Share

Sandiwara

last update Huling Na-update: 2023-08-10 09:15:22

"Aku melihat Aruna, Tante!" Saskia langsung berhambur dan memeluk Bu Sonia.

Kami semua terkejut mendengar ucapan Saskia. Badannya yang terlihat menggigil ketakutan, menunjukkan kalau dia tidak berbohong, tapi tidak mungkin Aruna ada di sini.

"Kamu ngomong apa sih, Saskia? Aruna sudah tenang di sana." Bu Sonia mengelus pundak Saskia, mencoba menenangkannya.

"Aku benar-benar melihat Aruna di sana, Tante!" Saskia masih menggigil sambil menunjuk ke arah jendela.

"Jangan-jangan, Aruna dendam padaku! Dia mau mengejarku!" Saskia semakin panik.

"Apa maksudmu, Saskia?" Wajah Bu Sonia seketika berubah kaget, sehingga Saskia juga tersentak, mungkin lekas menyadari jika dia salah bicara. Wajahnya memucat seketika.

"Ah, Saskia pasti masih belum bisa menerima jika Aruna sudah tiada, Ma." Aku cepat-cepat menyahut, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Cepat-cepat aku berjalan ke arah jendela dan membukanya.

"Lihat, tidak ada siapa-siapa. Pasti Saskia masih terbayang-bayang wajah Aruna, karena mereka sangat dekat," ucapku lagi.

"Tapi apa maksudnya Aruna dendam padamu, Saskia?" Bu Sonia masih terlihat bingung.

"A-aku ... sempat bertengkar dengan Aruna, Tante." Saskia juga menyahut dengan wajah setengah gugup. "Aruna pasti marah sama Saskia karena terlambat datang ke rumah sakit waktu dia ... huhu ...." Saskia memeluk Bu Sonia lagi, sambil menangis tersedu-sedu.

"Astaghfirullah, jangan bicara begitu, Saskia. Sudah, ikhlaskan sahabatmu." Bu Sonia mengelus punggung Saskia lagi.

Aku diam-diam menarik napas lega, seraya melirik ke arah Mama yang juga melirikku. Mama terlihat memutar bola matanya.

"Ada-ada saja. Aruna itu meninggal baik-baik, jadi gak mungkin jadi hantu gentayangan. Banyakin ngaji saja, Saskia," ucap Mama kemudian pada Saskia.

Saskia melepas pelukannya pada Bu Sonia, lalu mengusap air matanya sambil terisak.

"Wajar saja, Bu. Saskia dan Aruna itu sudah seperti saudara kandung. Saskia pasti sangat kehilangan sampai seperti ini." Bu Sonia menuntun Saskia untuk duduk. "Kamu istirahat dulu, Nak. Biar Tante dan Bu Yanti yang menyambut tamu yang datang. Pesanan ketering Tante juga sudah beres, jadi kamu duduk di sini saja."

Saskia mengangguk, sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Bu Sonia mengajak Mama ke ruang depan. Aku bersiap mengikuti mereka, tapi tiba-tiba Saskia menahan tanganku.

"Mas," panggilnya, bisa kurasakan tangannya terasa dingin dan masih sedikit gemetar.

"Jangan di sini, Kia. Bisa gawat kalau Bu Sonia melihat kita," ucapku sambil celingukan tak tenang, apalagi di dapur utama ada beberapa asisten rumah tangga yang sedang bekerja. Syukurlah rumah itu sangat besar, jadi jarak kami cukup jauh.

"Aku takut, Mas." lirih Saskia kemudian. "Aku benar-benar melihat Aruna. Jangan-jangan arwahnya tidak tenang karena tidak memaafkan perbuatan kita ...."

"Jangan bicara sembarangan, Kia," sahutku setengah berbisik. "Kamu pasti cuma salah lihat."

"Sumpah, Mas. Yang kulihat itu Aruna!"

"Sudah, jangan bicara lagi. Kalau tetap di sini, nanti ada orang yang melihat kita," ucapku lagi, sambil meninggalkan Saskia yang masih duduk di sana.

