LOGIN
"Sial, kenapa aku ceroboh?"
Seorang pria berusia 35 tahun, membuka ikatan dasinya kasar. Tenggorokannya terasa seperti tercekik.Hawa panas merayap ke seluruh aliran darahnya. Dia mencoba tetap menjaga kewarasannya dengan mengguyur wajah dengan air botol. “Sial, padahal aku sudah hati-hati. Tapi tetap saja aku kena jebakan. Aku harus kemana sekarang?” maki pria itu pada dirinya sendiri. Sesekali matanya melihat gadis-gadis yang berdiri di pinggiran jalan dengan pakaian seksi. Ivander memukul-mukul stir mobil melampiaskan perasaannya. Dia meraih ponselnya mencari kontak seseorang namun setelah beberapa saat kembali menaruhnya. “Aku tidak mau menyentuh gadis sembarangan. Apalagi gadis pinggir jalan seperti mereka.” Ivander membelokan mobilnya menuju ke sebuah hotel. Dia memarkirkan mobil begitu sampai di parkiran luar. Langkahnya sedikit sempoyongan, Ivander masuk ke dalam lobi hotel dan menuju meja resepsionis. “Selamat malam Tuan, ada yang bisa kami bantu?" tanya salah satu resepsionis dengan nada ramah. "Saya butuh kamar," jawab Ivander mengeluarkan tanda pengenal dari dalam dompetnya. Resepsionis itu mengambil kartu dari tangan Ivander. Dia mengecek komputer, memastikan ada kamar hotel yang masih kosong. Sesekali matanya menatap ke arah Ivander. "Maaf, Tuan. Kamar sudah penuh!" "Berikan aku kamar president suite atau apa saja yang ada. Aku butuh kamar sekarang!" teriak Ivander frustasi. Resepsionis kembali menatap layar komputer. Semua kamar penuh karena kebetulan sedang liburan akhir tahun. Resepsionis mengangkat wajah dengan seulas senyum getir. "Ada kamar kosong. Tapi family room." "Aku ambil itu!" jawab Ivander seraya mengerjapkan kepala berulang kali. Dia menyerahkan sebuah kartu untuk melakukan pembayaran. Resepsionis memberikan kunci kamar yang berupa kartu dan nomor kamar yang sudah menjadi milik Ivander. Kesadaran pria itu semakin menipis namun mencoba untuk menahannya. "Anda butuh bantuan, Tuan?" tanya petugas bellboy yang melihat Ivander jalan sambil memegang kepalanya. "Tolong antar aku ke lantai tempat kamarku berada!" pinta Ivander. Seorang bellboy itu mengangguk. Dia membantu Attala masuk ke dalam lift. Keringat dingin keluar dari seluruh pori-pori kulitnya. Tubuhnya seperti terasa terbakar. "Apa Anda baik-baik saja?" tanya Bellboy yang merasakan tangan Ivander basah oleh keringat. "Aku baik-baik saja!" tegas Ivander meski pandangannya mulai buram. Hawa panas dalam tubuh kian menyiksa. “Aku butuh pelampiasan,” gumamnya dalam hati. "Sial, aku tidak bawa obat penawarnya. Aku harus bisa menahannya." "Anda yakin tidak perlu saya antar sampai ke kamar?" tanya petugas bellboy lagi. "Tidak usah. Aku bisa sendiri." Ivander membuka kancing kemejanya satu persatu karena merasa kepanasan. Pintu lift berhenti di lantai lima. Ivander melangkah keluar dari lift dengan terhuyung-huyung. "Kamar no 71." Matanya yang mulai berkabut, disertai rasa panas yang terus menjalar ke seluruh tubuh, Ivander mencari nomor yang berderet satu persatu. Dia berdiri di sebuah pintu kamar yang sedikit terbuka. "Sepertinya ini kamarku, tapi kenapa pintunya terbuka?" gumamnya antara yakin dan tidak. Kunci yang diberikan resepsionis dimasukkan ke dalam saku jas. Ivander langsung mendorong pintu kamar yang sedikit terbuka itu. Meski dilanda bingung, Ivander tetap melanjutkan langkahnya masuk ke dalam. Ia melempar jasnya ke atas sofa. “Kamu siapa?” tanya seorang gadis cantik. Dia memakai handuk kimono dan kebetulan baru keluar dari kamar mandi. "Kamu