"Maaf, Bu ... Aku benar-benar gak tahu kalau Ibu buat acara. Kalau tahu juga aku bakal datang ke sini sejak subuh." Aku terus membela diri. Terlihat Ibu hanya berdecih.
"Ada apa ini?" Tanya Mas Damar yang tiba-tiba sudah berada di belakangku."Mas, kamu kok gak bilang ke aku kalau Ibu hari ini mau bikin acara?"Mas Damar langsung berdecak kesal."Gimana aku mau bilang ke kamu? Pas aku pulang kamu udah tidur," sindir Mas Damar membuatku makin kesal.Hanya perkara tak disambut pulang kerja, Mas Damar jadi terus mengungkit-ungkit."Apa, Mar? Ita tidur saat kamu pulang? Jadi kamu tak disambut dia dong?""Boro-boro, Bu."Mendengar sahutan Mas Damar, hatiku langsung panas."Untuk apa aku menyambut kamu, Mas? Untuk menyenangkan hati kamu gitu? Sedangkan kamu saja bersenang-senang di luar tanpa aku!" Balasku tak mau kalah.Mas Damar langsung membelalakkan mata seperti terkejut mendengar perkataanku."Maksud kamu apa, Ta?" Tanyanya. Terlihat dari ekor mataku, Ibu juga Mbak Diana sedang menyimak perseteruan kami."Kamu kira aku gak tahu kamu kemarin kemana hingga pulang sampai larut, Mas?" Cecarku lagi.Mas Damar langsung membulatkan mata tak percaya. Ia tak menyangka aku tahu perihal ia yang kemarin pergi makan-makan di luar dengan Ibunya dan wanita lain."Sok tahu kamu! Memangnya aku kemana semalam?" Raut wajah Mas Damar kembali berubah, terlihat pura-pura kembali santai.Aku yang sudah kesal, langsung mengeluarkan ponsel lalu membuka galeri. Kutunjukkan tepat di hadapan wajah Mas Damar foto mereka bertiga."Ka--kamu dapat dari mana ini, Ta?" Mas Damar terbata bertanya. Jelas ia terlihat gugup.Namun, belum sempat aku menjawab pertanyaan Mas Damar. Ibu sudah terlebih dulu menyahut dengan pedasnya."Ya! Damar kemarin pergi sama Ibu. Kenapa? Kamu iri? Sama mertua sendiri pun kami iri? Menantu macam apa kamu?!"Aku langsung membalikkan badan menghadap Ibu, begitu mendengar ucapan pedas dari mulutnya."Bukan masalah iri, Bu. Ini masalah Mas Damar gak menghargai aku. Aku sudah capek-capek masak makanan kesukaannya, ia malah tak mengabariku dan asyik makan di luar. Kalau pun aku harus cemburu atau iri, itu bukan pada Ibu. Tapi pada wanita ini!" Tegasku sambil menunjuk foto wanita yang terlihat sedang bercanda dengan Ibu.Ibu terperangah menatap aku yang berani membantahnya. Namun, detik selanjutnya ia berdecak kesal."Kamu datang-datang ke sini kenapa malah membahas masalah rumah tanggamu, sih? Merusak hari bahagia Ibu saja!" Ketus Ibu."Sudah, simpan dulu omelanmu itu! Bantu cuci piring itu! Jadilah menantu yang sedikit saja berguna!" Lanjut Ibu lagi, lalu beralih kembali pada pekerjaannya yang hampir rampung.Aku hanya bisa mengelus dada menahan kesal. Kalau tak ingat ia adalah orang yang sudah melahirkan suamiku, aku sudah mengajaknya adu jotos sejak tadi.Aku beralih memberikan Rafis pada Mas Damar, agar aku lebih leluasa membantu Ibu. Aku masih memasang wajah dingin di hadapan Mas Damar. Biar ia tahu, aku juga bisa marah.Aku mulai membersihkan piring-piring kotor dan peralatan bekas memasak yang sudah menumpuk di atas wastafel. Baru selesai mencuci dua piring, tiba-tiba terdengar suara salam dari luar.Ibu yang sepertinya sudah tanda dengan suara itu, langsung bangkit dari duduknya dan menyambut tamu tersebut dengan sumringah."Aduuuh, si Cantik sudah datang. Masuk, Ras!" Terdengar suara Ibu