ternyata Mas Darius tidak ada di rumah. Di rumah hanya ada Mbok Inah--seseorang yang bekerja paruh waktu di rumah kami.

Tidak menunggu lama. Aku harus segera menyelesaikan misi. Jangan sampai ada ganguan melulu. Langsung saja aku ke kamar. Mengambil kotak kecil yang ku tinggalka tadi.

Tidak pakai basa-basi. Nggak pakai hitungan segala. Kelamaan. Jeng Jeng Jeng. Kalian penasaran kan ...

Dengan menutup mata. Takut silau, Say! Jepret!

"Mas Dariusssss ....! Awas kamu, Mas! Tunggu saja pembalasanku!"

Ku tunggu suamiku di depan TV. "Kalau dia pulang, siap-siap saja ku remas-remas wajahnya. Biar tambah kisut. Sekalian masukkan ke ketiak seperti pesan Bu RT. Huh, rasanya pengen makan orang," gerutuku.

Sambil menunggu aku menonton film Drakor. Katanya filmnya romantis. Jadi aku penasaran  pengen nonton. 

Beberapa menit kemudian. Mas Darius pulang. Aku menyambutnya dengan salam dan biasa cium punggung tangan dan telapaknya. Meski aku masih sebel padanya.. Tetap tetap saja, dia masih suamiku yang  harus aku hormati

"Mau kopi, Mas?" tanyaku.

"Iya Sayang, yang manis, ya. Kaya kamu!" katanya. Aku membalas dengan senyum ciut.

Aku menuju ke dapur untuk melancarkan aksi. Kebetulan Mbok Inah sudah ku suruh pulang dari tadi. Ku ambil kopi kesukaannya. Setelah selesai segera ku hidangkan di meja.

"Ayo, Mas. Di minum. Mumpung masih hangat!" seruku.

Ketika Suamiku mulai meminunnya. Aku menahan tawa.

"Ngapain senyam-senyum? Kaya baru menang undian saj," tanyanya. Aku tidak menjawab. Tidak sabar melihat reaksinya.

BEUAH!

Ahahaha.

Aku puas bisa tertawa. Aku berhasil ngerjain dia.

"Kenapa, Mas?" tanyaku seolah tidak tahu.

"Nggak apa-apa. Cuma ada yang aneh," jawabnya.

Ahahaha.

Meski tertawa dalam hati. Melihat wajahnya seperti itu serasa sedang menonton film komedi secara live. Aku tahu, Mas Darius bukan orang yang suka mencaci masakan istrinya. Aku yakin dia akan menghabiskannya.

"Kenapa, Mas? Kurang manis?" tanyaku lagi.

"Ti-tidak. Ini akan ku habiskan," katanya.

Apakah ini termasuk penganiayaan pada suami? Ah, aku tidak tahu. Yang aku tahu, Mas Darius harus menghabiskan kopi buatan istri tercinntahnya ini. Kopi spesial garam.

Setelah menemaninya menghabiskan kopi, aku segera mengambil benda kotak tadi ke hadapan suamiku.

"Mas, jelaskan ini. Maksudnya apa kamu memberiku barang seperti ini untuk dijadikan berhias. Aku bisa disangka orang gila, Mas!"

Aku ngomong, ngoceh dari timur ke barat, selatan ke utara. Dia malah asik makan kacang. 

"Mas! Hih, Mas! Dengarkan istrinya kalau sedang ngomel," hardikku. 

"Iya, iya. Mas dengar kok. Lanjutkan!" katanya.

Rasanya sungutku sudah mulai berdiri. Istri ngomel sampai berbusa nggak bertanya kenapa, atau apa gitu. Malah dicuekin.

"Ya ini, Mas, jelaskan. Maksudnya apa?"

"Apa? Ini?" Dia menunjuk kotak itu. "Sudah tahu ini coklat," katanya santai.

"Tapi kenapa kamu bilang padaku perhiasan? Jahat kamu, Mas. Jahat!" Aku menangis tersedu-sedu sambil memukul lengannya.

"Ahahaha. Jadi, kamu kira ini perhiasan?" tanyanya sambil tertawa. Aku terus saja memukulinya. Tapi dia tidak melawan. "Lagian kamu 'kan nggak bertanya. Kalau pun coklat, apa masalahnya? Ini coklat oleh-oleh dari Pak Haji lho. Pasti enak. Coklatnya berkelas. Lihat saja kemasannya," katanya panjang lebar.

"Aku nggak mau tahu. Aku marah sama kamu. Aku tadi bukan cuma mengira itu perhiasan, Mas. Ku kira berlian," gerutuku. Sambil menarik telinga Mas Darius. Mencubitinya karena rasanya dadaku sudah empet banget dengan kelakuannya. Dia pun pasrah aku gituin. 

"Berlian? Ada-ada saja istriku ini. Itu kotak ada tulisan berlian, karena merk dari pabrik coklatnya. Bukan kotak berlian."

"Lagian, katanya mau membelikanku perhiasan. Mau bohong lagi?"

