Share

Kamar Hotel

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2023-12-20 15:45:16

Perlahan-lahan mata Ibu Mia terbuka. Wanita berusia kepala enam itu memindai sekeliling. Ruangan putih dengan aroma khas obat-obatan, dan menantunya terbaring di atas kursi serta kepalanya disandarkan asal saja.

“Haira, Nak,” panggil Ibu Mia perlahan, beberapa kali hingga sang menantu membuka matanya.

“Ibu, sudah sadar, bentar ya, Haira panggil dokter dulu.” Wanita baik hati itu beranjak dari duduknya.

Ibu Mia berusaha mengingat apa yang menyebabkan ia dibawa ke rumah sakit. Jalan pikirannya mundur sejenak ke belakang. Wanita di umur senja itu mengingat nama Anita disebutkan oleh Aziz hingga membuat jantungnya serasa tertekan.

“Astaghfirullah. Ya Allah, lindungi dan jagalah rumah tangga anakku dari godaan pihak ketiga di luar sana. Haira sangat baik, dia tak boleh disia-siakan oleh anakku.” Ibu Mia menahan nyeri di jantungnya.

Wanita itu sudah tua, mungkin umurnya sudah tidak lama lagi di dunia ini. Yang diinginkan Ibu Mia hanya satu, yaitu kehidupan anaknya berjalan lurus tanpa harus tertimpa masalah besar.

Tak lama setelah itu Haira datang bersama dua orang perawat dan satu orang dokter. Keadaan Ibu Mia diperiksa dan terlihat sekali kening dokter berkerut, setelahnya ia kembali tanpa memberikan jawaban yang jelas pada Haira.

“Haira,” panggil Ibu Mia lagi.

“Iya, kenapa, Bu? Mau makan? Laper? Habis itu minum obat, ya, Bu?” Wanita penyayang tersebut membuka bubur yang diberi tutup plastik bening.

“Ibu belum laper, Nak, Aziz mana? Yoga juga.” Setiap sebentar Ibu Mia memejamkan mata karena sakit yang ia tahan.

“Yoga dititipin sama Haima, terus Mas Aziz kerja, Buk.”

“Sampai malam gini, belum pulang? Astaghfirullah.” Ibu Mia ingat sekali dengan nama Anita, gadis yang dipacari anaknya lima tahun lalu. Gadis yang ia datangi dan minta menjauh sebab tidak akan ada kedamaian jika membangun rumah tangga.

“Mungkin ada rapat, Buk, ayok kita makan dulu.” Haira menyuapi mertuanya perlahan-lahan. Ibu Mia hanya bisa makan sedikit saja setelah itu minum obat dan tidur lagi.

Dua jam sudah berlalu tapi Haira belum diberi kabar bagaimana perkembangan selanjutnya kesehatan mertuanya. Belum lagi Yoga yang video call karena kangen dengan mamanya.

Termasuk juga nomor Aziz yang belum bisa dihubungi. Semua masalah itu serasa meledak di kepala Haira.

“Ya Allah, kenapa semuanya terasa sesak di dada.” Haira menghela napas panjang.

Wanita yang menutup aurat secara sempurna itu berusaha positive thinking dan beranggapan kalau suaminya ke luar kota seperti kata Aziz tadi pagi. Apalagi Haira tak tahu siapa saja rekan Aziz. Suaminya tak pernah mengenalkan sama sekali.

Sekali lagi ia memeriksa ponselnya dan masih centang satu. Tak lama setelah itu Haira dipanggil oleh dokter ke ruangannya sendirian.

“Jadi Ibu Mia harus segera dipasang ring di jantungnya, Ibu Haira. Operasi ini akan dilaksanakan di rumah sakit rujukan kami, berikut prosedur dan biaya yang diperlukan.” Dokter menunjukkan beberapa berkas yang diperlukan. Terkejut Haira dengan biaya yang besar.

“Saya harus hubungi suami saya dulu, ya, Dokter.”

“Baik, Bu Haira, tapi tolong jangan lama-lama, karena kita harus antri sama pasien yang lain, semakin lama semakin tidak baik untuk kesehatan Ibu Mia.”

