Walaupun Bagas adalah pemilik hotel dan atasan dari Adam, Bagas tetap rendah hati, dan bersikap sopan, karena itulah sifat Bagas, yang tidak pernah sombong dan selalu merendah, tidak pernah membedakan antara kaya atau miskin, tidak perduli setinggi apapun jabatan, di matanya semua orang sama, mahluk sosial yang pantas dihargai dan dihormati, Bagas sadar, harta yang dimilikinya semua hanyalah titipan dari Allah SWT.
Adam sendiri sangat menghormati Bagas, tidak pernah berniat mengkhianati kepercayaannya, walau sebenarnya sangat mudah bagi Adam untuk menggelapkan uang perusahaan dan memindah namakan semua hotel yang dipercayakan kepadanya, karena selama ini, Adam yang mengurus segalanya, tidak sedikitpun hatinya untuk berniat jahat.
Adam selalu bersyukur karena selama ini bekerja untuk keluarga ivander, di mana dia dulu hanyalah seorang akuntan biasa yang bekerja di hotel ayahnya Bagas, dengan hidup serba kekurangan, yang menjadi tulang punggung keluarga, membiayai ketiga adiknya dan kedua orangtuanya yang hanya bekerja sebagai petani, Ayah Bagas merasa puas dengan kinerja Adam dan melihat Adam memiliki potensi bagus serta orang yang sangat rajin, ulet, jujur dan bertanggungjawab, sehingga menjadikan Adam orang kepercayaannya.
Hampir dua puluh lima tahun Adam bekerja di keluarga Ivander, dari masa single sampai sudah beristeri dan di karuniai dua anak, baginya, Bagas sudah seperti anaknya sendiri, begitupun Bagas sudah menganggap Adam sebagai keluarganya.
Bagas melihat arlojinya dan seraya berkata.
"Kita pulang sekarang."
"Baik Tuan muda."
"Oh iya Om, tas saya masih di kamar hotel."
Adam segera menelpon recepsionis untuk meminta satu orang pegawai room service, mengambil tas milik Bagas yang masih di kamar hotel, untuk segera membawakannya ke lobi hotel.
"Kita langsung ke lobi saja Tuan, tas akan dibawa oleh salah satu pegawai.
"Oke."
Bagas berjalan lebih dulu di susul Adam untuk menuju ke lobi hotel, tidak ada satu orang pun yang tahu kalau Bagas adalah pemilik hotel Arimbi, karena Bagas tidak mau identitasnya terbongkar dulu, Bagas masih harus belajar banyak menangangi segala hal untuk membangun relasi dan reputasinya, pegawai hotel hanya tahu kalau pemiliknya adalah Adam saseno.
***
Bagas sudah kembali ke rumah, langsung menemui neneknya dan memeluknya penuh kasih sayang, bercerita kepada neneknya tentang berjalannya peresmian Hotel Arimbi, dan ide - idenya untuk kemajuan hotel, Bagas yang memang sangat manja kepada neneknya dan selalu bercerita apapun tentang kehidupannya dan pekerjaannya.
Nenek Sasmita adalah Nenek sekaligus orangtua dan sahabat bagi Bagas, semenjak kejadian Kaila, Bagas tidak lagi berhubungan dengan dunia luar, lebih menyendiri dan hanya berinteraksi dengan orang - orang terdekatnya saja, trauma yang di milikinya, membuatnya sangat terpukul, ditambah dulu Bagas hampir saja mati, karena insiden Kaila.
Setelah mendengar cerita Bagas, Nenek Sasmita tersenyum sembari membelai rambut cucu kesayangannya.
"Kamu sudah besar sekarang, Nenek bangga sama Bagas."
"Bagas belum bisa apa - apa Nek, masih harus banyak belajar lagi."
"Tapi Nenek merasa senang, karena cucu Nenek sekarang sudah mau berusaha lebih baik dan jadi orang yang bertanggungjawab."
