Share

lima

"Aku mau Magrib dulu, tunggu aku di ruang keluarga. Ada yang akan aku bicarakan," ucap Yulis pada lelaki yang telah mengkhianatinya itu.

"Aku mau masuk, Dek," pinta Bagas. Namun, terlambat, pintu sudah tertutup rapat dan terkunci. Bagas geram, tetapi dia memilih menuruti kemauan Yulis yang menurutnya aneh.

"Apa yang ingin dibicarakan wanita itu?" gumam Bagas sambil melangkah ke ruang keluarga seperti yang diucapkan Yulis. Setelah mendaratkan bobot tubuhnya di sofa, lelaki itu menyulut sebatang rokok untuk menemani waktunya. Tanpa disadarinya, Yulis telah mengibarkan bendera perang padanya.

Seusai melaksanakan kewajiban, wanita itu bersimpuh cukup lama di atas sajadah. Memohon ampun juga kekuatan pada Sang Pencipta agar mampu menghadapi ujian yang saat ini tengah dialaminya. Setelah puas berkeluh-kesah pada Ar-rohman, Yulis bangkit walaupun rasanya cukup berat.

Wanita bertubuh ramping itu berjalan ke arah cermin, memandang bayang wajahnya yang terlihat sangat kusut, terlihat jelas ada luka di sana.

Pelan dia meraih alas bedak, mengambil secukupnya lalu perlahan mulai mengolesi wajah, dilanjutkan dengan bedak padat yang menjadi andalannya, pelan-pelan dia mulai menepuk-nepuk pipinya yang halus dengan spon. Jari tangannya yang lentik kini telah meraih pencil alis yang terletak diantara alat makeup. Tak perlu susah payah melukis bentuk alis, karena sesungguhnya alisnya sudah terbentuk sempurna. Terakhir wanita itu mengolesi bibirnya dengan lipstik warna nude favoritnya.

Yulis beralih ke lemari pakaian, dia memilih set piyama panjang bercorak, lalu mengikat rambutnya asal. Membuatnya semakin terlihat mempesona. Setelah dirasa cukup, wanita itu segera keluar untuk menemui lelaki yang dulu sangat dicintainya. Yulis ingin menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja, walaupun telah disakiti.

"Dek?" Bagas terperangah melihat penampilan Yulis. Beberapa kali lelaki itu menelan ludahnya.

"Mira mana?" tanya Yulis setelah duduk di sisi yang berbeda. Ditatapnya lelaki yang sudah menorehkan luka di hatinya tersebut.

"Mira ... em ... dia lagi ngerjain tugas, dari pada bolak-balik dia memilih menginap di kosan temannya yang dekat dengan kampus," jawab Bagas gugup. Selain karena berbohong, kali ini lelaki itu sangat kagum pada kecantikan istrinya. Rasa yang hampir mati itu kembali dia rasakan setelah melihat penampilan Yulis.

Bibir Yulis tersenyum, jelas sekali kalau saat ini lelaki di depannya itu tengah berbohong. "Jadi, yang kalian bicarakan tadi pagi adalah kebenaran, Mira tak kan pulang sekarang karena habis melakukan aborsi," batin Yulis menebak. "Oh." Hanya itu yang keluar dari bibirnya, tatapan matanya tajam, menghujam tepat ke manik Bagas.

Mendengar jawaban yang cukup singkat dari Yulis ditambah sikap Yulis yang tak biasa, Bagas mulai merasa tak enak. Dia curiga kalau Yulis telah mengetahui sesuatu.

"Tumben kamu izinkan. Biasanya kamu gak tenang jika Mira tak ada di rumah." 

Bagas baru menyadari sesuatu. Selama bicara Yulis hanya menyebut aku-kamu, tak ada kata 'Mas' ketika menyebutnya. Hal itu semakin membuat Bagas curiga. Namun, lelaki itu menampik, meyakinkan dirinya kalau Yulis tidak mungkin mengetahui hubungan dengan Mira.

"Dia tadi maksa, jadi ya sudah. Kalau dia gak di rumah kita kan bisa ...." Bagas tak melanjutkan kalimatnya, matanya tak berkedip menatap istrinya.

Yulis tersenyum. "Bisa jelaskan, apa ini?" Yulis langsung pada pokok masalah. Dia meletakkan surat tagihan dari bank di meja. Bagas nampak terkejut melihat apa yang baru saja diletakkan Yulis.

"Jelaskan, untuk apa kamu meminjam dalam jumlah besar. Uangnya buat apa?"