sendiri siapa? Kenapa ada dikamarku?" Ivander balik bertanya dengan suara pelan dan serak. “Ini kamarku. Kamu yang siapa? Main masuk kamar orang tanpa izin," kata Syafana Almahira, 25 tahun dengan nada tinggi. "Ini kamar no 70 bukan?" tanya Ivander di sisa kesadaran yang hampir habis. Mungkin sekitar satu persen lagi. "Om, jangan pura-pura sok lugu ya? Saya bisa membuat Om menyesal kalo berani macam-macam," ancam Syafana waspada. Dia memasang kuda-kuda padahal pengaruh alkohol dalam dirinya sendiri belum sepenuhnya hilang. Syafana sampai lupa jika hanya memakai dalaman dan dibalut dengan handuk kimono. Kepalanya masih berdenyut meski sudah diguyur air dingin. "Saya tidak bohong. Ini kamar saya!" Ivander menunjukan nomor kamar yang ada di tangannya. "Kamu yang harusnya pergi dari sini!" sentak Ivander mulai hilang kendali. "Wah, bener-bener ngaco nih orang," geram Syafana. "Sial mana gak ada orang lagi." Ivander maju mendekat dengan langkah terhuyung. Syafana mencari sesuatu untuk dijadikan senjata. Jaga-jaga jika Ivander menyerangnya tiba-tiba. "Jangan maju atau aku pukul," ancam Syafana seraya menaikan sapu ke atas. Menodongkan pada wajah Ivander. "Tolong antar aku ke kamarku," mohon Ivander dengan nada memelas. "Om mabok ya?" Ivander menggelengkan kepala. Dia mencoba meraih Syafana namun gadis itu secepat kilat menghindar. Tangannya memijat kepala yang kembali berdenyut. Brughhh! Suara tubuh Ivander jatuh membentur lantai cukup keras. Syafana menganga, syok. Dia menggerakan ujung kakinya. Mengguncang kaki Ivander yang tergeletak di lantai. "Panas, tolong aku!" ucap Ivander yang lebih mirip sebuah bisikan. "Jangan pingsan disini! Nanti aku kena masalah. Aku antar ke kamar Om saja.” Shafana mencoba menarik tubuh Ivander. Membantunya berdiri meski dengan sempoyongan. Dia mengalungkan tangan Ivander yang panjang ke atas bahunya. "Hanya nganterin dia doang setelah itu tinggal!" ujar Syafana meyakinkan diri. Syafana membawa tubuh Ivander yang terasa panas keluar dari kamarnya. Dengan susah payah, Syafana sedikit menyeret tubuh Ivander menuju kamar sebelah. Dia menggesek kartu pada dinding pintu. Klik! Bunyi tanda pintu sudah terbuka. Syafana mendorong pintu dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya memegang tangan Ivander yang melingkar di pundaknya. "Panas," rintih Ivander. "Makanya jangan banyak minum kalo nggak kuat. Aku juga masih pusing padahal hanya minum dua gelas.” Dia membawa Ivander masuk ke dalam kamar dan membaringkannya di ranjang. Syafana menaikan kedua kaki jenjang Ivander. Saat berdiri, pandangan Syafana kembali kabur. "Sudah ya. Aku pergi!" "Ehhh...!" Ivander yang sudah kehilangan akal sehat, menarik tangan Syafana hingga terbaring diatas ranjang. Hembusan nafas Ivander yang kasar, membuat bulu kuduk Syafana bergidik. “Om jangan macam-macam ya,” ancam Syafana memutar tubuh. Sialnya hal itu malah membuat mereka saling berhadapan. Ivander kembali menarik pinggang Syafana yang ramping. Wajah mereka begitu dekat. “Tolong aku! Tubuhku rasanya panas sekali” Brugh! Kepala Ivander terjatuh pada pundak Syafana. Wangi bunga dari shampo Syafana membuat darah dalam tubuh Ivander seperti mendidih. Hidungnya mengendus dada Syafana yang terbuka. "Om, lepas!" sentak Syafana mencoba menggulingkan tubuh yang menindihnya. "Tubuhku, panas. Tolong aku!" Ivander melepas kemejanya lalu membuangnya ke lantai. Dia mencondongkan tubuh pada wajah Shafana. "Le —" "Hemmmph!" Ivander membungkam bibir Syafana dengan bibirnya. Bau