Share

Empat

"Silahkan duduk dulu, Bu," sahut wanita yang rambutnya diikat sederhana itu. Dia pun memberi beberapa pertanyaan pada Yulis, setelah mendengar jawaban, wanita itu terlihat sibuk dengan leptop di depannya. Wanita itu nampak bingung, karena dulu bukan nama Yulis yang daftar bersama Bagas. Untuk sesaat petugas castomer servis itu memperhatikan Yulis. Namun, sekejap kemudian dia bisa mengatasinya dengan tenang.

"Maaf, begini Ibu, mari berbicara di dalam. Silahkan, Bu," ajaknya ramah pada Yulis. Wanita itu pun bangkit lalu mengikuti petugas yang mengajaknya masuk.

Yulis dibawa ke sebuah ruangan dengan tulisan Manager di daun pintunya.

"Silahkan duduk, Bu." Wanita itu mempersilahkan, kemudian dia kembali keluar meninggalkan Yulis seorang diri.

Tak lama kemudian terdengar pintu terbuka, membuat Yulis yang sedang duduk membelakanginya menoleh. Keduanya tertegun, seperti ada memori yang memaksa untuk diingat.

Lelaki itu masih berdiri di tengah pintu. Setelah beberapa detik muncul seulas senyum di bibirnya. "Yulis?" sapanya sekaligus menebak tanpa mengalihkan pandangan pada istri Bagas tersebut. Sementara Yulis menautkan kedua alisnya, merasa tak asing dengan lelaki yang menyebut namanya itu.

"Ali?" pekik Yulis. Wanita pemilik bibir tipis itu bangkit dari duduknya, sementara lelaki yang disapa Ali itu berjalan mendekatinya. Keduanya berjabat tangan dengan senyum yang tersungging di bibir masing-masing.

"Ali Nur Alam." Lagi Yulis menyebut nama lelaki itu, wajahnya berbinar seoalah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Aku gak nyangka akan bertemu denganmu di sini," imbuhnya. Untuk sepersekian detik mereka berdua seperti enggan mengurai jabatan tangan. Namun, Yulis segera sadar, wanita yang gemar memakai gamis itu dengan cepat menarik tangan mungilnya dari genggaman tangan Ali.

"Ya beginilah, Yul. Sekarang aku kembali ke sini, ke kota yang pernah menjadi cerita," sahut Ali. Lelaki yang berpakaian rapi itu melangkah kemudian duduk di belakang meja kebesarannya.

Yulis menunduk, mengerti apa yang diucapkan lelaki tersebut. Setelah berbasa-basi seperlunya, Yulis pun langsung mengatakan niat kedatangannya. Ali cukup heran, bagaimana Bagas bisa lolos mengajukan pinjaman tanpa tanda tangan Yulis, apalagi lelaki itu meminjam dalam jumlah yang cukup besar.

Ali pun segera mengecek semua data yang diajukan oleh Bagas. Lelaki yang memiliki jambang tipis itu mengerutkan keningnya, ketika mengetahui jika Bagas datang bersama istrinya, tetapi bukan nama Yulis yang tertera di sana, melainkan nama Almira putri. Ali semakin tak mengerti karena fotokopi buku nikahnya bersama Mira itu asli.

"Dokumennya lengkap, semua persyaratannya benar, foto kopi surat nikahnya juga ada, Yul." Ali menjeda kalimatnya. "Nama istrinya Almira Putri," imbuhnya.

"Surat nikah? Mira?" tanya Yulis dengan suara yang tertahan.

Anggukan dari Ali bagaikan gada yang menghantam dirinya. Sakit. Sekuat tenaga wanita itu menahan amarah dan kesedihannya. Dia tak ingin terlihat menyedihkan di depan Ali, teman yang dulu pernah mengharapkan cintanya.

Seolah mengerti, Ali pun memilih bungkam. Lelaki yang masih memiliki rasa pada Yulis itu menatap lekat pada wajah yang tiba-tiba murung. "Lelaki seperti apa dia, Lis. Hingga mampu menyakitimu seperti ini?" batinnya.

Susana tiba-tiba menjadi hening. Baik Yulis atau Ali sedang sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Apa Mas Bagas bisa dituntut, Al?" tanya Yulis memecah keheningan diantara mereka.

Perlahan Ali menggeleng. "Surat-surat yang diajukannya asli dan memenuhi syarat. Jadi kami tidak bisa berbuat apa-apa selama dia rutin membayar angsuran."

Jawaban dari Ali semakin membuat Yulis terluka. Perlahan wanita penyuka warna lembut itu bangkit. Saat ini perasaannya benar-benar kacau, sakit dan kecewa tercampur menjadi satu memenuhi ruang di dadanya.

"Terima kasih, Al. Aku permisi dulu. Maaf, sudah menggangu waktumu."

"Tak perlu minta maaf, Lis. Aku tak melakukan apa-apa untukmu," sahutnya. "Lis ... aku akan selalu ada jika kamu membutuhkan tempat untuk bercerita," imbuhnya.

Yulis tersenyum mendengar ucapan lelaki tersebut, wanita itu mengangguk. Setelah itu dia bergegas meninggalkan ruangan bernuansa putih tersebut.

