LOGINAdrian, benar-benar lu ya!
Adrian tetap fokus menyetir. Tangannya mantap di setir, pandangannya lurus ke depan, seolah jalanan di hadapannya adalah satu-satunya hal yang ingin ia lihat. Mobil melaju dengan kecepatan stabil, nyaris tanpa suara selain dengungan mesin dan gesekan ban di aspal.Aku menghela napas pelan,Kepalaku terasa penuh. Bukan karena lelah, tapi karena terlalu banyak pikiran yang saling tumpang tindih. Duduk di samping Adrian menghadirkan rasa canggung yang sulit kujelaskan.bukan tidak nyaman, tapi juga jauh dari tenang. Akhirnya aku memutuskan memejamkan mata, bukan untuk tidur, hanya ingin berhenti memandang pepohonan yang sejak tadi menjadi pemandangan utama jalanan ini.“Kalau pusing, bilang,” ucap Adrian tiba-tiba, suaranya rendah.“Aku tidak tidur,” jawabku tanpa membuka mata. “Hanya menutup mata saja.”“Hm.”Itu saja tanggapannya.Keheningan kembali turun, tapi kali ini terasa berbeda. Dalam gelap, pikiranku justru bekerja lebih aktif. Wajah Dharma terlintas, ucapannya tentang kejujuran,
Mesin mobilku tersendat untuk ketiga kalinya sebelum akhirnya mati total. Setir terasa ringan di tanganku, seperti sebuah pertanda buruk. Aku menepi sebisaku, menghentikan mobil di pinggir jalan yang bahkan nyaris tak layak disebut jalan. Hanya hamparan aspal sempit, pepohonan di kiri kanan, dan keheningan yang terasa menekan dada. aku merasa kecewa pada diriku sendiri karena tidak mendengarkan ucapan Dharma. seharusnya aku minta diantarkan saja. “Tidak… jangan sekarang,” gumamku pelan.Aku mencoba menyalakan mesin lagi, namun itu semua terasa sia-sia.aku menghembuskan napas panjang, lalu meraih ponsel di dalam tas. Tanganku sedikit gemetar saat layar menyala.Nama Dharma sudah hampir kutekan ketika layar itu tiba-tiba meredup. Baterai ponselku habis!“Tidak, tidak, tidak—”Layar mati tepat saat aku hendak menekan tombol panggil. Aku menatap ponsel itu beberapa detik, seolah dengan tatapan saja aku bisa menghidupkannya kembali. Tapi sia-sia. Yang tersisa hanya pantulan wajahku sendir
Adrian menatap malas wajah lawan bicaranya, suasana restoran yang cukup sepi membuat keduanya leluasa berbicara.“Bagaimana, kau sudah mengatakan bahwa aku pernah tidur dengan suaminya?”Adrian menatap Laura dengan mata yang tak sepenuhnya bisa menyembunyikan kemarahan yang perlahan membara. Ia menarik napas dalam sebelum menjawab.“Iya, aku sudah mengatakan hal itu. Jadi jangan buat semuanya terasa sia-sia.”katanya pelan, setiap kata dipilih dengan hati-hati.Laura mencondongkan tubuhnya ke arah Adrian, senyum tipis tapi tajam menghias bibirnya. “Oh, begitu. Jadi kau ingin aku diam saja? Kau pikir aku akan membiarkan hal ini begitu saja?” ucapnya sambil memainkan sendok di atas piringnya, seolah itu permainan strategi yang disengaja.Adrian menegakkan punggungnya, menatap lurus ke mata Laura. “Ini bukan tentang siapa yang salah atau benar. Aku hanya ingin kita tetap fokus pada masalahnya.”Laura tertawa pelan, suara itu seperti campuran ejekan dan kepuasan pribadi. “Kau pikir aku aka
Dharma mengangkat tubuhku dengan hati-hati, seolah aku sesuatu yang rapuh sekaligus berharga. Air masih menetes dari rambut dan kulit kami, meninggalkan jejak dingin di lantai saat ia membawaku ke kamar. Kasur menyambutku dengan empuk ketika ia menidurkanku perlahan, memastikan aku benar-benar nyaman sebelum ia ikut berbaring di sisiku.Ia menunduk, menciumku lagi. mula-mula di kening, lalu ke bibir, turun ke leher dengan kelembutan yang membuat napasku tercekat. Ciumannya menyusuri garis-garis tubuhku dengan penuh perhatian, bukan tergesa, seakan ia ingin menenangkan setiap bagian diriku satu per satu. Tangannya menahan tubuhku agar tetap dekat, sementara bibirnya meninggalkan rasa hangat yang membuatku mendesah tertahan.Aku memejamkan mata, membiarkan perasaan itu mengalir. Tidak ada kata-kata. Hanya kedekatan yang cukup untuk membuatku merasa utuh, dan kehadirannya yang akhirnya sampai ke titik yang paling kurindukan malam itu.Dharma tidak berhenti memberi perhatian. Kecupan-kec
Setelah sampai Rumah, kami langsung menuju ke kamar.terdengar Pintu kamar tertutup pelan di belakang, tidak ada kata-kata yang meluncur diantara aku ataupun Dharma. Pria itu berdiri beberapa langkah dariku. Ia terlihat menanggalkan pakaiannya dengan gerakan kaku, bukan tergesa, seolah setiap helai kain yang jatuh adalah lapisan pertahanan yang ia lepaskan. Aku melakukan hal yang sama, tanpa saling menatap terlalu lama, namun sama-sama sadar akan kehadiran satu sama lain.Saat ia mendekat, aku bisa merasakan napasnya yang memburu. Tangannya menyentuhku,bukan dengan kepercayaan diri yang dulu, melainkan dengan kehati-hatian yang nyaris menyakitkan. Seperti seseorang yang sedang belajar kembali menggunakan tubuhnya sendiri.Kami bergelut dalam jarak yang sangat dekat. Napas kami saling beradu, tubuh kami saling mencari ritme, meski akhirnya ia berhenti. Ada jeda, bagaikan kekalahan kecil yang tidak diucapkan.Dharma menunduk, rahangnya mengeras. Aku tahu momen itu saat harapan hampir m
Ruang praktik dokter Elara terasa lebih familiar dibanding pertemuan pertama. walaupun begitu, tidak mengurangi ketegangan di antara kami yang terasa lebih nyata. Dokter Elara menatap kami bergantian, lalu fokus pada Dharma.“Pertemuan lalu kita membahas kondisi secara umum,” ujarnya tenang. “Hari ini, saya ingin masuk lebih dalam. Bukan hanya fisik, tapi juga pengalaman hidup yang mungkin berpengaruh.”Dharma duduk dengan punggung tegak, tapi rahangnya mengeras. Aku bisa melihat caranya menahan sesuatu.“Dharma,” lanjut dokter Elara, “anda sempat mengatakan bahwa tubuh Anda seperti tidak merespons, sementara dorongan itu tetap ada. Apakah pernyataan itu masih relevan?”“Iya, Dok,” jawabnya pelan. “Hasratnya ada. Sangat ada. Tapi… tubuh saya seperti menolak.”Dokter Elara mengangguk, mencatat sesuatu. “Kondisi seperti ini sering berkaitan dengan konflik psikologis yang belum terselesaikan. Kadang berasal dari pengalaman lama, bahkan masa kanak-kanak.”Aku menoleh cepat ke arah Dharma.







