Bayi yang keguguran itu berjenis kelamin laki-laki yang sangat dinantikan Kang Agung, mungkin itulah sebabnya ia merasa sangat down dan emosi pada saat itu. Karena anak impiannya harus gugur.
"Ini semua juga gara-gara kamu, keras kepala! Dari dulu sudah kubilang tak perlu bekerja di sana, tapi kau tak mau menurut. Lihat, sekarang jadi begini kejadiannya! Asep menendang bayi laki-lakiku hingga gugur!" katanya menyalahkan sambil membentakku, dengan suara yang begitu keras.
Tangan Kang Agung melayang di udara namun terhenti, karena ibu membuka pintu sehabis dari toilet. Betapa terkejutnya ibu melihat Kang Agung tengah mengepalkan tangannya ke arahku.
"Astaghfirulloh ... Agung! Ternyata kamu tukang mukul!" pekik ibu.
Kang Agung menurunkan tangannya dengan lemas, kemudian ia jatuh terduduk di lantai, tak berdaya. Suster datang setelah ibu memanggilnya, lalu membaringkan Kang Agung di ranjang sebelahku.
Ibu masih terlihat kecewa pada Kang Agung, ia terus mengusap-usap keningku. "Apa selama ini dia suka main tangan, Sih? Ceritalah sama ibu!" Ibu bertanya sambil tersedu-sedu.
Aku menggeleng. "Enggak, Bu. Selama ini Kang Agung baik dan bertanggungjawab. Tak pernah sekalipun ia membentakku, apalagi memukul. Hanya saja, tadi keadaannya memang panas ... Kang Agung pasti sangat terpukul karena bayi laki-laki yang dinantikannya telah gugur, sehingga ia khilaf dan hampir menamparku," jawabku.
"Tetap saja Ibu tak terima. Kamu jangan membelanya, Sih! Sekali laki-laki berani main tangan, bukan tak mungkin dia akan mengulanginya di lain hari. Bagaimana jika tadi Ibu tak datang, mungkin kamu sudah ditamparnya!" ucap Ibu dengan setengah berbisik. Untung Kang Agung sudah lelap tertidur—karena kelelahan—sehingga ia tak harus mendengar percakapanku dengan ibu.
*
Selang seminggu pasca keguguran, aku mengeluh pada Ibu karena bosan hanya diam saja di rumah. Apalagi Zulfa sudah tahu jajan, ia selalu merengek minta uang sementara aku tak punya, karena sudah seminggu pula aku menganggur.
"Minta saja sama bapaknya," kata ibu.
"Kang Agung lagi di Jakarta, Bu. Lagi ikut tes CPNS," jawabku. "Asih ingin bekerja lagi, gak tega lihat Zulfa ... baju-bajunya sudah gak muat, Asih gak punya uang untuk membelinya."
Ibu yang pagi itu tengah menyiram tanaman obat di pekarangan, menghentikan aktivitasnya sejenak. "Lalu mau kerja di mana? Ibu gak mau ah kamu kerja di tempat orang lagi! Sudah, perempuan itu tugasnya diam saja di rumah, ngurus anak dan suami. Biarkan Agung yang nyari uang!" ucapnya seraya lanjut menyiram tanaman.
"Tapi, Bu ... Bagaimana nanti jika Kang Agung tak kembali ke sini?"
Ibu terdiam, mungkin berpikir apa yang kukatakan itu benar. Sejak pulang dari rumah sakit, Kang Agung memang tak pernah menemuiku lagi, entah mengapa. Waktu itu, aku pun tahu ia sedang mengikuti tes CPNS karena diberi tahu temannya.
"Ya sudah, kalau kamu memang kekeh ingin bekerja, buka saja warung nasi Ibu yang sudah lama tutup. Kamu rintis lagi dari nol!" Akhirnya ibu memberi jalan.
Warung nasi itu adalah bekas usaha ibu yang sudah lama bangkrut, sejak bapak meninggal. Ibu mempercayakannya padaku untuk kupakai membuka usaha, dan aku pun menerimanya dengan senang hati.
