"Aku mau Magrib dulu, tunggu aku di ruang keluarga. Ada yang akan aku bicarakan," ucap Yulis pada lelaki yang telah mengkhianatinya itu.
"Aku mau masuk, Dek," pinta Bagas. Namun, terlambat, pintu sudah tertutup rapat dan terkunci. Bagas geram, tetapi dia memilih menuruti kemauan Yulis yang menurutnya aneh."Apa yang ingin dibicarakan wanita itu?" gumam Bagas sambil melangkah ke ruang keluarga seperti yang diucapkan Yulis. Setelah mendaratkan bobot tubuhnya di sofa, lelaki itu menyulut sebatang rokok untuk menemani waktunya. Tanpa disadarinya, Yulis telah mengibarkan bendera perang padanya.Seusai melaksanakan kewajiban, wanita itu bersimpuh cukup lama di atas sajadah. Memohon ampun juga kekuatan pada Sang Pencipta agar mampu menghadapi ujian yang saat ini tengah dialaminya. Setelah puas berkeluh-kesah pada Ar-rohman, Yulis bangkit walaupun rasanya cukup berat.Wanita bertubuh ramping itu berjalan ke arah cermin, memandang bayang wajahnya yang terlihat sangat kusut, terlihat jelas ada luka di sana.Pelan dia meraih alas bedak, mengambil secukupnya lalu perlahan mulai mengolesi wajah, dilanjutkan dengan bedak padat yang menjadi andalannya, pelan-pelan dia mulai menepuk-nepuk pipinya yang halus dengan spon. Jari tangannya yang lentik kini telah meraih pencil alis yang terletak diantara alat makeup. Tak perlu susah payah melukis bentuk alis, karena sesungguhnya alisnya sudah terbentuk sempurna. Terakhir wanita itu mengolesi bibirnya dengan lipstik warna nude favoritnya.Yulis beralih ke lemari pakaian, dia memilih set piyama panjang bercorak, lalu mengikat rambutnya asal. Membuatnya semakin terlihat mempesona. Setelah dirasa cukup, wanita itu segera keluar untuk menemui lelaki yang dulu sangat dicintainya. Yulis ingin menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja, walaupun telah disakiti."Dek?" Bagas terperangah melihat penampilan Yulis. Beberapa kali lelaki itu menelan ludahnya."Mira mana?" tanya Yulis setelah duduk di sisi yang berbeda. Ditatapnya lelaki yang sudah menorehkan luka di hatinya tersebut."Mira ... em ... dia lagi ngerjain tugas, dari pada bolak-balik dia memilih menginap di kosan temannya yang dekat dengan kampus," jawab Bagas gugup. Selain karena berbohong, kali ini lelaki itu sangat kagum pada kecantikan istrinya. Rasa yang hampir mati itu kembali dia rasakan setelah melihat penampilan Yulis.Bibir Yulis tersenyum, jelas sekali kalau saat ini lelaki di depannya itu tengah berbohong. "Jadi, yang kalian bicarakan tadi pagi adalah kebenaran, Mira tak kan pulang sekarang karena habis melakukan aborsi," batin Yulis menebak. "Oh." Hanya itu yang keluar dari bibirnya, tatapan matanya tajam, menghujam tepat ke manik Bagas.Mendengar jawaban yang cukup singkat dari Yulis ditambah sikap Yulis yang tak biasa, Bagas mulai merasa tak enak. Dia curiga kalau Yulis telah mengetahui sesuatu."Tumben kamu izinkan. Biasanya kamu gak tenang jika Mira tak ada di rumah." Bagas baru menyadari sesuatu. Selama bicara Yulis hanya menyebut aku-kamu, tak ada kata 'Mas' ketika menyebutnya. Hal itu semakin membuat Bagas curiga. Namun, lelaki itu menampik, meyakinkan dirinya kalau