yang sedang menyambut tamu itu sampai dapur.Aku yang penasaran ingin sekali melongok ke depan. Namun, segera aku urungkan, takut Ibu malah mengata-ngataiku di depan orang lagi. Bisa jatuh harga diriku.Selang beberapa menit berikutnya, serombongan ibu-ibu yang kutebak sebagai anggota arisan Ibu juga muncul.Ibu begitu antusias menyambut teman-temannya."Ayo, masuk, Jeng! Langsung dicicipi hidangannya. Enak-enak lho ini. Menantu saya yang bantuin masak." Terdengar lagi Ibu menawarkan makanan sembari memuji-muji Mbak Diana.Kesal? Sudah pasti. Tapi memang salahku yang datang terlalu siang. Dan Mas Damar juga turut andil dalam kesalahanku kali ini.Cepat-cepat kurampungkan tugasku mencuci piring, karena ingin ikut bergabung di depan bersama yang lainnya juga.Setelah cucian piring semua beres, aku langsung menuju ke ruang tamu. Namun, langkahku tertahan saat melihat sosok wanita yang ada di foto tadi malam, kini sudah bergabung di sana.'Jadi, wanita ini yang tadi dipuji oleh Ibu?' batinku lesu melihat keakraban mereka.Kulanjutkan langkah kembali, ingin menuju ke ruang tamu. Tapi, saat Ibu menatap ke arahku, ia langsung bangkit dan pamit pada teman-temannya lalu menghampiriku.Dengan sedikit kasar, ia menarik tanganku kembali ke dapur."Mau kemana kamu?" Tanya Ibu begitu kami sudah di dapur."Ya aku ingin ke depan, Bu. Ingin ikut mendampingi Ibu dalam acara ini.""Tak perlu! Kamu cukup di sini saja, bantu-bantu Bi Lasmi. Awas saja kalau kamu berani-berani keluar dari dapur!" Ancam Ibu dengan begitu judes.Aku hanya bisa menghela napas pasrah menatap punggung Ibu yang keluar dari dapur. Kalau tak ingat ini adalah hari bahagianya, tentu aku sudah berkelakuan sesuka hatiku.Aku memilih menuruti perintah Ibu untuk tetap berada di dapur membantu Bi Lasmi. Cucian piring pun mulai berdatangan setelah mereka selesai makan-makan.Dengan cekatan aku kembali mencuci piring-piring tersebut. Terlihat Bi Lasmi menatapku iba. Mungkin ia kasihan melihat menantu yang tak diinginkan sepertiku ini."Sudah, Nduk. Biar Bibi saja," pinta Bi Lasmi sembari menyentuh bahuku lembut.Aku langsung tersenyum menatap wanita itu."Tak apa, Bi. Saya saja. Lagian Bibi sudah capek kan dari pagi sudah bantu-bantu Ibu," ujarku.Bi Lasmi hanya terdiam menatapku."Bi, boleh aku tanya?" Melihat Bu Lasmi yang terdiam, aku berusaha mengalihkan pembicaraan."Tanya apa, Nduk?" Tanya Bi Lasmi balik."Bibi kan sudah lama kenal keluarga Mas Damar. Apa Bibi kenal dengan wanita muda yang tadi datang pertama kali?"Bi Lasmi sedikit mengerutkan keningnya."Non Rasti maksud kamu, Nduk?""Oh, jadi namanya Rasti ...," gumamku setelah mendengar jawaban Bi Lasmi."Memangnya kamu gak kenal dia, Nduk?"Aku menggeleng sambil menatap Bi Lasmi penuh tanya."Memang dia siapanya Ibu, Bi?"Terlihat raut wajah Bi Lasmi sedikit ragu-ragu saat ingin menjawab pertanyaanku."Bi ...." Aku sedikit menyentuh lengan wanita yang berada di hadapanku itu."Non Rasti itu mantan tunangannya Damar, Nduk."Aku langsung membelalakkan mata mendengar jawaban Bi Lasmi. Jadi ia mantan Mas Damar? Kenapa Ibu malah terlihat sangat akrab dengannya?Aku langsung mencium bau-bau tak beres dari kedekatan Ibu dan Rasti selama ini. Apa jangan-jangan Ibu masih mengharapkan Rasti jadi menantunya?"Tapi kamu tak perlu risau, Nduk. Setahu Bibi, Rasti itu sudah menikah dengan seorang lelaki kaya