LOGIN"Apa kamu bilang barusan? Kamu mengundurkan diri?” tanya Ivander dengan nada dingin, sorot matanya mengintimidasi Syafana.
“Maaf, Pak.” Suaranya bergetar. “Sepertinya saya tidak jadi melamar di sini. Saya sudah dapat panggilan dari tempat lain. Saya datang untuk mengatakan itu.” Alis Ivander terangkat tipis. “Panggilan dari tempat lain?” ucapnya dengan nada dingin, penuh keyakinan. “Jangan berbohong, Syafana. Saya sudah memastikan semua hal tentangmu. Riwayat pendidikan, pengalaman, bahkan kondisi keluargamu.” Syafana membelalak. “Apa?” Wajahnya terlihat syok. “Darimana Bapak tahu semua hal tentang saya?” tanya Syafana lagi. Ivander mencondongkan tubuh ke depan, kedua sikunya bertumpu pada meja. Tatapannya menusuk. Dia memangku dagu di atas meja namun pandangannya sama sekali tidak beralih dari Syafana. “Apa yang saya putuskan tidak bisa ditawar-menawar. Saya membutuhkan seseorang yang mengurus saya, dari saya bangun tidur hingga urusan pekerjaan di kantor.” “Maaf, Pak sebelumnya. Bapak butuh sekretaris atau pelayan pribadi? Itu dua hal yang berbeda!” Syafana mengerutkan kening dalam. “Saya melamar kerja sebagai sekrertaris, bukan jadi pelayan pribadi. Hubungan saya dan bos hanya sebatas pekerjaan di kantor.” Ivander menghela napas berat, seolah sedang berbicara dengan anak kecil yang keras kepala. "Jika itu masalah pribadi, saya bisa menyerahkanya pada istri saya, " ia berhenti sejenak, tatapannya menusuk semakin dalam. "Meskipun ia sedikit berbeda denganmu." Kata-katanya menggantung, menimbulkan rasa penasaran Syafana. “Berbeda dengan saya? Maksudnya?” Ivander menatap Syafana dingin. "Saya sudah memutuskan dan kamu adalah orang yang tepat. Lagipula kamu sudah melihat semuanya semalam." Syafana menelan ludah. Wajahnya merah padam seperti tomat matang. Dadanya bergemuruh hebat campuran antara malu dan kesal. “Maaf, Pak. Kalau soal itu. Anggap saja semalam tidak pernah terjadi apa-apa. Bapak mabuk di bawah pengaruh obat dan saya juga mabuk jadi kita, ehmm … ya pokoknya itu kecelakaan.” Namun Ivander tetap duduk tenang. Tatapannya tidak bergeser sedikit pun. Ekspresinya dingin dan tegas. “Saya tahu ayah kamu sakit. Kamu membutuhkan uang. Saya bisa membantumu. Kamu hanya perlu menjalankan pekerjaanmu, tanpa melibatkan perasaan. Saya akan memastikan kamu hidup layak.” Kata-kata itu membuat Syafana terdiam. Tenggorokannya tercekat. Sesaat ia menunduk, menutup wajahnya dengan telapak tangan. Pikirannya berputar: ayah yang terbaring sakit, biaya rumah sakit yang semakin membengkak, dan dirinya yang sudah kehabisan pilihan. “Jadi begitu, ya?” suara Syafana akhirnya pecah, getir. “Bapak pikir saya bisa dibeli dengan uang?” Ia menatap Ivander dengan pandangan yang menyala, tetapi kini di dalamnya terselip keputusasaan. “Bukan dibeli.” Ivander membalas kaku, nada suaranya dingin dan tak tergoyahkan. “Dibantu. Kamu tetap manusia dengan harga diri. Tapi pekerjaan ini, akan mengikatmu padaku.” Hening sejenak menyelimuti ruangan. Syafana menggigit bibir bawahnya, menahan segala luapan yang ingin ia muntahkan. Namun, bayangan wajah ayahnya yang pucat membuatnya goyah. Akhirnya, ia mendesah panjang, hampir seperti mengutuk dirinya sendiri. “Baiklah. Saya terima.” Ivander mengangguk pelan, matanya dingin namun penuh kepuasan. “Keputusan yang bijak. Saya ingin kamu mulai bekerja hari ini juga. Soal pekerjaanmu nanti Erlang yang akan menjelaskannya." Syafana mengangguk, lalu berbalik dengan langkah berat. “Kenapa aku bisa tidur dengan pria arogan seperti dia?” Di tempat lain, di sebuah