Suasana ruangan cukup tegang. Tak satupun dari kami yang memulai pembicaraan cukup lama. Aku, Mama, Tasya dan Bu Sonia sudah sampai di rumah begitu selesai kesepakatan dengan pihak kepolisian. Berulang kali Bu Sonia terlihat menarik napas panjang, seperti sedang memikirkan sesuatu yang amat berat."Saya datang kemari, berencana untuk mengajak kalian makan bersama, tapi ternyata ...."Bu Sonia menarik napas lagi.Aku melirik ke arah Mama yang juga melirik ke arahku."Jeng, tolong dengarkan kami dulu," ucap Mama kemudian sambil mendekat ke arah Bu Sonia. "Kami juga tidak tahu kenapa tiba-tiba ada orang yang memfitnah dan melaporkan Denis atas tuduhan yang tidak-tidak. Jeng Sonia pasti juga gak percaya kalau Denis tega melakukannya pada Aruna, kan?""Entahlah, Bu." Bu Sonia mengurut pelipisnya. "Saya percaya pada Denis, tapi saya juga tidak menyangkal jika saya ingin tahu penyebab kematian Aruna yang sebenarnya.""Denis sangat mencintai Aruna, Jeng. Dia masih merasa begitu kehilangan. Kej
POV Aruna( Flash back )"Hati-hati, Sayang."Aku tersenyum saat Mas Denis, suamiku, refleks merangkul pinggangku saat kami berjalan menuruni tangga kantor."Aku bukan anak kecil lagi, Mas. Gak akan jatuh," ucapku. "Lagipula tangga ini kan hampir setiap hari kita lewati?""Sepatu yang kamu pakai hari ini tinggi sekali, jadi Mas takut kamu tergelincir." Pria berparas tampan yang menikahiku hampir setahun yang lalu itu tetap memegang tanganku erat."Besok jangan dipakai lagi sepatunya. Takut kamu jatuh," lanjutnya.Aku tersenyum lagi melihat sikap suamiku itu. Mas Denis memang selalu seperti itu. Entah orang menyebutnya bucin atau apa, tapi hal sekecil apapun dia akan selalu perhatian padaku. Dia sudah seperti itu sejak dulu sekali, saat kami belum menjadi suami istri, sejak dia masih karyawan biasa di kantorku."Cieee ... Pak Denis dan Bu Runa makin mesra aja tiap hari." Tiba-tiba beberapa karyawati kami yang juga bersiap pulang kerja, tersenyum sambil menggoda kami."Iya, nih, bikin i
POV Aruna"Kamu baik-baik saja, Aruna?"Aku tersadar dari lamunan ketika Leo menepuk pundakku. Aku kemudian menatap ke arahnya dengan pandangan serius."Leo ... kamu benar-benar yakin ada racun di dalam makanan yang aku konsumsi setiap hari?" tanyaku kemudian."Itu benar, Aruna. Jika kamu belum yakin, bawa saja sample makanan yang kamu curigai membuatmu sakit selama ini, dan bawa kemari. Aku akan memeriksanya untukmu," ucap Leo lagi.Aku kembali terdiam untuk ke sekian kalinya. Selama ini Mama mertuaku begitu baik dan perhatian padaku, bahkan Beliaulah yang selalu merawatku saat sakit. Apa mungkin dia menaruh racun di makananku?Pikiranku dipenuhi oleh berbagai pertanyaan. Bahkan dari perjalanan sampai pulang ke rumah, aku tak hentinya memikirkan tentang hal itu. Aku sungguh tidak mempercayai jika dia tega, tapi aku harus membuktikannya."Neng Runa sudah pulang." Mbok Asri membukakan pintu saat aku tiba di rumah."Mama kemana, Mbok?" tanyaku sambil menatap ke sekeliling rumah."Nyonya
POV Aruna"Siapa dia, Mbok?" Aku mendesak Mbok Asri, karena dia tak juga mau menjawab."Neng Runa tenang saja dulu, nanti Mbok kasih tahu. Kita tunggu Nyonya besar dan Den Denis pulang dulu," ucap Mbok Asri, masih enggan menjawab langsung.Aku membuang napas kesal karena penasaran, dan akhirnya menuruti ucapan Mbok Asri, agar sabar untuk menunggu Mama dan Mas Denis pergi dari tempat itu. Cukup lama juga mereka tak juga muncul setelah menghilang di balik pepohonan, menyusuri jalan setapak yang ada di tempat itu.Setelah sekitar satu jam, akhirnya kami melihat mereka juga. Posisi mobil kami berada di serongan jalan yang tertutup bukit, jadi kami cuma bisa melihat mereka menuruni jalan setapak dari jarak yang cukup jauh.Terlihat Mama mertua dan juga Mas Denis masuk ke dalam mobil, dan beberapa saat kemudian mobil mereka langsung meluncur meninggalkan tempat itu."Ayo kita turun, Neng." Mbok Asri menepuk lenganku, sambil membuka pintu mobil.Lagi-lagi aku cuma menurut, mengikuti Mbok Asr