Hari-hari berikutnya aku mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan untuk membuka warung, dan rutinitasku jadi berubah. Bangun tengah malam, belanja dan berangkat ke warung sebelum subuh untuk memasak. Sholat Subuh pun selalu kutunaikan di warung, baru pulang setelah Ashar. Walau nyeri linu pasca kuret masih terasa, tapi aku tak mempedulikannya. Semua kulakukan demi sesuap nasi untuk Zulfa, anakku.
Kesibukan di warung membuatku sedikit melupakan 'tragedi' yang telah terjadi, dan rasa sakit hatiku pun sedikit terobati. Hingga pada suatu hari, aku mendengar kabar Kang Agung lulus tes CPNS. Betapa gembiranya hatiku waktu itu, karena suamiku akan diangkat menjadi guru PNS. Aku pun berniat untuk memberanikan diri datang ke rumah ibu mertua, hendak memberikan selamat pada Kang Agung, tanpa sepengetahuan ibu.
Waktu itu sepulang dari warung, aku menghindari lewat depan ruko Pak Asep karena takut ia akan melihatku dan mengumpatiku lagi. Aku juga mengambil jalan pintas agar cepat sampai di rumah ibu mertua. Tapi, apa yang kulihat kemudian sangatlah menyakitkan! Jalan pintas yang kuambil itu melewati sebuah warung bakso, dan aku melihat Rosi sedang menyuapi Kang Agung di sana! Mereka berdua asyik menyantap bakso sambil suap-suapan.
"Kang Agung!" teriakku menghampiri mereka ke dalam warung. Tas dan termos yang kujinjing kugeletakkan begitu saja di pinggir jalan. "Apa yang kau lakukan, Kang! Sepulang dari Jakarta membawa kabar bahagia karena lulus CPNS, kau bukannya menemuiku malah suap-suapan di sini sama Rosi!" Aku berteriak sambil menangis tersedu.
Mereka terperanjat kaget saat kupergoki. Aku pun segera menarik tangan Kang Agung agar ia keluar dari warung bakso itu. Saat itu juga Rosi menghalangiku, dia ikut menarik tangan Kang Agung."Rosi, lepaskan suamiku! berani-beraninya kamu jalan dengan suami orang!" kataku setengah membentak. "Kamu juga, Kang ... apa tidak malu suap-suapan dengan wanita lain sambil dilihat banyak orang? Mereka tahu kamu suamiku, di mana urat malumu, Kang?" lanjutku pada Kang Agung, ia hanya diam tak menjawab.Rosi mendorong dadaku, "heh, coba tanya suamimu ... siapa yang mengajak jalan duluan? Tadi habis Ashar dia menjemputku di rumah," jawab Rosi membela diri."Terus kenapa kamu mau? Sudah tahu dia suamiku!" balasku."Aku tak bisa menolak, Asih. Aku masih mencintainya. Dan harus kamu ingat, kamu lah yang telah merebut dia dariku!" Rosi membalas dengan tak kalah galaknya, seolah dia lah yang menderita.Rosi adalah cinta pertama Kang Agung. Sebelum melamarku, Kang Agung lebih dulu melamar Rosi tapi ditola
Aku diam terpaku, hilang akal beberapa saat, kosong. Beruntung ibu yang mendengar percakapan kami langsung menghampiri."Ya sudah kalau kamu memang tak mau lagi dengan Asih. Saya ridho menerima Asih kembali. Silakan kamu pergi, segeralah urus perceraianmu. Tapi ingat ... anakku bukan pencuri!" Ibu berkata dengan penekanan yang begitu kuat. Rasa sakit hati, tersinggung dan kesal seolah menjadi satu dalam benaknya. "Kamu hanya menjadikan gunjingan warga sebagai alasan. Mentang-mentang mau jadi PNS, lupa sama Asih. Waktu kamu melarat anakku setia menemanimu bahkan ikut membantu cari nafkah, sekarang saat kamu sukses malah membuangnya!" Kang Agung tertunduk seperti biasa, ia tak pernah berani melawan orangtua. Sementara aku memandanginya dengan tatapan kosong. Masih tak percaya dengan apa yang menimpaku. Mimpikah aku, menjadi janda di usia dua puluh tujuh tahun? Belum reda gunjingan warga tentang tuduhan mencuri, mereka pasti akan menggunjingku lagi karena diceraikan."Besok akan saya u
