Share

Sandiwara

"Aku melihat Aruna, Tante!" Saskia langsung berhambur dan memeluk Bu Sonia.

Kami semua terkejut mendengar ucapan Saskia. Badannya yang terlihat menggigil ketakutan, menunjukkan kalau dia tidak berbohong, tapi tidak mungkin Aruna ada di sini.

"Kamu ngomong apa sih, Saskia? Aruna sudah tenang di sana." Bu Sonia mengelus pundak Saskia, mencoba menenangkannya.

"Aku benar-benar melihat Aruna di sana, Tante!" Saskia masih menggigil sambil menunjuk ke arah jendela.

"Jangan-jangan, Aruna dendam padaku! Dia mau mengejarku!" Saskia semakin panik.

"Apa maksudmu, Saskia?" Wajah Bu Sonia seketika berubah kaget, sehingga Saskia juga tersentak, mungkin lekas menyadari jika dia salah bicara. Wajahnya memucat seketika.

"Ah, Saskia pasti masih belum bisa menerima jika Aruna sudah tiada, Ma." Aku cepat-cepat menyahut, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Cepat-cepat aku berjalan ke arah jendela dan membukanya.

"Lihat, tidak ada siapa-siapa. Pasti Saskia masih terbayang-bayang wajah Aruna, karena mereka sangat dekat," ucapku lagi.

"Tapi apa maksudnya Aruna dendam padamu, Saskia?" Bu Sonia masih terlihat bingung.

"A-aku ... sempat bertengkar dengan Aruna, Tante." Saskia juga menyahut dengan wajah setengah gugup. "Aruna pasti marah sama Saskia karena terlambat datang ke rumah sakit waktu dia ... huhu ...." Saskia memeluk Bu Sonia lagi, sambil menangis tersedu-sedu.

"Astaghfirullah, jangan bicara begitu, Saskia. Sudah, ikhlaskan sahabatmu." Bu Sonia mengelus punggung Saskia lagi.

Aku diam-diam menarik napas lega, seraya melirik ke arah Mama yang juga melirikku. Mama terlihat memutar bola matanya.

"Ada-ada saja. Aruna itu meninggal baik-baik, jadi gak mungkin jadi hantu gentayangan. Banyakin ngaji saja, Saskia," ucap Mama kemudian pada Saskia.

Saskia melepas pelukannya pada Bu Sonia, lalu mengusap air matanya sambil terisak.

"Wajar saja, Bu. Saskia dan Aruna itu sudah seperti saudara kandung. Saskia pasti sangat kehilangan sampai seperti ini." Bu Sonia menuntun Saskia untuk duduk. "Kamu istirahat dulu, Nak. Biar Tante dan Bu Yanti yang menyambut tamu yang datang. Pesanan ketering Tante juga sudah beres, jadi kamu duduk di sini saja."

Saskia mengangguk, sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Bu Sonia mengajak Mama ke ruang depan. Aku bersiap mengikuti mereka, tapi tiba-tiba Saskia menahan tanganku.

"Mas," panggilnya, bisa kurasakan tangannya terasa dingin dan masih sedikit gemetar.

"Jangan di sini, Kia. Bisa gawat kalau Bu Sonia melihat kita," ucapku sambil celingukan tak tenang, apalagi di dapur utama ada beberapa asisten rumah tangga yang sedang bekerja. Syukurlah rumah itu sangat besar, jadi jarak kami cukup jauh.

"Aku takut, Mas." lirih Saskia kemudian. "Aku benar-benar melihat Aruna. Jangan-jangan arwahnya tidak tenang karena tidak memaafkan perbuatan kita ...."

"Jangan bicara sembarangan, Kia," sahutku setengah berbisik. "Kamu pasti cuma salah lihat."

"Sumpah, Mas. Yang kulihat itu Aruna!"

"Sudah, jangan bicara lagi. Kalau tetap di sini, nanti ada orang yang melihat kita," ucapku lagi, sambil meninggalkan Saskia yang masih duduk di sana.

