Share

6. Ulang Tahun Ibu

"Asal kamu tahu ya, Ita ... Aku benar-benar bosan dengan dirimu yang sekarang. Tampilanmu yang sekarang selalu bikin mataku sakit!"

Ucapan Mas Damar bak sembilu yang menusuk ke ulu hati. Aku menatap mata Mas Damar lekat, tak menyangka jika sikapnya selama ini berubah hanya karena tampilanku.

"Maksud kamu apa, Mas? Tampilanku yang mana yang membuat matamu sakit?" Tanyaku lemah karena syok.

"Kamu selama ini gak ngaca ya, Ta? Lihatlah dirimu! Hari ke hari tampilanmu itu makin kucel dan tak menarik tahu!" Balas Mas Damar benar-benar membuat hatiku semakin sakit.

"Mas ... Tega kamu berkata begitu ya? Padahal kamu tahu, gimana sibuknya aku mengurus rumah dan anak kita. Bahkan untuk sekedar mandi saja aku harus menunggu kamu pulang, Mas. Aku begini juga demi kalian, Mas!"

Mataku mulai terasa berembun saat mengucap kata-kata itu. Padahal aku selalu berusaha ikhlas untuk melakukan semua kewajibanku, tapi kali ini terpaksa kuungkit agar mata Mas Damar terbuka walau sedikit.

"Selalu itu saja alasan kamu. Lihat di luar sana, banyak juga Ibu rumah tangga seperti kamu, bahkan anaknya lebih dari satu tapi tetap cantik terawat. Kamu saja yang terlalu banyak alasan!"

"Mas, kamu gak bisa menyamaratakan keadaan semua orang! Setiap orang punya kondisi yang berbeda-beda. Ada anaknya yang anteng, ada yang rewel, ada yang super rewel. Ada juga yang kondisi fisiknya mudah lelah, ada juga yang kuat. Jadi kamu gak bisa membanding-bandingkan antara Ibu rumah tangga satu dan yang lainnya."

Aku benar-benar tak tahan lagi untuk tak meluahkan isi hati. Aku sangat tahu, saat ini Mas Damar sedang membandingkan aku dengan Mbak Diana, Kakak iparnya. Wajar Mbak Diana bisa merawat tubuh, dia memang beranak dua, tapi anaknya sudah besar-besar. Yang bungsu sudah empat tahun.

"Ah, sudahlah! Malah ceramah demi ngeles. Udah buruan, aku mau sarapan! Setelah ini kita siap-siap ke rumah Ibu," ucap Mas Damar mengalihkan pembicaraan. Ia benar-benar tak berpikir bahwa sudah melukai hatiku.

Dengan perasaan dongkol, kesiapkan sarapan di atas meja.

"Mau ngapain ke rumah Ibu?" Tanyaku terdengar enggan.

"Jangan bilang kamu lupa kalau hari ini Ibu ulang tahun?" Mas Damar menatapku tajam. Tapi aku hanya melengos.

"Ooh ...."

"Dandan yang cantik kamu nanti. Jangan malu-maluin aku dengan tampilanmu yang bikin sakit mata."

Hatiku bertambah perih mendengar ucapannya. Kusendok nasi goreng untukku sendiri, dan membawanya pergi dari hadapan Mas Damar. Mas Damar hanya terpelongo menatap kepergianku, karena biasanya aku yang selalu menyendokan nasi untuknya. Tapi jangan harap kali ini aku akan melakukannya.

***

"Ganti model pashmina kamu itu! Gak keren! Muka kamu jadi kelihatan makin tua." Terdengar komentar Mas Damar saat aku baru saja memakai hijab.

Aku hanya bisa mengeratkan rahang menahan geram. Sekarang ia mulai terang-terangan mengatur penampilanku.

"Asal kamu tahu ya, Mas. Mau aku pakai apa pun, tetap saja mukaku kelihatan tua dan kusam! Lihat ini! Lihat! Bahkan skincare untuk wajah pun aku tak bisa membelinya lagi!" Sentakku sembari menggebrak meja rias di hadapanku. Berharap mata Mas Damar terbuka, bahwa cantik itu butuh modal.

"Tinggal beli aja, apa susahnya? Kan aku sudah kasih uang," jawabnya dengan santai.

Aku memutar bola mata, bosan. Lagi-lagi mengungkit uang dua jutanya. Lebih baik aku pergi saja langsung, dari pada debat tak ada habis-habisnya.

"Hei, Ita! Kamu mau kemana? Ganti pashmina kamu dulu!" Teriak Mas Damar melihatku keluar begitu saja dengan membawa Rafis.

