"Asal kamu tahu ya, Ita ... Aku benar-benar bosan dengan dirimu yang sekarang. Tampilanmu yang sekarang selalu bikin mataku sakit!"
Ucapan Mas Damar bak sembilu yang menusuk ke ulu hati. Aku menatap mata Mas Damar lekat, tak menyangka jika sikapnya selama ini berubah hanya karena tampilanku."Maksud kamu apa, Mas? Tampilanku yang mana yang membuat matamu sakit?" Tanyaku lemah karena syok."Kamu selama ini gak ngaca ya, Ta? Lihatlah dirimu! Hari ke hari tampilanmu itu makin kucel dan tak menarik tahu!" Balas Mas Damar benar-benar membuat hatiku semakin sakit."Mas ... Tega kamu berkata begitu ya? Padahal kamu tahu, gimana sibuknya aku mengurus rumah dan anak kita. Bahkan untuk sekedar mandi saja aku harus menunggu kamu pulang, Mas. Aku begini juga demi kalian, Mas!"Mataku mulai terasa berembun saat mengucap kata-kata itu. Padahal aku selalu berusaha ikhlas untuk melakukan semua kewajibanku, tapi kali ini terpaksa kuungkit agar mata Mas Damar terbuka walau sedikit."Selalu itu saja alasan kamu. Lihat di luar sana, banyak juga Ibu rumah tangga seperti kamu, bahkan anaknya lebih dari satu tapi tetap cantik terawat. Kamu saja yang terlalu banyak alasan!""Mas, kamu gak bisa menyamaratakan keadaan semua orang! Setiap orang punya kondisi yang berbeda-beda. Ada anaknya yang anteng, ada yang rewel, ada yang super rewel. Ada juga yang kondisi fisiknya mudah lelah, ada juga yang kuat. Jadi kamu gak bisa membanding-bandingkan antara Ibu rumah tangga satu dan yang lainnya."Aku benar-benar tak tahan lagi untuk tak meluahkan isi hati. Aku sangat tahu, saat ini Mas Damar sedang membandingkan aku dengan Mbak Diana, Kakak iparnya. Wajar Mbak Diana bisa merawat tubuh, dia memang beranak dua, tapi anaknya sudah besar-besar. Yang bungsu sudah empat tahun."Ah, sudahlah! Malah ceramah demi ngeles. Udah buruan, aku mau sarapan! Setelah ini kita siap-siap ke rumah Ibu," ucap Mas Damar mengalihkan pembicaraan. Ia benar-benar tak berpikir bahwa sudah melukai hatiku.Dengan perasaan dongkol, kesiapkan sarapan di atas meja."Mau ngapain ke rumah Ibu?" Tanyaku terdengar enggan."Jangan bilang kamu lupa kalau hari ini Ibu ulang tahun?" Mas Damar menatapku tajam. Tapi aku hanya melengos."Ooh ....""Dandan yang cantik kamu nanti. Jangan malu-maluin aku dengan tampilanmu yang bikin sakit mata."Hatiku bertambah perih mendengar ucapannya. Kusendok nasi goreng untukku sendiri, dan membawanya pergi dari hadapan Mas Damar. Mas Damar hanya terpelongo menatap kepergianku, karena biasanya aku yang selalu menyendokan nasi untuknya. Tapi jangan harap kali ini aku akan melakukannya.***"Ganti model pashmina kamu itu! Gak keren! Muka kamu jadi kelihatan makin tua." Terdengar komentar Mas Damar saat aku baru saja memakai hijab.Aku hanya bisa mengeratkan rahang menahan geram. Sekarang ia mulai terang-terangan mengatur penampilanku."Asal kamu tahu ya, Mas. Mau aku pakai apa pun, tetap saja mukaku kelihatan tua dan kusam! Lihat ini! Lihat! Bahkan skincare untuk wajah pun aku tak bisa membelinya lagi!" Sentakku sembari menggebrak meja rias di hadapanku. Berharap mata Mas Damar terbuka, bahwa cantik itu butuh modal."Tinggal beli aja, apa susahnya? Kan aku sudah kasih uang," jawabnya dengan santai.Aku memutar bola mata, bosan. Lagi-lagi mengungkit uang dua jutanya. Lebih baik aku pergi saja langsung, dari pada debat tak ada habis-habisnya."Hei, Ita! Kamu mau kemana? Ganti pashmina kamu dulu!" Teriak Mas Damar melihatku keluar begitu saja dengan membawa Rafis.'Masa bodoh lah, Mas,' batinku sambil terus berjalan keluar rumah tanpa menunggu Mas Damar. Jalan kaki lebih baik, dari pada makin kesal dengan semua perkataan Mas Damar.Beberapa menit berjalan, terdengar suara motor Mas Damar menyusul di belakangku."Ayo, naik!" Ajaknya sembari memelankan laju kendaraan di sampingku.Aku hanya diam saja mengacuhkannya."Ayolah, Ita! Jangan bikin malu. Kita dilihatin orang lho," ujar Mas Damar masih terus membujukku.Mungkin tingkahku terlihat