Haira keluar dari ruangan dokter sambil menahan sesak di dadanya. Ia melirik ponsel dan hari sudah jam sebelas malam. Belum ada tanda-tanda Aziz pulang.

Yang terbayang di mata Haira hanya angka-angka untuk keperluan operasi serta biaya ini dan itu. Apakah Aziz punya biaya sebanyak itu?

***

Anita telah selesai memoles wajahnya di kamar mandi. Tak lupa ia tambahkan parfum yang wanginya awet di baju. Pengusaha skin care itu berkaca dan mengagumi kecantikannya.

Ponsel Anita berdering, panggilan masuk dari seorang laki-laki, tapi ia abaikan. Ia lebih butuh Aziz ada di sisinya daripada siapa pun. Lalu ia pun kembali ke tempat makan tadi.

“Kirain udah pulang, Mas.” Anita duduk dan menaikkan satu kakinya, sengaja.

“Nungguin kamu, Nita.”

“Aku mau balik ke tempat kerja, deh, habis ini. Emang kamu nggak kerja, Mas?”

“Hari ini sengaja libur, demi bisa ketemu kamu.”

“Effort yang luar biasa, Mas, aku hargai tapi ya maaf, aku ada urusan lain.”

“Nita.” Aziz menahan tangan mantannnya yang ingin pergi.

“Nggak apa-apa, aku yang bayar.”

“Bukan soal itu. Aku mau kita bicara sebentar empat mata aja, bisa?”

“Soal?”

“Perasaan aku.”

“Perasaan kamu aja, perasaan istri, anak, ibu kamu gimana? Terus perasaan aku?” Anita jadi pusat perhatian banyak orang.

Cepat saja wanita penggoda itu berjalan dan Aziz ikut di sebelahnya. Sampai di parkir mobil mereka melanjutan pembicaraan yang tertunda.

“Mas udah mengabaikan perasaan sendiri demi mereka, jadi sekarang saatnya mementingkan perasan sendiri. Jujur kamu, Nita, kamu pasti masih ada perasaan sama Mas, kan?” Tatapan mata Aziz lurus menatap wajah wanita yang ia simpan selamanya di hati.

“Ada sih, dikit, tapi semua kenangan kita udah lama berlalu, jadi percuma, sih, bye.” Anita hendak membuka pintu mobilnya.

“Sekali ini, kasih Mas kesempatan.” Lelaki itu menutup paksa pintu mobil Anita.

“Oke, caranya dan di mana?”

“Kita ke hotel, dekat sini, gimana?”

“Hotel, ngapain? Ya, ampun, Mas, kamu ini, pikirannya mesum, ya. Mending pulang!” Padahal dalam hati Anita bersorak kegirangan. Jala yang ia lepas telah mendapatkan ikan yang besar.

“Nggak, kita cerita aja secara mendalam. Kamu jangan sok lupa kenangan kita yang paling indah, Nita.”

Hening sejenak, Anita melihat ponsel dan memeriksa jadwal kerjanya, meski pura-pura. Sesekali rambutnya jatuh ke depan dan justru Aziz yang merapikannya.

“Oke, Mas, sekali ini aja, ya, dan nggak akan ada kenangan masa lalu terulang kembali. Ingat, kamu sudah punya istri dan anak.”

“Ya, ya, pasti, Nita, Mas cuman butuh teman bicara.” Aziz senang bukan main. Lelaki itu memutuskan menggunakan kendaraannya saja setelah Anita meminta salah satu karyawan menjemput mobilnya.

Mereka berdua menuju hotel bintang empat yang ada di tengah kota. Fasilitas yang baik serta keutamaan privasi membuat keduanya bebas mengambil satu kamar tanpa harus menunjukkan surat nikah sekali pun.

“Aku akui kamu sama seperti dulu, Mas, effort luar biasa, cuman kurang tegas aja.”

“Makanya Mas mau perbaiki semuanya sekarang.” Pintu kamar hotel itu terbuka dan keduanya melangkah masuk bersamaan.

Anita membuka high hellsnya. Ia duduk di kursi sambil memainkan ponsel. Aziz merampas benda itu dan melemparnya di atas ranjang.