"Semua berkat Nenek, Bagas sayang banget sama Nenek, Bagas tidak tahu kalau tidak ada Nenek, mungkin Bagas sekarang sudah hancur."
Sekali lagi Nenek Sasmita tersenyum menatap penuh kehangatan.
"Itu semua karena diri kamu sendiri, Nenek yakin, kalau cucu Nenek adalah seorang laki - laki hebat, tidak ada masalah yang berat didunia ini selama kita mampu memyelesaikannya dengan kepala dingin dan pemikiran yang logis."
"Iya Nek...oh iya, Nenek, sudah makan?" tanya Bagas.
"Sudah sayang, kamu pasti belum makan ya?"
"Bagas sudah makan tadi di hotel."
"Ya sudah, sekarang Bagas istirahat, ya? pasti cape."
"Iya Nek."
Setelah mencium pipi Nenek Sasmita, Bagas menuju ke kamarnya, merebahkan badannya yang terasa lelah, karena lelahnya, sampai tidak sempat berganti pakaian apalagi mandi, tidak selang berapa lama, Bagas sudah tertidur.
Tiba - tiba Pintu kamar Bagas dibuka oleh Saripah, Saripah adalah pembantu yang sudah lama bekerja di keluarga Ivander, Saripah perlahan membangunkan Bagas yang sedang terlelap tidur.
"Tuan..Tuan..Bangun."
Bagas membuka matanya, dan kaget karena ada Saripah di kamarnya.
"Ada apa mbok!?" seru Bagas."
"Maaf Tuan, Mbok lancang masuk kamar, dan membangunkan Tuan."
"Iya tidak apa - apa Mbok, ada apa Mbok membangunkan saya," tanya Bagas."
Bagas duduk ditempat tidurnya, dan meregangkan otot - ototnya, menatap kearah Saripah, dengan masih mengucek - ngucek matanya.
"Tuan, nyonya dibawa ke Rumah Sakit."
Bagas tersentak kaget dan langsung berdiri.
"Nenek kenapa, Mbok? kenapa saya tidak dibangunkan dari tadi."
"Nenek penyakitnya kerasa lagi Tuan, sebelum dibawa ke ambulance saya sudah mau membangunkan Tuan, tapi Nenek melarangnya, karena kasihan katanya, Tuan cape baru pulang dari luar kota."
Dalam batin Bagas, 'Nenek, bisa - bisanya berkata seperti itu, dalam kondisi begini'.
"Mbok saya mau menyusul nenek ke Rumah Sakit, Nenek dibawa ke Rumah Sakit mana?"
"Rumah Sakit Hasan Sadikin, Tuan."
Bagas bergegas mengambil kunci mobilnya, karena merasa khwatir memikirkan kondisi Nenek Sasmita, Bagas tidak sempat untuk mandi dan berganti pakaian, Bagas tidak peduli dengan badannya, yang sebenarnya sudah tidak nyaman, karena belum mandi, yang terpenting sekarang adalah neneknya.
Bagas yang mengendarai mobil Jeep Wrangler Rubicon, melaju sangat cepat, pikirannya sudah tidak bisa dikontrol, tidak perduli dengan keselamatan dirinya sendiri, ingin segera tiba di Rumah Sakit dan menemui neneknya.
Saat Bagas tiba di Rumah Sakit, sudah ada Asep, Asep sendiri adalah supir kepercayaan keluarga Ivander, yang memang menemani nenek ikut mobil Ambulance, dan ada Adam juga, mereka semua sedang menunggu Bagas di depan IGD.
Bagas menghampiri mereka dengan wajah yang sangat cemas.
"Om, Nenek di mana?"
Adam saseno hanya terdiam, tertunduk menahan sedihnya, tak kuasa untuk berkata apapun, Bagas yang melihat itu merasa semakin kuatir dan panik sendiri.
Bagas mendekat kearah Adam, tangannya memegang pundak Adam dan mengguncang - guncangkannya, suaranya terdengar sedikit marah karena Adam tidak juga menjawab pertanyaannya.
