Share

MASA LALU ASIH (3)

Bayi yang keguguran itu berjenis kelamin laki-laki yang sangat dinantikan Kang Agung, mungkin itulah sebabnya ia merasa sangat down dan emosi pada saat itu. Karena anak impiannya harus gugur.

"Ini semua juga gara-gara kamu, keras kepala! Dari dulu sudah kubilang tak perlu bekerja di sana, tapi kau tak mau menurut. Lihat, sekarang jadi begini kejadiannya! Asep menendang bayi laki-lakiku hingga gugur!" katanya menyalahkan sambil membentakku, dengan suara yang begitu keras.

Tangan Kang Agung melayang di udara namun terhenti, karena ibu membuka pintu sehabis dari toilet. Betapa terkejutnya ibu melihat Kang Agung tengah mengepalkan tangannya ke arahku.

"Astaghfirulloh ... Agung! Ternyata kamu tukang mukul!" pekik ibu.

Kang Agung menurunkan tangannya dengan lemas, kemudian ia jatuh terduduk di lantai, tak berdaya. Suster datang setelah ibu memanggilnya, lalu membaringkan Kang Agung di ranjang sebelahku.

Ibu masih terlihat kecewa pada Kang Agung, ia terus mengusap-usap keningku. "Apa selama ini dia suka main tangan, Sih? Ceritalah sama ibu!" Ibu bertanya sambil tersedu-sedu.

Aku menggeleng. "Enggak, Bu. Selama ini Kang Agung baik dan bertanggungjawab. Tak pernah sekalipun ia membentakku, apalagi memukul. Hanya saja, tadi keadaannya memang panas ... Kang Agung pasti sangat terpukul karena bayi laki-laki yang dinantikannya telah gugur, sehingga ia khilaf dan hampir menamparku," jawabku.

"Tetap saja Ibu tak terima. Kamu jangan membelanya, Sih! Sekali laki-laki berani main tangan, bukan tak mungkin dia akan mengulanginya di lain hari. Bagaimana jika tadi Ibu tak datang, mungkin kamu sudah ditamparnya!" ucap Ibu dengan setengah berbisik. Untung Kang Agung sudah lelap tertidur—karena kelelahan—sehingga ia tak harus mendengar percakapanku dengan ibu.

*

Selang seminggu pasca keguguran, aku mengeluh pada Ibu karena bosan hanya diam saja di rumah. Apalagi Zulfa sudah tahu jajan, ia selalu merengek minta uang sementara aku tak punya, karena sudah seminggu pula aku menganggur.

"Minta saja sama bapaknya," kata ibu.

"Kang Agung lagi di Jakarta, Bu. Lagi ikut tes CPNS," jawabku. "Asih ingin bekerja lagi, gak tega lihat Zulfa ... baju-bajunya sudah gak muat, Asih gak punya uang untuk membelinya."

Ibu yang pagi itu tengah menyiram tanaman obat di pekarangan, menghentikan aktivitasnya sejenak. "Lalu mau kerja di mana? Ibu gak mau ah kamu kerja di tempat orang lagi! Sudah, perempuan itu tugasnya diam saja di rumah, ngurus anak dan suami. Biarkan Agung yang nyari uang!" ucapnya seraya lanjut menyiram tanaman.

"Tapi, Bu ... Bagaimana nanti jika Kang Agung tak kembali ke sini?" 

Ibu terdiam, mungkin berpikir apa yang kukatakan itu benar. Sejak pulang dari rumah sakit, Kang Agung memang tak pernah menemuiku lagi, entah mengapa. Waktu itu, aku pun tahu ia sedang mengikuti tes CPNS karena diberi tahu temannya.

"Ya sudah, kalau kamu memang kekeh ingin bekerja, buka saja warung nasi Ibu yang sudah lama tutup. Kamu rintis lagi dari nol!" Akhirnya ibu memberi jalan.

Warung nasi itu adalah bekas usaha ibu yang sudah lama bangkrut, sejak bapak meninggal. Ibu mempercayakannya padaku untuk kupakai membuka usaha, dan aku pun menerimanya dengan senang hati.

Hari-hari berikutnya aku mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan untuk membuka warung, dan rutinitasku jadi berubah. Bangun tengah malam, belanja dan berangkat ke warung sebelum subuh untuk memasak. Sholat Subuh pun selalu kutunaikan di warung, baru pulang setelah Ashar. Walau nyeri linu pasca kuret masih terasa, tapi aku tak mempedulikannya. Semua kulakukan demi sesuap nasi untuk Zulfa, anakku.

Kesibukan di warung membuatku sedikit melupakan 'tragedi' yang telah terjadi, dan rasa sakit hatiku pun sedikit terobati. Hingga pada suatu hari, aku mendengar kabar Kang Agung lulus tes CPNS. Betapa gembiranya hatiku waktu itu, karena suamiku akan diangkat menjadi guru PNS. Aku pun berniat untuk memberanikan diri datang ke rumah ibu mertua, hendak memberikan selamat pada Kang Agung, tanpa sepengetahuan ibu.

Waktu itu sepulang dari warung, aku menghindari lewat depan ruko Pak Asep karena takut ia akan melihatku dan mengumpatiku lagi. Aku juga mengambil jalan pintas agar cepat sampai di rumah ibu mertua. Tapi, apa yang kulihat kemudian sangatlah menyakitkan! Jalan pintas yang kuambil itu melewati sebuah warung bakso, dan aku melihat Rosi sedang menyuapi Kang Agung di sana! Mereka berdua asyik menyantap bakso sambil suap-suapan.

"Kang Agung!" teriakku menghampiri mereka ke dalam warung. Tas dan termos yang kujinjing kugeletakkan begitu saja di pinggir jalan. "Apa yang kau lakukan, Kang! Sepulang dari Jakarta membawa kabar bahagia karena lulus CPNS, kau bukannya menemuiku malah suap-suapan di sini sama Rosi!" Aku berteriak sambil menangis tersedu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status