Setelah menulis pesan yang terakhir, aku berniat untuk meletakkan kembali gawai itu. Namun, layarnya kembali menyala. Dan kali ini, Mas Hilman menelponku. Sepertinya sekarang dia sedang panik karena uang yang dijanjikan tidak akan sampai ke tangannya. Tak ingin banyak berdebat yang mungkin akan menggoyahkan keputusanku, akhirnya aku memilih tak mengangkat telepon itu. Kugeser tombol untuk menolak panggilan. Lalu setelahnya langsung mematikan ponsel. Aku pun kembali berjalan menuju teras. Di mana Hanan masih terpaku di tempat saat aku meninggalkannya tadi. Namun, kali ini dia tak sendirian. Di sebelahnya ada Fara yang entah sejak kapan duduk di situ. Tak ingin mengganggu momen kebersamaan mereka, aku berbalik. Lalu berjalan ke dapur menghampiri ibu yang sedang termenung sambil menatap keluar, karena pintu belakang memang dibiarkan terbuka. "Lagi mikirin apa, Bu?" Aku duduk di sampingnya. Menatap ke arah yang sama. Di mana pohon-pohon melambai karena tertiup angin. "Eh,. Zara. Ibu
"Kita udah sering bahas ini, Han. Ilham itu bukan tanggung jawabmu. Kamu juga punya kehidupan sendiri. Kamu punya masa depan yang harus dipikirkan dari sekarang. Lebih baik kamu tabung semua uang itu untuk rencana masa depanmu. Melamar atau menikah misalnya. Soal Ilham, biarkan dia jadi urusanku seutuhnya. Syukur-syukur kalau ayahnya masih mau tanggung jawab menafkahi," balasku panjang lebar. "Tapi, Ra. Aku memang belum ada niatan apalagi kepikiran untuk menikah. Apa salahnya kalau aku menafkahi keponakanku sendiri? Toh itu bisa bikin aku bahagia." "Sekarang memang belum ada niatan. Tapi besok atau lusa siapa tau, kan. Udah, deh, turuti ucapanku, oke?" Aku tersenyum lebar sembari melenggang pergi meninggalkannya. "Ra, aku belum selesai ngomong. Main pergi aja." Aku masih mendengar Hanan sedikit berteriak padaku. "Aku mau mandiin Ilham dulu," jawabku tanpa menoleh ke arahnya. "Bunda bicara sama siapa?" tanya Ilham yang sudah menyambutku di ambang pintu kamar. Dia baru saja bangun
Bagaimana aku tidak terkejut, orang yang menduduki kursi tersebut adalah Mas Ryan. Sedikitpun aku tidak menyangka, bahwa jabatan dia di perusahaan begitu tinggi. Aku pikir hanya sebatas karyawan biasa. Terlihat dari gayanya yang selalu sederhana. Namun kini, penampilannya begitu rapi. Memakai jas hitam lengkap dengan dasi yang melingkar di lehernya."Silakan duduk!" tuturnya ramah. "Terima kasih, Mas. Maksud saya, Pak!" Aku buru-buru meralat ucapan. Di luar, dia memang tetanggaku, tapi di sini, dia adalah petinggi perusahaan yang pastinya begitu dihormati oleh para karyawannya. Aku pun duduk di kursi yang ada di hadapan Mas Ryan. Terhalang meja yang ukurannya cukup besar. Mataku masih terpaku pada matanya. Karena setahuku, jika sedang wawancara seperti ini, kita harus kontak mata dengan orang yang mewawancarai. "Silakan perkenalkan diri, nama, alamat, usia, pengalaman kerja, dan motivasi melamar pekerjaan di perusahaan ini!" titah Mas Ryan sopan. Ekspresinya benar-benar profesional
Enggak enggak. Aku gak boleh punya pikiran ke sana. Semua itu pasti karena Ilham adalah anaknya Mas Hilman, Abang Hanan. "Kebiasaan. Kalau lagi ngobrol, pasti ujung-ujungnya bengong!" Hanan mengibaskan tangannya pelan di depan wajahku. "Eh, enggak, kok. Aku cuma gak pernah nyangka aja kalau hidupku akan seperti ini. Rumah tangga berantakan. Ujung-ujungnya harus ninggalin anak untuk mencari nafkah," tuturku diakhiri senyum getir. "Semua itu ujian hidup, Ra. Gak ada satupun orang yang lepas dari ujian. Percayalah, ujian itu akan membuat hidupmu menjadi lebih kuat dan lebih baik. Orang yang pergi, akan Alloh ganti dengan yang jauh lebih baik. Jangan pernah putus asa," tutur Hanan bijak. "Tumben ngomongnya bener." Aku meliriknya sambil tersenyum lebar. "Baru nyadar ya, aku kalau ngomong selalu bener. Kamu aja yang menanggapinya gak pernah bener," timpal Hanan. "Lah, kok jadi aku," protesku. Tiba-tiba saja sebuah klakson terdengar dari sebrang sana. "Noh, duren ngelaksonin!" Hanan
