Share

DOA ORANG TERDZOLIMI

Ibuku memang selalu emosi terhadap Kang Agung. Setiap kali mendengar namanya, atau ingatannya tentang mantan suamiku itu muncul, ibu selalu emosi.

"Bukan masalah masih 'ngarep', melainkan Asih lebih senang merintis usaha warung nasi. Lagipula Asih masih trauma, Bu," jawabku.

"Tapi kamu masih muda. Usiamu masih tiga puluh tahun, ibu pengen kamu ada yang mendampingi, biar ibu tenang," ucapnya seraya duduk di meja makan. Aku menuangkan nasi dan lauk nya ke piring ibu.

Entahlah, bagaimana lagi aku harus menjawab. Keinginan ibu memang masuk akal, ia sudah sepuh dan khawatir tak ada yang menjagaku andai ia sudah tiada. 

*

Subuh-subuh aku menuntun Dewi menuju ke warung, setelah susah payah membujuknya agar mau kembali bekerja. Kasihan dia, jika tak bekerja ... bagaimana ia dan neneknya bisa makan?

"Bu, Dewi takut. Kak Yuni selalu bersikap manis tapi kata-katanya selalu menyakiti hati Dewi," curhatnya di sepanjang jalan.

"Memangnya, dia suka ngomong apa aja?" tanyaku.

"Katanya Dewi masih anak-anak, harusnya sekolah, bukan bekerja. Kalau kerja itu pakai baju yang bagus, jangan yang jelek dan kumal. Terus masih banyak lagi, Bu .... Dewi gak bisa ceritain satu-satu, terlalu banyak ucapan Kak Yuni yang menyakiti hati Dewi."

Aku mengelus dada, jengkel mendengar cerita Dewi tentang Yuni. "Sejak kapan dia suka ngomong kayak gitu?" lanjutku bertanya.

"Sejak pertama Dewi masuk kerja," jawabnya.

Harus kuapakan Yuni, apakah lebih baik kupecat saja dia?

"Ya sudah, Wi. Mulai sekarang, kalau Yuni ngomong macam-macam lagi, bilang sama Ibu, ya!" tegasku. Ia pun mengangguk patuh.

Orang-orang yang selesai melaksanakan sholat Subuh berjamaah di mesjid, keluar berhamburan. Di antaranya ada Kang Agung. Kami pun berpapasan. Ia tampak malu setiap bertemu denganku. Bahkan, seminggu yang lalu ia mengucapkan kata maaf ketika kami bertemu di pasar. Ia juga berkata menyesal telah menceraikanku. Dan kedua orangtuanya memintaku agar kembali rujuk dengan Kang Agung. Tapi, aku tak menceritakan hal itu pada ibu, karena ibu pasti akan marah mendengarnya.

"Asih? Berangkat ke warung ya?" Kang Agung menyapaku. Aku hanya mengangguk, tidak menjawab. Dan langsung mempercepat langkah kaki.

"Kenapa, Bu?" tanya Dewi. 

"Ada mantan suami Ibu," jawabku.

"Lho, memangnya kenapa?"

"Sudah, ayo kita jalan saja!"

Dewi heran karena aku tiba-tiba menarik tangannya dengan kuat, agar bisa berjalan lebih cepat. Tapi ia tetap tak mengerti kenapa aku berbuat seperti itu, walau pun sudah kujelaskan.

Sepuluh menit kemudian, kami sudah tiba di warung dan bergegas menuju dapur. Sumi sudah lebih dulu tiba, ia tengah mengiris sayuran dan mempersiapkan bumbu. Warung selalu buka jam tujuh pagi, jadi sebelum Subuh harus mulai memasak.

"Kok baru ngiris sayuran, Sum? Ini sudah Subuh. Kalau begini caranya, kita bisa telat buka warung. Padahal kan jam tujuh itu warung pas rame-ramenya orang sarapan?" tanyaku heran. "Kemana Yuni?"

Aku tak melihat Yuni, harusnya dia sudah ada di sini untuk memasak dengan Sumi. Segera kuletakan tas dan membantu mengiris sayur, kalau sudah begini aku juga yang harus turun tangan. Dewi dengan sigap mengambil sapu dan seember air untuk mengepel, ia akan membersihkan lantai dan juga mengelap meja. Aku senang dengan Dewi, ia cekatan dan sangat disiplin.

"Anaknya sakit, Bu. Tadi dia datang ke rumah jam dua pagi, katanya izin gak masuk kerja. Terpaksa saya harus kerja sendiri dari tadi," jawab Sumi setengah kesal.

"Memangnya sakit apa? Bukannya kemarin pas main ke sini, Ardi sehat-sehat saja? Malah dia lari-larian ngejar para supir angkot," tanyaku. Ardi adalah nama anak Yuni. Kadang suka ikut dengan Yuni ke warung.

"Gak tahu lah, Bu. Katanya sih, anaknya jadi gak bisa ngomong. Kayak orang gagu gitu, terus badannya juga panas," jawab Sumi. Ia mulai menumis bumbu, aku menyodorkan irisan sayur padanya untuk segera dimasak.

"Lho? Kan anaknya Yuni itu bisa ngomong, malah ... cerewet kayak ibunya. Kok bisa tiba-tiba jadi gagu, sih?" Aku terheran.

"Yaah, saya juga heran, Bu. Tapi jujur, saya kemarin sempat jengkel dengan Yuni, gara-gara dia ngomong terus," cerita Sumi.

Aku menghembuskan napas dan menggeleng-gelengkan kepala. Bagaimana ini, aku berniat memecat Yuni, tapi kalau tahu anaknya sedang sakit ... rasanya tak tega.

Dewi telah selesai membersihkan warung, ia duduk di kursi setelah menyimpan semua peralatannya. Sayuran pun sudah selesai kuiris semua, tinggal diserahkan pada Sumi untuk dimasak. 

Jam setengah enam pagi, alhamdulillah masih bisa mengejar waktu agar bisa buka tepat jam tujuh. Untung aku dan Dewi datang subuh-subuh.

"Bu, Dewi tadi mendengar anaknya Kak Yuni jadi gagu, ya?" tanya Dewi setelah aku duduk di sampingnya.

"Iya, saya juga merasa aneh. Padahal kemarin dia baik-baik saja," jawabku.

"Bu, apa itu semua karena Dewi ya? Kemarin Dewi berdoa agar Alloh menghukum Kak Yuni, kalau perlu dibisukan saja, biar Kak Yuni gak bisa ngomong jahat lagi! Maaf Bu, habisnya kemarin itu Dewi sakit hati sekali!" Dewi berbisik di telingaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status