Share

Hanya Tujuh Hari, Mas!

POV Aryo

Sekujur tubuhku rasanya remuk, kepalaku masih pusing. Untuk bergerak saja sakitnya sampai menusuk tulang, ini benar-benar sakit. Baru kali ini aku merasakan dihajar habis-habisan seperti ini.

“Mas ....”

Sepertinya ini mimpi. Suara Amina mengalun lembut di telingaku, yang kuingat hanya tadi ayah mertua dan juga kakak iparku menghajarku habis-habisan dan ... mendengar Refal memanggil.

Mataku sontak terbuka. Menangkap wajah Amina yang duduk di dekatku yang masih berbaring.

“Pelan-pelan, Mas.” Amina membantuku untuk duduk.

“Ba–gaimana?” Leherku seperti tercekat, keberanianku hilang untuk menanyakan soal keluarga Amina yang tadi datang.

Aku yakin semua itu bukan mimpi karena tubuh dan wajahku saja rasanya sangat sakit.

“Makan dulu, setelah itu minum obat untuk meredakan rasa sakitnya.”

Hatiku berdesir dengan perlakuannya, kenapa dia masih sebaik ini setelah apa yang sudah kulakukan. Rasa bersalah malah semakin menggerogoti hatiku.

“Ayo, kenapa melamun?”

Suara Amina mengejutkanku. “Eh, i–ya. Sshh.” Tanganku rasanya sangat sakit saat diangkat, mungkin efek Bang Adit yang memelintir tanganku tadi.

“Biar aku saja yang suapi.”

Saat akan membuka mulut untuk menerima suapan dari Amina, rasa perih langsung terasa. Kedua sudut bibirku sepertinya terluka.

“Pelan-pelan, Mas. Ini sendok kecil yang kupakai jadi makannya bisa sedikit-sedikit. Yang penting ada makanan masuk, kamu harus minum obat.”

Tanpa bisa kutahan, air mata langsung menyeruak. Perlakuan Amina membuatku semakin merasa jika aku ini lelaki yang sangat kejam, aku menduakan Amina tapi aku juga tidak ingin kehilangannya. Harapanku hilang untuk mempertahankan rumah tangga ini karena keluarga Amina sudah pasti tidak akan membiarkan Amina tetap bersamaku.

“Maaf.” Aku bergumam lirih dan menunduk tidak berani menatap sorot matanya yang begitu polos itu.

“Kenapa, Mas? Mana yang sakit?”

“Cukup, Amina. Jangan membuatku semakin merasa berdosa, kamu membalas kejahatanku dengan kebaikan seperti ini membuatku merasa seperti menjadi manusia paling kejam di dunia.”

“Kita lanjut bicara setelah kamu minum obat, bisa?”

Aku mengangguk. Perlakuan Amina kali ini berbeda dari sebelumnya, dia bersikap seperti Aminaku yang dulu, begitu lembut dan penuh kasih sayang tutur katanya pun begitu indah menyapa telinga.

Untuk kali ini bahkan aku tidak memikirkan dimana keberadaan Sarah, aku yakin keluarga Amina tidak akan menyakiti Sarah, mereka bukan orang seperti itu apalagi pada wanita, kecuali pada lelaki sepertiku. Aku sampai seperti ini karena emosi mereka yang meledak-ledak.

Dengan telaten Amina menyuapi bahkan sesekali menyeka bubur yang tidak bisa masuk sepenuhnya ke dalam mulutku karena rasa perih ini. Sudah lama aku tidak melihat Amina sedekat ini, memperhatikannya dengan lekat. Istriku ini memang cantik sebenarnya hanya saja kurang merawat dirinya.

Tante Atika memang benar, aku membiarkan Amina mengurus semuanya seorang diri dan membuat Amina sampai tidak memperhatikan penampilannya sendiri.

“Tunggu.” Aku menahan Amina yang akan pergi.

Senyum tersungging di bibirnya. “Aku hanya ingin menyimpan ini di dapur, aku akan kembali.”

Amina pergi membawa nampan berisi mangkuk dan juga gelas yang sudah kosong. Tidak lama dia kembali.

“Jadi, mau bicara sekarang?” Dia memulai pembicaraan.

“A–yah, tadi ayah ke sini ‘kan?” Hanya ingin memastikan jika semua ini hanya halusinasi saja, berharap jika luka yang kudapatkan ini bukan karena pukulan dari ayah mertua dan kakak iparku.

“Iya. Tapi ayah sudah pulang lagi bersama dengan anak-anak dan juga Asti.”

Jantungku seperti berhenti berdetak mendengar itu. Perkataan Amina seolah tanda jika dia akan pergi.

Amina terkekeh. “Kenapa serius sekali wajah kamu, Mas? Apa yang kamu pikirkan?”

Sentuhan ibu jari Amina di dahiku membuat darah ini berdesir.

“Lalu kamu ....”

“Hanya tujuh hari, Mas. Anak-anak sudah lama tidak bertemu dengan kakek dan neneknya. Maaf karena aku tidak izin dulu padamu.”

“A–pa ayah marah?”

Sebelah alis Amina terangkat. “Marah karena apa?”

“Karena apa yang sudah aku lakukan padamu?”

“Memang apa yang sudah kamu lakukan sampai harus membuat ayah marah?”

Amina membuatku heran, kenapa dia melayangkan pertanyaan yang dia sendiri sebenarnya tahu. Apa maksud semua ini, sekarang aku sama sekali tidak berani mengatakan semua yang ada di pikiranku. Takut, salah sedikit saja akan membuat semuanya menjadi fatal. Aku berharap jika memang ada jalan damai, berharap keluarga Amina memaafkanku meski sebenarnya itu memang terdengar mustahil.

“Mas ....”

“Ya.”

“Boleh aku minta satu permintaan.”

Dahiku berkerut karena mendengar Amina meminta sebuah permintaan. “Apapun itu selama kamu tetap disisiku, aku akan lakukan.”

“Tolong jangan berhubungan dengan Sarah, selama seminggu ini. Hanya seminggu saja, Mas. Kamu tidak boleh menghubunginya lewat telepon, pesan apalagi datang ke tempatnya.”

“Ka–mu tahu Sarah tidak tinggal disini lagi?”

Amina mengangguk. “Dia sendiri yang mengatakannya padaku. Jadi bagaimana? Sanggup? Hanya untuk seminggu, tidak lebih tidak kurang. Satu minggu ini hanya milik kita berdua, aku dan kamu. Apa kamu masih sudi berdekatan dengan istrimu yang dekil dan bau ini? Atau ....”

“Ya, aku akan lakukan apa yang kamu mau.”

Amina tersenyum lebar, tangannya terangkat mengusap rambutku. Apa maksudnya ini? Apa Amina benar-benar akan berdamai. Aku sangat yakin dia masih sangat mencintaiku, Amina tidak akan bisa jika berpisah dariku. Sepertinya dia bisa meyakinkan orang tuanya untuk memaafkan semua kesalahanku.

Meski ada banyak pertanyaan yang bersarang di kepalaku saat ini namun yang terpenting Amina tetap berada di sini.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status