Yulis tidak mungkin mengetahui hubungan dengan Mira."Dia tadi maksa, jadi ya sudah. Kalau dia gak di rumah kita kan bisa ...." Bagas tak melanjutkan kalimatnya, matanya tak berkedip menatap istrinya.Yulis tersenyum. "Bisa jelaskan, apa ini?" Yulis langsung pada pokok masalah. Dia meletakkan surat tagihan dari bank di meja. Bagas nampak terkejut melihat apa yang baru saja diletakkan Yulis."Jelaskan, untuk apa kamu meminjam dalam jumlah besar. Uangnya buat apa?"Bagas gugup, tak menduga jika Yulis mengetahui hutangnya. "Maaf, Dek. Aku memang sudah mengajukan pinjaman ke Bank tanpa sepengetahuanmu, aku khawatir kamu tak setuju.""Buat apa uang sebanyak itu?" tanya Yulis dengan tenang."Dipakai Heri untuk modal. Jadi aku dan dia joinan. Katanya untungnya lumayan loh, Dek." Bagas mencoba bersikap biasa saja ketika mengucapkannya, tanpa dia ketahui jika Yulis sudah mengetahui segalanya."Memang sekarang bisa ya, mengajukan pinjaman tanpa tanda tangan kita berdua?" Yulis masih pura-pura belum paham.Bagas terkekeh pelan. "Soal itu gampang, Dek. Apalagi pihak Bank sudah kenal baik dengan kita," ucap Bagas yang begitu mahir berkelit."Masak sih?""Iya, Dek. Sudah ya, kamu jangan mikirin itu," bujuknya. "Yang penting urusan cicilan lancar, Heri pasti tanggung jawab kok.""Telepon Heri, aku mau bicara dengannya. Dia harus tahu kalau jaminan untuk hutangnya adalah rumahku! Rumahku!" Yulis mempertegas ucapannya."Jangan sekarang, Dek. Aku gak enak sama Heri. Baru juga beberapa bulan, masak mau ditagih. Yang penting angsurannya dia yang bayar," kilah Bagas. "Lah ini apa? Kalau dia rutin bayar, gak mungkin ada surat pemberitahuan kayak gini!" ujar Yulis sambil menunjuk amplop yang masih tergeletak di meja."Kalau berurusan dengan uang, itu harus jelas. Kenapa merasa tak enak?" tanya Yulis, wanita itu mulai emosi mendengar alasan demi alasan yang diberikan Bagas."Ya gak gitu, Dek. Aku yang gak enak, nanti dia malu. Baru dipinjamin duit segitu saja udah nanya-nanya terus." Bagas masih saja terus berkilah.Yulis menghela napas panjang, rada muak dengan sikap suaminya yang semakin berkelit."Dua ratus juta kok dibilang segitu? Ingat gak, kamu pernah melarang aku memberi pinjaman pada Afif yang hanya sepuluh juta? Ingat kamu bilang apa?" "Jangan samakan antara Heri dan Afif! Kalau Heri kan buat modal usaha yang hasilnya akan dibagi rata. Kalau Afif? Paling juga gak dikembalikan!"Bagas tersulut emosi. Lelaki itu tak menduga jika Yulis bisa mengetahuinya. Sesaat pandangan mereka beradu, wanita pemilik alis bak semut berbaris itu tersenyum karena sudah tak menemukan cinta di sana. Dulu jika mereka bertatapan ada getar yang menggelitik perut, sehingga membuat bibir keduanya selalu tersenyum."Aku mau, kamu telepon Heri. Sekarang," titah Yulis, semakin menekan."Tidak! Aku tidak mau mempermalukan diri sendiri. Bagaimana nanti anggapan orang-orang. Bukankah uang dua ratus juta itu sedikit untukmu!"Yulis menghela napasnya. Kesabarannya mulai terkikis mengahadapi sikap Bagas yang berbelit-belit. "Kalau memang benar uang itu untuk usaha kalian. Telpon Hari sekarang! Atau kamu hanya pura-pura. Sebenarnya uang itu