alkohol tercium dari mulut Ivander. Syafana mencoba mendorong tubuh Ivander tapi tangan gadis itu diangkat ke atas. Dia masih lemah karena tidak terbiasa minum alkohol. "Om, jangan sentuh aku. Kita nggak saling kenal!" "Tolong aku, kumohon. Rasanya panas." "Aku bisa nyalakan AC," jawab Syafana cepat. "Hemmmmmph!” Tanpa peringatan, Ivander menyumpal kembali bibir Syafana dengan bibirnya. Ciumannya begitu liar, seperti gulungan ombak yang terus bergulung menuju pantai. Syafana mencoba mendorong Ivander. Tapi tubuh Ivander menindihnya kuat. "Kamu cantik, aku suka bibirmu." Ivander mengangkat wajahnya, memberikan asupan oksigen pada rongga dada. Shafana berusaha lagi menepiskan tangan Ivander yang mencengkram tangannya. Kepalanya berusaha tetap sadar tapi tubuhnya merespon lain. “Om,” desah Syafana Tangan Ivander tepat berada di atas dada Kaira. Bola mata Safana melotot merasakan tangan lebar Ivander memegang melon kembarnya. “Ukurannya cukup besar ternyata,” racau Ivander tersenyum Ivander."Jangan bicara sembarangan, Pak!"Napas Syafana tercekat. Kata-kata itu menghantamnya bagai gelombang pasang. Kilasan memori saat Ivander dengan dingin melarang adanya perasaan di antara mereka berdua, memaksa Syafana menertawakan ironi ini. Tawa hambar yang lebih mirip ringisan.Tangannya gemetar menyentuh dahi Ivander, merasakan panas yang membakar kulit pria itu. “Kamu pasti mengigau,” desisnya, berusaha meredam gejolak dalam diri.“Tidak! Ini kejujuranku,” balas Ivander, suaranya serak namun penuh penekanan.Syafana menghela napas panjang, sorot matanya menajam, menelisik setiap sudut wajah Ivander. “Aku ingin percaya,” bisiknya lirih, “Tapi, selama ini sikap kamu selama ini membingungkan seperti orang yang penuh akan keraguan. Sampai aku sendiri bingung harus bersikap kayak gimana.”“Aku—”Syafana membungkamnya dengan paksa. Sendok berisi bubur ia sumpalkan ke mulut Ivander, membungkam semua kata yang hendak keluar. Mata Ivander membulat marah, mulutnya penuh dengan bubur panas.
"Segarnya." Syafana baru saja selesai mandi setelah sesi bercinta yang penuh gairah dengan Ivander. Tubuhnya masih terasa hangat dan sedikit lelah, namun pikirannya dipenuhi dengan perasaan puas dan kemenangan. Dengan santai, ia membuka laci nakas dan mengeluarkan sebutir pil berwarna putih kecil. Itu adalah pil kontrasepsi, senjata andalannya untuk memastikan bahwa dirinya tidak akan terikat pada Ivander dengan cara yang tidak diinginkannya. Ivander, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit pinggangnya, mengerutkan kening melihat apa yang dilakukan Syafana. “Apa yang kamu minum?” tanyanya dengan nada penasaran. Syafana menelan pil itu dengan segelas air putih, lalu menatap Ivander dengan senyum menggoda. “Obat pengaman,” jawabnya santai. “Aku takut hamil jadi sengaja minum obat.” Ivander tampak tidak senang dengan jawaban itu. Ia hendak melontarkan protes, mengatakan bahwa ia ingin memiliki anak darinya, namun tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Erlang
