Berlin duduk termenung di toilet umum sembari menatap kartu nama Devan dengan gelisah. Gadis itu masih dilanda kegalauan untuk memutuskan akan menghubungi Devan atau tidak.
"Apa tidak aneh jika aku tiba-tiba menghubunginya?" gumam Berlin bimbang.
Gadis itu melirik ke arah arloji kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore hari. Berlin harus segera mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit serta mengurus panti asuhan yang akan segera digusur.
Gadis itu tak lagi memiliki banyak pilihan selain merampok pria kaya dengan cara halus.
"Coba saja dulu! Ayolah, Berlin! Tidak ada waktu lagi! Kalau ini tidak berhasil, aku akan menjual ginjal saja!" gumam Berlin menggebu-gebu.
Berlin mulai sibuk memainkan ponselnya dan bersiap untuk menghubungi Devan. Dengan jantung berdegup kencang, gadis itu memberanikan diri menghubungi pria asing yang memberikan kartu nama padanya secara cuma-cuma.
"Halo?"
“Dia menjawabnya?! Dia menjawab teleponku secepat ini?!” jerit Berlin dalam hati.
"Siapa ini?" tanya Devan.
Suara berat pria itu terdengar begitu menakutkan di telinga Berlin. Gadis itu menelan ludah dengan kasar dan mencoba merangkai kata yang pas untuk memberikan kesan yang baik pada Devan.
"Bisa aku bicara dengan Devandra?" tanya Berlin takut-takut.
"Ini aku, Devan. Kalau ada kepentingan apapun itu, tolong hubungi asistenku saja!"
Tubuh Berlin bergetar hebat dan peluh deras perlahan mengucur membasahi dahinya. “Apa yang harus kukatakan padanya? Haruskah aku terang-terangan menawarkan diri untuk menjadi sugar baby? Sejak kapan aku menjadi murahan seperti ini?” gumam Berlin lirih.
"Aku Berliana. Mungkin kau ingat seseorang yang bernama Berliana? Kau sendiri yang memberikan kartu namamu padaku," terang Berlin.
Devan menyeringai begitu ia mendengar nama Berlin. Pria yang semula berbicara dengan nada dingin itu, mendadak mengubah gaya bicaranya menjadi lebih halus dan ramah.
"Berlin? Apa ini gadis cantik yang aku jemput beberapa hari yang lalu?" tanya Devan.
"Benar. Aku tidak salah menghubungi orang, kan?"
"Tentu tidak. Aku tidak menyangka kau akan menghubungiku secepat ini. Apa kau sudah dicampakkan oleh Ken?" sindir Devan.
"Kau tahu identitasku di kampus. Apa kau tahu hal yang terjadi padaku di kampus hari ini?" tanya Berlin dengan nada menuduh.
"Memangnya ada kejadian apa di kampusmu? Untuk apa juga aku harus mengetahui hal-hal yang terjadi pada orang asing?" tukas Devan tak peduli.
“Sial! Awas saja kalau ternyata benar kau yang mengumbar aibku!" gerutu Berlin dalam hati.
"Lupakan saja! Aku menghubungimu bukan untuk membahas hal itu," cetus Berlin.
"Lalu? Ada keperluan apa kau menghubungiku?" tanya Devan berpura-pura bodoh di depan Berlin, meskipun dirinya tahu benar jika Berlin menghubunginya demi mendapatkan uang.
"Apa kau sibuk? Bisa kita bertemu sebentar?" pinta Berlin.
"Untuk apa bertemu? Kau katakan saja sekarang! Apa yang kau butuhkan dariku?" desak Devan.
“Katakan saja padanya, Berlin! Untuk apa masih mengkhawatirkan rasa malu dan harga diri?! Harga diri tidak akan membuat hutangmu lunas begitu saja!” omel Berlin dalam hati.
"Waktuku tidak banyak, Nona. Kalau tidak ada hal penting yang ingin kau sampaikan, aku tutup saja!" ujar Devan mulai kehilangan kesabaran.
"Apa tawaranmu masih berlaku?" tanya Berlin dengan setengah berteriak hingga membuat Devan tersentak kaget.
“Apa-apaan gadis ini? Gendang telingaku bisa pecah!” batin Devan kesal.
"Tawaran apa?" tanya Devan kembali berlagak bodoh.
"Tawaran itu!"
"Itu apa?" pancing Devan.
“Pria ini benar-benar sengaja ingin mempermalukanku?!” batin Berlin geram.
"Aku tidak mempunyai pelanggan sekarang," ungkap Berlin berharap Devan langsung bisa menangkap maksudnya.
"Lalu?"
Gadis itu hampir membanting ponsel karena tak tahan lagi dengan ocehan Devan yang sengaja memojokkannya.
Berlin mengatur nafas sejenak, sebelum akhirnya ia merelakan harga dirinya untuk mengemis uang pada Devan.
"Apa kau masih berminat mencari sugar baby? Aku akan menurut padamu dan memenuhi semua keinginanmu," bujuk Berlin dengan nada manja yang menggelikan.
