Share

MASA LALU ASIH (4)

Author: Widanish
last update Last Updated: 2022-07-25 08:48:14

Mereka terperanjat kaget saat kupergoki. Aku pun segera menarik tangan Kang Agung agar ia keluar dari warung bakso itu. Saat itu juga Rosi menghalangiku, dia ikut menarik tangan Kang Agung.

"Rosi, lepaskan suamiku! berani-beraninya kamu jalan dengan suami orang!" kataku setengah membentak. "Kamu juga, Kang ... apa tidak malu suap-suapan dengan wanita lain sambil dilihat banyak orang? Mereka tahu kamu suamiku, di mana urat malumu, Kang?" lanjutku pada Kang Agung, ia hanya diam tak menjawab.

Rosi mendorong dadaku, "heh, coba tanya suamimu ... siapa yang mengajak jalan duluan? Tadi habis Ashar dia menjemputku di rumah," jawab Rosi membela diri.

"Terus kenapa kamu mau? Sudah tahu dia suamiku!" balasku.

"Aku tak bisa menolak, Asih. Aku masih mencintainya. Dan harus kamu ingat, kamu lah yang telah merebut dia dariku!" Rosi membalas dengan tak kalah galaknya, seolah dia lah yang menderita.

Rosi adalah cinta pertama Kang Agung. Sebelum melamarku, Kang Agung lebih dulu melamar Rosi tapi ditolak karena pekerjaan Kang Agung hanya seorang guru honorer yang gajinya tiga ratus ribu per bulan. 

Setelah itu, barulah Kang Agung melamarku dan kuterima karena aku mencintainya dengan tulus. Tak kuhiraukan masalah pekerjaannya. Kupikir, masalah uang ... aku bisa membantu mencarinya.

"Aku tak pernah merebut apapun darimu, Rosi! Kamu telah menolak Kang Agung mentah-mentah, kemudian dia datang padaku dan aku menerimanya. Justru sekarang kamu lah yang berniat merebutnya dariku, iya kan? Kamu memang serakah, sudah merebut posisiku di toko kelontong Pak Asep, sekarang mau merebut suamiku juga!" 

"Jangan bawa-bawa toko Pak Asep deh, Sih! Kamu kan dipecat karena ulahmu sendiri yang mencuri uangnya!" hardiknya dengan nada sinis dan mata mendelik tajam. Kedua tangannya dilipat di dada seakan menantangku berduel. Sementara Kang Agung hanya diam saja menyaksikan kami.

"Demi Alloh aku tidak mencuri!" balasku dengan berteriak sekencangnya, karena rasa jengkel. Biarlah, agar semua orang mendengar sumpahku. "Kamu lah yang meminjam uang itu dariku dan tak pernah mengembalikannya hingga saat ini, dan kamu malah menuduhku mencurinya! Kamu orang jahat, Rosi! Semoga Alloh membalas perbuatanmu!" Aku berteriak, mengeluarkan volume tinggi ketika menyumpahi Rosi.

Pertengakaran itu disaksikan banyak orang yang sedang jajan di warung bakso, dan orang-orang yang kebetulan lewat di sana sengaja berhenti untuk menyaksikan.

*

"Semua orang ngomongin kamu, Sih," kata Ibu ketika aku memasak air, tengah malam itu. Sesekali, ibu ikut bangun dan membantuku. "Ibu sudah tahu ceritanya, tadi rame di pengajian."

"Biar saja, mudah-mudahan kejadian tadi bisa menjawab prasangka warga terhadapku, bahwa sebenarnya aku ini bukan pencuri! Mereka juga lihat sendiri siapa yang main serong, harusnya bisa menebak siapa yang berkelakuan busuk," responku dengan suara lemah, karena masih merasa sakit hati dengan Kang Agung dan Rosi. 

"Sekarang, apa keputusanmu setelah tahu kelakuan suamimu?" Sambil menuangkan air yang sudah mendidih ke dalam termos, Ibu meminta ketegasanku.

"Gak tahu, Bu. Mau cerai tapi kasihan Zulfa ...."

"Kamu harus ngambil keputusan! Ibu gak ridho kamu diperlakukan seperti itu sama Agung, seolah gak ada harganya kamu itu!"

Tak mau berlarut membahas Kang Agung, aku segera mematikan kayu bakar bekas memasak air. "Bu, titip Zulfa ya ... Ini sudah jam tiga subuh, Asih mau belanja ke pasar. Nanti mau langsung ke warung untuk masak," kataku.

"Iya, hati-hati. Ibu doakan semoga warungmu laris."

Dan sejak saat itu, berkat doa ibu aku masih bisa bertahan dan berjuang sendiri menafkahi Zulfa. Warungku yang tadinya sepi perlahan mulai ada pembeli, pendapatanku baru tiga puluh ribu sehari, lumayan buat jajan Zulfa. Walau daganganku selalu tak habis, tapi lumayan sisanya bisa dimakan di rumah.

Kang Agung tak pernah datang lagi, jangankan untuk melihat Zulfa atau memberi Zulfa uang jajan, telepon darinya pun tak pernah ada. Entah mengapa. Padahal sebelummnya ia sangat bertanggungjawab terhadap anak istri. Mungkinkah Rosi menghasud Kang Agung agar menjauhiku? 