“Oh, iya, aku lupa, harus dengerin kamu cerita. Sini, kenapa memangnya sama kehidupan rumah tangga kamu, Mas?” Anita bertopang dagu sambil tersenyum manis.

Aziz terlihat menghela napas sejenak dan mulai membuka kancing baju yang terasa sesak. Ia pun duduk di sebelah Anita.

“Mas serius, tolong masuk kembali dalam kehidupan, Mas. Beneran Mas hidup hambar sama Haira selama lima tahun.” Aziz meraih telapak tangan Anita dan mulai mengecupnya berkali-kali.

Bersambung …

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUMPAH PELAKOR   24

    Aziz memarkir mobil miliknya di halaman rumah. Genangan air sisa hujan di pekarangan memantulkan cahaya lampu dari beranda. Udara segar menyeruak ke dalam hidungnya saat ia membuka pintu mobil, bersama dengan aroma yang masih menempel di bajunya.Aroma parfum mahal Anita dan sedikit jejak makanan yang tadi mereka pesan. Aziz sedikit terhuyung karena sampanye yang ia minum . Lebih menyedihkan dan sialnya, bukan dia yang membayar makan malam itu.Anita menggesek kartunya dengan senyum menggoda, seolah membayar tagihan hampir delapan ratus ribu rupiah itu adalah hal kecil. Bagi wanita seperti Anita, mungkin memang iya. Tapi bagi Aziz, itu adalah tamparan. Tamparan lembut dari selingkuhan yang sukses menggores harga diri lelakinya.Aziz menatap pintu rumah yang tertutup rapat. Ia menggertakkan gigi, menahan emosi yang sudah mendidih sejak tadi. Uangnya tipis, mobilnya perlu perbaikkan, dan sekarang wanita yang seharusnya ia ratukan justru membuatnya merasa hina.Lelaki tak tahu diri itu b

  • SUMPAH PELAKOR   23

    Aziz memang mengambil uang hasil menjual perhiasan Haira. Untuk apa? Untuk membahagiakan Anita. Walau pacarnya itu orang kaya raya tapi tetap saja ia lelaki yang ingin tampil sebagai penyedia segalanya. Pada pagi hari, lelaki dengan postur tubuh tinggi tapi tak tegap itu menyempatkan diri untuk menghubungi Anita. Mereka memang tak bisa bertemu karena kesibukan masing-masing. Namun, sepasang kekasih itu meluangkan waktu di sore hari untuk berkencan. “Mas mau kasih sesuatu sama kamu, ya memang murah, tapi ini tulus dari hati Mas,” ucap Aziz sambil tersenyum manis. Senyum yang tak pernah ia lemparkan pada Haira walau sudah lima tahun menikah. Panggilan ditutup, keduanya fokus pada urusan masing-masing. Sesekali Aziz melihat ponsel siapa tahu Anita mengirim pesan padanya. Namun, yang ada hanya pesan dari istri yang menyebalkan. Ia berbohong soal uang yang akan digunakan untuk memperbaiki mobil. Padahal sudah ia benarkan dengan merogoh kantong sendiri. Siang hari ketika jam istirahat,

  • SUMPAH PELAKOR   22

    Haira membuka pintu kamar Aziz yang sedang mempersiapkan diri untuk pergi ke kerja. Sebelum wanita yang baru saja memuntahkan isi perutnya itu bicara, suaminya sudah lebih dulu mengatakan akan pulang terlambat. “Ada urusan kerjaan di luar kota mungkin pulang tengah malam. Nggak usah nungguin, kunci aja pintu dari luar,” ucap Aziz yang tak perasa dengan mata Haira yang memerah. “Kok, akhir-akhir ini sering keluar kota, Mas? Bukannya Mas kerjanya di bagian kantor, ya? Apa udah pindah bagian?” “Iya, udah sejak sebulan yang lalu. Naik pangkat.” “Berarti gaji naik juga donk.” “Urusan gaji ngapain kamu mau tahu, yang penting kebutuhan, kan, nggak pernah kekurangan.” Lelaki plin plan itu tak suka istrinya ikut campur terlalu dalam. “Ya udah, iya, maaf, oh, iya, Haira mau kasih tahu sesuatu sama Mas. Penting!” Wanita bermata sendu itu melihat dua tangan di dada. “Nanti aja, Mas mau pergi cepat. Sarapan di luar, mau tukar suasana baru.” Aziz menyisir rambutnya sampai rapi. Ia gunakan pa