Aku berjalan menuju ke arah depan. Para santri sudah mulai berdatangan. Mereka akan melaksanakan salat magrib berjamaah sebelum memulai mengaji. Aku turut menyambut kedatangan mereka, meskipun pikiranku masih fokus pada ucapan Saskia. Setelah semuanya beres, aku duduk di paling belakang para santri, dengan pikiran yang masih kalut.

Mungkin aku memang hanya menganggap Saskia berhalusinasi, tapi tak bisa dipungkiri kalau perasaanku merasa tak tenang, entah karena apa. Ah, seharusnya aku membuka peti mati Aruna, agar yakin jika wanita itu benar-benar sudah tiada. Tidak masuk akal, jika syarat dari Mbah Jupri adalah tak boleh membuka petinya, tanpa tahu alasan yang jelas.

"Denis, kok melamun?" Bu Sonia menepuk pundakku, membuyarkan dari lamunan. Lantunan ayat-ayat suci mulai menggema di seluruh ruangan.

"Ah, tidak, Ma." Aku tergagap. "Aku hanya sedang teringat Aruna."

"Sabar ya, Nak." Bu Sonia mengelus pundakku, lalu pandangannya tampak menerawang.

"Bagaimanapun, Mama akan tetap menganggapmu putra Mama sendiri. Mama tidak punya siapa-siapa lagi, jadi pasti itu yang Aruna inginkan. Tanggung jawabmu lebih besar tanpa Runa, Denis," ucapnya kemudian, sambil lagi-lagi mengusap air matanya yang jatuh.

Aku tersenyum dalam hati mendengarnya. Entah Mama mertuaku itu terlalu baik hati, atau bahkan cenderung bodoh karena begitu mempercayaiku yang hanya seorang menantu. Syukurlah saat itu dia belum sempat tahu jika aku tengah bertengkar hebat dengan Aruna.

Acara hari pertama malam itu berjalan dengan lancar, dan akhirnya aku dan Mama pamit pulang begitu acara selesai.

"Kamu tidak sekalian ikut pulang bersama kami, Saskia?" tanya Mama pada Saskia.

"Saskia akan tinggal sampai acara tahlil Aruna selesai, Bu," jawab Bu Sonia sambil merangkul Saskia.

"Oh, syukurlah kalau begitu." Mama mengangguk. "Kalau begitu kami pamit dulu, Jeng."

"Hati-hati di jalan."

Aku dan Mama akhirnya meninggalkan rumah Bu Sonia, dan melepas penat begitu sampai di rumah.

"Haduh, melelahkan sekali." Mama melempar tas ke atas sofa, dan membuka kerudungnya. "Jangan lupa besok kamu ke rumah Mbah Jupri, Denis. Kamu harus membuat Mama mertuamu itu tetap menurut, kan?"

"Iya, Ma, iya. Sudah berulang kali Mama mengingatkan," jawabku.

"Itu penting, Denis," ucap Mama lagi. "Sudah, Mama mau istirahat. Capek sekali seharian harus pura-pura menangis terus."

Mama naik ke atas, menuju arah kamarnya. Aku sendiri berjalan menuju arah kamarku sambil melonggarkan kancing kemeja. Begitu membuka pintu, aroma tak biasa langsung menyeruak hidung. Aku refleks menutup hidung dengan sebelah tangan.

Wangi apa ini? Pikirku.

Aku berjalan memasuki kamar itu masih dengan tangan menutup hidung. Apa pengharum ruangan diganti oleh Mbok Asri, pembantu kami? Kenapa baunya aneh begini? Aku masih bertanya-tanya sambil berjalan menuju jendela, tanpa menyalakan lampu terlebih dahulu.

Aku cepat-cepat membuka tirai dan daun jendela, dan disambut dengan hembusan angin malam yang dingin. Setidaknya udara bisa masuk dan menghilangkan bau aneh yang begitu mengganggu ini. Aku membuang napas lega sambil memegang jeruji jendela.

Tiba-tiba, pandanganku jatuh pada sosok wanita yang berdiri di luar jendela, di tengah kegelapan. Aku mengucek mata berulang kali, memastikan pandanganku tidak salah. Tiba-tiba, wanita itu perlahan menoleh, menatapku, dan mengukirkan senyum yang amat sangat kukenal. Aku tersentak, dan mendadak badanku gemetar.

"A ... Aruna?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status