Share

Kamar Hotel

Perlahan-lahan mata Ibu Mia terbuka. Wanita berusia kepala enam itu memindai sekeliling. Ruangan putih dengan aroma khas obat-obatan, dan menantunya terbaring di atas kursi serta kepalanya disandarkan asal saja.

“Haira, Nak,” panggil Ibu Mia perlahan, beberapa kali hingga sang menantu membuka matanya.

“Ibu, sudah sadar, bentar ya, Haira panggil dokter dulu.” Wanita baik hati itu beranjak dari duduknya.

Ibu Mia berusaha mengingat apa yang menyebabkan ia dibawa ke rumah sakit. Jalan pikirannya mundur sejenak ke belakang. Wanita di umur senja itu mengingat nama Anita disebutkan oleh Aziz hingga membuat jantungnya serasa tertekan.

“Astaghfirullah. Ya Allah, lindungi dan jagalah rumah tangga anakku dari godaan pihak ketiga di luar sana. Haira sangat baik, dia tak boleh disia-siakan oleh anakku.” Ibu Mia menahan nyeri di jantungnya.

Wanita itu sudah tua, mungkin umurnya sudah tidak lama lagi di dunia ini. Yang diinginkan Ibu Mia hanya satu, yaitu kehidupan anaknya berjalan lurus tanpa harus tertimpa masalah besar.

Tak lama setelah itu Haira datang bersama dua orang perawat dan satu orang dokter. Keadaan Ibu Mia diperiksa dan terlihat sekali kening dokter berkerut, setelahnya ia kembali tanpa memberikan jawaban yang jelas pada Haira.

“Haira,” panggil Ibu Mia lagi.

“Iya, kenapa, Bu? Mau makan? Laper? Habis itu minum obat, ya, Bu?” Wanita penyayang tersebut membuka bubur yang diberi tutup plastik bening.

“Ibu belum laper, Nak, Aziz mana? Yoga juga.” Setiap sebentar Ibu Mia memejamkan mata karena sakit yang ia tahan.

“Yoga dititipin sama Haima, terus Mas Aziz kerja, Buk.”

“Sampai malam gini, belum pulang? Astaghfirullah.” Ibu Mia ingat sekali dengan nama Anita, gadis yang dipacari anaknya lima tahun lalu. Gadis yang ia datangi dan minta menjauh sebab tidak akan ada kedamaian jika membangun rumah tangga.

“Mungkin ada rapat, Buk, ayok kita makan dulu.” Haira menyuapi mertuanya perlahan-lahan. Ibu Mia hanya bisa makan sedikit saja setelah itu minum obat dan tidur lagi.

Dua jam sudah berlalu tapi Haira belum diberi kabar bagaimana perkembangan selanjutnya kesehatan mertuanya. Belum lagi Yoga yang video call karena kangen dengan mamanya.

Termasuk juga nomor Aziz yang belum bisa dihubungi. Semua masalah itu serasa meledak di kepala Haira.

“Ya Allah, kenapa semuanya terasa sesak di dada.” Haira menghela napas panjang.

Wanita yang menutup aurat secara sempurna itu berusaha positive thinking dan beranggapan kalau suaminya ke luar kota seperti kata Aziz tadi pagi. Apalagi Haira tak tahu siapa saja rekan Aziz. Suaminya tak pernah mengenalkan sama sekali.

Sekali lagi ia memeriksa ponselnya dan masih centang satu. Tak lama setelah itu Haira dipanggil oleh dokter ke ruangannya sendirian.

“Jadi Ibu Mia harus segera dipasang ring di jantungnya, Ibu Haira. Operasi ini akan dilaksanakan di rumah sakit rujukan kami, berikut prosedur dan biaya yang diperlukan.” Dokter menunjukkan beberapa berkas yang diperlukan. Terkejut Haira dengan biaya yang besar.

“Saya harus hubungi suami saya dulu, ya, Dokter.”

“Baik, Bu Haira, tapi tolong jangan lama-lama, karena kita harus antri sama pasien yang lain, semakin lama semakin tidak baik untuk kesehatan Ibu Mia.”

Haira keluar dari ruangan dokter sambil menahan sesak di dadanya. Ia melirik ponsel dan hari sudah jam sebelas malam. Belum ada tanda-tanda Aziz pulang.

Yang terbayang di mata Haira hanya angka-angka untuk keperluan operasi serta biaya ini dan itu. Apakah Aziz punya biaya sebanyak itu?