rumah megah bergaya klasik modern. Celina tengah bersantai di halaman belakang dekat kolam renang. Wajahnya dilapisi masker berwarna hijau lembut, sementara rambutnya bungkus rapi dengan handuk. “Inilah hidup yang aku inginkan selama ini. Jadi istri seorang CEO tampan, mapan,” ucap Celina dengan nada manja, sambil mengipasi wajahnya dengan majalah fashion. “Mau apa saja tinggal bilang, langsung tersedia.” Carina, ibu Celina duduk di sebelahnya sambil ikut maskeran. Dia menyandarkan tubuh pada sandaran sofa. Matanya terpejam menikmati semilir angin siang yang menyapu wajahnya. “Kamu beruntung dapat Ivander. Meski dia dingin, kamu harus tetap yakin bisa meluluhkan hatinya. Ingat, tidak ada pria yang tahan pada istri yang sabar dan cantik. Terus goda dia bagaimanapun caranya.” Celina tersenyum percaya diri, matanya berbinar. “Aku tahu, Ma. Mas Ivander memang belum menyentuhku, tapi itu hanya soal waktu. Dia pasti akan sadar bahwa aku istri terbaik yang bisa dia miliki. Semua yang dia butuhkan, bisa aku berikan. Aku hanya perlu membuatnya tidak berpaling.” Tiba-tiba, Celina menjentikkan jarinya. Seorang pembantu segera datang menghampiri dengan sopan. “Iya, Nyonya?” “Ambilkan aku jus smoothies strawberry dengan topping strawberry segar yang manis. Jangan lupa taburkan coklat serut diatasnya,” perintah Celina santai. “Baik, Nyonya.” Pembantu itu bergegas pergi. Celina kemudian menoleh pada ibunya, melanjutkan obrolan. “Kadang aku merasa seperti putri raja, Ma. Lihat saja, semua orang di rumah ini siap melayani. Tinggal sebut, langsung jadi.” Mama Celina tersenyum puas. “Memang begitu seharusnya. Kamu istri seorang pengusaha hebat, bukan orang biasa.” Tak lama, pembantu lain datang dengan nampan berisi camilan. “Nyonya, ini croissant isi cokelat yang Anda minta.” “Taruh di meja. Ambilkan aku handuk berisi air es!” titah Celina ketus. Suasana ruangan terasa seperti istana kecil, dengan Celina yang memerintah tanpa perlu menggerakkan tubuhnya. Semua berjalan sesuai keinginannya. Semua harus patuh pada ucapan Celina meski terkadang membuat para pekerja sna “Aku yakin, Ma,” ucap Celina lagi sambil menyandarkan tubuhnya. “Cepat atau lambat, Mas Ivander akan jadi milikku. Dia hanya melihatku. Aku harus segera hamil anaknya supaya aku bisa menguasai semuanya.” Mama Celina mengangguk mantap. “Betul. Kamu tidak boleh kalah oleh wanita lain. Ingat, meski pernikahan kalian karena dijodohkan, statusmu tetap istri sah. Itu senjata terbesarmu.” Celina tersenyum puas. Ia mengambil croissant dengan ujung jarinya, menggigitnya perlahan sambil menikmati film yang baru saja diputar oleh pembantu. Namun, momen santai itu mendadak terganggu. Ponsel di meja samping berdering nyaring, getarannya membuat gelas jus di sampingnya ikut bergetar. Celina menoleh, sedikit kesal. “Siapa sih yang nelpon jam segini?” Ia meraih ponselnya dengan malas, lalu melihat layar ponsel. Bola matanya memutar malas lalu menyentuh tanda jawab. Dia meletakan benda pipih di pipinya dan bersandar santai. “Ada apa?” tanya Celina ketus. “Maaf, Nyonya Celina. Ada hal yang ingin saya sampaikan.” Terdengar suara wanita dari seberang telepon. “Iya, apa? Jangan banyak basa basi langsung saja bilang apa yang mau kamu laporkan. “Hari ini Pak Ivander memilih seorang gadis menjadi sekretaris pribadinya,” adu si penelpon. “Aku sudah tahu makanya aku kirim orang untuk jadi kandidat. Aku yakin mas Ivander memilihnya kan?” jawab Celina santai oleh percaya diri. “Maaf, Nona Celina. Pak Ivander memilih gadis lain sebagai sekretarisnya. Namanya … Syafana.” Celina langsung menjadi masker sheet dari wajahnya. Dia berdiri dan berkacak pinggang. Ekspresi wajahnya langsung berubah tegang dan rahang mengeras. Carina menatap Celina penasaran. “Bagaimana bisa Mas Ivander memilih gadis lain?” “Maaf, Nona. Saya tidak tahu. Saya tutup dulu teleponnya.” “Arghhhhh! Sial! Kenapa bisa begini? Padahal temanku lebih berpengalaman dan bisa diandalkan. Siapa Syafana? Kenapa Mas Ivander lebih tertarik pada gadis itu? Aku harus mencari tahu,” umpat Celina kesal sekaligus panik. Tring! Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Velina. Wanita berambut panjang pirang itu segera membacanya. Bola matanya membelalak saat melihat isi pesan tersebut. “Ini tidak mungkin,” lirih Celina. “Mas Ivander pergi dari pesta waktu itu. Dia meninggalkanku dan pergi ke hotel. Dia bahkan masuk ke kamar seorang gadis. Aku harus cari tahu siapa wanita itu. Aku tidak bisa diam saja.” “Celina ada apa? Kenapa kamu marah-marah begini?” “Mas Ivander, Ma. Dia … dia kabur dari pesta dan pergi ke sebuah hotel. Dia bahkan masuk ke kamar seorang gadis.”"Jangan bicara sembarangan, Pak!"Napas Syafana tercekat. Kata-kata itu menghantamnya bagai gelombang pasang. Kilasan memori saat Ivander dengan dingin melarang adanya perasaan di antara mereka berdua, memaksa Syafana menertawakan ironi ini. Tawa hambar yang lebih mirip ringisan.Tangannya gemetar menyentuh dahi Ivander, merasakan panas yang membakar kulit pria itu. “Kamu pasti mengigau,” desisnya, berusaha meredam gejolak dalam diri.“Tidak! Ini kejujuranku,” balas Ivander, suaranya serak namun penuh penekanan.Syafana menghela napas panjang, sorot matanya menajam, menelisik setiap sudut wajah Ivander. “Aku ingin percaya,” bisiknya lirih, “Tapi, selama ini sikap kamu selama ini membingungkan seperti orang yang penuh akan keraguan. Sampai aku sendiri bingung harus bersikap kayak gimana.”“Aku—”Syafana membungkamnya dengan paksa. Sendok berisi bubur ia sumpalkan ke mulut Ivander, membungkam semua kata yang hendak keluar. Mata Ivander membulat marah, mulutnya penuh dengan bubur panas.
"Segarnya." Syafana baru saja selesai mandi setelah sesi bercinta yang penuh gairah dengan Ivander. Tubuhnya masih terasa hangat dan sedikit lelah, namun pikirannya dipenuhi dengan perasaan puas dan kemenangan. Dengan santai, ia membuka laci nakas dan mengeluarkan sebutir pil berwarna putih kecil. Itu adalah pil kontrasepsi, senjata andalannya untuk memastikan bahwa dirinya tidak akan terikat pada Ivander dengan cara yang tidak diinginkannya. Ivander, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit pinggangnya, mengerutkan kening melihat apa yang dilakukan Syafana. “Apa yang kamu minum?” tanyanya dengan nada penasaran. Syafana menelan pil itu dengan segelas air putih, lalu menatap Ivander dengan senyum menggoda. “Obat pengaman,” jawabnya santai. “Aku takut hamil jadi sengaja minum obat.” Ivander tampak tidak senang dengan jawaban itu. Ia hendak melontarkan protes, mengatakan bahwa ia ingin memiliki anak darinya, namun tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Erlang