tidak dipinjam olehnya?" "Sudah lah, Dek. Gitu saja buat masalah. Kupastikan Heri membayarnya." Bagas merendahkan suaranya. Lelaki itu sadar jika saat ini Yulis sedang marah, jadi dia memilih mengalah."Siapa yang buat masalah? Aku hanya ingin tahu, usaha apa yang dijalankannya. Andai kamu tidak memakai sertifikat rumah ini sebagai jaminan. Aku takkan peduli."Bagas mendekati Yulis, mencoba untuk membujuk istrinya tersebut. Namun, Yulis langsung bangkit menghindarinya. Bagas tak terima diperlakukan seperti itu, lelaki itu tak bisa menerima penolakan. Bagas merasa harga dirinya telah diinjak-injak.Sesaat suasana menjadi hening, hanya deru napas yang terdengar saling memburu. Bagas sudah gelap mata, dia melirik asbak yang terbuat dari keramik. Lelaki itu berniat menghilangkan jejak Yulis."Ke Jati Wangi kayak kemarin itu, terus ke Pelang, terus ke kampung air. Udah itu aja, Pa. Kenapa sih Papa nanya-nanya. Biasanya juga gak gitu." Mutiara mulai sewot, tetapi sebenarnya gadis kecil itu sangat bahagia karena baru kali ini papanya mengajaknya bicara cukup lama.Yulis mengulum senyum mendengar nada protes dari Mutiara."Papa kan ingin tahu, Kak. Karena setelah ini, papa akan berusaha menemani Kakak dan Mama kemanapun kalian mau," sahut Indra. Sontak hal itu membuat manik bening Mutiara berbinar."Jadi Papa gak kerja dong. Nanti dapat uangnya dari mana?" Yulis sampai tak percaya Mutiara akan berkata seperti itu. Dia benar-benar tahu apa yang dirasakan putrinya sambungnya tersebut."Kan Mama punya toko," canda Indra sambil tertawa."Jangan lah, Pa. Itu kan punya Mama.""Terus?""Ya Papa tetap kerja, kalau hari libur kita jalan-jalan. Gitu, Pa.""Pi
"Baiklah, Sayang. Yuk, mandi dan ganti baju dulu," ajak Ridwan. Lelaki itu merasa tak enak hati dengan ucapan putrinya. Dia khawatir Indra salah paham, tapi juga sadar jika sekarang bukan saat yang tepat untuk menjelaskan pada mantan iparnya tersebut.Citra menatap Yulis, biasanya wanita berjilbab itu yang melakukannya. Namun, melihat Yulis diam saja, bocah berambut lurus itu juga tak berani meminta. Citra benar-benar kesal pada pakdenya, yang menurutnya sudah merusak suasana. "Aku juga udahan, Ma," ucap Mutiara."Ayo, mandi dan ganti bajunya sama papa," sahut Indra. Seketika pandangan kedua wanita berbeda generasi itu tertuju pada lelaki yang sudah berdiri dari duduknya.Sesaat kemudian Mutiara tertawa. "Gak mau, sama Mama aja. Malu lah kalau ganti baju sama Papa.""Nah itu si Citra gak malu sama papanya""Beda, Pa. Kan Citra udah gak punya mama. Palingan Om Wan cuma nungguin di luar. Biasanya kan
Mendengar penuturan Yulis, perlahan Indra menelan ludahnya. Lelaki itu takut jika sesuatu terjadi padanya karena sudah menyakiti hati istrinya tersebut."Apa kamu mau turun?" Tanyanya kemudian. Indra sendiri bingung mengapa dia menawarkan hal itu kepada Yulis."Maksudku, apa kamu mau menemuinya. Bicara apa gitu atau menanyakan apa gitu?""Sebaiknya gak usah Pak In. Karena aku dan dia sudah menjadi orang asing," sahut Yulis mantap."Baiklah kalau begitu kita lanjutkan perjalanan." Indra pun membunyikan klakson agar lelaki yang kata Yulis mantan suaminya itu menyingkir.Setelah beberapa saat kendaraan melaju, Indra kembali bertanya pada Yulis. "Bener nggak mau turun di toko aja, biar aku yang nyusul anak-anak ke kampung air."Yulis tak lagi menjawab, wanita penyuka warna kalem itu malah membuang pandangannya keluar jendela dia benar-benar gerah dengan sikap Indra yang tak seperti biasanya. Yulis merasa