Bagas gugup, tak menduga jika Yulis mengetahui hutangnya. "Maaf, Dek. Aku memang sudah mengajukan pinjaman ke Bank tanpa sepengetahuanmu, aku khawatir kamu tak setuju."

"Buat apa uang sebanyak itu?" tanya Yulis dengan tenang.

"Dipakai Heri untuk modal. Jadi aku dan dia joinan. Katanya untungnya lumayan loh, Dek." Bagas mencoba bersikap biasa saja ketika mengucapkannya, tanpa dia ketahui jika Yulis sudah mengetahui segalanya.

"Memang sekarang bisa ya, mengajukan pinjaman tanpa tanda tangan kita berdua?" Yulis masih pura-pura belum paham.

Bagas terkekeh pelan. "Soal itu gampang, Dek. Apalagi pihak Bank sudah kenal baik dengan kita," ucap Bagas yang begitu mahir berkelit.

"Masak sih?"

"Iya, Dek. Sudah ya, kamu jangan mikirin itu," bujuknya. "Yang penting urusan cicilan lancar, Heri pasti tanggung jawab kok."

"Telepon Heri, aku mau bicara dengannya. Dia harus tahu kalau jaminan untuk hutangnya adalah rumahku! Rumahku!" Yulis mempertegas ucapannya.

"Jangan sekarang, Dek. Aku gak enak sama Heri. Baru juga beberapa bulan, masak mau ditagih. Yang penting angsurannya dia yang bayar," kilah Bagas. 

"Lah ini apa? Kalau dia rutin bayar, gak mungkin ada surat pemberitahuan kayak gini!" ujar Yulis sambil menunjuk amplop yang masih tergeletak di meja.

"Kalau berurusan dengan uang, itu harus jelas. Kenapa merasa tak enak?" tanya Yulis, wanita itu mulai emosi mendengar alasan demi alasan yang diberikan Bagas.

"Ya gak gitu, Dek. Aku yang gak enak, nanti dia malu. Baru dipinjamin duit segitu saja udah nanya-nanya terus." Bagas masih saja terus berkilah.

Yulis menghela napas panjang, rada muak dengan sikap suaminya yang semakin berkelit.

"Dua ratus juta kok dibilang segitu? Ingat gak, kamu pernah melarang aku memberi pinjaman pada Afif yang hanya sepuluh juta? Ingat kamu bilang apa?" 

"Jangan samakan antara Heri dan Afif! Kalau Heri kan buat modal usaha yang hasilnya akan dibagi rata. Kalau Afif? Paling juga gak dikembalikan!"

Bagas tersulut emosi. Lelaki itu tak menduga jika Yulis bisa mengetahuinya. 

Sesaat pandangan mereka beradu, wanita pemilik alis bak semut berbaris itu tersenyum karena sudah tak menemukan cinta di sana. Dulu jika mereka bertatapan ada getar yang menggelitik perut, sehingga membuat bibir keduanya selalu tersenyum.

"Aku mau, kamu telepon Heri. Sekarang," titah Yulis, semakin menekan.

"Tidak! Aku tidak mau mempermalukan diri sendiri. Bagaimana nanti anggapan orang-orang. Bukankah uang dua ratus juta itu sedikit untukmu!"

Yulis menghela napasnya. Kesabarannya mulai terkikis mengahadapi sikap Bagas yang berbelit-belit. "Kalau memang benar uang itu untuk usaha kalian. Telpon Hari sekarang! Atau kamu hanya pura-pura. Sebenarnya uang itu tidak dipinjam olehnya?" 

"Sudah lah, Dek. Gitu saja buat masalah. Kupastikan Heri membayarnya." Bagas merendahkan suaranya. Lelaki itu sadar jika saat ini Yulis sedang marah, jadi dia memilih mengalah.

"Siapa yang buat masalah? Aku hanya ingin tahu, usaha apa yang dijalankannya. Andai kamu tidak memakai sertifikat rumah ini sebagai jaminan. Aku takkan peduli."

Bagas mendekati Yulis, mencoba untuk membujuk istrinya tersebut. Namun, Yulis langsung bangkit menghindarinya. Bagas tak terima diperlakukan seperti itu, lelaki itu tak bisa menerima penolakan. Bagas merasa harga dirinya telah diinjak-injak.

Sesaat suasana menjadi hening, hanya deru napas yang terdengar saling memburu. Bagas sudah gelap mata, dia melirik asbak yang terbuat dari keramik. Lelaki itu berniat menghilangkan jejak Yulis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status