"Ini rumahku! Mas Ivander memberikannya padaku! Berani sekali kalian mengusirku!" geram Celina dengan tangan terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih, Celina menatap ketiga pria di hadapannya dengan mata membara. “Kalian ini siapa?” Carina menimpali. “Berani sekali mengusir Nyonya Celina dari rumahnya!”Salah seorang pria menghela napas berat, lalu maju selangkah. Dengan gerakan lambat, ia menyodorkan kartu nama kepada dua wanita yang berdiri di hadapannya."Hexa," Celina membaca nama yang tertera di kartu itu, diikuti jabatan sebagai seorang pengacara. Celina dan Carina bertukar pandang, kebingungan terpancar jelas di wajah mereka.“Saya Hexa, pengacara pribadi Tuan Ivander,” ucapnya dengan nada dingin. Ia menyerahkan selembar surat tanah. Celina menerima surat itu dengan tangan gemetar. “Surat tanah ini atas nama Tuan Ivander, bukan Celina. Jadi, dia berhak penuh atas properti ini dan berhak membuat keputusan apa pun. Termasuk, mengusir kalian dari sini!”Jantung Celina mence
"Aku ingin melahapmu!"Ivander menyeringai mendengar desahan Syafana yang bagai melodi memanggil birahi. Tanpa ampun, ia melumat bibir Syafana, lidahnya menari liar di dalam mulut, bertukar saliva dengan kasar hingga Syafana kehilangan kendali dan hanya bisa meremas rambut Ivander.Syafana tersentak, napasnya tercekat oleh ciuman Ivander yang membabi buta. Ia memukul dada Ivander, mencoba menghentikan kegilaan ini, namun hatinya berdebar tak karuan.“Hmph! Pak I-Ivander! Cukup!” jeritnya tertahan.Merasa Syafana kehabisan napas, Ivander akhirnya melepaskan ciumannya, membiarkan Syafana menghirup udara dengan rakus. Nampak rambutnya berantakan, bibirnya basah dan bengkak.“Bisa tidak kamu sedikit lebih lembut?! Bibirku bisa bengkak lagi, tau!” desis Syafana, berusaha menormalkan napasnya yang tersengal.Ivander menggelengkan kepalanya. “Bibirmu candu, Syafana! Bahkan mengalahkan nikotinku! Aku tidak bisa berhenti mencicipinya.”Syafana mencibir, namun Ivander sudah menerjang lehernya.
“Mas Ivander ...!”Senyum Celina merekah sempurna, bagai bunga yang merekah di pagi hari. Ia melonjak dari kursi, niat menghambur ke arah Ivander yang berjalan mendekat dengan aura gelap yang kontras dengan senyumnya.Namun, sebelum Celina sempat bergerak, Ivander berhenti di hadapannya. Rahangnya mengeras ketika mata mereka saling bersisih tatapan.“Kamu pasti kangen sama aku, kan?” Celina mencoba mencairkan suasana dengan tawa kecil yang terdengar dibuat-buat. “Duduk dulu, yuk. Kita makan bareng. Jarang banget kamu datang ke rumah.”“Saya tidak punya waktu untuk basa-basi dengan manusia munafik seperti Anda!” desis Ivander tajam.Kening Celina berkerut dalam. Bibirnya yang tadi tersenyum kini mencibir sinis. Dengan gerakan lembut, ia meraih tangan Ivander. “Kamu ngomong apa, sih? Aku nggak ngerti. Kenapa kamu tiba-tiba begini?” tanyanya, nada suaranya dibuat semanja mungkin.“Jangan pura-pura bodoh, Celina!” bentak Ivander seraya menepis tangan Celina dengan kasar.Celina terkesiap,
"Ikut aku!"Ivander meraih pergelangan tangan Syafana, menariknya dengan paksa menuju mobil. Syafana sontak meronta, mencoba mengimbangi langkah Ivander dengan bibir yang penuh protes. “Pak! Lepaskan!” serunya, namun Ivander tak menggubrisnya.Sesampainya di depan mobil, Ivander membukakan pintu dengan kasar, lalu tanpa menunggu, mendorong Syafana masuk. Gadis itu terhuyung, hampir kehilangan keseimbangan sebelum akhirnya terduduk di kursi dengan kasar.“Pak! Ghaisa!” seru Syafana, napasnya tersengal. “Kita meninggalkannya sendirian di sana! Dia datang bersamaku, masa harus pulang sendiri?! Aku merasa tidak enak, Pak!”Ivander membanting pintu mobil, lalu menghadap Syafana. Dengan gerakan cepat, ia meraih tangan Syafana, mengangkatnya tinggi-tinggi.“Lihat ini! Tanganmu terluka, Syafana! Pikirkan dirimu dulu, sebelum memikirkan orang lain!” ujarnya dengan datar namun menusuk.Syafana hanya diam. Ia menatap nanar luka di tangannya, lalu kembali menatap Ivander. “Ya ampun, Pak. Sudah b