kekanakan, tapi berkendara berdua dengannya membuat hatiku muak."Ayolah, Ita! Kasihan Rafis."Aku refleks menghentikan langkah saat dia menyebut Rafis. Sangking emosinya aku sampai lupa bahwa saat ini sedang menggendong Rafis. Kulihat wajah Rafis terlihat sedikit memerah terkena cahaya matahari yang mulai terik.Aku langsung merasa bersalah. Kulirik Mas Damar yang masih setia menungguku. Kali ini sepertinya aku tak bisa mengedepankan egoku demi Rafis. Aku pun naik ke boncengan motor Mas Damar.Sampai di rumah Ibu, terlihat sudah ramai. Karena Mas Danis dan keluarganya sudah datang."Assalamualaikum ...." Aku mengucap salam seraya masuk ke dalam.Tapi yang terlihat di ruang tamu hanya Mas Danis dan anak-anak Mbak Diana. Ya, sebenarnya Mbak Diana menikah dengan Mas Danis waktu itu statusnya adalah janda beranak dua. Sedangkan sejak menikah dengan Mas Danis, Mbak Diana sampai saat ini belum hamil."Ibu mana, Mas?" Tanya Mas Damar pada kakaknya yang sedari tadi terus sibuk bermain ponsel. Bahkan kehadiran kami pun diacuhkan."Di dapur tuh."Mendengar jawaban Mas Danis, aku memilih masuk ke dapur untuk menemui Ibu.Ternyata di dapur Ibu tengah sibuk memasak berbagai macam makanan dibantu dengan Mbak Diana juga seorang ibu-ibu yang biasa membantu saat ada acara masak-memasak.Aku sedikit merasa bersalah saat melihat mereka tengah sibuk. Sedangkan aku baru datang. Kupikir Ibu tak membuat acara apa-apa. Karena biasanya memang tak pernah ada acara masak-memasak begini."Baru datang kamu?" Ibu menatap tajam saat menyadari kehadiranku."Eh, iya, Bu ....""Sudah tahu mertuanya mau mengadakan acara malah datang siang-siang. Benar-benar mantu yang gak bisa diandalkan!" Rutuk Ibu. Walau tak keras tapi tetap terdengar jelas di telingaku."Tapi aku gak tahu kalau Ibu mau buat acara, Bu." Aku berusaha membela diri. Karena memang aku tak ada dikabari apa-apa."Halah, alasan! Ibu kemarin sudah titip pesan ke Damar. Gak mungkin dia gak nyampaikan ke kamu."Aku kaget sekaligus kesal mendengar perkataan Ibu. Jadi Ibu sudah menyampaikan pada Mas Damar? Tapi kenapa ia tak bilang padaku?"Mana hadiah untuk Ibu?" Tanya Ibu membuat aku semakin kikuk."Bukannya Mas Damar sudah kasih hadiah ke Ibu ya?""Ya itu dari Damar. Dari kamu mana? Gak ada juga? Sudah datang siang dan gak bantu-bantu, eh, malah gak bawa apa-apa," sindir Ibu sembari menata kue-kue dalam piring.Kesal rasanya, sudah meluangkan waktu untuk datang kemari demi menghargai mertua, tapi malah sindiran yang didapat. Makin bertambah kesal saat melihat Mbak Diana tersenyum miring mendengar sindiran Ibu untukku. Walau sekilas tapi masih bisa tertangkap oleh mataku."Emangnya Mbak Diana ngasih Ibu secara pribadi juga, Bu?" Aku bertanya dengan berani. Sebenarnya karena kesal melihat senyum Mbak Diana."Ya walau Diana gak ngasih kado, setidaknya dia sudah korban tenaga sejak pagi di sini."Kesalku bertambah berlipat-lipat saat tahu ternyata Mbak Diana juga tak memberi apa-apa. Ibu memang benar-benar pilih kasih. Kenapa hanya aku saja yang dituntut memberi hadiah? Sedangkan Mbak Diana tidak."Maaf, Bu ... Aku benar-benar gak tahu kalau Ibu buat acara. Kalau tahu juga aku bakal datang ke sini sejak subuh." Aku terus membela diri. Terlihat Ibu hanya berdecih."Ada apa ini?" Tanya Mas Damar yang tiba-tiba sudah berada di belakangku."Mas, kamu kok gak bilang ke aku kalau Ibu hari ini mau bikin acara?"Mas Damar langsung berdecak kesal."Gimana aku mau bilang ke kamu? Pas aku pulang kamu udah tidur," sindir Mas Damar membuatku makin kesal. Hanya perkara tak disambut pulang kerja, Mas Damar jadi terus mengungkit-ungkit. "Apa, Mar? Ita tidur saat kamu pulang? Jadi kamu tak disambut dia dong?""Boro-boro, Bu."Mendengar sahutan Mas Damar, hatiku langsung panas."Untuk apa aku menyambut kamu, Mas? Untuk menyenangkan hati kamu gitu? Sedangkan kamu saja bersenang-senang di luar tanpa aku!" Balasku tak mau kalah.Mas Damar langsung membelalakkan mata seperti terkejut mendengar perkataanku.