Aku berjalan menuju ke arah depan. Para santri sudah mulai berdatangan. Mereka akan melaksanakan salat magrib berjamaah sebelum memulai mengaji. Aku turut menyambut kedatangan mereka, meskipun pikiranku masih fokus pada ucapan Saskia. Setelah semuanya beres, aku duduk di paling belakang para santri, dengan pikiran yang masih kalut.

Mungkin aku memang hanya menganggap Saskia berhalusinasi, tapi tak bisa dipungkiri kalau perasaanku merasa tak tenang, entah karena apa. Ah, seharusnya aku membuka peti mati Aruna, agar yakin jika wanita itu benar-benar sudah tiada. Tidak masuk akal, jika syarat dari Mbah Jupri adalah tak boleh membuka petinya, tanpa tahu alasan yang jelas.

"Denis, kok melamun?" Bu Sonia menepuk pundakku, membuyarkan dari lamunan. Lantunan ayat-ayat suci mulai menggema di seluruh ruangan.

"Ah, tidak, Ma." Aku tergagap. "Aku hanya sedang teringat Aruna."

"Sabar ya, Nak." Bu Sonia mengelus pundakku, lalu pandangannya tampak menerawang.

"Bagaimanapun, Mama akan tetap menganggapmu putra Mama sendiri. Mama tidak punya siapa-siapa lagi, jadi pasti itu yang Aruna inginkan. Tanggung jawabmu lebih besar tanpa Runa, Denis," ucapnya kemudian, sambil lagi-lagi mengusap air matanya yang jatuh.

Aku tersenyum dalam hati mendengarnya. Entah Mama mertuaku itu terlalu baik hati, atau bahkan cenderung bodoh karena begitu mempercayaiku yang hanya seorang menantu. Syukurlah saat itu dia belum sempat tahu jika aku tengah bertengkar hebat dengan Aruna.

Acara hari pertama malam itu berjalan dengan lancar, dan akhirnya aku dan Mama pamit pulang begitu acara selesai.

"Kamu tidak sekalian ikut pulang bersama kami, Saskia?" tanya Mama pada Saskia.

"Saskia akan tinggal sampai acara tahlil Aruna selesai, Bu," jawab Bu Sonia sambil merangkul Saskia.

"Oh, syukurlah kalau begitu." Mama mengangguk. "Kalau begitu kami pamit dulu, Jeng."

"Hati-hati di jalan."

Aku dan Mama akhirnya meninggalkan rumah Bu Sonia, dan melepas penat begitu sampai di rumah.

"Haduh, melelahkan sekali." Mama melempar tas ke atas sofa, dan membuka kerudungnya. "Jangan lupa besok kamu ke rumah Mbah Jupri, Denis. Kamu harus membuat Mama mertuamu itu tetap menurut, kan?"

"Iya, Ma, iya. Sudah berulang kali Mama mengingatkan," jawabku.

"Itu penting, Denis," ucap Mama lagi. "Sudah, Mama mau istirahat. Capek sekali seharian harus pura-pura menangis terus."

Mama naik ke atas, menuju arah kamarnya. Aku sendiri berjalan menuju arah kamarku sambil melonggarkan kancing kemeja. Begitu membuka pintu, aroma tak biasa langsung menyeruak hidung. Aku refleks menutup hidung dengan sebelah tangan.

Wangi apa ini? Pikirku.

Aku berjalan memasuki kamar itu masih dengan tangan menutup hidung. Apa pengharum ruangan diganti oleh Mbok Asri, pembantu kami? Kenapa baunya aneh begini? Aku masih bertanya-tanya sambil berjalan menuju jendela, tanpa menyalakan lampu terlebih dahulu.

Aku cepat-cepat membuka tirai dan daun jendela, dan disambut dengan hembusan angin malam yang dingin. Setidaknya udara bisa masuk dan menghilangkan bau aneh yang begitu mengganggu ini. Aku membuang napas lega sambil memegang jeruji jendela.

