HilmanAku terdiam sejenak. Tawaran yang dilontarkan Anita membuatku sulit untuk berkata-kata. Tanpa menunggu tanggapan dariku, kepala Anita sudah terlanjur bersandar di pundakku. Matanya menatap lurus pada hamparan pantai di depan sana. Angin yang berhembus kencang, menyebabkan rambut-rambut Anita berterbangan persis menyapu hidungku. Hingga wangi shampoo begitu memanjakan indera penciumanku."Sejak aku bertemu denganmu di SMA dulu, aku tak dapat lagi merasakan kenyamanan selain berada di sisimu. Kamu orang yang paling mengerti aku. Kamu selalu berusaha menjagaku. Bagiku, kamu layaknya pelindungku. Bahkan, mantan suamiku pun tak bisa menjadi sepertimu." Anita menarik kepalanya dari pundakku, kemudian mengunci tatapannya pada mataku. Hingga menyebabkan kami saling pandang dalam waktu cukup lama. Kepalanya bahkan bergerak maju perlahan, hingga wajah kami hampir habis terkikis. Aku segera memalingkan wajah. Melemparkan pandangan ke arah ombak yang semakin kuat menerjang karang. Sekuat
***Dering telepon yang berbunyi membuat lamunanku tentang peristiwa yang dialami beberapa hari terakhir hilang dari ingatan. Lekas aku mengambil ponsel dan menatap layarnya. Nama Anita langsung terpampang di layar ponsel. "Halo, Nit. Kenapa?" tanyaku saat mengangkatnya. "Sudah bilang sama Zara kalau kita akan menikah?" tanya Anita to the point. "Sudah. Tapi dia gak mau. Dia malah minta cerai. Pusing aku," jawabku sambil memijit pelipis yang berdenyut nyeri. "Ya tinggal ceraikan saja, sih. Repot amat," timpal Anita enteng. "Gak segampang itu, Nit. Banyak pertimbangan lain juga. Salah satunya Ilham," balasku. "Terserah kamulah. Pokoknya aku gak mau tahu. Kamu harus segera nikahi aku. Apalagi setelah apa yang kita lakukan di Bali. Aku gak mau, ya, tiba-tiba hamil tapi gak ada bapaknya," tutur Anita tegas. Ia pun langsung mengakhiri panggilan tanpa menunggu tanggapan dariku. Aku melempar ponsel itu kasar ke atas tempat tidur, lalu menjambak rambut pelan. Kenapa harus seperti ini,
HilmanAku masih hilir mudik di halaman rumah. Mencoba menelpon Zara meski hanya suara operator yang terdengar. Tak jua tersambung, akhirnya aku mengirim pesan padanya. [Zara, kamu di mana? Apa-apaan ini? Kenapa baju-bajuku ada di luar?] kirim. Sialnya, pesan itu pun hanya centang satu. Membuatku semakin kebingungan di sore hari yang semakin gelap ini. "Assalamu'alaikum." Aku menoleh ke sumber suara. Ternyata Pak RT sudah berdiri di belakangku ditemani istrinya. "Wa'alaikum salam Pak RT," jawabku ramah. "Ada apa ya?" lanjutku lagi sambil menatap Pak RT dan istrinya bergantian. "Begini, kami ke sini mau mengambil mobil yang dibeli dari Bu Zara siang tadi. Bu Zara bilang bisa dibawa kalau Pak Hilman sudah pulang," timpal Pak RT membuat mataku membelalak. "Mobil? Dijual? Mobil siapa ya?" tanyaku tak mengerti. "Ya mobil Pak Hilman. Mobil siapa lagi. Tadi siang Bu Zara datang ke rumah untuk menawarkan mobil. Kebetulan kemarin istri saya memang sempat menanyakan di WA grup komplek in
Lekas aku bangkit dari kursi dan berjalan cepat menghampiri Anita yang baru saja turun dari mobilnya. Tak lupa koper berisi bajuku diseret di belakang."Kok rumahnya gelap, Mas?" tanya Anita. "Mobil kamu mana?" lanjutnya lagi sambil celingukan. "Iya. Ceritanya nanti aja di jalan. Sekarang tolong anterin aku ke rumah ibu," pintaku sambil memasukkan koper ke bagasi mobil Anita. "Pake bawa koper segala." Anita bersuara lagi. Aku tak menanggapi. Langsung saja aku masuk ke dalam mobil dan duduk di jok sebelah kemudi. Sesaat kemudian, Anita pun ikut masuk dengan mimik wajah penuh tanda tanya. "Ini sebenarnya ada apa, sih, Mas?" Anita yang sedang menyetir menoleh sekilas ke arahku. Aku pun menceritakan semuanya pada sahabatku itu. Mulai dari rumah, mobil, dan juga tabungan. Tiba-tiba saja mobil yang dikendarai Anita mengerem mendadak hingga kepalaku hampir saja terpentok dashboard mobil."Nit, kamu kenapa?" tanyaku dengan tatapan sedikit kesal. "Kamu yang apa-apaan, Mas? Bisa-bisanya d
