Share

Bab 6

Author: Olin huy
last update Last Updated: 2023-07-17 00:26:49

6

"Auk ah, gelap!"

"Kalau hatimu gelap, Mas siap menyinarinya."

"Halah, nggak mempan gombalanmu, Mas! Apa salahnya 'sih, Mas. Membelikan 'ku perhiasan emas? Sedangkan uang di brangkas Mas Darius juga banyak," protesku.

"Bukan begitu, Sayang. Memang benar, Mas bisa saja membeli perhiasan emas. Tapi, akan lebih nyaman kalau kamu pakai yang imitasi kalau untuk sehari-hari. Lebih aman dan lebih nyaman dalam beraktifitas. Lagian saat bercinta Mas juga nggak suka kamu memakai barang-barang itu. Ribet, malah nyangkut-nyangkut. Bayangkan saja, kalau sedang di luar atau di jalan, kamu ketemu dengan perampok. Dia mau semua barang yang kamu bawa. Kalau emas beneran, pulang bisa nangis guling-guling. Tapi kalau imitasi, tinggal kasih aja."

Kupikir logis 'sih cara berpikir Mas Darius. 

"Tunggu sebentar, Mas mau kasih kamu lihat sesuatu," ujarnya, lalu meninggalkanku ke kamar. Kemudian ia balik lagi. Mendatangiku dengan menyembunyikan ke dua tangan di belakang. 

Apalagi yang akan dilakukannya. Jangan sampai dia membawaku ke awan lagi dan menjatuhkannya. Kalau jatuhnya di kasur ma enak. Tapi, kalau di genteng, bisa lapuk tulang-tulangku.

"Bawa apa, Mas?" tanyaku. Aku mencoba mengintip apa yang ia bawa.

"Jangan ngintip, merem dulu!" titahnya. Aku jelas tidak mau benar-benar merem. Takutnya ditipu lagi.

Lelaki yang kadang bersikap romantis ini, meletakkan sesuatu ke tanganku.

"Ayo buka mata perlahan!" titahnya lagi 

Saat ku buka mata ... Uaow! 

"Ya Allah, apa aku mimpi?" batinku. 

"Tampar aku, Mas! Ayo tampar aku!" kataku sambil meletakkan tangan Mas Darius dipipiku.

Plak.

"Aow! Sakit, Mas!" teriakku

"Katanya disuruh menampar. Ya ku tampar," ujarnya.

"Iya, tapi nggak keras juga, Mas!" kataku, sambil manyun. "Mas, aku nggak mimpi 'kan?"

"Ya nggaklah, tidur saja belum. Masak mimpi."

"Ya Allah, Mas. Kenapa kamu nggak bilang-bilang kalau punya logam mulia?" tanyaku lagi.

"Apa kamu benar-benar nggak tahu? Kalau suamimu menyimpan ini?" dia balik bertanya. "Mila, ini sengaja Mas simpan untuk masa depan anak kita. Ini ku letakkan jadi satu kok di brangkas."

Setelah melihat logam mulia itu, pikiran tentang perhiasan emas pun hilang. Aku mulai paham apa yang dibicarakan suamiku. Memang benar, kalau kemana-mana tidak memakai emas memang terasa lebih tenang.

***

"Jambret ...! Jambret ...!"

Hari berikutnya, saat aku dan Mas Darius bercanda di ruang keluarga, tiba-tiba suara di luar gaduh sekali. Kami pun segera melihatnya.

"Ada apa ini, Bu Fatia?" tanyaku. Wajah Bu Fatia terlihat bingung.

"Itu, itu, Mbak Mila. Bu Meta di jambret. Kasihan dia menangis. Orang-orang sudah mengejar. Mudah-mudahan tertangkap," ujar Bu Fatia. 

"Aamiin!"

Aku menoleh ke samping kanan. Memang benar, Bu Meta sedang menangis ditemani ibu-ibu yang lain.

"Kejadiannya bagaimana tadi, Bu?" tanyaku pada Bu Fatiya lagi.

"Ya seperti yang Mbak Mila lihat. Kami biasa ngobrol di bawah pohon itu. Tiba-tiba ada motor berhenti. Pura-pura tanya alamat. Kebetulan berhentinya pas di hadapan Bu Meta. Dan tiba-tiba pula, orang itu menarik kalung Bu Meta. Aku sempat memukulnya dengan kayu. Sayang, kayunya lapuk."