raya. Itu juga sebabnya ia meninggalkan Damar."Ada kelegaan sedikit di hati saat mendengar penuturan Bi Lasmi barusan.Masih asyik membahas Rasti, tiba-tiba terdengar tangis Rafis dari depan rumah.Awalnya berusaha kuabaikan, karena di sana ada Ayahnya dan Neneknya juga keluarga yang lain. Lagi pula aku tak diperkenankan Ibu untuk keluar dari dapur.Namun, makin lama tangis Rafis makin menjadi seperti tak ada yang menolong. Aku yang sudah tak tahan lagi langsung menuju ke depan untuk melihat yang terjadi."Maaas! Rafis kenapa?""Maass!"Aku terkejut mendengar panggilan keras Dista. Bahkan ponsel yang sedang kugunakan untuk bermain game online pun hampir terjatuh sangking terkejutnya."Kenapa teriak-teriak, sih?" Ketusku menatap Dista tak suka. Apalagi setelah melihat kembali ke ponsel, ternyata game yang kumainkan jadi kalah, akibat fokusku beralih ke Dista."Kamu gimana sih, Rafis nangis dibiarkan saja," sentak Dista dengan nada tinggi. Membuat perhatian para tamu Ibu beralih pada kami."Aku gak dengar.""Astaga, Mas. Aku yang lagi di dapur aja dengar jelas. Kamu yang posisinya dekat kenapa malah gak dengar?" Protes Dista dengan wajah yang benar-benar terlihat kesal.Ingin saja kujawab ucapannya, tapi kalau aku bilang, aku tak dengar karena sibuk bermain ponsel, sudah pasti Dista akan mengamuk lebih parah."Lihat ini! Baru beberapa hari yang lalu, Rafis jatuh karena kamu gak jaga dengan benar. Sekarang malah benjol kepalanya karena jatuh lagi,
"Mas, apa kita tak bisa dekat seperti dulu lagi?" Aku refleks mengerem motor mendadak mendengar perkataan Rasti barusan."Maksudmu apa berkata begitu, Ras?" Aku bertanya dengan nada tinggi sembari menoleh ke arah Rasti.Rasti sedikit gugup menerima tatapan tajam dariku."Tolong jangan melewati batas! Aku mengantarkanmu pulang semata-mata karena Ibu. Jadi, tolong jangan berucap omong kosong seperti itu!" Tukasku lalu kembali melajukan motor.Dapat kulihat dari spion motor, Rasti hanya menunduk sedih mendengar ucapanku. Namun, sama sekali tak ada rasa iba di hati ini untuknya.Sebenarnya Rasti cantik, lebih cantik dari Dista saat ini. Namun bila mengingat luka yang pernah ia torehkan, sedikit pun aku tak terpesona dengan kecantikannya.Kami melanjutkan perjalanan hanya dengan saling diam. Syukurlah Rasti tak mengoceh yang tidak-tidak lagi. Mungkin ia takut setelah tadi kubentak.Tak berapa lama, motor yang kulajukan pun sampai di depan rumah Rasti
Part 10Sudah berhari-hari Dista tak pulang ke rumah. Akhirnya aku tahu bahwa ia berada di rumah orang tuanya, sewaktu mencoba menghubungi adiknya. Awal mengetahui itu jelas aku geram, karena ia pergi tanpa izinku. Aku sama sekali tak ada niat untuk menjemputnya. Toh, dia pergi sendiri? Untuk apa aku yang menjemput.Tapi setelah lama sendiri begini, aku malah merasakan kesepian tanpa kehadiran dirinya."Woi! Seharian bengong mulu Lu!" Aku terjengit kaget saat Hardi menepuk punggungku."Si*alan Lu, Di. Bikin Gue terkejut aja," sungutku lalu kembali fokus melanjutkan makan siang yang sedari tadi kunikmati tanpa minat."Elaaah ... Pak Manager gitu doang terkejut." Hardi terkekeh lalu ikut duduk di hadapanku."Kenapa muka Lu kusut begitu? Ada masalah? Atau jabatan baru tak menyenangkan?" Selidik Hardi seraya menelisik raut wajahku."Lagi kesel aku, Di.""Sama siapa?" Tanya Hardi sembari menyuap makanannya.
