Share

MASA LALU ASIH (4)

Mereka terperanjat kaget saat kupergoki. Aku pun segera menarik tangan Kang Agung agar ia keluar dari warung bakso itu. Saat itu juga Rosi menghalangiku, dia ikut menarik tangan Kang Agung.

"Rosi, lepaskan suamiku! berani-beraninya kamu jalan dengan suami orang!" kataku setengah membentak. "Kamu juga, Kang ... apa tidak malu suap-suapan dengan wanita lain sambil dilihat banyak orang? Mereka tahu kamu suamiku, di mana urat malumu, Kang?" lanjutku pada Kang Agung, ia hanya diam tak menjawab.

Rosi mendorong dadaku, "heh, coba tanya suamimu ... siapa yang mengajak jalan duluan? Tadi habis Ashar dia menjemputku di rumah," jawab Rosi membela diri.

"Terus kenapa kamu mau? Sudah tahu dia suamiku!" balasku.

"Aku tak bisa menolak, Asih. Aku masih mencintainya. Dan harus kamu ingat, kamu lah yang telah merebut dia dariku!" Rosi membalas dengan tak kalah galaknya, seolah dia lah yang menderita.

Rosi adalah cinta pertama Kang Agung. Sebelum melamarku, Kang Agung lebih dulu melamar Rosi tapi ditolak karena pekerjaan Kang Agung hanya seorang guru honorer yang gajinya tiga ratus ribu per bulan. 

Setelah itu, barulah Kang Agung melamarku dan kuterima karena aku mencintainya dengan tulus. Tak kuhiraukan masalah pekerjaannya. Kupikir, masalah uang ... aku bisa membantu mencarinya.

"Aku tak pernah merebut apapun darimu, Rosi! Kamu telah menolak Kang Agung mentah-mentah, kemudian dia datang padaku dan aku menerimanya. Justru sekarang kamu lah yang berniat merebutnya dariku, iya kan? Kamu memang serakah, sudah merebut posisiku di toko kelontong Pak Asep, sekarang mau merebut suamiku juga!" 

"Jangan bawa-bawa toko Pak Asep deh, Sih! Kamu kan dipecat karena ulahmu sendiri yang mencuri uangnya!" hardiknya dengan nada sinis dan mata mendelik tajam. Kedua tangannya dilipat di dada seakan menantangku berduel. Sementara Kang Agung hanya diam saja menyaksikan kami.

"Demi Alloh aku tidak mencuri!" balasku dengan berteriak sekencangnya, karena rasa jengkel. Biarlah, agar semua orang mendengar sumpahku. "Kamu lah yang meminjam uang itu dariku dan tak pernah mengembalikannya hingga saat ini, dan kamu malah menuduhku mencurinya! Kamu orang jahat, Rosi! Semoga Alloh membalas perbuatanmu!" Aku berteriak, mengeluarkan volume tinggi ketika menyumpahi Rosi.

Pertengakaran itu disaksikan banyak orang yang sedang jajan di warung bakso, dan orang-orang yang kebetulan lewat di sana sengaja berhenti untuk menyaksikan.

*

"Semua orang ngomongin kamu, Sih," kata Ibu ketika aku memasak air, tengah malam itu. Sesekali, ibu ikut bangun dan membantuku. "Ibu sudah tahu ceritanya, tadi rame di pengajian."

"Biar saja, mudah-mudahan kejadian tadi bisa menjawab prasangka warga terhadapku, bahwa sebenarnya aku ini bukan pencuri! Mereka juga lihat sendiri siapa yang main serong, harusnya bisa menebak siapa yang berkelakuan busuk," responku dengan suara lemah, karena masih merasa sakit hati dengan Kang Agung dan Rosi. 

"Sekarang, apa keputusanmu setelah tahu kelakuan suamimu?" Sambil menuangkan air yang sudah mendidih ke dalam termos, Ibu meminta ketegasanku.

"Gak tahu, Bu. Mau cerai tapi kasihan Zulfa ...."

"Kamu harus ngambil keputusan! Ibu gak ridho kamu diperlakukan seperti itu sama Agung, seolah gak ada harganya kamu itu!"

Tak mau berlarut membahas Kang Agung, aku segera mematikan kayu bakar bekas memasak air. "Bu, titip Zulfa ya ... Ini sudah jam tiga subuh, Asih mau belanja ke pasar. Nanti mau langsung ke warung untuk masak," kataku.

"Iya, hati-hati. Ibu doakan semoga warungmu laris."

Dan sejak saat itu, berkat doa ibu aku masih bisa bertahan dan berjuang sendiri menafkahi Zulfa. Warungku yang tadinya sepi perlahan mulai ada pembeli, pendapatanku baru tiga puluh ribu sehari, lumayan buat jajan Zulfa. Walau daganganku selalu tak habis, tapi lumayan sisanya bisa dimakan di rumah.

Kang Agung tak pernah datang lagi, jangankan untuk melihat Zulfa atau memberi Zulfa uang jajan, telepon darinya pun tak pernah ada. Entah mengapa. Padahal sebelummnya ia sangat bertanggungjawab terhadap anak istri. Mungkinkah Rosi menghasud Kang Agung agar menjauhiku? 

Malam itu setelah menidurkan Zulfa, Ibu menghampiriku ke kamar untuk memberitahu kedatangan Kang Agung. Aku pun menemuinya di ruang tamu.

"Kenapa baru datang sekarang, Kang?" tanyaku setelah duduk berhadapan dengannya.

"Karena aku malu kamu jadi bahan gunjingan warga. Mereka mengatakan istriku pencuri! Aku malu datang ke sini, mereka bakal ngomongin aku juga nantinya," jawab Kang Agung dengan nada jengkel.

Sejak insiden penendangan dan pemecatanku, tuduhan keji itu selalu diarahkan padaku. Warga mengecapku sebagai 'pencuri'. Betapa menyesakkan dada. Fitnah memang kejam.

"Astaghfirulloh, Kang. Aku sama sekali tidak mencuri. Kamu tahu karakterku seperti apa, tak mungkin aku melakukannya!" balasku, membela diri.

"Awalnya aku pikir begitu, tapi Rosi sudah memperlihatkan bukti-buktinya. Kamu membuang nota belanja berjumlah sebelas juta rupiah, dan uangnya kamu ambil. Rosi menunjukkannya padaku, dan setelah kuperiksa, memang benar banyak sekali nota yang hilang. Pantas saja Pak Asep menendangmu," katanya penuh emosi. "Aku tak menyangka istriku berani mencuri!" Kang Agung begitu marahnya padaku waktu itu.

"Sudah berapa kali kujelaskan, kalau uang itu dipinjam Rosi untuk biaya rumah sakit bapaknya. Dia tidak bisa membayar, dan malah menuduhku yang mencurinya, Kang! Nota-nota itu direbut dariku dengan cara kasar, kemudian disobek dan dibakar oleh Rosi. Aku menyaksikan sendiri, Kang ... dia melakukannya di jalan sepi ketika pulang kerja waktu itu," jelasku dengan tersedu, berharap Kang Agung mau percaya.

"Sudahlah, Asih. Aku tak mau punya istri seorang pencuri!" umpatnya dengan begitu murka. Rupanya benar dugaanku, ia termakan hasutan Rosi. "Sebentar lagi aku diangkat jadi guru PNS, malu aku punya istri suka mencuri sepertimu ... kamu bisa mengotori nama baikku!"

"Astaghfirulloh, Kang—" ucapanku terpotong.

"Asih, aku mau to the point saja. Aku menceraikanmu."

Innillahi, rasanya mau copot jantungku!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status