Malam itu setelah menidurkan Zulfa, Ibu menghampiriku ke kamar untuk memberitahu kedatangan Kang Agung. Aku pun menemuinya di ruang tamu.

"Kenapa baru datang sekarang, Kang?" tanyaku setelah duduk berhadapan dengannya.

"Karena aku malu kamu jadi bahan gunjingan warga. Mereka mengatakan istriku pencuri! Aku malu datang ke sini, mereka bakal ngomongin aku juga nantinya," jawab Kang Agung dengan nada jengkel.

Sejak insiden penendangan dan pemecatanku, tuduhan keji itu selalu diarahkan padaku. Warga mengecapku sebagai 'pencuri'. Betapa menyesakkan dada. Fitnah memang kejam.

"Astaghfirulloh, Kang. Aku sama sekali tidak mencuri. Kamu tahu karakterku seperti apa, tak mungkin aku melakukannya!" balasku, membela diri.

"Awalnya aku pikir begitu, tapi Rosi sudah memperlihatkan bukti-buktinya. Kamu membuang nota belanja berjumlah sebelas juta rupiah, dan uangnya kamu ambil. Rosi menunjukkannya padaku, dan setelah kuperiksa, memang benar banyak sekali nota yang hilang. Pantas saja Pak Asep menendangmu," katanya penuh emosi. "Aku tak menyangka istriku berani mencuri!" Kang Agung begitu marahnya padaku waktu itu.

"Sudah berapa kali kujelaskan, kalau uang itu dipinjam Rosi untuk biaya rumah sakit bapaknya. Dia tidak bisa membayar, dan malah menuduhku yang mencurinya, Kang! Nota-nota itu direbut dariku dengan cara kasar, kemudian disobek dan dibakar oleh Rosi. Aku menyaksikan sendiri, Kang ... dia melakukannya di jalan sepi ketika pulang kerja waktu itu," jelasku dengan tersedu, berharap Kang Agung mau percaya.

"Sudahlah, Asih. Aku tak mau punya istri seorang pencuri!" umpatnya dengan begitu murka. Rupanya benar dugaanku, ia termakan hasutan Rosi. "Sebentar lagi aku diangkat jadi guru PNS, malu aku punya istri suka mencuri sepertimu ... kamu bisa mengotori nama baikku!"

"Astaghfirulloh, Kang—" ucapanku terpotong.

"Asih, aku mau to the point saja. Aku menceraikanmu."

Innillahi, rasanya mau copot jantungku!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Akhir

    "Waalaikumsalam," kulangkahkan kaki menghampiri pemilik suara di depan warung.Tiga orang bapak-bapak berpeci hitam. Mengenakan baju koko dan bersarung. Mereka pasti baru pulang sholat berjamaah di masjid. Aku tak mengenali mereka."Ini warung Neng Asih?" tanya seorang di antara mereka."Betul, Pak. Ada apa ya?" tanyaku, sedikit kaget karena takut mereka ada sangkut pautnya dengan warungku. Ingin menutupi warung karena dikira melihara jin, misalnya."Kami mau beli takjil dan berbuka puasa di sini, tapi rupanya warungnya sedang tutup, ya?" Aku menghembus napas lega. Ternyata mereka mau membeli, tak seperti perkiraanku."Boleh, Pak. Silakan masuk. Kami sedang berbuka, jadi tutup sebentar."Mereka duduk di meja makan, dan sambil menungguku menyiapkan makanan, mata mereka berkeliling ke sekitar warung dengan rasa kagum."Enak ya, suasananya. Adem dan segar," gumam mereka. "Biasanya kami makan masakan Neng Asih di masjid, tapi sudah beberapa hari ini kami tidak mencicipinya. Makanya kami

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Bab 32

    Semenit kemudian, aku dan Sumi sudah ada di pinggir jalan dengan membawa tulisan 'Warung Takjil Katresna Akang', diiringi tanda panah mengarah ke warungku. Beberapa warga sekitar terminal memiringkan bibirnya ketika melihat kami promosi, seakan sangsi caraku akan berhasil.Entah ada angin apa, hari ini jalanan kembali ramai seperti biasa, para pengendara tidak semuanya lewat perempatan lagi. Sebuah kesempatan bagus. Apalagi ketika lima buah motor berbelok dan parkir di depan warungku. Gegas kuhampiri mereka, dan meminta Sumi tetap promosi sendirian."Selamat sore, adik-adik. Silakan duduk dulu," sambutku. Mereka masuk warung dan menunggu di kursi panjang yang kusediakan untuk para pengantre, agar mereka tak perlu berdiri di depan warung lagi ketika menunggu pesanan siap. "Wah ... seger sekali warung ini," ucap salah satu dari mereka, seraya melihat sekeliling dengan tatapan kagum. "Adem, ya," lanjutnya."Alhamdulillah kalau betah," kataku. "Mau pesan apa?" "Takjil sama lauknya ya,