"Ya Allah, padahal di tempat ramai ya, Bu!" kataku.

"Iya, Mbak. Sekarang tindak kriminal semakin ngeri. Nggak perlu menunggu tempat sepi. Ramai juga diembat," kata Bu Fatiya.

Kemudian aku menoleh Mas Darius yang asik bermain dengan burung kesayangnya.

"Mas, kamu santai amat 'sih. Tetangganya kena musibah malah asik main sama burung," kataku.

"Lalu, Mas mau apa? Di suruh ngejar jambretnya juga nggak bisa. Tenang saja. Kalau masih rejeki ya balik. Kalau tidak ya ikhaskan saja," ujar Mas Darius. 

"Ihhh! Kesel aku sama kamu, Mas. Kamu tahu sendiri 'kan. Kalung Bu Meta itu gede banget. Pasti harganya mahal. Enak saja bilang ikhlasin," balasku.

"Love, kamu dengar 'kan. Istriku setiap hari ngomel ... melulu. Apa benar ini tandanya aku akan jadi wali? Atau tanda-tada stroke. Tapi, kalaupun jadi wali, paling cuma wali band," gerutunya.

Aku senyam-senyum melihat tingkah Mas Darius. Dia semakin berumur semakin lucu.

"Love, istriku itu aneh. Masak, yang kehilangan barang orang lain. Tapi, dia yang nggak bisa ikhlas. Kan aneh ya, Lovebird."

Ingin rasanya ku buka pintu kandang burungnya. Biar dia tahu rasanya kalau kehilangan barang yang disukainya hilang. Gatel rasanya tanganku pengen melempari kandangnya dengan batu. 

Dari pada melihat suamiku ngomong sama burung lebih baik aku menemui Bu Meta dan lainnya.

"Assalamualaikum!"

"Walaikumsalam, Mbak Mila." Serentak menjawab salamku.

Aku mencoba duduk disebelah Bu Meta. Siapa tahu aku bisa menghiburnya.

"Bu Meta, aku turut prihatin atas musibah yang menimpamu! Yang sabar ya, Bu. Semoga mendapat ganti yang lebih baik," ujarku.

"Halah, bilang saja kamu senang melihatku tertimpa musibah. Sok-sokan prihatin!" tukasnya. 

"Ya Allah, Bu Meta. Bagaimana anda bisa bicara seperti itu? Apa salahku pada Ibu?"

Bu Meta bergeming. Aku sungguh tidak mengerti dengannya. Memang 'sih, dari sekelompok orang yang sering ngumpul ngrumpi, hanya Bu Meta yang terlihat ketus padaku. 

Apa salahku? Kenapa dia bersikap seperti itu setiap bertemu denganku.

"Bu Meta, Mbak Karmila niatnya baik, lho. Kenapa Bu Meta marang-marah?" Bu Efi menimpali. Dia lebih dulu berada di tempat ini dari pada aku.

"Benar, Bu Meta. Kenapa 'sih nggak bisa ikhasin seseorang yang sudah berumah tanggan?" cetus Bu Fatia. Kemudian ia cepat menutup mulut. Bu Meta mendelik menatap ke arah Bu Fatia.

"Ikhasin, rumah tangga?" gumamku. Kemudian aku berdiri dan menghampiri Bu Fatia.

Bu Fatia dan semua yang ada di tempat itu terlihat salah tingkah. "Bu Fatia, apa bisa diperjelas?" tanyaku lagi.

"Emm, emm, a-apa, Mbak Mila?" Bu Fatia menggigit bibirnya. Ia terlihat menahan sebuah ucapan. Lalu ku pegang pundaknya. "Bu, ayo jujur!" kataku. Kemudian kubisikkan sesuatu ke telinganya. "Bu Fatia, kalau mau memberi tahu, nanti aku bagi perhiasan titanium. Lumayan buat gaya-gayaan," bisikku.

Aku tahu, Bu Fatia orang yang suka bergaya. Kuyakin dengan iming-iming barang itu, ia akan memberi sebuah informasi. Lalu Bu Fatia membisikkan sesuatu ke telingaku. "Mba Mila, jangan di sini. Aku takut kalau sampai di end sama Bu Meta. Dia 'kan CS-ku."

"Oke, nanti kirim pesan W******p, ya!"

"Siap, oke!"

"Kalian bisik-bisik apa 'sih? Bikin penasaran," ujar Bu Efi.