'Masa bodoh lah, Mas,' batinku sambil terus berjalan keluar rumah tanpa menunggu Mas Damar. Jalan kaki lebih baik, dari pada makin kesal dengan semua perkataan Mas Damar.

Beberapa menit berjalan, terdengar suara motor Mas Damar menyusul di belakangku.

"Ayo, naik!" Ajaknya sembari memelankan laju kendaraan di sampingku.

Aku hanya diam saja mengacuhkannya.

"Ayolah, Ita! Jangan bikin malu. Kita dilihatin orang lho," ujar Mas Damar masih terus membujukku.

Mungkin tingkahku terlihat kekanakan, tapi berkendara berdua dengannya membuat hatiku muak.

"Ayolah, Ita! Kasihan Rafis."

Aku refleks menghentikan langkah saat dia menyebut Rafis. Sangking emosinya aku sampai lupa bahwa saat ini sedang menggendong Rafis. Kulihat wajah Rafis terlihat sedikit memerah terkena cahaya matahari yang mulai terik.

Aku langsung merasa bersalah. Kulirik Mas Damar yang masih setia menungguku. Kali ini sepertinya aku tak bisa mengedepankan egoku demi Rafis. Aku pun naik ke boncengan motor Mas Damar.

Sampai di rumah Ibu, terlihat sudah ramai. Karena Mas Danis dan keluarganya sudah datang.

"Assalamualaikum ...." Aku mengucap salam seraya masuk ke dalam.

Tapi yang terlihat di ruang tamu hanya  Mas Danis dan anak-anak Mbak Diana. Ya, sebenarnya Mbak Diana menikah dengan Mas Danis waktu itu statusnya adalah janda beranak dua. Sedangkan sejak menikah dengan Mas Danis, Mbak Diana sampai saat ini belum hamil.

"Ibu mana, Mas?" Tanya Mas Damar pada kakaknya yang sedari tadi terus sibuk bermain ponsel. Bahkan kehadiran kami pun diacuhkan.

"Di dapur tuh."

Mendengar jawaban Mas Danis, aku memilih masuk ke dapur untuk menemui Ibu.

Ternyata di dapur Ibu tengah sibuk memasak berbagai macam makanan dibantu dengan Mbak Diana juga seorang ibu-ibu yang biasa membantu saat ada acara masak-memasak.

Aku sedikit merasa bersalah saat melihat mereka tengah sibuk. Sedangkan aku baru datang. Kupikir Ibu tak membuat acara apa-apa. Karena biasanya memang tak pernah ada acara masak-memasak begini.

"Baru datang kamu?" Ibu menatap tajam saat menyadari kehadiranku.

"Eh, iya, Bu ...."

"Sudah tahu mertuanya mau mengadakan acara malah datang siang-siang. Benar-benar mantu yang gak bisa diandalkan!" Rutuk Ibu. Walau tak keras tapi tetap terdengar jelas di telingaku.

"Tapi aku gak tahu kalau Ibu mau buat acara, Bu." Aku berusaha membela diri. Karena memang aku tak ada dikabari apa-apa.

"Halah, alasan! Ibu kemarin sudah titip pesan ke Damar. Gak mungkin dia gak nyampaikan ke kamu."

Aku kaget sekaligus kesal mendengar perkataan Ibu. Jadi Ibu sudah menyampaikan pada Mas Damar? Tapi kenapa ia tak bilang padaku?

"Mana hadiah untuk Ibu?" Tanya Ibu membuat aku semakin kikuk.

"Bukannya Mas Damar sudah kasih hadiah ke Ibu ya?"

"Ya itu dari Damar. Dari kamu mana? Gak ada juga? Sudah datang siang dan gak bantu-bantu, eh, malah gak bawa apa-apa," sindir Ibu sembari menata kue-kue dalam piring.

Kesal rasanya, sudah meluangkan waktu untuk datang kemari demi menghargai mertua, tapi malah sindiran yang didapat. Makin bertambah kesal saat melihat Mbak Diana tersenyum miring mendengar sindiran Ibu untukku. Walau sekilas tapi masih bisa tertangkap oleh mataku.

"Emangnya Mbak Diana ngasih Ibu secara pribadi juga, Bu?" Aku bertanya dengan berani. Sebenarnya karena kesal melihat senyum Mbak Diana.

"Ya walau Diana gak ngasih kado, setidaknya dia sudah korban tenaga sejak pagi di sini."

Kesalku bertambah berlipat-lipat saat tahu ternyata Mbak Diana juga tak memberi apa-apa. Ibu memang benar-benar pilih kasih. Kenapa hanya aku saja yang dituntut memberi hadiah? Sedangkan Mbak Diana tidak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status