Share

Bab 5 SUAMIKU TAK TAHU AKU ISTRINYA

"Bagaimana acara makan malam dengan Ardian dan keluarganya, Bi? Sukses?" tanya Mama Intan dengan menangkupkan kedua tangan dan menempelkan dagunya.

Aku pun yang duduk di hadapan Mama Intan mengacungkan dua jempol. "Sukses, Ma. Meskipun ada hal yang tidak pernah Rubi duga."

Mama Intan merubah posisi duduknya dengan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Hal tak terduga? Maksudnya?"

"Bapak dan Ibu, ternyata mereka juga ada di rumah tersebut, Ma. Ardian dan keluarganya menjadikan orang tuaku sebagai pembantu."

Kuremas tanganku dengan perasaan begitu terluka jika mengingat perlakuan Ardian dan keluarganya terhadap diriku dan juga orang tuaku.

"Keterlaluan. Apa orang tuamu sudah mengetahui kalau Rubi adalah Sundari?"

Dengan gelengan kepala aku menjawab pertanyaan dari Mama Intan.

"Terus. Apa rencana kamu selanjutnya, Bi?"

"Rubi sudah mendapatkan cara agar bisa bicara dengan Ibu, Ma."

Aku pun menjelaskan semua tentang rencana yang telah kususun pada Mama Intan. Dan Mama Intan sangat mendukung.

"Kalau begitu, kamu pindah di rumah Mama yang paling mewah, Bi!"

"Pindah rumah paling mewah? Untuk apa, Ma? Rumah yang Rubi tempati saat ini sudah sangat mewah."

Mama langsung beranjak dari tempat duduknya dan mendekatiku. "Kamu harus memperlihatkan segala sesuatunya yang mewah kepada Ardian dan keluarganya! Kamu paham 'kan maksud Mama?"

"Rubi paham, Ma. Karena mereka memang memandang segala sesuatunya dari materi saja."

"Cerdas. Terus, kapan ibumu akan datang?"

"Besok, Ma. Lebih cepat lebih baik."

***

Tiba saatnya hari ini Ibu akan datang ke rumah menerima tawaranku. Tawaran yang sebenarnya hanya alasan saja.

Kini aku sudah berada di rumah paling mewah milik Mama Intan. Rumah yang jauh lebih mewah dari milik Ardian.

Gegas kuambil ponsel untuk menelepon Pak Ahmad dan memastikan.

"Bagaimana Pak Ahmad? Apa Ibu sudah siap? Mak - maksud saya, apa Bibik sudah siap untuk datang ke sini?"

Hampir saja aku keceplosan. Meskipun Pak Ahmad salah satu sopir kepercayaan Mama Intan yang kini menjadi sopir pribadiku. Tapi untuk saat ini, lebih baik hanya Mama Intan saja yang tahu. Agar semua berjalan dengan lancar.

"Sebentar, Mbak Rubi. Katanya Bibik sedang siap-siap."

"Baiklah, Pak. Terima kasih."

Baru saja aku menutup telepon, tiba-tiba ada panggilan masuk dari Ardian.

"Iya Ardian. Ada apa?"

"Apa Bibik sudah sampai di rumah kamu, Bi?"

"Belum. Tapi sopirku sudah sampai di rumah kamu untuk menjemput Bibik."

"Sebenarnya aku ingin sekali yang mengantar Bibik ke sana. Tapi pekerjaanku tidak bisa ditinggalkan."

"Tidak apa-apa Ardian. Lagian, nanti malam aku gantian yang akan mengundang kamu dan juga keluarga untuk makan malam di rumahku."

"Benarkah, Bi? Dengan sangat senang hati kami menerima undangan dari kamu."

"Oke. Sampai ketemu nanti malam, Ardian."

Semangat sekali kamu menerima undangan makan malam dariku. Pasti kamu ingin tahu lebih jauh tentang diriku, Ardian.

Akan kupastikan kalian tidak berkedip melihat segala kemewahan yang ada di rumah ini.

-

-

Setelah menunggu hampir lima puluh menit, akhirnya Pak Ahmad datang juga. Aku langsung keluar karena tidak sabar ingin segera bertemu dengan Ibu.

"Mbak Rubi. Biar saya saja yang membukakan pintunya," ucap Pak Ahmad yang melihatku begitu semangat sudah memegang pintu mobil untuk membukanya.

Dengan cepat aku menarik kembali tanganku dan mempersilahkan Pak Ahmad yang membukanya.

"Mari, Bik."

Ibu langsung turun dari mobil dengan sikap yang terlihat takut dan canggung.

"Kenapa, Bik? Bibik tidak usah takut di sini! Sekarang ayo Bibik ikut saya masuk dan segera masak menu yang saya inginkan," ucapku.

Dengan langkah pelan Ibu berjalan beriringan denganku.