"Ini rumahku! Mas Ivander memberikannya padaku! Berani sekali kalian mengusirku!" geram Celina dengan tangan terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih, Celina menatap ketiga pria di hadapannya dengan mata membara. “Kalian ini siapa?” Carina menimpali. “Berani sekali mengusir Nyonya Celina dari rumahnya!”Salah seorang pria menghela napas berat, lalu maju selangkah. Dengan gerakan lambat, ia menyodorkan kartu nama kepada dua wanita yang berdiri di hadapannya."Hexa," Celina membaca nama yang tertera di kartu itu, diikuti jabatan sebagai seorang pengacara. Celina dan Carina bertukar pandang, kebingungan terpancar jelas di wajah mereka.“Saya Hexa, pengacara pribadi Tuan Ivander,” ucapnya dengan nada dingin. Ia menyerahkan selembar surat tanah. Celina menerima surat itu dengan tangan gemetar. “Surat tanah ini atas nama Tuan Ivander, bukan Celina. Jadi, dia berhak penuh atas properti ini dan berhak membuat keputusan apa pun. Termasuk, mengusir kalian dari sini!”Jantung Celina mence
"Aku ingin melahapmu!"Ivander menyeringai mendengar desahan Syafana yang bagai melodi memanggil birahi. Tanpa ampun, ia melumat bibir Syafana, lidahnya menari liar di dalam mulut, bertukar saliva dengan kasar hingga Syafana kehilangan kendali dan hanya bisa meremas rambut Ivander.Syafana tersentak, napasnya tercekat oleh ciuman Ivander yang membabi buta. Ia memukul dada Ivander, mencoba menghentikan kegilaan ini, namun hatinya berdebar tak karuan.“Hmph! Pak I-Ivander! Cukup!” jeritnya tertahan.Merasa Syafana kehabisan napas, Ivander akhirnya melepaskan ciumannya, membiarkan Syafana menghirup udara dengan rakus. Nampak rambutnya berantakan, bibirnya basah dan bengkak.“Bisa tidak kamu sedikit lebih lembut?! Bibirku bisa bengkak lagi, tau!” desis Syafana, berusaha menormalkan napasnya yang tersengal.Ivander menggelengkan kepalanya. “Bibirmu candu, Syafana! Bahkan mengalahkan nikotinku! Aku tidak bisa berhenti mencicipinya.”Syafana mencibir, namun Ivander sudah menerjang lehernya.
“Mas Ivander ...!”Senyum Celina merekah sempurna, bagai bunga yang merekah di pagi hari. Ia melonjak dari kursi, niat menghambur ke arah Ivander yang berjalan mendekat dengan aura gelap yang kontras dengan senyumnya.Namun, sebelum Celina sempat bergerak, Ivander berhenti di hadapannya. Rahangnya mengeras ketika mata mereka saling bersisih tatapan.“Kamu pasti kangen sama aku, kan?” Celina mencoba mencairkan suasana dengan tawa kecil yang terdengar dibuat-buat. “Duduk dulu, yuk. Kita makan bareng. Jarang banget kamu datang ke rumah.”“Saya tidak punya waktu untuk basa-basi dengan manusia munafik seperti Anda!” desis Ivander tajam.Kening Celina berkerut dalam. Bibirnya yang tadi tersenyum kini mencibir sinis. Dengan gerakan lembut, ia meraih tangan Ivander. “Kamu ngomong apa, sih? Aku nggak ngerti. Kenapa kamu tiba-tiba begini?” tanyanya, nada suaranya dibuat semanja mungkin.“Jangan pura-pura bodoh, Celina!” bentak Ivander seraya menepis tangan Celina dengan kasar.Celina terkesiap,
"Ikut aku!"Ivander meraih pergelangan tangan Syafana, menariknya dengan paksa menuju mobil. Syafana sontak meronta, mencoba mengimbangi langkah Ivander dengan bibir yang penuh protes. “Pak! Lepaskan!” serunya, namun Ivander tak menggubrisnya.Sesampainya di depan mobil, Ivander membukakan pintu dengan kasar, lalu tanpa menunggu, mendorong Syafana masuk. Gadis itu terhuyung, hampir kehilangan keseimbangan sebelum akhirnya terduduk di kursi dengan kasar.“Pak! Ghaisa!” seru Syafana, napasnya tersengal. “Kita meninggalkannya sendirian di sana! Dia datang bersamaku, masa harus pulang sendiri?! Aku merasa tidak enak, Pak!”Ivander membanting pintu mobil, lalu menghadap Syafana. Dengan gerakan cepat, ia meraih tangan Syafana, mengangkatnya tinggi-tinggi.“Lihat ini! Tanganmu terluka, Syafana! Pikirkan dirimu dulu, sebelum memikirkan orang lain!” ujarnya dengan datar namun menusuk.Syafana hanya diam. Ia menatap nanar luka di tangannya, lalu kembali menatap Ivander. “Ya ampun, Pak. Sudah b