"Maass!"Aku terkejut mendengar panggilan keras Dista. Bahkan ponsel yang sedang kugunakan untuk bermain game online pun hampir terjatuh sangking terkejutnya."Kenapa teriak-teriak, sih?" Ketusku menatap Dista tak suka. Apalagi setelah melihat kembali ke ponsel, ternyata game yang kumainkan jadi kalah, akibat fokusku beralih ke Dista."Kamu gimana sih, Rafis nangis dibiarkan saja," sentak Dista dengan nada tinggi. Membuat perhatian para tamu Ibu beralih pada kami."Aku gak dengar.""Astaga, Mas. Aku yang lagi di dapur aja dengar jelas. Kamu yang posisinya dekat kenapa malah gak dengar?" Protes Dista dengan wajah yang benar-benar terlihat kesal.Ingin saja kujawab ucapannya, tapi kalau aku bilang, aku tak dengar karena sibuk bermain ponsel, sudah pasti Dista akan mengamuk lebih parah."Lihat ini! Baru beberapa hari yang lalu, Rafis jatuh karena kamu gak jaga dengan benar. Sekarang malah benjol kepalanya karena jatuh lagi,
"Mas, apa kita tak bisa dekat seperti dulu lagi?" Aku refleks mengerem motor mendadak mendengar perkataan Rasti barusan."Maksudmu apa berkata begitu, Ras?" Aku bertanya dengan nada tinggi sembari menoleh ke arah Rasti.Rasti sedikit gugup menerima tatapan tajam dariku."Tolong jangan melewati batas! Aku mengantarkanmu pulang semata-mata karena Ibu. Jadi, tolong jangan berucap omong kosong seperti itu!" Tukasku lalu kembali melajukan motor.Dapat kulihat dari spion motor, Rasti hanya menunduk sedih mendengar ucapanku. Namun, sama sekali tak ada rasa iba di hati ini untuknya.Sebenarnya Rasti cantik, lebih cantik dari Dista saat ini. Namun bila mengingat luka yang pernah ia torehkan, sedikit pun aku tak terpesona dengan kecantikannya.Kami melanjutkan perjalanan hanya dengan saling diam. Syukurlah Rasti tak mengoceh yang tidak-tidak lagi. Mungkin ia takut setelah tadi kubentak.Tak berapa lama, motor yang kulajukan pun sampai di depan rumah Rasti
Part 10Sudah berhari-hari Dista tak pulang ke rumah. Akhirnya aku tahu bahwa ia berada di rumah orang tuanya, sewaktu mencoba menghubungi adiknya. Awal mengetahui itu jelas aku geram, karena ia pergi tanpa izinku. Aku sama sekali tak ada niat untuk menjemputnya. Toh, dia pergi sendiri? Untuk apa aku yang menjemput.Tapi setelah lama sendiri begini, aku malah merasakan kesepian tanpa kehadiran dirinya."Woi! Seharian bengong mulu Lu!" Aku terjengit kaget saat Hardi menepuk punggungku."Si*alan Lu, Di. Bikin Gue terkejut aja," sungutku lalu kembali fokus melanjutkan makan siang yang sedari tadi kunikmati tanpa minat."Elaaah ... Pak Manager gitu doang terkejut." Hardi terkekeh lalu ikut duduk di hadapanku."Kenapa muka Lu kusut begitu? Ada masalah? Atau jabatan baru tak menyenangkan?" Selidik Hardi seraya menelisik raut wajahku."Lagi kesel aku, Di.""Sama siapa?" Tanya Hardi sembari menyuap makanannya.