Devan tertawa puas dalam hati begitu ia mendengar suara centil Berlin yang memohon padanya demi isi dompet.
"Berapa yang kau dapatkan dari daddy yang mengurusmu sebelumnya?" tanya Devan.
"Kau setuju?"
"Tapi aku memiliki banyak aturan dan permintaan. Aku juga suka permainan yang kasar. Kau yakin kau sanggup melayaniku?" cibir Devan.
"Asal kau menerimaku, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menyenangkanmu!"
Devan melirik ke arah jam dinding yang bertengger di dalam ruangan kantornya. Pria itu mengambil kunci kendaraan di laci mejanya dan bergegas bangkit dari kursi kebesarannya.
"Aku akan memberikan alamat hotel padamu. Datanglah ke sana dua jam lagi. Kalau kau tidak bisa menyenangkanku, lebih baik kau mencari sugar daddy yang lain!" tegas Devan.
"Tentu! Aku akan datang. Terima kasih banyak, Tuan."
Berlin memutuskan sambungan telepon dengan Devan, kemudian bergegas kembali ke apartemen kecilnya untuk bersiap."Cih, Tuan? Sekarang dia memanggilku Tuan hanya karena aku akan memberinya uang?!" sinis Devan.
"Gadis polos itu benar-benar mudah untuk dibodohi!"
***
Tepat pukul lima sore, Berlin sudah berdiri di depan hotel yang akan menjadi tempat untuk kencan pertamanya bersama Devan.Gadis itu terus celingukan kesana-kemari dengan gelisah dan berusaha mencari sosok Devan yang tak kunjung muncul untuk menjemput dirinya."Pria itu tidak akan menipuku, kan? Hanya dia satu-satunya harapanku sekarang," gumam Berlin makin bertambah gelisah menanti kedatangan Devan.Sudah satu jam lamanya Berlin menunggu, namun pria yang dinanti-nantinya tak juga muncul menyapa dirinya."Riasanku sudah hampir luntur!" gerutu Berlin jengkel.Sementara di tempat lain, Devan terlihat duduk dengan santai sembari menyeruput secangkir kopi yang ada di tangannya. Manik mata pria itu tampak fokus menatap monitor yang menyuguhkan wajah Berlin sebagai bintang di la
Devan masih termenung menatap tanda lahir Berlin dan mencoba mengingat-ingat kapanserta di mana ia sempat melihat tanda yang nampak familiar itu.Dengan posisi sudah menindih tubuh Berlin di atas ranjang, Devan justru tak kunjung melanjutkan malam panasnya bersama gadis cantik yang sudah siap ia terkam.“Kenapa dia diam saja? Apa aku memang tidak menarik baginya?” batin Berlin bingung."Tuan!" panggil Berlin dengan nada manja pada Devan."Sampai kapan Tuan akan terus menatapku?" tanya Berlin kemudian.Lamunan Devan langsung buyar begitu ia mendengar suara Berlin. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, sebelum ia memulai kembali aksinya untuk menerkam gadis manis yang sudah terjebak dalam kungkungannya.
"Nana, bagaimana keadaan Ibu?" tanya Berlin pada adik kecilnya melalui telepon."Ibu sudah membaik, Kak. Kata dokter, Ibu sudah boleh pulang besok pagi," terang Nana."Kapan Kakak akan kemari?" tanya Nana penuh harap.Berlin nampak bingung harus memberikan jawaban apa pada adik kecilnya. Tubuhnya saat ini masih pegal dan sakit karena ulah Devan semalam. Belum lagi malam nanti pria itu akan kembali padanya untuk meminta "jatah"."Kakak akan berkunjung besok. Nanti Kakak akan mengirimkan uang untuk biaya rumah sakit Ibu. Katakan pada Kak Mei untuk mengurusnya, ya? Besok Kakak akan menjenguk Ibu. Hari ini Kakak masih ada banyak kelas di kampus," ujar Berlin mengarang cerita."Baiklah, aku akan menyampaikannya pada Kak Mei.""Titip pesan juga pada Ibu, besok Ibu bisa pulang ke panti dengan tenang. Katakan pada Ibu untuk banyak-banyak istirahat. Kakak sudah mengurus semuanya," pesan Berlin."Tentu. Akan kusampaikan pada Ibu," pungkas Nana, kemudian memati
"Bos, Nona Sheena sudah menunggu di luar ruangan sejak tadi. Apa tidak sebaiknya—""Biarkan saja dia menunggu! Sudah diusir dengan cara halus, kenapa dia masih saja tidak tahu diri?" sentak Devan tak peduli.Pria itu kembali fokus pada berkas-berkas kerja yang ada di mejanya tanpa menghiraukan keberadaan wanita cantik yang masih setia menunggu sapaan darinya."Bos, untuk beasiswa Nona Berlin—" Lagi-lagi perkataan Vernon terpotong begitu saja oleh Devan."Sudah kubilang untuk mencabutnya! Biarkan saja gadis itu mencari cara sendiri untuk mendapatkan beasiswanya lagi!"Vernon tak lagi berani bercicit dihadapan sang majikan. Asisten malang itu hanya diam sembari memainkan jemarinya yang kasar."Katakan pada Sheena kalau aku ada rapat sampai malam. Suruh dia pulang!" titah Devan pada Vernon.Begitu Vernon berlalu meninggalkan ruangannya, Devan melirik ponselnya sejenak dan mengotak-atik benda itu dengan antusias.Pria itu memasang kamera pengintai di