***

Anita telah selesai memoles wajahnya di kamar mandi. Tak lupa ia tambahkan parfum yang wanginya awet di baju. Pengusaha skin care itu berkaca dan mengagumi kecantikannya.

Ponsel Anita berdering, panggilan masuk dari seorang laki-laki, tapi ia abaikan. Ia lebih butuh Aziz ada di sisinya daripada siapa pun. Lalu ia pun kembali ke tempat makan tadi.

“Kirain udah pulang, Mas.” Anita duduk dan menaikkan satu kakinya, sengaja.

“Nungguin kamu, Nita.”

“Aku mau balik ke tempat kerja, deh, habis ini. Emang kamu nggak kerja, Mas?”

“Hari ini sengaja libur, demi bisa ketemu kamu.”

“Effort yang luar biasa, Mas, aku hargai tapi ya maaf, aku ada urusan lain.”

“Nita.” Aziz menahan tangan mantannnya yang ingin pergi.

“Nggak apa-apa, aku yang bayar.”

“Bukan soal itu. Aku mau kita bicara sebentar empat mata aja, bisa?”

“Soal?”

“Perasaan aku.”

“Perasaan kamu aja, perasaan istri, anak, ibu kamu gimana? Terus perasaan aku?” Anita jadi pusat perhatian banyak orang.

Cepat saja wanita penggoda itu berjalan dan Aziz ikut di sebelahnya. Sampai di parkir mobil mereka melanjutan pembicaraan yang tertunda.

“Mas udah mengabaikan perasaan sendiri demi mereka, jadi sekarang saatnya mementingkan perasan sendiri. Jujur kamu, Nita, kamu pasti masih ada perasaan sama Mas, kan?” Tatapan mata Aziz lurus menatap wajah wanita yang ia simpan selamanya di hati.

“Ada sih, dikit, tapi semua kenangan kita udah lama berlalu, jadi percuma, sih, bye.” Anita hendak membuka pintu mobilnya.

“Sekali ini, kasih Mas kesempatan.” Lelaki itu menutup paksa pintu mobil Anita.

“Oke, caranya dan di mana?”

“Kita ke hotel, dekat sini, gimana?”

“Hotel, ngapain? Ya, ampun, Mas, kamu ini, pikirannya mesum, ya. Mending pulang!” Padahal dalam hati Anita bersorak kegirangan. Jala yang ia lepas telah mendapatkan ikan yang besar.

“Nggak, kita cerita aja secara mendalam. Kamu jangan sok lupa kenangan kita yang paling indah, Nita.”

Hening sejenak, Anita melihat ponsel dan memeriksa jadwal kerjanya, meski pura-pura. Sesekali rambutnya jatuh ke depan dan justru Aziz yang merapikannya.

“Oke, Mas, sekali ini aja, ya, dan nggak akan ada kenangan masa lalu terulang kembali. Ingat, kamu sudah punya istri dan anak.”

“Ya, ya, pasti, Nita, Mas cuman butuh teman bicara.” Aziz senang bukan main. Lelaki itu memutuskan menggunakan kendaraannya saja setelah Anita meminta salah satu karyawan menjemput mobilnya.

Mereka berdua menuju hotel bintang empat yang ada di tengah kota. Fasilitas yang baik serta keutamaan privasi membuat keduanya bebas mengambil satu kamar tanpa harus menunjukkan surat nikah sekali pun.

“Aku akui kamu sama seperti dulu, Mas, effort luar biasa, cuman kurang tegas aja.”

“Makanya Mas mau perbaiki semuanya sekarang.” Pintu kamar hotel itu terbuka dan keduanya melangkah masuk bersamaan.

Anita membuka high hellsnya. Ia duduk di kursi sambil memainkan ponsel. Aziz merampas benda itu dan melemparnya di atas ranjang.

“Oh, iya, aku lupa, harus dengerin kamu cerita. Sini, kenapa memangnya sama kehidupan rumah tangga kamu, Mas?” Anita bertopang dagu sambil tersenyum manis.

Aziz terlihat menghela napas sejenak dan mulai membuka kancing baju yang terasa sesak. Ia pun duduk di sebelah Anita.

“Mas serius, tolong masuk kembali dalam kehidupan, Mas. Beneran Mas hidup hambar sama Haira selama lima tahun.” Aziz meraih telapak tangan Anita dan mulai mengecupnya berkali-kali.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status