*Rumah Mbah dukun jauh dari pemukiman warga. Di seberang rumahku, ada hamparan sawah berpetak-petak yang sangat luas, yang dibatasi pagar bambu. Di antara sawah-sawah itu, ada sebuah jalan setapak yang jika dilewati hingga ke ujung, akan sampai di sebuah jalan kereta (rel) yang sudah tidak dipakai. Untuk sampai di rumah Mbah Dukun, harus melangkahi rel itu kemudian berjalan lagi beberapa ratus meter, menelusuri semak belukar."Mbah!" Aku menyeru sambil mengetuk pintu. Bau dupa semerbak hingga ke tempat di mana aku berdiri malam itu. Rumah yang menyerupai gubuk itu tampak sepi, karena hanya diterangi cahaya damar. Samar kudengar suara orang batuk dari dalam. Lama-kelamaan, suara itu semakin mendekat ke arah pintu, yang kemudian terbuka."Siapa?" tanyanya di depanku."Saya Asih, Mbah," jawabku.Mbah mempersilakanku masuk. Tidak ada sesajen dan peralatan yang biasa dimiliki dukun-dukun. Hanya bau dupa yang tercium di sana. "Ada perlu apa?" Mbah bertanya setelah mempersilakanku duduk d
"Salah dukun?" Aku bertanya tak mengerti.Ibu menghembuskan napas lagi, layaknya seorang yang baru selamat dari musibah."Ibu kira tadi kamu ke rumah dukun yang di Bojongsoang. Syukurlah kalau kamu tidak ke sana. Sudah, cepat tidur. Ini sudah jam setengah satu malam!"*Pagi itu, ibu menyuruhku mandi dan mengucap istighfar untuk membersihkan tubuh sekaligus dosa-dosaku, karena telah berbuat musyrik dengan mendatangi dukun."Percuma, Bu. Rosi dan Asep pasti sedang merasa kesakitan sekarang. Aku terlanjur melakukannya," kataku."Apa kamu menyesal?" tanya ibu."Di satu sisi tidak, di sisi lain iya!" jawabku."Rosi dan Asep tidak apa-apa, mereka baik-baik saja. Pagi tadi Rosi sudah resmi jadi istri Agung, mereka menikah di KUA. Dan Asep ... tadi Ibu melihatnya sedang memarahi karyawannya. Puas kamu, Asih?" Dadaku bergejolak lagi. Bukankah semalam aku sudah menyantet mereka?"Kenapa bisa begitu, Bu? Aku tak terima! Mereka harusnya kesakitan dan menderita," teriakku histeris. Aku menangis
"Kalau menuruti hawa nafsu, pasti saya berontak. Tapi saya sudah sadar bahwa hawa nafsu dapat mencelakai diri sendiri, jadi lebih baik saya fokus memperbaiki hidup saya," jelasku.Dewi mendengarkan dengan seksama. Tiba-tiba, Sumi yang sudah selesai menggoreng, menghampiri kami dan ikut menanggapi, "saya juga sangat ingin bisa seperti Ibu. Baik hati dan tidak sombong," katanya."Kalau saya jadi Ibu, saya tidak akan bisa melupakan kejahatan orang-orang itu, Bu," ujar Dewi.Bahkan, anak sekecil Dewi pun bisa berkata begitu, saking kesalnya mendengar cerita masa laluku yang ditindas."Memelihara dendam itu tidak baik, saya sudah mengalaminya sendiri. Percayalah. Kalau kamu punya rasa sakit hati dengan seseorang, lebih baik sembuhkan saja hatimu. Tak usah berpikiran untuk membalas, biarlah itu menjadi urusan Alloh. Toh, semua perbuatan manusia pasti akan mendapatkan balasannya," kataku menasihati Dewi. Kulihat, ia masih punya 'uneg-uneg' terhadap Yuni."Kalau kamu, Wi?" tanya Sumi sambil m
