Alan bergeming. Ia mulai mengelus lembut tangan Lydia dan mengusap perut Lydia yang sudah buncit karena mengandung anaknya. Paras ayu Lydia tidak pernah pudar. "Kamu ngomong apa? Ayo buka mata kamu dulu," titah Alan dengan suara yang bergetar. "Mataku berat, rasanya sangat berat, mas, biarkan seperti ini dulu.. Temani aku ya," sahut Lydia dengan tersenyum simpul.Alan mengangguk, ia mulai tersenyum tipis, "Iya, saya temani kamu," ucap Alan lembut dengan memangku kepala Lydia dan mengusap rambut Lydia meski selalu rontok. "Kamu gamau kemo? Ayo sembuh sayang," lirih Alan dengan terus mengusap kepala Lydia berharap rasa sakit istrinya mereda. Perlahan, mata Lydia mulai terbuka. Mata sayu itu menatap penuh cinta tanpa adanya kebencian, tangan mungilnya mulai meraih tangan suaminya dan tersenyum tipis, "Mas.. Ga perlu, aku capek banget kalau harus terapi, aku cuma mau kamu sama aku selama 2 tahun ini, hanya itu aja. Setelahnya, kamu bebas mau apapun aku ga akan larang, jagain istri-istr
Alan terhenyak mendengar ucapan Lydia. Ia mengerinyit binggung sembari mengenggam tangan istrinya, "Maksud kamu apa sayang?" tanya Alan lembut. Lydia tersenyum tipis. Ia mulai mengenggam tangan Alan dan terkekeh pelan. Menatap mata hazel milik suaminya dan mengabaikan apapun yang berlalu. Mendengar suara gemerisik dedaunan dari luar dan menghela nafasnya samar, "Ikat aku ditulang belikatmu, mas.. Izinkan aku merebahkan dan meneduhkan sembari mendengar semua cerita dan engkau mendengarkan ceritaku, tentang apa yang aku lalui.. Tentang semua yang telah menjadi tujuan dan tentang apa yang jadi pengorbanan. Agar aku tau bahwa aku memiliki sebuah tempat untuk berpulang, maaf apabila aku kerap membuatmu kecewa," sahut Lydia dengan tersenyum manis dan menatap sayup manik mata Alan. Alan terdiam. Ia hanya bisa mengulas senyuman lagi dan lagi. Ia tak menyangka dan tak menyadari bahwa ia selama ini melukai gadis belia yang sudah ditinggal oleh kedua orangtuanya. "Lydia.. Kamu tidak perlu memi
Alan bergeming kala melihat dokter dihadapannya pergi. Bahkan, langkahnya saja terasa berat. Ikhlas atau tidak, ini semua menyangkut kejiwaan Lydia yang pastinya akan terganggu. "Mas, kenapa aku ga bisa ngerasain gerakan bayi kita..?" tanya Lydia membuat Alan mematung."Sayang.. Ikhlas ya..?" Alan belum menyelesaikan ucapannya namun, Lydia sudah menangkap arti dari ucapan Alan. Apalagi Alan menyampaikan itu sembari memasang wajah muram. "Mas..? Enggak! Gak mungkin anak kita ─" Grep!! Alan menarik Lydia dalam dekapan dan membiarkan Lydia memukul dada bidangnya, membiarkan Lydia menangis sejadi-jadinya hingga suaranya terdengar dari luar. "Lydia.. Sayang... Kita harus terima! Ga semua bisa kita sesali, kita harus terima dengan semua yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan..""Ini bukan untuk yang pertama kalinya, mas! Bukan yang pertama kalinya.. Aku selalu jaga anak ini agar bisa tumbuh tapi kenapa?! Kenapa kanker sialan ini harus merengut kebahagiaan yang selama ini membuatku bertahan
1 minggu berlalu begitu cepat. Sehingga, Alan harus selalu menemani Lydia meski dirinya sendiri saja binggung dan harus selalu meminum obat-obatan setiap waktu. "Tuan, apakah tuan tidak ada niat untuk membawa nyonya ke suatu rumah sakit yang bisa mengatasi penyakitnya?" tanya Salah seorang staff rumah sakit membuat Alan hanya terkekeh pelan."Untuk apa..? Saya harus membawanya kemana lagi? Kenyataan didepan mata, gelang pada tangannya sudah memberitahukan bagaimana kondisinya.""Gelang apa?" "Gelang pada tangannya. Gelang rumah sakit yang berwarna ungu. Itu sudah jelas menjelaskan bahwa ia tidak memiliki harapan hidup yang panjang. Bahkan, dokter hanya berpasrah kepada Allah. Lantas.. Apakah saya harus mendahului kehendak-Nya?" tanya Alan dengan tertawa hambar. Tak ada yang bisa dibohongi. Wajah Alan menyiratkan rasa kecewa yang mendalam dan bahkan, netra nanar Alan sudah menjelaskan semuanya. "Sayang..," panggil Alan dengan mengenggam jemari mungil istrinya dan menciumi seluruh wa
