Share

6. Lintah bersayap malaikat

Berlin duduk termenung di toilet umum sembari menatap kartu nama Devan dengan gelisah. Gadis itu masih dilanda kegalauan untuk memutuskan akan menghubungi Devan atau tidak.

"Apa tidak aneh jika aku tiba-tiba menghubunginya?" gumam Berlin bimbang.

Gadis itu melirik ke arah arloji kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore hari. Berlin harus segera mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit serta mengurus panti asuhan yang akan segera digusur.

Gadis itu tak lagi memiliki banyak pilihan selain merampok pria kaya dengan cara halus.

"Coba saja dulu! Ayolah, Berlin! Tidak ada waktu lagi! Kalau ini tidak berhasil, aku akan menjual ginjal saja!" gumam Berlin menggebu-gebu.

Berlin mulai sibuk memainkan ponselnya dan bersiap untuk menghubungi Devan. Dengan jantung berdegup kencang, gadis itu memberanikan diri menghubungi pria asing yang memberikan kartu nama padanya secara cuma-cuma.

"Halo?"

Dia menjawabnya?! Dia menjawab teleponku secepat ini?!” jerit Berlin dalam hati.

"Siapa ini?" tanya Devan.

Suara berat pria itu terdengar begitu menakutkan di telinga Berlin. Gadis itu menelan ludah dengan kasar dan mencoba merangkai kata yang pas untuk memberikan kesan yang baik pada Devan.

"Bisa aku bicara dengan Devandra?" tanya Berlin takut-takut.

"Ini aku, Devan. Kalau ada kepentingan apapun itu, tolong hubungi asistenku saja!"

Tubuh Berlin bergetar hebat dan peluh deras perlahan mengucur membasahi dahinya. “Apa yang harus kukatakan padanya? Haruskah aku terang-terangan menawarkan diri untuk menjadi sugar baby? Sejak kapan aku menjadi murahan seperti ini?” gumam Berlin lirih.

"Aku Berliana. Mungkin kau ingat seseorang yang bernama Berliana? Kau sendiri yang memberikan kartu namamu padaku," terang Berlin.

Devan menyeringai begitu ia mendengar nama Berlin. Pria yang semula berbicara dengan nada dingin itu, mendadak mengubah gaya bicaranya menjadi lebih halus dan ramah.

"Berlin? Apa ini gadis cantik yang aku jemput beberapa hari yang lalu?" tanya Devan.

"Benar. Aku tidak salah menghubungi orang, kan?"

"Tentu tidak. Aku tidak menyangka kau akan menghubungiku secepat ini. Apa kau sudah dicampakkan oleh Ken?" sindir Devan.

"Kau tahu identitasku di kampus. Apa kau tahu hal yang terjadi padaku di kampus hari ini?" tanya Berlin dengan nada menuduh.

"Memangnya ada kejadian apa di kampusmu? Untuk apa juga aku harus mengetahui hal-hal yang terjadi pada orang asing?" tukas Devan tak peduli.

Sial! Awas saja kalau ternyata benar kau yang mengumbar aibku!" gerutu Berlin dalam hati.

"Lupakan saja! Aku menghubungimu bukan untuk membahas hal itu," cetus Berlin.

"Lalu? Ada keperluan apa kau menghubungiku?" tanya Devan berpura-pura bodoh di depan Berlin, meskipun dirinya tahu benar jika Berlin menghubunginya demi mendapatkan uang.

"Apa kau sibuk? Bisa kita bertemu sebentar?" pinta Berlin.

"Untuk apa bertemu? Kau katakan saja sekarang! Apa yang kau butuhkan dariku?" desak Devan.

Katakan saja padanya, Berlin! Untuk apa masih mengkhawatirkan rasa malu dan harga diri?! Harga diri tidak akan membuat hutangmu lunas begitu saja!” omel Berlin dalam hati.

"Waktuku tidak banyak, Nona. Kalau tidak ada hal penting yang ingin kau sampaikan, aku tutup saja!" ujar Devan mulai kehilangan kesabaran.

"Apa tawaranmu masih berlaku?" tanya Berlin dengan setengah berteriak hingga membuat Devan tersentak kaget.

Apa-apaan gadis ini? Gendang telingaku bisa pecah!” batin Devan kesal.

"Tawaran apa?" tanya Devan kembali berlagak bodoh.

"Tawaran itu!"

"Itu apa?" pancing Devan.

Pria ini benar-benar sengaja ingin mempermalukanku?!” batin Berlin geram.

"Aku tidak mempunyai pelanggan sekarang," ungkap Berlin berharap Devan langsung bisa menangkap maksudnya.

"Lalu?"

Gadis itu hampir membanting ponsel karena tak tahan lagi dengan ocehan Devan yang sengaja memojokkannya.

Berlin mengatur nafas sejenak, sebelum akhirnya ia merelakan harga dirinya untuk mengemis uang pada Devan.

"Apa kau masih berminat mencari sugar baby? Aku akan menurut padamu dan memenuhi semua keinginanmu," bujuk Berlin dengan nada manja yang menggelikan.

Devan tertawa puas dalam hati begitu ia mendengar suara centil Berlin yang memohon padanya demi isi dompet.

"Berapa yang kau dapatkan dari daddy yang mengurusmu sebelumnya?" tanya Devan.

"Kau setuju?"

"Tapi aku memiliki banyak aturan dan permintaan. Aku juga suka permainan yang kasar. Kau yakin kau sanggup melayaniku?" cibir Devan.

"Asal kau menerimaku, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menyenangkanmu!"

Devan melirik ke arah jam dinding yang bertengger di dalam ruangan kantornya. Pria itu mengambil kunci kendaraan di laci mejanya dan bergegas bangkit dari kursi kebesarannya.

"Aku akan memberikan alamat hotel padamu. Datanglah ke sana dua jam lagi. Kalau kau tidak bisa menyenangkanku, lebih baik kau mencari sugar daddy yang lain!" tegas Devan.

"Tentu! Aku akan datang. Terima kasih banyak, Tuan."

Berlin memutuskan sambungan telepon dengan Devan, kemudian bergegas kembali ke apartemen kecilnya untuk bersiap.

"Cih, Tuan? Sekarang dia memanggilku Tuan hanya karena aku akan memberinya uang?!" sinis Devan.

"Gadis polos itu benar-benar mudah untuk dibodohi!"

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Meilina07
skrg aja blg gt, hbis ni kmu bucin Van van
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status