Yuni dan Sumi salah tingkah, mereka terpergok menggunjing seorang anak gadis yang hamil di luar nikah. Ya, sekilas kudengar bisik-bisik mereka membicarakan hal itu. "Maaf, Bu," ucap Sumi dengan wajah malu. "Hehe, maklum, Bu. Efek jenuh di warung, kami ngobrolnya jadi kemana-mana," timpal Yuni. Aku membiarkan mereka melanjutkan pembicaraan. Walaupun sebenarnya, aku tak suka perbuatan mereka yang menggunjingkan orang lain di warungku, karena jika pelanggan mendengarnya, akan terasa tidak sopan. Tapi biarlah, selama tidak menimbulkan keributan antar pegawaiku dan dalam keadaan warung sepi, aku akan membiarkan mereka. Toh, Yuni dan Sumi sudah sama-sama dewasa, kalau kunasihati terus-menerus, kesannya aku menggurui. Aku kembali menghitung uang di laci kasir. Alhamdulillah, pendapatan warung hari ini lumayan. Walaupun baru buka setengah hari, tapi sudah dapat untung. Kusisihkan tiga ratus ribu untuk 'uang munggahan' dan akan kubagi rata kepada ketiga pegawaiku. Masing-masing kebagian se
"Oh, itu pemberian Bu Khadijah pemilik toko sembako untuk saya, Bu. Katanya, sedekah menyambut bulan puasa. Tadi waktu saya beli bahan-bahan takjil, Bu Khadijah ngasih amplop dan sembako itu untuk saya," jelas Dewi.Aku memelototi Yuni, karena tuduhannya tidak benar. Yuni hanya tersenyum malu. "Kamu itu, mikirnya negatif terus," bisikku padanya."Kenapa memangnya, Bu?" Dewi bertanya dengan polos, ia tak mengetahui apa yang dibicarakan Yuni tentangnya."Gak apa-apa. Saya cuma heran aja ada barang yang bukan pesanan saya, takutnya kamu salah beli," jawabku, tak memberitahu Dewi kejadian yang sebenarnya karena khawatir dia akan menangis lagi. "Sudah, Wi. Kamu lanjutkan bekerja, ya!" titahku.Kulihat Yuni membisikkan sesuatu selagi aku bicara pada Dewi. Entah apa lagi yang mereka bicarakan. Dewi pun kembali ke dalam warung, disusul Sumi. Semua kembali mengerjakan pekerjaannya masing-masing, dan aku bersiap untuk pulang. Sumi kembali ke dapur untuk bebersih, dan Yuni melanjutkan cuci pir
"Adikku? Sejak kapan Nia jadi adikku, Bu?" Aku menatap Bu Onah dengan sedikit sinis. "Tentu saja Nia adalah adikmu," katanya dengan nada meyakinkan, membuatku sebal. Perangainya sebelas-duabelas dengan Rosi, yang sering disebut-sebutnya sebagai menantu idaman.Aku mendengkus lalu membuang muka dari tatapannya yang memelas."Mari kita ingat, ketika kita masih tinggal bersama dan aku masih jadi menantumu. Waktu itu, keluarga besar mengadakan hajatan dan aku tidak punya baju bagus untuk dipakai. Kang Agung meminta Nia meminjamkan bajunya untukku dan Nia menolak. Kemudian Ibu bilang, 'Nia tak akan meminjamkan bajunya pada orang asing, apalagi pada Asih, dia bukan kakaknya!'" kataku menirukan kata-katanya pada waktu itu.Bu Onah hanya diam, sepertinya ia tak punya kata-kata untuk menjawab. Hening beberapa saat. Ibu yang dari tadi hanya berdiri, akhirnya menyuruh mantan besannya itu pulang, karena malam hampir larut dan kami ingin istirahat."Lebih baik kita tak usah punya urusan lagi. Se