Share

Bab 5

Benar 'kan dugaanku. Mereka pasti membicarakanku. Kali ini bukan sekedar berpikir negatif. Tapi fakta.

"Mereka bicara apa, Bu?" tanyaku.

Bu RT terlihat sungkan untuk bicara. "Emmm, itu Mil. Katanya, Darius sok-sokan mau beli emas 1kg. Tapi nggak jadi. Apa benar?" tanya Bu RT. Bu Efi ikut melongo. Haduh, dasar mulut ember. Ternyata ceritanya disebar luaskan. Bisa viral di komplek 'ni. Merdengar soal emas, otakku kembali ke rumah. Eh, kembali teringat benda kecil yang ada di kamarku. Jadi pengen buru-buru pulang.

"Mila, Mbak Karmila!" seru Bu Efi. Ia menggoyang-goyangkan pundakku.

"Ditanya Bu RT kok malah bengong. Bagaimana, apakah benar berita itu?" tanya Bu Efi. Aku berusaha menarik bibir agar terlihat senyum meski sedikit mengembang. Dalam hati rasanya malu ... setengah mati. 

"Iya 'sih benar," jawabku sambil cengengesan. 

"Oalah, ahahaha, Mila ... sabar banget ya kamu ini. Punya suami macam Darius. Jadi berita itu benar? Ya Gusti ...." Bu RT dan Bu Efi tertawa sambil memegang perutnya.

"Mila, Mila ... kalau aku jadi kamu, sudah ku masukkan suamiku ke dalam ketiak. Ahahaha ..." seru Bu Efi.

"Aduh, aduh, cukup. Rasanya aku mau pipis," ujar Bu RT. "Ayo bantu aku ke kamar mandi!" ajaknya.

Aku dan Bu Efi segera memapah Bu RT ke kamar mandi. "Makanya, Bu. Jangan kencang-kencang kalau tertawa. Untung bisa bisa menahannya. Kalau ngompol di kasur apa nggak malu?" kataku.

"Ya habisnya suamimu lucu, Mil. Kok ada ... orang kaya gitu. Tapi, berkat obrolan tadi aku terhibur lho, Mil. Rasanya tubuhku tambah bugar," kata Bu RT.

Setelah selesai, kami membawa Bu RT ke ranjang lagi. Karena kami sudah terlalu lama di situ, aku dan Bu Efi pun berpamitan.

"Bu, kami pulang dulu. Ini ada sedikit semoga berguna," kata Bu Efi. Lalu kami menyerahkan amplop pada Bu RT.

"Ya Allah, ibu-ibu terima kasih. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian," kata Bu RT.

Ini saat yang aku tunggu-tunggu. Segera pulang dan sampai rumah. Bayangan kotak itu  sudah menari-nari di ingatanku seperti bayangan mantan.

***

Disaat aku sampai rumah, ternyata Mas Darius tidak ada di rumah. Di rumah hanya ada Mbok Inah--seseorang yang bekerja paruh waktu di rumah kami.

Tidak menunggu lama. Aku harus segera menyelesaikan misi. Jangan sampai ada ganguan melulu. Langsung saja aku ke kamar. Mengambil kotak kecil yang ku tinggalka tadi.

Tidak pakai basa-basi. Nggak pakai hitungan segala. Kelamaan. Jeng Jeng Jeng. Kalian penasaran kan ...

Dengan menutup mata. Takut silau, Say! Jepret!

"Mas Dariusssss ....! Awas kamu, Mas! Tunggu saja pembalasanku!"

Ku tunggu suamiku di depan TV. "Kalau dia pulang, siap-siap saja ku remas-remas wajahnya. Biar tambah kisut. Sekalian masukkan ke ketiak seperti pesan Bu RT. Huh, rasanya pengen makan orang," gerutuku.

Sambil menunggu aku menonton film Drakor. Katanya filmnya romantis. Jadi aku penasaran  pengen nonton. 

Beberapa menit kemudian. Mas Darius pulang. Aku menyambutnya dengan salam dan biasa cium punggung tangan dan telapaknya. Meski aku masih sebel padanya.. Tetap tetap saja, dia masih suamiku yang  harus aku hormati

"Mau kopi, Mas?" tanyaku.

"Iya Sayang, yang manis, ya. Kaya kamu!" katanya. Aku membalas dengan senyum ciut.

Aku menuju ke dapur untuk melancarkan aksi. Kebetulan Mbok Inah sudah ku suruh pulang dari tadi. Ku ambil kopi kesukaannya. Setelah selesai segera ku hidangkan di meja.

"Ayo, Mas. Di minum. Mumpung masih hangat!" seruku.

Ketika Suamiku mulai meminunnya. Aku menahan tawa.

"Ngapain senyam-senyum? Kaya baru menang undian saj," tanyanya. Aku tidak menjawab. Tidak sabar melihat reaksinya.

BEUAH!

Ahahaha.

Aku puas bisa tertawa. Aku berhasil ngerjain dia.