Badan Ibu terlihat begitu kurus sekali. Pasti beliau sangat tertekan dan tersiksa di rumah Ardian. Tapi alasan apa yang membuat Bapak dan Ibu bertahan di sana? Dan kenapa Bapak dan Ibu tiba-tiba ada di rumah itu?

"Ayo Bik! Kita masuk ke kamar saya dulu," ajakku sembari menggandeng tangan Bibik yang tak lain ibuku sendiri.

"Ke kamar? Untuk apa, Non? Kenapa tidak langsung saja ke dapur? Biar Bibik bisa segera masak."

"O - oh. Saya ingin meminta Bibik untuk mengambil menu masakan yang sudah saya catat dari semalam. Kebetulan masih ada di dalam kamar," jawabku agar pekerja lain yang ada di rumah ini tidak curiga.

Kebetulan kamarku memang ada di lantai atas. Dan Ibu pun mengikuti langkahku yang menaiki anak tangga.

"Kenapa, Bik? Kenapa berhenti?" tanyaku pada Ibu yang tiba-tiba menghentikan langkahnya di anak tangga. Beliau terlihat memegang kakinya.

Aku pun langsung menggandeng tangan Ibu dan menuntun beliau sampai ke atas.

Setelah sampai di depan kamar, aku langsung membuka pintu dan menyuruh Ibu masuk ke dalam. Dengan cepat pintu kamar kututup.

Segera kududukkan Ibu di Sofa mewah yang ada di dalam kamar. Aku pun mencoba melihat kaki Ibu yang dari tadi dipegang.

Betapa kagetnya ketika melihat kaki Ibu penuh luka. Mungkin luka itu terasa nyeri ketika menaiki anak tangga yang lumayan tinggi.

"Ini kenapa, Bik?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca.

"Tidak apa-apa, Non. Oh iya, mana catatan menu yang harus Bibik masak?"

Aku sudah tidak kuasa menahan rindu ini. Segera kupeluk Ibu begitu erat. Sangat erat.

Ibu hanya terdiam bak patung. Bahkan beliau tidak membalas pelukan dariku. Pasti beliau bingung kenapa tiba-tiba aku memeluknya.

"Non. Non Rubi kenapa?"

Segera aku melepaskan pelukan dan menatap Ibu begitu dalam.

"Apa Ibu benar-benar tidak mengenali Sundari?" tanyaku dengan memegang tangan Ibu dan bersimpuh di hadapannya.

"Sun - Sundari? Non Rubi kenal dengan anak Bibik? Sekarang Sundari di mana, Non? Bibik kangen sekali. Sundari tidak mungkin mencuri 'kan Non? Dia pergi pasti punya alasan."

Tangis Ibu langsung pecah. Begitu juga denganku.

"Sundari tidak mungkin mencuri, Bu. Bapak dan Ibu selalu mendidik Sundari menjadi anak yang baik. Dan yang ada dihadapan Ibu saat ini adalah Sundari, Bu. Ini Sundari anak Bapak dan Ibu."

Ibu terlihat begitu kaget mendengar pengakuanku. Beliau terlihat tidak percaya dengan beberapa kali menggelengkan kepala.

"Bukan, Non. Sundari anak Ibu hanya perempuan dari desa. Dia masih begitu polos dan lugu. Meskipun setelah menikah, Bibik belum pernah melihat keadaan dia seperti apa."

Kuusap air mata Ibu yang sudah membasahi pipi. "Ibu tatap Rubi baik-baik! Rubi itu Sundari, Bu. Sundari memang perempuan yang polos dan masih lugu. Tapi semua itu sudah berubah ketika Sundari diperlakukan tidak manusiawi oleh Ardian dan keluarganya. Sundari pergi diam-diam. Dan kini Sundari telah berubah menjadi Rubi untuk membalas rasa sakit hati, Bu."

"Ka - kamu Sundari? Anak Ibu? Tidak. Ini Non Rubi, teman Tuan Ardian. Bukan Sundari."

Segera aku menembangkan sebuah tembang jawa yang biasa Ibu lakukan ketika aku hendak tidur. Kusandarkan kepala dipangkuan Ibu dan menarik lembut tangan Ibu untuk mengelus rambutku.

Air mata Ibu menetes di pipiku. "Kamu benar-benar Sundari anak Ibu."

Ibu langsung memelukku dengan begitu erat dan beberapa kali mencium keningku.

"Iya, Bu. Ini Sundari. Anak Ibu."

Sesaat aku pun melepas rindu dengan menyandarkan kepala di pelukan Ibu. Seperti mimpi, tapi ini nyata.

Saat ini aku benar-benar berada di pelukan Ibu yang begitu hangat. Pelukan yang selama ini kurindukan. Dan pelukan yang tidak pernah kurasakan saat tinggal di rumah Ardian.

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rohim Rohim
sangar menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status