"Om, jawab!! Nenek di mana?"
Adam tidak kuasa berkata, langsung memeluk Bagas dan menangis.
Melihat Adam yang bersikap seperti itu, membuat Bagas semakin penasaran dan pikirannya mulai berkecamuk kemana - mana, Bagas tak mau berpikir yang tidak - tidak soal yang terjadi kepada neneknya, mencoba bersikap rasional dan menepis semua pikiran buruknya.
“Adelia, kamu marah sama aku?” tanya Bagas menatap Adelia yang sedang sibuk dengan ponselnya.“Enggak,” ucap Adelia singkat, tanpa menatap Bagas.“Kita baru saja baikan, masa harus berjarak lagi, sini duduknya, dekat aku.”“Iya nanti,” tetap menunduk fokus dengan ponselnya.Cindy hanya menggelengkan kepala, melihat Adelia yang sebenarnya jelas ketara kalau sedang cemburu gara – gara tamu wanita yang sebenarnya tidak perlu di besar – besarkan masalahnya, karena Bagas sudah dengan tegas menolak kehadiran mereka.Sinta berjalan dengan perlahan menuju ruang tamu, di ikuti tamu yang bukannya di suruh pergi namun di bawa masuk oleh Sinta. Bagas menatap kearah tamu, bibirnya mengulas senyum, baru saja akan membuka mulutnya untuk menyapa mereka, salah satu dari tamu memberi isyarat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, sebagai tanda untuk jangan bersuara, begitu juga Cindy untuk jangan bersuara dan tetap tenang seperti sebelumnya. Salah satu tamu wanita menyapa Bagas dengan sedikit manja.“
Adam sudah berada di kamar Bagas, memapah Bagas duduk di kursi ruang tamu kamar. Adam duduk di depan Bagas mendengarkan dengan wajah serius.“Om, saya belum memberitahu Adelia tentang si pengemudi tersebut, saya hanya takut perkataan saya akan membuat Adelia merasa tidak nyaman, bahwa orang itu adalah Angga, mantan tunangannya, saya baru berbaikan sama Adelia, tidak ingin merusak suasana hatinya, Om belum memberitahu Adelia, kan?”“Selamat Tuan Muda, saya sangat senang mendengar Tuan muda dan Adelia sudah berbaikan. Saya belum bertemu dengan Adelia, setelah mengurus Angga dengan pihak yang berwajib, saya langsung menemui Tuan Muda.”“Syukurlah kalau Adelia belum tahu, saya takut Adelia salah paham harus tahu dari Om dan bukan dari saya, yang jelas – jelas tadi kita berbicara di telepon, Adelia juga pasti menyadari kejanggalan tatapan saya tadi, hanya saja mencoba percaya dengan apa yang saya katakan, seperti tidak ingin merusak suasana hati saya. Saya yang akan memberitahukan langsung
Setibanya di kamar hotel. Syamsul menurunkan Bagas dengan hati – hati untuk berbaring di kasur. Adelia dengan sigap segera mengambil air hangat dan lap kering, membasuh luka – luka Bagas dengan perlahan. Tidak berapa lama Dokter Anwar sudah tiba di kamar Bagas dan segera memeriksa luka – luka Bagas, serta memberikan obat Pereda sakit. setelah selesai mengobati luka – luka Bagas, Dokter Anwar pamit untuk pulang, diantar Syamsul sampai ambang pintu.“Lebih baik kamu istirahat dan minum obatnya, biar nggak demam, aku balik ke ruanganku lagi, ya?” tukas Syamsul.“Terima kasih, Syam.”“Iya, lekas sembuh. nanti aku ke sini lagi sama Heni dan Winda, sekalian nginep nemenin kamu.”"Iya."Syamsul pamit kepada Adelia, Sinta dan Cindy, segera meninggalkan kamar Bagas menuju ruangan kerjanya.“Del, ayo balik kamar, Bagas butuh istirahat,” ucap Sinta.“Kalian balik saja duluan, aku masih ingin disini,” tukas Adelia.Sinta dan Cindy saling tatap, mendengar ucapan Adelia. Cindy memberi kode dalam is