"Kenapa, Mas?" tanyaku seolah tidak tahu.

"Nggak apa-apa. Cuma ada yang aneh," jawabnya.

Ahahaha.

Meski tertawa dalam hati. Melihat wajahnya seperti itu serasa sedang menonton film komedi secara live. Aku tahu, Mas Darius bukan orang yang suka mencaci masakan istrinya. Aku yakin dia akan menghabiskannya.

"Kenapa, Mas? Kurang manis?" tanyaku lagi.

"Ti-tidak. Ini akan ku habiskan," katanya.

Apakah ini termasuk penganiayaan pada suami? Ah, aku tidak tahu. Yang aku tahu, Mas Darius harus menghabiskan kopi buatan istri tercinntahnya ini. Kopi spesial garam.

Setelah menemaninya menghabiskan kopi, aku segera mengambil benda kotak tadi ke hadapan suamiku.

"Mas, jelaskan ini. Maksudnya apa kamu memberiku barang seperti ini untuk dijadikan berhias. Aku bisa disangka orang gila, Mas!"

Aku ngomong, ngoceh dari timur ke barat, selatan ke utara. Dia malah asik makan kacang. 

"Mas! Hih, Mas! Dengarkan istrinya kalau sedang ngomel," hardikku. 

"Iya, iya. Mas dengar kok. Lanjutkan!" katanya.

Rasanya sungutku sudah mulai berdiri. Istri ngomel sampai berbusa nggak bertanya kenapa, atau apa gitu. Malah dicuekin.

"Ya ini, Mas, jelaskan. Maksudnya apa?"

"Apa? Ini?" Dia menunjuk kotak itu. "Sudah tahu ini coklat," katanya santai.

"Tapi kenapa kamu bilang padaku perhiasan? Jahat kamu, Mas. Jahat!" Aku menangis tersedu-sedu sambil memukul lengannya.

"Ahahaha. Jadi, kamu kira ini perhiasan?" tanyanya sambil tertawa. Aku terus saja memukulinya. Tapi dia tidak melawan. "Lagian kamu 'kan nggak bertanya. Kalau pun coklat, apa masalahnya? Ini coklat oleh-oleh dari Pak Haji lho. Pasti enak. Coklatnya berkelas. Lihat saja kemasannya," katanya panjang lebar.

"Aku nggak mau tahu. Aku marah sama kamu. Aku tadi bukan cuma mengira itu perhiasan, Mas. Ku kira berlian," gerutuku. Sambil menarik telinga Mas Darius. Mencubitinya karena rasanya dadaku sudah empet banget dengan kelakuannya. Dia pun pasrah aku gituin. 

"Berlian? Ada-ada saja istriku ini. Itu kotak ada tulisan berlian, karena merk dari pabrik coklatnya. Bukan kotak berlian."

"Lagian, katanya mau membelikanku perhiasan. Mau bohong lagi?"

"Enggak! Itu pehiasannya ada di plastik hitam di sebelah TV," katanya. Tangisanku langsung berhenti. Ku ambil plastik itu. Jiwa negatifku langsung ke luar akibat berpikir positif tapi hasilnya menyakitkan. Huhu.

Ada yang aneh juga. Perhiasan, masak bungkus plastik hitam. Seperti bungkus jajan di warung.

"Ayo buruan dibuka, jangan di lihat luarnya saja. Supaya tahu isinya," seru Mas Darius.

Tanpa hitungan ku buka plastiknya. Ada kalung, gelang, dan anting di situ.

"Bagaimana? Bagus-bagus 'kan modelnya?"

"Bagus 'sih bagus, Mas! Tapi nggak gini juga. Aku tahu ini titanium. Bukan emas. Ihh! Sebel!"

"Aduh, salah lagi!" ujarnya. "Mas kan cuma bilang beli perhiasan. Nggak ngomong beli emas."

"Auk ah, gelap!"

"Kalau hatimu gelap, Mas siap menyinarinya."

"Halah, nggak mempan gombalanmu, Mas! Apa salahnya 'sih, Mas. Membelikan 'ku perhiasan emas? Sedangkan uang di brangkas Mas Darius juga banyak," protesku.

"Bukan begitu, Sayang. Memang benar, Mas bisa saja membeli perhiasan emas. Tapi, akan lebih nyaman kalau kamu pakai yang imitasi kalau untuk sehari-hari. Lebih aman dan lebih nyaman dalam beraktifitas. Lagian saat bercinta Mas juga nggak suka kamu memakai barang-barang itu. Ribet, malah nyangkut-nyangkut. Bayangkan saja, kalau sedang di luar atau di jalan, kamu ketemu dengan perampok. Dia mau semua barang yang kamu bawa. Kalau emas beneran, pulang bisa nangis guling-guling. Tapi kalau imitasi, tinggal kasih aja."

Kupikir logis juga 'sih cara berpikir Mas Darius. 

"Tunggu sebentar, Mas mau kasih lihat kamu sesuatu," ujarnya, lalu meninggalkanku ke kamar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status