Tiba-tiba, pandanganku jatuh pada sosok wanita yang berdiri di luar jendela, di tengah kegelapan. Aku mengucek mata berulang kali, memastikan pandanganku tidak salah. Tiba-tiba, wanita itu perlahan menoleh, menatapku, dan mengukirkan senyum yang amat sangat kukenal. Aku tersentak, dan mendadak badanku gemetar.

"A ... Aruna?!"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Akhir ( TAMAT )

    POV Aruna"Rumah sakit jiwa?" Aku kaget mendengar keterangan petugas kepolisian itu."Benar, sejak dibawa kemari, tahanan terus berteriak dan membuat keributan, sehingga kami segera melakukan tindakan pemeriksaan. Hasilnya, memang tahanan terganggu kejiwaannya," jawab petugas itu lagi.Aku terdiam sebentar setelah mendengar hal itu. Padahal saat ditangkap Bu Yanti tampak baik-baik saja, meskipun pandangannya kosong dan tampak sangat shock."Boleh saya tahu alamat rumah sakitnya?" tanyaku lagi."Silakan ikut dengan saya. " Petugas itu membawaku ke meja kerjanya, lalu mencatatkan alamat rumah sakit jiwa tempat Bu Yanti dirawat.Setelah mendapatkan alamat itu dan mengucapkan terima kasih, aku langsung meluncur ke alamat tersebut dengan mobil milik Leo. Bukan tak percaya dengan keterangan polisi, tapi aku hanya ingin memastikan jika wanita itu tidak berpura-pura gila. Itu karena dulu saat menjadi mertuaku, actingnya sungguh luar biasa.Sesampainya di gedung rumah sakit yang letaknya cukup

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Kehilangan

    POV Aruna"Tolong! Tolong Saskia!" teriakku histeris, seperti orang gila melihat darah yang terus merembes dari kepala Saskia. "Tolong panggilkan ambulan! Siapa saja, tolong! Tolong panggil ambulan!"Tak berapa lama kemudian Nyonya Merry dan Melany datang, dan ikut panik bukan main melihat kondisi Saskia. Nyonya Merry cepat-cepat memanggil ambulan, sedangkan aku masih terus memeluk Saskia sambil menangis.Beberapa lama kemudian, para petugas ambulan datang dan langsung mengangkat Saskia dengan menggunakan tandu. Aku dan Nyonya Merry mengikuti mereka sampai Saskia dimasukkan ke dalam mobil putih bersirine itu."Tante akan ikut duluan ke rumah sakit. Susul kami setelah ini, Runa," ucap Nyonya Merry sambil ikut masuk ke dalam mobil.Aku hanya bisa mengangguk di sela tangisku. Dalam beberapa detik, suara sirine mendayu-dayu, dan mobil pun mulai berjalan meninggalkan tempat itu.Di saat yang sama, terlihat petugas polisi menggiring Bu Yanti dan Mas Denis. Kedua tangan mereka diborgol ke be

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Tahanan

    POV Aruna"Tunggu dulu! Tunggu dulu, Pak polisi!" Bu Yanti menghalangi para petugas itu saat akan mendekati Mas Denis."Anak saya tidak melakukan apapun! Kalian tidak bisa menangkapnya!" teriaknya."Silakan melakukan laporan pembelaan di kantor polisi, Bu," jawab salah satu petugas itu. "Kami hanya melaksanakan tugas.""Tidak! Kalian tidak boleh menangkapnya tanpa bukti!""Kami sudah memiliki bukti yang kuat atas kasus yang dituduhkan, jadi sebaiknya Ibu tidak menghalangi tugas kami.""Seharusnya mereka yang ditangkap, Pak!" Bu Yanti menatap ke arahku, juga Nyonya Merry dan Melany. "Mereka sudah menipu kami!""Lebih baik kamu diam dan biarkan para petugas itu menangkap putramu, Bu Yanti," ucap Nyonya Merry sambil menatap tajam ke arah Bu Yanti."Kamu yang seharusnya diam, Nyonya!" Bu Yanti tidak mau kalah. Dia membalas tatapan Nyonya Sonia dengan tidak kalah tajam. "Permainanmu ini sungguh seperti anak kecil! Untuk apa kamu melakukan ini, hah? Agar putrimu tidak disebut perempuan mura