Aku sampai di pekarangan rumah orang tua Dista saat hari sudah benar-benar beranjak sore. Rumah orang tua Dista terletak di kota sebelah, hanya butuh perjalanan sekitar empat puluh lima menit saja jika mengendarai motor.Terlihat rumah dalam keadaan tertutup rapat, tak terdengar pergerakan pula dari dalam. Jangan-jangan mereka sedang tak ada di rumah.Aku turun dari motor dan menuju teras rumah besar itu. Ya, sebenarnya orang tua Dista adalah orang yang berada, itu sebabnya dulu Ibu sangat menyetujui pernikahan kami. Tapi itu dulu, sekarang malah Ibu melihat Dista bak menantu yang tak berguna.Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum ...." Dengan harap-harap cemas aku mengetuk pintu tersebut.Tak berapa lama terdengar suara sahutan dan langkah kaki dari dalam rumah. Pintu pun terbuka. Dan Dista lah orang yang membukakan pintu itu. Terlihat raut wajah Dista sedingin es saat menatapku. Membuat aku jadi kikuk dan salah tingkah, apalagi ia sama sekali tak ada mengucapkan apapun."Ita ... Boleh a
Sejak kehadiran Bella di dunia mayaku, aku tak lagi kesepian walaupun Dista tak ada di sampingku. Walau harus keluar uang hanya untuk video call dengannya, aku tak masalah. Yang terpenting, aku benar-benar bahagia.Masalah pekerjaan rumah dan cucian sekarang juga aku tak perlu risau. Karena Ibu sudah mencarikan orang yang mau dibayar murah untuk mengerjakan pekerjaan rumahku. Bukan aku pelit. Tapi jika bisa dapat yang lebih murah, kenapa tidak? Lagi pula sejak aku menjabat sebagai Manager, mau tak mau pelan-pelan aku harus merubah penampilanku.Masa iya seorang manager terus-terusan pakai motor. Apa kata dunia? Sebab itu sejak mendapat gaji pertama selama jadi manager, aku mulai DP mobil. Walau bukan mobil yang mewah-mewah, setidaknya sudah bisa mengendarai mobil.Tentang Dista, aku tak mau lagi ambil pusing dan membujuknya. Paling setelah melihat aku mapan ia akan mengemis-ngemis maaf dariku. Lagi pula sekarang aku tak butuh dia lagi, karena ada
Mendapat sambutan tak menyenangkan dari Ibu, Dista langsung menatapku tak suka.Segera kutarik tangan Ibu menjauh dari Dista. Sedangkan Dista dengan tak peduli melenggang masuk ke rumah."Apa-apaan sih kamu, Damar! Tarik-tarik Ibu," gerutu Ibu menyentak tanganku kasar."Bu, aku minta tolong sekali. Tolong jangan kasar-kasar lagi sama Dista. Aku cuma gak mau Ibu jadi bahan gunjingan tetangga lagi." Aku berkata pada Ibu dengan penuh permohonan."Astaga, Damar ... Jadi, karena itu kamu jemput dia?""Iya, Bu. Aku cuma gak mau Ibu sedih karena jadi bahan gosip," jawabku tanpa daya."Damar, Damar ... Kenapa sih, kamu gak pilih keputusan Ibu? Asal kamu tahu, Ibu lebih bahagia jika kamu sama Rasti."Aku benar-benar nelangsa mendengar pernyataan Ibu. Ya, Ibu bahagia jika Rasti yang jadi menantunya, tapi bagaimana dengan aku? Apa aku harus mengorbankan perasaanku sendiri demi Ibu."Ah, sudahlah! Kamu memang gak ngerti Ibu
Mulutku ternganga menatap wanita cantik yang berdiri di hadapanku. Sangking terkejutnya, ponsel yang sedang kupegang jatuh begitu saja di atas sofa.Di hadapanku berdiri sosok wanita yang begitu cantik dan anggun. Tadinya kukira Bella di dunia nyata sama dengan Bella di dunia maya, yang selalu berpakaian sek*si dan seronok serta selalu memberi gaya yang menggoda. Tapi begitu bertemu langsung, imagenya benar-benar berbeda. Bahkan ia seperti bukan wanita penghibur dengan setelan celana jins panjang, juga baju putih panjang yang begitu lekat membalut tubuhnya, memperlihatkan betapa aduhai lekuk tubuh Bella."Mas ...." Bella melambaikan tangannya di depan wajahku, karena aku hanya mampu ternganga di depan sosoknya. Syukur air liurku tak ikut menetes."Eh, maaf, Bell." Aku buru-buru menguasai keadaan dan beralih tersenyum menatapnya."Sampai ternganga gitu sih, Mas, liatnya," ujar Bella dengan senyum menggoda."Habisnya kamu cantik b