"Ra-ha-si-a!" Bu Fatia berkata pada Bu Efi. Aku menjawab dengan senyum saja.

"Fatia, awas kalau kamu macam-macam. Aku tidak mau menjadi temanmu lagi. Nggak ada traktir-traktiran lagi," ancam Bu Meta.

Bu Fatia meringis dan berkata, "Tenang, Bu. Aman!"

Otakku pun jadi su'udzon. Apakah Bu Meta ada hubungan dengan Mas Darius. Atau pernah menjalin hubungan saja. Kalau benar, siap-siap saja, Mas Darius ku cubit ginjalnya.

  

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI USIL   Bab 30

    "Mila, buka pintunya! Kalau pintu kamar di tutup, aku tidur di mana?""Terserah kamu saja, Mas. Salah sendiri pakai janjian sama, Ros." "Mila, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Buka dulu, Sayang. Biar kujelaskan."Mas Darius terus saja membujukku. Tapi biarkan saja. Dia sudah ketahuan main belakang dengan wanita lain. Mungkin akan lebih baik jika aku pergi dari rumah ini. Aaa, tidak, tidak. Kalau aku pergi dari rumah ini, Mas Darius keenakan dong. Dia bisa semaunya sendiri."Mila, buka dong pintunya. Aku cuma bercanda tadi," teriaknya dari luar. Tapi tak kuhiraukan.Setelah beberapa saat, tidak terdengar lagi suaranya. "Apa Mas Darius pergi? Jangan-jangan dia jadi jalan-jalan sama si Rosi itu," batinku. Ya sudahlah, aku tidak peduli. Lama-lama aku juga jenuh di kamar melulu. Aku pun memutuskan untuk ke luar.Saat aku membuka pintu, terlihat sebuah kaki menjulur di atas kursi sofa.Astaga, bandot tua. Mahluk aneh. Kukira sudah pergi jalan-jalan dengan si Ros yang ia telepon tadi

  • SUAMI USIL   Bab 29

    Saatnya ngetes istriku. Apakah dia sudah bisa memahami cara pikirku atau belum."Sayang, kamu hari ini ada acara nggak?" tanyaku sambil tiduran di pangkuannya. Ia sibuk dengan ponselnya."Kebetulan aku juga lagi kosong. Jalan-jalan, yuk!" ajakku."Kemana?" Mila bertanya tanpa melihatku. Aku nyengir dan menahan tawa. "Sepertinya istriku yang bawel ini akan kena jebakan," batinku"Sekitar sini saja," kataku."Sebenarnya aku sedang males 'sih, Mas. Tapi demi menemanimu, ayo!""Ya sudah, aku ganti baju dulu. Kamu juga ganti. Buruan!" titahku.Mila menaruh ponselnya di nakas kemudian berganti pakaian."Ayo, Mas. Aku sudah siap!""Iya, ayo! Mas juga sudah dari tadi nungguin kamu."Pagi ini cukup cerah. Tidak mendung juga tidak panas. Birunya langit menambah keindahan pagi ini. Sudah cukup lama juga tidak cari angin bersama istri.Biasanya berjalan sebentar saja Mila sudah mengeluh capek. Tapi kali ini kenapa diam saja? Aku jadi pusing kalau istriku seperti ini."Sayang, kamu capek nggak? Ka

  • SUAMI USIL   Bab 28

    Dua tahun kemudian usaha mi ayam Septi sukses. Ia bisa melunasi hutangnya pada Mas Darius. Kami pun diminta ke rumahnya sekalian silaturahmi dan makan mi ayam gratis.Sebenarnya Septi mau mengantarnya ke sini. Tapi, Mas Darius sekali-kali juga pengen berkunjung ke rumah adik perempuannya itu. Jadi nggak harus yang muda mengunjungi yang tua melulu."Mas, mau bawa oleh-oleh nggak?" tanyaku saat siap-siap mau ganti baju."Tenang, aku sudah siapkan," katanya. Lega banget dengarnya. Suamiku memang the best.***"Mas, katanya sudah menyiapkan oleh-oleh untuk Septi, mana?"Aku bertanya serius, dia malah cengengesan."Oleh-olehnya ya, kamu!""Hah! Ya Gusti, jangan bercanda, Mas! Kalau tahu begini, aku tadi siapkan. Kalau begitu kita mampir ke toko buah saja. Kita bawakan buah," kataku dengan kesal. Punya suami bawaannya bikin emosi. "Menepi dulu, Kang Arif!""Siap, Bu!"Kami turun dan memilih-milih buah di sana."Enaknya beli buah apa, Mas?" tanyaku meminta saran."Apa saja enak!" jawabnya."