Aku sampai di pekarangan rumah orang tua Dista saat hari sudah benar-benar beranjak sore. Rumah orang tua Dista terletak di kota sebelah, hanya butuh perjalanan sekitar empat puluh lima menit saja jika mengendarai motor.Terlihat rumah dalam keadaan tertutup rapat, tak terdengar pergerakan pula dari dalam. Jangan-jangan mereka sedang tak ada di rumah.Aku turun dari motor dan menuju teras rumah besar itu. Ya, sebenarnya orang tua Dista adalah orang yang berada, itu sebabnya dulu Ibu sangat menyetujui pernikahan kami. Tapi itu dulu, sekarang malah Ibu melihat Dista bak menantu yang tak berguna.Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum ...." Dengan harap-harap cemas aku mengetuk pintu tersebut.Tak berapa lama terdengar suara sahutan dan langkah kaki dari dalam rumah. Pintu pun terbuka. Dan Dista lah orang yang membukakan pintu itu. Terlihat raut wajah Dista sedingin es saat menatapku. Membuat aku jadi kikuk dan salah tingkah, apalagi ia sama sekali tak ada mengucapkan apapun."Ita ... Boleh a
Sejak kehadiran Bella di dunia mayaku, aku tak lagi kesepian walaupun Dista tak ada di sampingku. Walau harus keluar uang hanya untuk video call dengannya, aku tak masalah. Yang terpenting, aku benar-benar bahagia.Masalah pekerjaan rumah dan cucian sekarang juga aku tak perlu risau. Karena Ibu sudah mencarikan orang yang mau dibayar murah untuk mengerjakan pekerjaan rumahku. Bukan aku pelit. Tapi jika bisa dapat yang lebih murah, kenapa tidak? Lagi pula sejak aku menjabat sebagai Manager, mau tak mau pelan-pelan aku harus merubah penampilanku.Masa iya seorang manager terus-terusan pakai motor. Apa kata dunia? Sebab itu sejak mendapat gaji pertama selama jadi manager, aku mulai DP mobil. Walau bukan mobil yang mewah-mewah, setidaknya sudah bisa mengendarai mobil.Tentang Dista, aku tak mau lagi ambil pusing dan membujuknya. Paling setelah melihat aku mapan ia akan mengemis-ngemis maaf dariku. Lagi pula sekarang aku tak butuh dia lagi, karena ada
Mendapat sambutan tak menyenangkan dari Ibu, Dista langsung menatapku tak suka.Segera kutarik tangan Ibu menjauh dari Dista. Sedangkan Dista dengan tak peduli melenggang masuk ke rumah."Apa-apaan sih kamu, Damar! Tarik-tarik Ibu," gerutu Ibu menyentak tanganku kasar."Bu, aku minta tolong sekali. Tolong jangan kasar-kasar lagi sama Dista. Aku cuma gak mau Ibu jadi bahan gunjingan tetangga lagi." Aku berkata pada Ibu dengan penuh permohonan."Astaga, Damar ... Jadi, karena itu kamu jemput dia?""Iya, Bu. Aku cuma gak mau Ibu sedih karena jadi bahan gosip," jawabku tanpa daya."Damar, Damar ... Kenapa sih, kamu gak pilih keputusan Ibu? Asal kamu tahu, Ibu lebih bahagia jika kamu sama Rasti."Aku benar-benar nelangsa mendengar pernyataan Ibu. Ya, Ibu bahagia jika Rasti yang jadi menantunya, tapi bagaimana dengan aku? Apa aku harus mengorbankan perasaanku sendiri demi Ibu."Ah, sudahlah! Kamu memang gak ngerti Ibu
Mulutku ternganga menatap wanita cantik yang berdiri di hadapanku. Sangking terkejutnya, ponsel yang sedang kupegang jatuh begitu saja di atas sofa.Di hadapanku berdiri sosok wanita yang begitu cantik dan anggun. Tadinya kukira Bella di dunia nyata sama dengan Bella di dunia maya, yang selalu berpakaian sek*si dan seronok serta selalu memberi gaya yang menggoda. Tapi begitu bertemu langsung, imagenya benar-benar berbeda. Bahkan ia seperti bukan wanita penghibur dengan setelan celana jins panjang, juga baju putih panjang yang begitu lekat membalut tubuhnya, memperlihatkan betapa aduhai lekuk tubuh Bella."Mas ...." Bella melambaikan tangannya di depan wajahku, karena aku hanya mampu ternganga di depan sosoknya. Syukur air liurku tak ikut menetes."Eh, maaf, Bell." Aku buru-buru menguasai keadaan dan beralih tersenyum menatapnya."Sampai ternganga gitu sih, Mas, liatnya," ujar Bella dengan senyum menggoda."Habisnya kamu cantik b
Aku masuk ke rumah pasca kepergian Ibu. Kutarik koper yang tergeletak begitu saja di depan pintu, terlihat pintu kamar pun masih tertutup rapat.Aku mendengus kesal karena merasa diabaikan oleh Dista. Ah, andai Bella yang jadi istriku, pasti saat ini ia sudah menyambutku dengan tingkah manisnya."Itaa! Buka pintunya! Aku mau masuk," teriakku seraya mengetuk pintu kamar kami.Tak berapa lama pintu pun terbuka. Terlihat mata Dista sembab seperti habis menangis. Dasar cengeng! Baru ribut dengan Ibu begitu saja sudah nangis."Kamu udah masak? Aku lapar!" Tanyaku dengan ketus karena Dista sama sekali tak ada inisiatif menawarkan makan padaku, membuat aku makin kesal saja."Sudah."Astaga ... Datar sekali ia menjawab pertanyaanku. Tak ada niatannya sama sekali menyiapkan makanku. Benar-benar Dista ini makin hari makin banyak minusnya.Kuletakkan koper di sudut kamar dengan kasar. Lalu bergegas berganti baju.