**

Sore hari Bagas dan Mira sampai di rumah baru mereka. Dengan hati-hati Bagas membantu Mira turun dari mobil kemudian memapahnya menuju ranjang.

"Kamu istirahat dulu, setelah membereskan semuanya aku akan cari makan," katanya sambil tersenyum pada wanitanya. Tangannya tak henti membelai rambut wanita itu dengan mesra.

Mira mengangguk. "Jangan lama-lama," pesannya pada Bagas dengan suara yang terdengar sangat manja. Bagas mengangguk kemudian bangkit, setelah itu dia mulai mengeluarkan beberapa barang dari dalam tas.

"Mir, nanti ada Mbak Ningsih. Dia yang akan bantu-bantu kamu di sini sampai kondisimu pulih, jangan lupa minum obat dan banyak istirahat," pesannya panjang lebar pada wanita mudahnya itu.

Bagas terdiam sesaat, entah mengapa tiba-tiba dia teringat Yulis, lelaki itu menghela napasnya, kemudian meneruskan kegiatannya menata beberapa barang milik Mira ke dalam lemari.

"Oke, kamu istirahat ya. Mungkin, sebentar lagi Mbak Ningsih datang, aku pergi dulu," pamitnya. Lelaki itu mendekati Mira lalu mencium pucuk kepala wanita yang saat ini sangat dicintainya itu.

Honda jazz melaju di jalanan dengan kecepatan rata-rata, sementara sang pengemudi sedang gelisah. Bagas bingung memikirkan, jawaban apa yang akan dikatakan pada Yulis jika istrinya itu menanyakan keberadaan Mira. Lelaki itu nampak kesal, seandainya saja dia mempunyai banyak uang, pasti sudah lama dia meninggalkan wanita yang tak bisa hamil tersebut.

Dalam kegalauannya, ponselnya berdering. Terpampang nama Mira di layar kacanya yang berkedip. "Halo, Sayang." Bagas mengangguk seolah sedang berhadapan dengan orang yang mengajaknya bicara. Setelah panggilannya terputus, dia segera meluncur ke warung bakso langganannya dengan Mira.

Sementara di tempat lain, Yulis sedang melamun di gazebo yang berada di area cafe. Saat ini wanita pemilik bulu mata lentik itu benar-benar terpuruk, dia begitu bersedih memikirkan jalan hidupnya. Yulis benar-benar tak percaya jika Bagas dan Mira tega menorehkan luka yang begitu dalam di hatinya.

"Boleh duduk di sini?" tanya seseorang tiba-tiba, sehingga membuyarkan lamunan Yulis.

Yulis mengangkat wajahnya, bibir tipis itu tersenyum ketika menyadari siapa yang datang. "Kok tahu kalau aku di sini, Al?" Sambil bertanya Yulis menggeser duduknya.

"Emang di mana lagi? Dari dulu tempat ini kan yang menjadi pelarianmu ketika sedang ada masalah."

Yulis terdiam kemudian menunduk, terharu karena ternyata masih ada seseorang yang peduli dengannya.

"Apa perlu kupesankan minuman lagi?" Ali menawarkan setelah melirik gelas kosong di sebelah teman wanitanya itu. Membuat Yulis kembali mengangkat wajahnya, kemudian menggeleng ketika pandangan mereka beradu.

"Boleh kutebak?" tanya Ali. Lelaki itu bersiap duduk.

Yulis mengernyitkan alisnya heran. Sebenarnya hari ini dia ingin sendiri, tetapi karena melihat kegigihan Ali yang ingin menghibur, Yulis pun pasrah kesendiriannya diusik.

"Kamu ada di sini, sejak keluar dari kantorku?"

Yulis tersenyum menandakan kalau tebakan Ali benar.

"Ceritakan, Yul. Agar beban di hatimu sedikit berkurang."

Yulis menghela napasnya, kali ini beban di hatinya memang cukup berat.

"Apa yang harus kuceritakan, Al. Semua baik-baik saja." Yulis menjeda kalimatnya. "Tak ada yang berubah sejak kami menikah, hingga tadi pagi aku mendengar perdebatan mereka." Yulis kembali menghela napasnya. "Aku masih mencoba untuk tidak mempercayai yang terjadi."

"Mereka?"

"Mira adalah anak angkat kami."

Jawaban Yulis membuat Ali tak bisa berkata-kata. Hatinya ikut sakit, melihat wanita yang pernah dicintainya terluka.

**

Langit sudah berwarna jingga ketika mobil yang dikendarai Bagas terparkir di garasi. Langkah kakinya lebar menuju kediamannya. Tanpa mengucap salam lelaki berbadan tegap itu masuk ke rumah. Terus melangkah hingga sampai di depan kamarnya.

"Dek!" Bagas memanggil Yulis sambil mengetuk pintu yang terkunci.

"Dek!" Lagi Bagas memanggil dan mengetuk semakin keras. Terdengar anak kunci yang diputar ketika dia hendak mengetuk yang ketiga kalinya.

Pintu sendikit terbuka, Yulis melongok dengan kepala yang masih berbalut mukenah. Sesaat membuat lelaki itu tersentak. Kaget.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kenapa g bisa dituntut. itukan pemalsuan dan penipuan. g usah bertele2 demi drama sampahlah. cukup si yulis aja yg tolol
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status