Di balkon kamar hotel, aku berdiri. Menatap bulan sepotong yang menggantung di atas sana. Sementara di sekelilingnya, bintang-bintang nampak gemerlapan. Angin malam yang berembus, sesekali menelusup hingga terasa menembus ke tulang. Membuatku lebih mengeratkan jaket yang dikenakan. Aku menghela napas pelan. Lalu melemp4rkan pandangan ke bawah. Di mana terlihat kendaraan yang berduyun-duyun dengan ukuran kecil. Lampu-lampu yang menyorot dari kendaraan itu, membuat pemandangan malam nampak begitu indah. Ponsel yang disimpan di meja kecil di belakangku terdengar berdering. Aku menoleh, lalu menatap layar itu sambil duduk di kursi balkon. "Halo, Far, kenapa?" tanyaku pada Fara. "Barusan ada Mas Hilman datang ke sini sama ibunya," jawab Fara pelan. "Sudah Mbak duga, Mas Hilman akan mencariku ke rumah. Terus dia bilang apa?" "Gak bilang apa-apa. Cuma bilang mau cari Mbak Zara. Dia juga sempat ngajak Ilham untuk pulang bareng, untung Ilham-nya gak mau. Malah nangis," jawab Fara sambil
Jarum jam bergerak terasa cepat. Bahkan kini malam sudah merangkak larut. Tapi kedua mataku tak jua mau terpejam. Bayangan Mas Hilman dan Anita yang bergvmul membuatku dadaku kian sesak. Mas Hilman memang tidak mengiyakan saat aku bertanya kemarin. Tapi aku berani bertaruh, dia memang sudah melakukannya hingga bertekad untuk menikahi Anita. Dia sudah mengkhianati janji suci pernikahan kami. Dia mengotori sakralnya ikatan kami. Tanpa sadar, aku merem4s seprai bewarna putih itu kuat-kuat. Menyalurkan rasa sakit yang begitu mengh4ntam dada. Tak akan ada lagi kata maaf untuknya. Semuanya berakhir. Semuanya sudah berakhir. ***Cahaya matahari pagi menerobos lewat celah gorden yang sedikit terbuka. Aku membuka mata pelan, dan langsung terperanjat saat melihat jam dinding sudah hampir pukul enam pagi. "Astaghfirullah. Aku belum solat subuh. Ini semua gara-gara aku tidur larut malam. Jadinya terlambat bangun." Aku terus menggerutu sambil berjalan menuju kamar mandi. Lalu mengambil air w
Sambil sedikit mengangkat rok panjang yang ia kenakan, ibu langsung menghampiri Hanan yang baru saja turun dari motornya dan sedang melepas helm. Saat Hanan mengulurkan tangannya untuk menyalami ibu, wanita yang sudah melahirkanku itu malah menep1snya k4sar."Alah ... gak usah sok-sokan pura-pura sopan segala. Katakan, mau apa ke sini? Apa kakakmu itu gak ada keberanian buat datang ke sini sendiri sampai-sampai harus mengutus adiknya? Nyakitin anak orang berani, tapi mengembalikan baik-baik ke orang tuanya gak berani. Dasar pengecvt. Bilangin sana sama kakakmu yang gat4l itu!" Ibu terus saja nyerocos tanpa memberikan kesempatan kepada Hanan untuk membela diri."Bu, sudah, Bu. Ibu salah paham. Hanan gak ada hubungannya sama sekali dengan masalah yang terjadi pada rumah tanggaku." Aku sedikit menarik tangan itu agar menjauh dari Hanan yang masih menunduk."Salah paham gimana? Orang dia ini adiknya si Hilman itu. Pasti dia mau belain kakaknya." Ibu kembali berbicara sambil menatap t4jam
"Isshh ... bukan. Aku memilih untuk mundur saja. Aku gak siap diduakan," jawabku. "Memang benar itu, Ra. Ngapain mempertahankan laki-laki model gitu. Kayak gak ada laki-laki lain aja," timpal ibu dengan ketvs. "Bu, gak perlu memperkeruh suasana. Zara itu sudah dewasa. Biarkan dia menentukan sendiri arah hidupnya akan seperti apa. Sebagai orang tua, kita hanya perlu selalu mendukung dan mendampinginya," tutur bapak bijak. Kata-kata bapak itu selalu lembut dan menentramkan. "Maaf, Pa. Tapi ibu masih kesel," balas itu mulai melemah. "Hanan, apa yang terjadi pada Zara dan Hilman, jangan sampai merusak hubungan kekeluargaan kalian. Tugasmu menegur sudah benar, tapi tidak perlu ikut campur terlalu jauh. Meski bagaimana pun, dia itu tetap abangmu. Orang yang harus kamu hormati. Terlepas apapun kesalahannya." Bapak berganti menatap Hanan dan menasehatinya. "Iya, Pak. Tapi sepertinya, sekarang Bang Hilman masih marah. Mungkin, saya akan mencari kontrakan saja untuk sementara waktu. Sampai