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Kejutan

    POV Aruna"Sebenarnya apa yang Bu Yanti inginkan?" tanyaku kemudian sambil menatap ke arah mereka."Astaga, Aruna. Bagaimanapun, kamu pernah memanggilku Mama. Tega sekali di acara sepenting ini kamu tidak mengundang kami," jawab Bu Yanti, lagi-lagi dengan nada suara yang sengaja ditinggikan."Mama?" Aku seketika ingin tertawa mendengarnya. Entah otak dan pikiran wanita tua itu berada di mana sekarang, sampai berkata sesuatu yang mempermalukan dirinya sendiri."Ada apa ini?"Kami semua menoleh, dan terlihat Mama berdiri di belakang kami dengan wajah cemas."Kamu baik-baik saja, Runa?" tanyanya lagi.Aku hanya mengangguk pada Mama tanpa menjawab. Dia lalu menatap heran ke arah Bu Yanti."Jeng Sonia, semudah itu keluarga kalian melupakan kami. Padahal sebelumnya kita seperti saudara," ucap Bu Yanti lagi pada Mama. "Aruna bertunangan, saya juga ingin mengucapkan selamat, Jeng. Tega sekali tidak mengundang dan melupakan kami.""Maaf, Bu Yanti. Acara ini dikhususkan untuk kerabat dan sahaba

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   POV Aruna--Perubahan

    POV ArunaAku menatap ke arah Saskia yang tertidur di jok belakang mobil sambil tetap memeluk bayinya. Baru beberapa bulan, tapi penampilannya jauh berbeda dari dia yang dulu. Rambutnya berantakan, wajahnya kusam, dan tubuhnya mengeluarkan bau tak sedap. Kentara sekali dia tidak terurus sama sekali."Kita harus membawa mereka ke rumah sakit," ucap Leo yang berada di depan kemudi. "Sepertinya mereka butuh pemeriksaan kesehatan."Aku mengangguk setuju. Aku kaget sekali saat tiba-tiba hari ini Saskia menelponku sambil menangis dan meminta aku menjemputnya. Meskipun aku sudah mendengar kondisinya dari informasi Nyonya Merry, aku tak menyangka jika dia jauh lebih parah dari yang kudengar."Kia, biar kugendong bayimu," ucapku lirih sambil pelan-pelan meraih bayi dalam gendongan Saskia.Saskia cuma sedikit mengeliat, masih dengan mata terpejam, membiarkanku menggendong bayinya. Dia kelihatan kelelahan sekali, atau bahkan mungkin memang tidak sehat.Aku menatap ke arah bayi mungil yang juga s

  • SUMPAH ISTRIKU MENJELANG AJAL   Perasaan

    "Apa yang terjadi, Pak Denis?" Melany menatap ke arahku dengan pandangan heran."Maaf, Bu. Saya ... ada sedikit masalah di rumah," jawabku sambil berdiri dari duduk, dan salah tingkah karena bingung."Kalau begitu biar saya antarkan pulang." Melany ikut berdiri dari duduknya."Tidak usah, Bu. Saya bisa naik taksi. Saya tidak ingin merepotkan Bu Melany," jawabku lagi."Astaga, Pak Denis. Sama sekali tidak merepotkan. Kalau naik taksi harus menunggu lama, lebih cepat saya antar."Akhirnya aku tidak bisa menolak lagi, karena ingin segera ingin tahu apa yang terjadi di rumah. Dalam beberapa menit, kami sudah meluncur menuju arah rumahku dengan menggunakan mobil Melany.Sesampainya di rumah, terdengar suara Mama mengomel, sedangkan Saskia terdengar menangis tersedu-sedu, bersamaan dengan suara Rasya yang menangis juga. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung masuk untuk melihat apa yang terjadi.Saskia duduk bersimpuh di lantai kamar sambil menangis, sedangkan putri kami berada di atas tempa

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status