  • SUAMI USIL   Bab 27

    Hari ini adalah waktunya kami pulang dari berlibur. Ayah dan ibuku satu mobil dengan Fadil."Mas, bagaimana kalau nanti kita adu ketangguhan mobil? Jalanan berkelok, banyak jalan yang berlubang. Aku yakin mobilku yang menang," ujar Fadil pada Mas Darius."Mm, bagaimana Kang Arif, berani nggak?" Mas Darius menoleh pada supir."Siap, Pak Bos!" Kang Arif begitu bersemangat."Fadil, jangan begitu! Bahaya ugal-ugalan di jalan. Kamu tahu sendiri 'kan ibu takut kalau kebut-kebutan di jalan," Ibu menimpali."Tenang saja, Bu. Cuma uji ketangguhan saja. Bukan kebut-kebutan," balas Fadil.Kami pun naik ke mobil masing-masing. Memang ada sedikit jalan berkelok-kelok dan banyak lubang. Sebenarnya aku juga takut. Namun melihat semangat Mas Darius dan Kang Arif, aku cuma bisa diam."Bagaimana ini, Pak? Mas Fadil sepertinya yang lebih unggul," kata Kang Arif."Tenang saja, Kang. Kita santai saja. Berdoa saja mobil Fadil bannya kempes," kata suamiku."Ish, jangan begitu, Mas. Di sana ada ayah dan ibu.

  • SUAMI USIL   Bab 26

    "Ini bagaimana ceritanya kalian bisa sekongkol ngerjain aku?" tanyaku pada Fadil.Fadil menggaruk-garuk kepalanya sambil melirik kakak iparnya yang meringis kesakitan."Emm, anu-Mbak. Sebelum ke sini, kami sudah janjian. Dan sebenarnya, ayah dan ibu juga hadir, Mbak.""Ayah dan ibu?""Iya, Mbak.""Lalu mereka di mana sekarang?""Itu mereka ...!" Fadil menunjuk ke arah belakangku."Astaga, Ayah, Ibu! Ya Allah, aku kangen sama kalian." Ke peluk kedua orang tua itu. Kemudian Mas Darius mendekat dan menyalami orang tuaku."Em, hebat akting kalian, ya. Jadi, pemulung yang cuma makan nasi dan garam itu, Ibu!""Hmm, Mila, ini agar kamu bisa berubah. Masak umur sudah semakin matang masih saja emosian, nggak sabaran, gengsian juga. Buang sikap seperti itu, Mila.""Ini sudah watakku, Bu. Ibaratnya adalah pakaianku sehari-hari. Jadi, tetap akan seperti ini terus," kataku. Benar 'kan. Batuk gampang diobati, dan watak sulit untuk dirubah."Tentu saja aku bicara dengan ibu secara lemah lembut."Hih

  • SUAMI USIL   Bab 25

    "Gado-gadonya isinya lengkap ya, Mas! Ada karbohidrat dari lontong dan kentangnya. Ada protein dari telur dan kacang pannjangnya, termasuk sambalnya juga. Ada zat besi dari bayam. Komplit banget. Tinggal nanti kita beli buah dan susu," kataku. Bagaimanapun sebagai seorang ibu itu harus memperhatikan nilai gizi dari setiap apa yang dimakan anggota keluarga. Aku tidak mau suamiku kekurangan gizi. Apalagi di usianya yang tidak muda lagi. "Makan ya makan saja, Mila. Ngapain mikirin gizi. Karbohidratlah, proteinlah, vitaminlah, kalorilah. Kalau mikirin semua itu, yang ada kita justru sakit bukan karena kekurangan gizi. Tapi sakit memikirkan gizi."Ish, ngeyel banget kalau dibilangin. "Mas, gizi itu penting buat gubuh kita lho. Kalau kita kekurangan karbohidrat, yang ada kita lemes. Nggak bisa mikir.""Emm, kata siapa? Mas nggak percaya. Buktinya bayi cuma minum susu nggak makan nasi dan sayur juga sehat.""Itu beda, Mas. Susu sudah banyak kandungan vitamin dan lainnya. Termasuk lemak," k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status