Cacian Martha terdengar jelas ditelinga Alan. Cacian yang menyakitkan untuk didengar meski ia laki-laki. Bahkan, ucapan sumpah serapah Alan juga dengar dari beberapa kalangan. "Biarkan saja dia mengerti apa yang dimaksud dengan pengecut itu, Ratna!" sergah Martha membuat Ratna langsung melepas gegaman tangan Martha. "Saya tau, saya memang pengecut.""Memang! Kamu juga tidak punya hati, Alan! Sekarang Lydia seperti ini, salah siapa?! Salah siapa?! Untuk kesalahanmu yang sebesar itu, apakah mampu mengembalikan Lydia seperti sedia kala, ha?! Fuck! A fuck you bitch, Ala8n!" maki Martha habis-habisan membuat Alan terdiam. "Martha ─""Bahkan, dari jalang-jalangmu, Lydia yang lebih baik dari apapun! Apakah ada seorang wanita yang mampu menerima perselingkuhan?! Apakah ada seorang wanita yang bisa menerima lelakinya bercumbu dihadapannya?!" tanya Martha dengan tersulut emosi. Ratna bergeming. Bahkan, untuk menjawab pertanyaan dan menyangkal makian dari Martha itu juga tak mungkin. "Tuan k
"Mas, aku nemu foto kamu sama perempuan lain, tapi bukan yang dulu, siapa dia?" tanya Lydia. "Kekasih saya," sahut Alan santai. "Kamu mau sampai kapan kaya gini? Aku tau kita cuma dijodohin, tapi emang harus banget kamu selingkuh sana-sini berkali-kali? Ga cuma sekali, tapi kamu lakuin ini udah lima kali, jangan permainkan wanita karena kelak anakmu yang akan menerima karma, mas," tukas Lydia. "Anak? Kamu aja mandul," hardik Alan menyakitkan. Ctak! "Iya, mandul!" jerit Lydia tersulut emosi. Tanpa Alan sadari, ia telah memegang sebuah tespack yang tertera garis dua. Menandakan bahwa istrinya itu hamil. "Sudah saya bilang kan? Kamu cuma perempuan cacat. Menyusahkan saja, seharusnya saya tidak menerima perjodohan itu. Untuk apa saya menikah jika akhirnya saya tidak memiliki anak?" Alan berdalih dan membuang tespack yang dilempar Lydia tanpa melihatnya terlebih dahulu. "Apa menurut kamu menikah hanya untuk memiliki anak? Pantas saja istri kamu dulu meminta cerai! Ternyata y
"Mas, dia siapa lagi?" tanya Lydia menatap seorang wanita yang berdandan menor tengah bercumbu dengan suaminya. Baru saja kemarin mereka bertengkar, tetapi suaminya sudah berani membawa perempuan lain."Kekasih saya, Amelia," jawab Alan dengan santai.Patah. Hati Lydia patah ketika mendengar penuturan suaminya. Dengan santai dan tanpa rasa bersalah sama sekali. "Aku masih istri kamu, mas!" pekik Lydia."Istri..? Istrimu masih bocah?" potong Amelia membuat Lydia terhenyak. "Aku ga bicara sama kamu. Diam!" sentak Lydia membuat suasana semakin memanas. "Saya sudah bilang, jangan pernah mengusik hubungan saya dengan perempuan lain, Lydia!" hardik Alan."Aku tidak mengusik, aku hanya mau kamu sadar mas, aku mau kamu sadar kalau yang kamu lakuin ini salah. Kamu kira cuma kamu yang bisa? Aku juga bisa. Tapi aku ga lakuin karena sumpah dan janji pernikahan kita, pernikahan diatas kertas!" sergah Lydia dengan penuh penekanan pada akhir kalimatnya membuat Amelia yang tadinya tengah duduk d
Tak ada jawaban. Lydia hanya menatap sekilas Alan dengan tatapan kosongnya. Dengan buru-buru Alan megambil kotak obat dan langsung membalut tangan Lydia dengan perban. Tidak terlalu dalam namun, itu juga berbahaya. "Kamu gila?! Kamu bisa mati!" pekik Alan."Lydia, kalau saya ngomong, jawab!" bentak Alan tak diindahkan oleh Lydia. Hening. Pikiran Lydia terberai. Ia hanya bisa menatap sekeliling dengan tatapan kosongnya dan membisu ditempat. "Lydia! Kamu jangan buat saya takut bisa?!" sergah Alan lagi."Mama, papa…" lirih Lydia membuat Alan terhenyak. Ia harus bisa menghubungi kedua orang tuanya Lydia atau nanti bakal runyam kalau sampai Lydia nekat. Dengan keberanian penuh akhirnya Alan menghubungi orang tua Lydia mengatakan bahwa Lydia sedang membutuhkan mereka dan beberapa jam kemudian, kedua orang tua Lydia tiba. Lydia juga hanya termangu memandangi sekitar dengan tatapan kosong seolah mayat hidup. Wajah pucat, tatapan kosong, tangan yang bergetar dan kaki seolah lumpuh membuat