Perlahan Indra membaringkan tubuh Yulis, seolah wanita itu adalah barang berharga yang harus dengan hati-hati memperlakukannya. Yulis segera beringsut setelah terlepas dari rengkuhan Indra. Wanita penyuka kopi tanpa gula itu terlihat kesal."Maaf, tadi kamu ketiduran di ayunan. Aku khawatir kamu masuk angin, jadi berinisiatif untuk memindahkanmu ke kamar," ucap Indra tanpa ekspresi. Yulis masih termangu, antara malu, senang, kesal dan tak mengerti dengan perubahan sikap Indra yang tiba-tiba."Tadi Muti telepon pakai nomor Ridwan. Ia ikut Omnya itu ke kampung air. Kamu istirahat saja. Biar aku yang menjemputnya," imbuh Indra, setelah itu dia langsung beranjak.Lagi-lagi Yulis dibuat terbengong, ia semakin tak mengerti, kedua alisnya bertaut memikirkan sebenarnya apa yang terjadi dengan suaminya tersebut."Aku ikut!" Setelah beberapa saat tercengang, Yulis segera menyusul Indra yang hampir meraih ganggang pintu.
"Kami dari rumah tahanan, ingin memberi kabar pada ibu bahwa tahanan yang bernama Mira telah meninggal dunia. Selain Ibu, apa ada nomor keluarganya bisa dihubungi?""Innalilahi wa innailaihi rojiun," ucap Yulis spontan. Sesaat kemudian dia tertegun. Seraut wajah yang dulu sangat disayanginya langsung hadir dalam kilasan ingatannya. Spontan nulis menutup mulutnya yang ternganga. Bagaimanapun juga Mira pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya."Mohon maaf, Pak. Saya sudah tidak lagi berhubungan dengan saudari Mira, tapi, saya tahu di mana alamat orangtuanya. Nanti saya kirim alamatnya aja ya, Pak. Mohon maaf, hanya itu yang bisa saya bantu.""Terima kasih Bu. Kami kesulitan mencari keluarganya. Rumah yang dulu ditempati sekarang sudah atas nama orang lain."Panggilan pun terputus, Yulis tak langsung menyimpan benda pintarnya terbaru. Setelah mengirim alamat orang tua Mira, wanita bermata bulat itu menghubungi Afif.
"Aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Indra menghentikan gerakan Yulis yang tengah menyendok nasi goreng di wajan untuk diletakkan di piring."Sarapan dulu, Pak In," sahut Yulis tanpa menoleh. Ia meneruskan kegiatannya menyiapkan sarapan untuk sang suami. Yulis berusaha bersikap biasa saja, walaupun sangat kecewa dengan sikap Indra semalam. Indra berhak melakukannya, tetapi caranya yang membuat Yulis kurang suka.Indra menghela napas untuk mengurangi kegugupan di hatinya, sambil terus memperhatikan punggung ramping istrinya yang belum pernah sekalipun dipeluk olehnya.Tak butuh waktu lama, sepiring nasi goreng sudah tersaji di depan Indra beserta segelas air putih."Sedekat–" "Makan dulu, Pak In," sela Yulis. Lagi-lagi wanita itu mengatakannya tanpa melihat suaminya. Setelah itu suasana kembali hening, hanya denting sendok dan piring yang terdengar memenuhi ruangan. "Alhamdulillah," ucap Yulis den