  • SUMPAH PELAKOR   21

    Haira memuntahkan isi perutnya yang masih hanya air putih saja. Kepala wanita itu terasa pusing dan berputar-putar. Ia berjalan perlahan sembari memegang dinding lalu memilih duduk di kursi dan meminum teh hangat yang ada di meja. “Yoga, sini makannya sama eyang saja, ya.” Ibu Mia berinisiatif untuk mengajak cucunya. Selain itu Haira masih tidak enak badan. “Aku kenapa, ya, tadi baik-baik aja.” Tubuh wanita bermata sendu itu serasa lemas dari ujung rambut sampai kaki. Ia bahkan mulai memijat sendiri kepalanya yang masih berdenyut. Padahal setiap pagi walau belum sarapan ia selalu kuat mengurus semuanya. Kini ia berjalan ke kamar untuk beristirahat, tapi apa daya aroma parfum Aziz tertinggal dan membuat kepalanya semakin pusing. Haira pun menuju ke kamar Yoga. Di sana ia berbaring beberapa saat. Tak lama kemudian Yoga datang mencari mamanya. Anak itu tak bisa lama-lama jauh darinya. Ibu Mia pun menyusul sekalian ada yang ingin diberitahu. “Restu kirim buat tambahan Ibu, siapa tahu

  • SUMPAH PELAKOR   20

    Malam hari tiba, Aziz sudah pulang dari tadi dengan senyum terkembang. Tapi keberadaan kepala keluarga itu semakin terasa tidak nyata. Apalah lagi dengan ibunya sendiri, hanya sekadar melihat dan menyapa saja selesai. Tidak ada wujud bakti sebagai anak. Ia merasa sudah cukup dengan memfasilitasi BPJS untuk operasi tiga minggu lagi. Haira baru saja selesai menidurkan Yoga di kamarnya. Wanita bermata sendu itu menyisir rambut yang sepanjang pinggang. Haira berkaca dan merasa wajahnya tidaklah jelek-jelek amat. Tidak pula ada flek hitam, jerawat apalagi bopeng, tapi kenapa Aziz seperti enggan padanya. “Kenapa, ya? Bau badan juga aku nggak, udah pakai deodorant sama parfum.” Haira memang tak secantik Anita, tapi ia telaten menjaga diri agar terlihat menyenangkan di mata suaminya. Ibu satu anak itu menoleh ke belakang, sudah terdengar suara dengkur halus dari Aziz. Ia mendekat dan memeriksa di mana ponsel suaminya. Haira raba bawah bantal, tapi Aziz menggeliat dan ia pun menjauh s

  • SUMPAH PELAKOR   19

    Dua hari yang lalu Haira dan Ibu Mia kedatangan tamu perempuan cantik dan wangi ketika Aziz sedang bekerja. Katanya mengaku sebagai istri bosnya Aziz. Wanita yang sama pernah menjenguk Ibu Mia di rumah sakit dan memperkenalkan diri dengan nama Anita. Haira sempat curiga, kalau memang istri bos kenapa tidak datang dengan suaminya. Serta ada urgensi apa sampai harus ikut campur menjenguk mertua Haira. Lama-lama semua puzzle itu terasa cocok di kepalanya. Mulai dari pesan mesra di ponsel Aziz sampai sikap suaminya yang agak kasar. Haira menghela napas panjang, dadanya mulai terasa berat. “Haira, kamu melamunkan apa?” tanya Ibu Mia yang ikut duduk di ruang tamu. Menantunya baru saja menidurkan Yoga. “Nggak mikir apa-apa, Buk. Oh iya, besok kita harus kontrol sekali lagi ya, biar jawdal operasi Ibu nggak mundur-mundur lagi.” Haira menyayangi Ibu Mia dengan tulus. Sebab mama kandungnya yang sudah tiada. “Ibu ngerepotin kalian aja sepertinya. Ibu ingin pulang ke rumah.” Wanita paruh bay

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status