Bagas menghelas napas Panjang dan menghembuskannya perlahan, diletakannya kembali es milo disebelahnya. Membuka kedua tangannya, merasakan tetesan air hujan yang turun perlahan di kedua telapak tangannya, pandangan matanya lurus kedepan, bibirnya tersenyum dalam kesedihan.Sementara di kafe tempat Adelia bersama kedua temannya tidak ada lagi perbincangan, ketiganya saling membisu, seakan larut dalam alunan musik yang mengiringi rintik hujan, gemericiknya seakan menyatu dalam suasana saat itu. Mata cindy tidak sengaja beberapa kali memergoki Adelia yang menengok terus ke arloji.“Adelia, temui saja Bagas,” ucap Cindy.“Maksudnya?”“Del, aku sudah mengenal kamu sangat lama, aku tahu saat ini kamu sedang gelisah. Sudahlah, Del jangan ikuti ego kamu, jangan sampai semuanya terlambat kamu mengerti dan pada akhirnya kamu yang akan menyesal.”“Aku masih belum menemukan jawaban dari keinginanku sendiri, pastinya Bagas juga sudah pergi. Di luar hujan, nggak mungkin dia terus menunggu kedatanga
Mentari pagi bersinar sangat terang, menyinari bumi yang basah akibat hujan semalam. Adelia bersama kedua sahabatnya sudah duduk santai di warung seberang hotel, menikmati sarapan ditemani secangkir es milo racikan si pemilik warung yang nikmatnya tiada duanya, bagi mereka.Mereka membahas prihal ACSMart yang akan membuka cabang lagi di Surabaya, setidaknya ada Reni dan Susi yang bisa di singgahi dan diajak kumpul – kumpul di kala kunjungannya nanti. Rencananya minggu depan mereka akan terbang ke Surabaya, mencari lokasi yang cocok dengan usaha mereka. Mereka bertiga memang berencana dari jaman dulu, membuka usaha bersama. Mendirikan usaha di berbagai kota, agar mereka bisa sekalian traveling juga.“Cin, untuk lokasinya, kita minta bantuan Susi atau Reni saja, mereka lebih hapal daerah sana. Tempat yang ramai tapi belum terlalu banyak pesaing dalam usaha kita,” ucap Adelia.“Boleh, tuh. By the way. Susi dan Reni pada kemana, ya? Aku kirim pesan belum di balas.”“masih tidur, kayaknya!
Adelia sudah berada di dalam kamar hotel, menyimpan sebuket bunga di meja sebelah televisi, diraihnya secarik kertas yang menyelip di tengah – tengah hiasan bunga.Adelia berjalan menuju kursi, duduk dengan menyilangkan kakinya, perlahan tanganya membuka secarik kertas tersebut.***Tahukah kamu…hari – hari yang kulalui, ‘Kesedihan dan kehampaan’.Tahukah kamu…berapa berat waktu yang kulalui, ‘Rindu dalam diam’.Tahukah kamu…Kesedihan, Kehampaan, dan Rindu, mengikat hatiku dalam namamu, ‘Adelia Maheswari’.Betapa bodohnya aku, mengatakan semua ini setelah menyakitimu sangat dalam.Aku datang bukan untuk memintamu memahamiku, tentang betapa rapuhnya aku tanpamu,Tapi, untuk cinta dan masa depan kita,Karena aku datang bukan untuk pergi, ingin menetap selamanya, sebagai rumah yang nyaman.Dan aku tahu, cinta tidak bisa dipaksa, begitu juga hatimu.Aku Tunggu di tempat pertama kali kita bertemu, di waktu yang sama.Entah menjadi saksi bisu yang sama atau saksi bisu tentang luka untukku.