"Enggak! Itu pehiasannya ada di plastik hitam di sebelah TV," katanya. Tangisanku langsung berhenti. Ku ambil plastik itu. Jiwa negatifku langsung ke luar akibat berpikir positif tapi hasilnya menyakitkan. Huhu.

Ada yang aneh juga. Perhiasan, masak bungkus plastik hitam. Seperti bungkus jajan di warung.

"Ayo buruan dibuka, jangan di lihat luarnya saja. Supaya tahu isinya," seru Mas Darius.

Tanpa hitungan ku buka plastiknya. Ada kalung, gelang, dan anting di situ.

"Bagaimana? Bagus-bagus 'kan modelnya?"

"Bagus 'sih bagus, Mas! Tapi nggak gini juga. Aku tahu ini titanium. Bukan emas. Ihh! Sebel!"

"Aduh, salah lagi!" ujarnya. "Mas kan cuma bilang beli perhiasan. Nggak ngomong beli emas."

"Auk ah, gelap!"

"Kalau hatimu gelap, Mas siap menyinarinya."

"Halah, nggak mempan gombalanmu, Mas! Apa salahnya 'sih, Mas. Membelikan 'ku perhiasan emas? Sedangkan uang di brangkas Mas Darius juga banyak," protesku.

"Bukan begitu, Sayang. Memang benar, Mas bisa saja membeli perhiasan emas. Tapi, akan lebih nyaman kalau kamu pakai yang imitasi kalau untuk sehari-hari. Lebih aman dan lebih nyaman dalam beraktifitas. Lagian saat bercinta Mas juga nggak suka kamu memakai barang-barang itu. Ribet, malah nyangkut-nyangkut. Bayangkan saja, kalau sedang di luar atau di jalan, kamu ketemu dengan perampok. Dia mau semua barang yang kamu bawa. Kalau emas beneran, pulang bisa nangis guling-guling. Tapi kalau imitasi, tinggal kasih aja."

Kupikir logis juga 'sih cara berpikir Mas Darius. 

"Tunggu sebentar, Mas mau kasih lihat kamu sesuatu," ujarnya, lalu meninggalkanku ke kamar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI USIL   Bab 30

    "Mila, buka pintunya! Kalau pintu kamar di tutup, aku tidur di mana?""Terserah kamu saja, Mas. Salah sendiri pakai janjian sama, Ros." "Mila, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Buka dulu, Sayang. Biar kujelaskan."Mas Darius terus saja membujukku. Tapi biarkan saja. Dia sudah ketahuan main belakang dengan wanita lain. Mungkin akan lebih baik jika aku pergi dari rumah ini. Aaa, tidak, tidak. Kalau aku pergi dari rumah ini, Mas Darius keenakan dong. Dia bisa semaunya sendiri."Mila, buka dong pintunya. Aku cuma bercanda tadi," teriaknya dari luar. Tapi tak kuhiraukan.Setelah beberapa saat, tidak terdengar lagi suaranya. "Apa Mas Darius pergi? Jangan-jangan dia jadi jalan-jalan sama si Rosi itu," batinku. Ya sudahlah, aku tidak peduli. Lama-lama aku juga jenuh di kamar melulu. Aku pun memutuskan untuk ke luar.Saat aku membuka pintu, terlihat sebuah kaki menjulur di atas kursi sofa.Astaga, bandot tua. Mahluk aneh. Kukira sudah pergi jalan-jalan dengan si Ros yang ia telepon tadi

  • SUAMI USIL   Bab 29

    Saatnya ngetes istriku. Apakah dia sudah bisa memahami cara pikirku atau belum."Sayang, kamu hari ini ada acara nggak?" tanyaku sambil tiduran di pangkuannya. Ia sibuk dengan ponselnya."Kebetulan aku juga lagi kosong. Jalan-jalan, yuk!" ajakku."Kemana?" Mila bertanya tanpa melihatku. Aku nyengir dan menahan tawa. "Sepertinya istriku yang bawel ini akan kena jebakan," batinku"Sekitar sini saja," kataku."Sebenarnya aku sedang males 'sih, Mas. Tapi demi menemanimu, ayo!""Ya sudah, aku ganti baju dulu. Kamu juga ganti. Buruan!" titahku.Mila menaruh ponselnya di nakas kemudian berganti pakaian."Ayo, Mas. Aku sudah siap!""Iya, ayo! Mas juga sudah dari tadi nungguin kamu."Pagi ini cukup cerah. Tidak mendung juga tidak panas. Birunya langit menambah keindahan pagi ini. Sudah cukup lama juga tidak cari angin bersama istri.Biasanya berjalan sebentar saja Mila sudah mengeluh capek. Tapi kali ini kenapa diam saja? Aku jadi pusing kalau istriku seperti ini."Sayang, kamu capek nggak? Ka