Tring, tring!Berlin terbangun dari acara tidur siangnya karena bunyi ponsel yang berdering kencang. Selama seharian penuh, gadis itu hanya menghabiskan waktu dengan berbincang bersama banyak orang melalui telepon, tanpa bisa meninggalkan hotel tempatnya beristirahat kini.Rasa lelah dan penat yang masih hinggap di tubuhnya, membuat Berlin malas menggerakkan tubuh bahkan untuk hal-hal rutin seperti mandi dan mengisi perutnya yang keroncongan."Kenapa sejak tadi ponselku berbunyi terus?!" gerutu Berlin mulai sebal."Halo?" jawab gadis itu dengan ketus tanpa melihat nama yang tertera di layar ponselnya."Begitukah caramu menyapa orang yang memberimu uang?" sentak Devan kembali dibuat naik pitam."Sial! Siapa ini yang menelepon?" jerit Berlin dalam hati.Gadis itu memeriksa layar ponselnya sejenak untuk melihat siapa nama pemanggil yang menghubunginya."Apa yang sudah kau lakukan pada dompetmu, Berlin!" batin Berlin pen
Bab 12. Sisi lain"Kenapa aku tidak merasakan apapun?" batin Berlin masih menunggu pukulan dari Devan dengan memejamkan mata."Dia jadi memukulku atau tidak sih?" batin Berlin mulai kehilangan kesabaran.Gadis itu memberanikan diri membuka mata dan melihat Devan yang melempar tatapan tajam padanya tanpa bersuara."Kenapa kau menutup mata? Kau pikir aku akan memukulmu?" sinis Devan.Berlin menundukkan kepala dalam-dalam tanpa berani menimpali perkataan Devan.Pria itu menarik pergelangan tangan Berlin kembali masuk ke dalam, kemudian menutup pintu kamar hotel rapat-rapat."B-bolehkah aku pergi sebentar? Hanya sebentar saja—""Apa kau tidak mengerti bahasa manusia? Apa perkataanku kurang jelas?" sentak Devan.Pria itu mendorong tubuh Berlin hingga terhempas ke ranjang dan melucuti pakaian gadis itu satu persatu secara paksa.Sementara, Berlin sendiri hanya pasrah dan tak berani memberontak pada pria y
Devan mengerjapkan mata dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan asing tempatnya terbaring lemas.Wajah pucat dan keringat dingin mulai mengucur deras membasahi pelipis pria itu.Nafas Devan mulai tersengal dan tenggorokannya mendadak tercekat. Hatinya menjerit, namun mulutnya tak sanggup mengeluarkan suara sedikitpun. Manik mata Devan melotot ke arah remaja laki-laki yang tergeletak tak jauh darinya. Darah yang mengalir deras di lantai membuat tubuh pria itu bergetar hebat dilanda kepanikan."I-ibu ... aku takut!" gumam Devan lirih."Aku takut!" gumamnya lagi diiringi air mata yang sudah mengalir membasahi pipi."Kenapa dengan pria ini?" gumam Berlin menatap Devan yang mengingau dengan tubuh berkeringat dingin.Ternyata kepanikan dan ketakutan Devan hanyalah sebuah mimpi buruk yang menyapanya dengan kenangan kelam yang pernah dilaluinya dulu.Devan terus meracau tidak jelas dengan mata tertutup, sementa
Berlin membuka mata dan mendapati kamar megah tempatnya beristirahat sudah kosong tanpa adanya sosok Devan yang menemani.Gadis itu duduk sejenak untuk menghilangkan kantuk sembari meraba-raba ranjang tempatnya berbaring untuk mencari ponsel."Sebaiknya aku pergi ke panti sekarang," gumam Berlin kemudian bersiap untuk memenuhi permintaan dari ibu asuhnya, Bu Wanda untuk berkunjung.Berlin hanya mengirim pesan singkat pada Devan, kemudian bergegas keluar dari hotel meski dengan langkah tertatih.Dengan bermodalkan uang saku yang ditinggalkan Devan, Berlin duduk nyaman di dalam taksi tanpa harus berdesakan di dalam kendaraan umum yang sering ditumpanginya.Jalanan yang lenggang membuat Berlin dapat sampai dengan cepat di panti asuhan kecil yang sempat menjadi rumahnya selama belasan tahun.Berlin tertegun sejenak begitu ia melihat suasana ramai di panti meskipun hari masih pagi."Ada apa ini?" gumam Berlin penasaran denga