Mengenakan baju dress warna merah muda selutut dengan lengan pendek, rambut sepunggung yang digerai, juga sepatu dengan hak yang tak terlalu tinggi, membuat Anita nampak begitu cantik. Tubuhnya tinggi semampai dengan kulit putih mulus itu berjalan melenggak-lenggok dengan senyum mengembang di bibirnya. Pantas saja jika Mas Hilman begitu tergila-gila padanya hingga tega menghancurkan rumah tangganya sendiri. Tapi, untuk alasan apa dia datang ke sini? Siapa yang ditemuinya? Sayangnya, aku tak melihat dari ruangan siapa dia keluar. Hanya saja, aku cukup yakin, dia berjalan dari arah ruangan para atasan. Tak ingin keberadaanku dilihat olehnya, aku buru-buru menunduk dan berjalan hendak kembali ke pantry. Ini adalah hari pertamaku bekerja. Tak ingin terjadi sesuatu yang tak diinginkan jika sampai kami berpapasan. Apalagi aku tau persis, Anita adalah orang yang gak bisa mengontrol mulutnya. "Kenapa? Kayak orang panik gitu?" tanya Lina, rekan kerjaku di pantry. "Oh, enggak, Mbak. Aku cuma
Aku menatap punggungnya dengan tatapan heran. Ada apa sebenarnya sama dia. Makin hari makin aneh aja. Aku menggidikan bahu, lalu mengajak Ilham masuk ke dalam rumah seiring dua kotak es krimnya yang sudah habis tak bersisa. "Ra, ini tadi ada yang nganterin ini!" Ibu menyodorkan sebuah amplop padaku. Aku menerimanya dan langsung membukanya. Ternyata surat panggilan dari pengadilan agama. Aku membacanya sekilas. Kemudian terdiam cukup lama sampai memandangi selembar kertas yang masih dalam tanganku."Surat panggilan, Bu. Buat lusa," tuturku pada ibu. "Gak usah datang. Biar cepet prosesnya,' titah ibu. "Gitu, ya, Bu?" Aku menatapnya."Iyalah. Lagian ngapain datang. Buang-buang waktu aja," timpalnya. "Oke, deh. Toh Zara juga harus bekerja. Masa baru beberapa hari kerja udah izin. Kan gak enak," balasku. "Nah, iya. Mendingan kamu kerja." Ibu menyahut lagi. Ia pun kemudian masuk ke dalam kamarnya untuk melaksanakan solat magrib karena adzan sudah berkumandang. ***"Lho, Hanan mana?
Aku menoleh. Mas Ryan berdiri tak jauh dariku dan Anita. Ternyata Mas Ryan pun mengenali Anita. Entah ada hubungan apa di antara mereka.Sepasang mataku masih menatap Mas Ryan yang sedang berjalan ke arahku dan Anita dengan wajah seperti menahan marah. Sesaat kemudian, ia berhenti dengan jarak yang cukup dekat dengan kami. "Jangan buat keributan di sini." Mas Ryan berkata pelan sambil menatap tajam ke arah Anita. "Tapi, Mas. Dia menghinaku," jawab Anita dengan nada manja. "Maaf, Mbak, tapi Mbak yang mulai duluan," timpalku."Itu karena kamu sok belagu," balas Anita mencibirku dengan tatapan yang seperti merendahkan. "Zara, saya tau kamu gak salah. Kamu boleh pergi, lanjutkan pekerjaanmu!" titah Mas Ryan lembut. "Mas, kok, kamu malah belain dia, sih!" Anita menghentakkan kakinya pelan. "Karena aku tahu dia gak salah," timpal Mas Ryan. Tak kudengar lagi percakapan di antara mereka karena aku memilih langsung pergi meninggalkan keduanya. Lebih baik aku melanjutkan pekerjaan yang s
Sore ini, aku berdiri di jendela pantry. Menatap langit yang terlihat begitu hitam pekat di atas sana. Menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Ya, sudah beberapa hari ini memang hujan turun meskipun tidak terlalu deras. Membuat pekerja yang hanya naik motor sepertiku harus selalu membawa jas hujan. Oh, iya, jas hujan. Sepertinya kemarin sore aku menggantungnya di kamar mandi setelah membasuhnya karena terkena percikan lumpur di jalan. Ya Allah, bagaimana ini? Bagaimana kalau sore ini hujan turun dengan lebat? Gimana aku pulang? Aku terus bergumam dengan mata masih menatap awan hitam di atas sana. Sesekali cahaya kilat mulai menyambar meski tidak diiringi suara petir yang menggelar. Benar saja, sesaat kemudian, hujan turun dengan begitu derasnya. Padahal, hanya tinggal setengah jam lagi waktu untuk pulang. Hatiku semakin dilanda kekalutan. Tak mungkin aku menunggu hingga hujannya mereda. Karena biasanya, hujan seperti ini awet. Terbayang wajah Ilham yang selalu menunggu kepulanga