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Bab 31

    "Asih, ini tadi kok ada yang ngirim bahan-bahan kue ke rumah?" tanya Ibu dari kejauhan, setengah berteriak. Aku memesan bahan kue itu tadi pagi sebelum berangkat ke warung. "Asih mau buka pesanan kue kering untuk lebaran, Bu," jawabku setelah sampai di halaman rumah. Ibu menggelengkan kepala, ia menyuruhku menyimpan dua dus bahan kue ini ke dalam rumah. "Kamu yakin mau membuka pesanan kue? Gak takut rugi? Apa ada yang mau beli? Warungmu aja masih sepi," kata Ibu sangsi. "Justru itu yang membuat Asih makin semangat!" jawabku singkat. "Kamu suka nantangin orang. Entar mereka malah makin kesel sama kamu!" balas Ibu sambil terkekeh, ia tahu maksudku. "Mereka yang nantangin duluan, Bu. Dikiranya Asih bakalan diem aja warung dijatuhkan dengan gunjingan-gunjingan mereka. Mereka kan inginnya melihat Asih terpuruk, bangkrut, enggak dagang lagi. Ya gak bakalan Asih wujudkan keinginan mereka!" "Tapi, nanti kalau daganganmu gak laku lagi, apa gak malu?" tanya Ibu menggodaku. "Setidakny

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Netizen

    "Sa-saya masih mau kerja di sini, Bu," jawab Yuni sambil terisak. Ia pasti sangat malu sekaligus tersinggung. Mungkin dalam hatinya ia ingin lari dari sini, kemudian mencari pekerjaan lagi di tempat lain, tetapi sadar bahwa susah mencari pekerjaan lagi. "Kalau begitu, mulai sekarang buang sifat jelekmu. Kalau mau kerja di sini harus kerjasama, gak boleh saling menjatuhkan. Saya ingin warung saya sukses lagi. Kalau kamu membuat rekan kerjamu gak nyaman, bagaimana semua itu bisa terwujud?" kataku.Yuni tertunduk cukup lama. Wajahnya sangat tegang. Siapa suruh memantik emosiku? Belum reda amarah karena Rosi, Yuni malah membuatku semakin panas. Mau tak mau ini harus terjadi—aku memarahinya.Tak ada lagi berani membuka suara untuk memecah keheningan. Kuperintahkan mereka untuk kembali bekerja. Kali ini waktunya masak. Bukan untuk dijual, melainkan untuk disedekahkan ke masjid."Masak menu seperti biasa. Bahan-bahannya ada dalam keresek di dapur, di atas bangku," kataku.Mereka berpandanga

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   29

    "Bu, Sudah Bu! Nanti dia bisa mati!" Sumi berusaha melepaskan tanganku dari Rosi. "Istighfar, Bu. Sudah cukup. Rosi sudah merasakan kesakitan. Wajahnya sudah memerah, dia seperti orang sekarat. Astaghfirulloh ... ya Alloh!" Yuni panik. Ia membantu Sumi menyingkirkan tanganku. Aku tahu batasanku, meski marahku seperti orang kerasukan, tapi aku tahu kapan harus berhenti. Kubiarkan Rosi bernapas lega kembali. Dia mengambil napas berkali-kali, dan menghembuskannya sepuas mungkin. Kedua tangannya memegangi leher, mungkin dia sedang mengucap syukur karena aku tak sampai memutuskan urat nadinya. Sudah cukup aku memberinya peringatan. Mulai sekarang, kupastikan dia tidak akan berani menggangguku lagi. "Apa maumu? Kalau aku merebut Kang Agung darimu, kamu mau apa, hah? Berkali-kali kamu ngirim santet, tak ada satu pun yang mempan. Sekarang kamu datang ke sini untuk menjual rasa cemburu, agar aku kasihan dan menjadi lembek. Setelah itu, kamu akan mengintimidasiku. Itu kan, rencanamu? Busuk!

  • SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI   Kebodohan Asih

    Sengaja aku mengambil jalan ke perempatan, agar lewat di depan toko Pak Asep, berharap bertemu dengan Rosi. Akan kuseret ia ke tempat sepi dan membuat perhitungan dengannya. Pagi hari dia bekerja di toko, sore hari berjualan takjil. Kulihat toko itu sudah buka dan cukup ramai. Beberapa karyawan melayani pembeli dan dua orang kuli angkut mengangkut barang yang baru datang dari mobil sales. Aku memperlambat langkah kaki, sambil terus mencari keberadaan Rosi di dalam sana. Namun, hanya tas kulit warna hitam miliknya yang kulihat di meja kasir. Aku berhenti sejenak. Amarahku terpanggil. Jika emosiku sedang dalam kondisi seperti ini, maka aku bisa berubah ganas. Tak akan peduli rasa malu dan kasihan, segala hal mengerikan bisa saja terjadi. Kakiku hendak melangkah ke dalam toko untuk mencari keberadaan Rosi, namun tertahan."Kalau kamu bisa bersabar dengan kemarahanmu, kamu akan terhindar dari penyesalan, Asih!" Tiba-tiba aku teringat nasihat ibu. Ia pernah mengatakannya ketika aku baru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status