"Oh iya, Mas. Apa pekerjaan di kantor semuanya berjalan dengan lancar?"tanyaku kemudian sambil berpura-pura tidak melihat apa-apa."Tentu saja, Dek. Perusahaan kita semakin berkembang pesat, bahkan ada banyak sekali tambahan investor yang ingin bekerja sama. Kamu tidak perlu khawatir," jawab Mas Denis dengan senyum khasnya, yang sekarang membuatku jadi muak."Oh, artinya pekerjaan Saskia juga semakin banyak, dan kalian berdua jadi lebih sering bertemu, ya?" tanyaku lagi.Mas Denis dan Saskia tampak tersentak, lalu saling berpandangan sekilas."Bicara apa sih kamu, Runa? Paling kita cuma bertemu waktu ada dokumen yang perlu ditandatangani aja," jawab Saskia sambil tersenyum, seperti tak terlihat sedikitpun merasa berdebar atas pertanyaanku."Iya, Dek. Tumben kamu menanyakan hal itu," ucap Mas Denis sambil menatapku. Dia juga terlihat amat tenang."Nggak kok, Mas. Kali saja kamu ada macam-macam di kantor, jadi aku mau minta Saskia mengawasimu," jawabku kemudian."Kamu ini ada-ada saja,
POV DenisAku masih gemetar setelah menerima pesan dari nomer Aruna. Seketika kusapukan pandanganku ke sekeliling tempat itu. Aku sudah seperti orang gila, hingga akhirnya kulihat seseorang berdiri di antara para warga yang menyaksikan penggalian.Tubuhku seketika kaku. Aku menatap lurus ke arah wanita berkaca mata hitam yang juga menatapku dengan senyum khasnya. Perlahan wanita itu menurunkan kaca matanya, dan saat itu juga aku tahu, dia benar-benar Aruna.Lidahku kaku, kelu. Bahkan untuk memanggil namanya pun aku tak mampu. Saat itu aku benar-benar seperti seekor kelinci yang tengah berhadapan dengan seekor singa, yang siap menerkamku kapan saja.Pandanganku mengabur, kepalaku terasa melayang. Bumi yang kupijak terasa berputar, ditambah dengan suara keributan orang-orang yang kaget dengan menghilangnya jenazah Aruna. Aku sudah tidak bisa lagi membedakan, mana yang dunia nyata, mana yang hanya ilusiku saja. "Denis! Kamu kenapa, Denis?" Terdengar Mama memanggil namaku, dan sesaat kem
POV Denis"Dek ....""Diam kamu, Mas! Kamu tidak punya hak untuk bicara!" Aruna menyela ucapanku, sebelum aku sempat bicara. "Biar aku yang sekarang bicara!"Pandangan Aruna berubah tajam padaku."Sandiwara kalian sungguh luar biasa, sampai-sampai bisa menipuku dan Mama selama hampir setahun," ucapnya kemudian. "Sejak awal mendekatiku, mengambil hatiku, lalu menikahiku hanya karena ingin mendapatkan hartaku saja. Bahkan diam-diam membubuhkan racun dalam makananku agar aku mati pelan-pelan. Sungguh licik!""Dek, kamu salah paham. Tidak ada yang meracunimu," ucapku, menyangkal.Aruna tersenyum miring, lalu menatapku lagi."Aku sudah mendapatkan sampel makanan beracun yang setiap hari aku makan, rekaman percakapanmu dengan Mama atas rencana kalian, sidik jarimu dalam botol racun, dan saksi ahli atas semua itu. Kamu mau menyangkal apa lagi, Mas?"Aku terdiam seraya menelan saliva mendengar ucapan Aruna."Mungkin Mamamu masih bisa lepas dari jeratan hukum, tapi kamu tidak akan bisa lepas l
POV Denis"Sekarang sebaiknya kalian berdua pergi dari tempat ini, karena aku sudah mencabut jabatan sekaligus semua fasilitas kalian," ucap Aruna kemudian."Kamu tidak bisa melakukan itu pada kami, Aruna," ucapku, setengah berteriak. "Aku berhak atas separuh dari perusahaan ini!"Aruna tertawa lagi ketika mendengar ucapanku."Maksudmu ... perjanjian pra nikah yang diam-diam kamu rancang untuk menguntungkanmu, Mas?" tanyanya. "Di sana tertulis jika aku meninggal, kamu berhak atas perusahaan ini, dan jika kita bercerai, maka kamu berhak atas separuhnya. Bukankah begitu?"Aku terdiam. Dulu bahkan Aruna tidak pernah mempertanyakan kenapa aku membuat perjanjian pra nikah kami tertulis seperti itu. Itu karena dia begitu percaya padaku. Sekarang dia bahkan mengingat dengan jelas isi perjanjian itu."Bangun, Mas! Aku masih hidup! Dan kita belum bercerai!" ucapnya lantang, yang seketika membuatku kembali bungkam.Padahal baru beberapa saat yang lalu, aku berpikir semua rencanaku berjalan deng