  • SUAMI USIL   Bab 28

    Dua tahun kemudian usaha mi ayam Septi sukses. Ia bisa melunasi hutangnya pada Mas Darius. Kami pun diminta ke rumahnya sekalian silaturahmi dan makan mi ayam gratis.Sebenarnya Septi mau mengantarnya ke sini. Tapi, Mas Darius sekali-kali juga pengen berkunjung ke rumah adik perempuannya itu. Jadi nggak harus yang muda mengunjungi yang tua melulu."Mas, mau bawa oleh-oleh nggak?" tanyaku saat siap-siap mau ganti baju."Tenang, aku sudah siapkan," katanya. Lega banget dengarnya. Suamiku memang the best.***"Mas, katanya sudah menyiapkan oleh-oleh untuk Septi, mana?"Aku bertanya serius, dia malah cengengesan."Oleh-olehnya ya, kamu!""Hah! Ya Gusti, jangan bercanda, Mas! Kalau tahu begini, aku tadi siapkan. Kalau begitu kita mampir ke toko buah saja. Kita bawakan buah," kataku dengan kesal. Punya suami bawaannya bikin emosi. "Menepi dulu, Kang Arif!""Siap, Bu!"Kami turun dan memilih-milih buah di sana."Enaknya beli buah apa, Mas?" tanyaku meminta saran."Apa saja enak!" jawabnya."

  • SUAMI USIL   Bab 27

    Hari ini adalah waktunya kami pulang dari berlibur. Ayah dan ibuku satu mobil dengan Fadil."Mas, bagaimana kalau nanti kita adu ketangguhan mobil? Jalanan berkelok, banyak jalan yang berlubang. Aku yakin mobilku yang menang," ujar Fadil pada Mas Darius."Mm, bagaimana Kang Arif, berani nggak?" Mas Darius menoleh pada supir."Siap, Pak Bos!" Kang Arif begitu bersemangat."Fadil, jangan begitu! Bahaya ugal-ugalan di jalan. Kamu tahu sendiri 'kan ibu takut kalau kebut-kebutan di jalan," Ibu menimpali."Tenang saja, Bu. Cuma uji ketangguhan saja. Bukan kebut-kebutan," balas Fadil.Kami pun naik ke mobil masing-masing. Memang ada sedikit jalan berkelok-kelok dan banyak lubang. Sebenarnya aku juga takut. Namun melihat semangat Mas Darius dan Kang Arif, aku cuma bisa diam."Bagaimana ini, Pak? Mas Fadil sepertinya yang lebih unggul," kata Kang Arif."Tenang saja, Kang. Kita santai saja. Berdoa saja mobil Fadil bannya kempes," kata suamiku."Ish, jangan begitu, Mas. Di sana ada ayah dan ibu.

  • SUAMI USIL   Bab 26

    "Ini bagaimana ceritanya kalian bisa sekongkol ngerjain aku?" tanyaku pada Fadil.Fadil menggaruk-garuk kepalanya sambil melirik kakak iparnya yang meringis kesakitan."Emm, anu-Mbak. Sebelum ke sini, kami sudah janjian. Dan sebenarnya, ayah dan ibu juga hadir, Mbak.""Ayah dan ibu?""Iya, Mbak.""Lalu mereka di mana sekarang?""Itu mereka ...!" Fadil menunjuk ke arah belakangku."Astaga, Ayah, Ibu! Ya Allah, aku kangen sama kalian." Ke peluk kedua orang tua itu. Kemudian Mas Darius mendekat dan menyalami orang tuaku."Em, hebat akting kalian, ya. Jadi, pemulung yang cuma makan nasi dan garam itu, Ibu!""Hmm, Mila, ini agar kamu bisa berubah. Masak umur sudah semakin matang masih saja emosian, nggak sabaran, gengsian juga. Buang sikap seperti itu, Mila.""Ini sudah watakku, Bu. Ibaratnya adalah pakaianku sehari-hari. Jadi, tetap akan seperti ini terus," kataku. Benar 'kan. Batuk gampang diobati, dan watak sulit untuk dirubah."Tentu saja aku bicara dengan ibu secara lemah lembut."Hih

  • SUAMI USIL   Bab 25

    "Gado-gadonya isinya lengkap ya, Mas! Ada karbohidrat dari lontong dan kentangnya. Ada protein dari telur dan kacang pannjangnya, termasuk sambalnya juga. Ada zat besi dari bayam. Komplit banget. Tinggal nanti kita beli buah dan susu," kataku. Bagaimanapun sebagai seorang ibu itu harus memperhatikan nilai gizi dari setiap apa yang dimakan anggota keluarga. Aku tidak mau suamiku kekurangan gizi. Apalagi di usianya yang tidak muda lagi. "Makan ya makan saja, Mila. Ngapain mikirin gizi. Karbohidratlah, proteinlah, vitaminlah, kalorilah. Kalau mikirin semua itu, yang ada kita justru sakit bukan karena kekurangan gizi. Tapi sakit memikirkan gizi."Ish, ngeyel banget kalau dibilangin. "Mas, gizi itu penting buat gubuh kita lho. Kalau kita kekurangan karbohidrat, yang ada kita lemes. Nggak bisa mikir.""Emm, kata siapa? Mas nggak percaya. Buktinya bayi cuma minum susu nggak makan nasi dan sayur juga sehat.""Itu beda, Mas. Susu sudah banyak kandungan vitamin dan lainnya. Termasuk lemak," k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status