Share

Salah Kirim Paket
Salah Kirim Paket
Author: Dyah Ayu Prabandari

Paket Baju Bayi

last update Last Updated: 2022-06-29 20:21:10

Aku bolak-balikkan paket yang ada di tangan. Bagaimana bisa Mas Alvan membelikanku pakaian bayi, sedang aku saja belum hamil.

"Bapak yakin tidak salah alamat?" tanyaku pada seorang lelaki yang memakai jaket berwarna biru itu.

"Benar Mbak, nama dan alamatnya sesuai dengan sini."

Nama pengirimnya adalah Alvan Nugraha, dan itu adalah nama suamiku. Lalu untuk apa dia mengirim paket berisi pakaian bayi sedang diriku tak sedang hamil atau memiliki seorang bayi. Ku ingat tak ada kerabat dan saudara yang baru saja melahirkan. Namun kenapa suamiku membeli pakaian bayi?

Dahiku mengkerut hanya memikirkan sebuah paket dari suamiku. Sebuah paket yang membuat diriku penasaran.

"Atau jangan-jangan Mas Alvan punya selingkuhan?" bantinku curiga.

Ah, tidak! Tidak! Suamiku tak mungkin selingkuh meski aku belum bisa memberikannya keturunan. Dia sangat mencintaiku meski sudah enam tahun usia pernikahan kami, tapi hingga detik ini Allah belum memberikan amanah.

Berbagai program hamil sudah ku lakukan. Pengobatan herbal dan segala macam pijit sudah ku jabanin. Tapi memang Allah belum menitipkan janin dalam rahimku. Aku sudah memeriksakan kesuburan ke dokter kandungan. Hasilnya memang tak ada masalah dalam rahimku. Aku dan Mas Alvan subur. Mungkin Allah menginginkan kami lebih bersabar lagi.

Apa Mas Alvan selingkuh? Lagi dan lagi pikiran buruk itu hadir dalam otakku. Namun kutepis kuat-kuat. Aku tak mau berprasangka buruk pada suamiku sendiri. Mungkin Mas Alvan punya alasan lain kenapa membeli pakaian bayi ini.

"Mbak, ini benar rumah Pak Alvan Nugraha kan?" tanya pak ojol pengantar paket baju itu.

"Iya, Pak betul ini nama suami saya."

"Ya sudah kalau begitu saya permisi, Mbak."

Melangkahkan kaki ke dalam rumah. Paper bag berwarna merah dengan nama toko tertulis jelas di sana. Twins baby shop adalah toko dimana suamiku membeli pakaian bayi ini.

Iseng ku cari nama Twins baby shop di kolom pencarian. Tak berapa lama muncul gambar sebuah toko dengan alamat lengkap di layar ponsel. Ini adalah toko pakaian bayi terbesar di kota ini. Ku jelajahi setiap informasi yang tertera. Ya, toko ini bisa mengirimkan pakaian dengan sistem go send atau bisa melalui jasa pengiriman. Hanya saja pengiriman lewat ojek online mempunyai tarif pengiriman yang jauh lebih mahal dan hanya berlaku di kota yang sama.

Aku duduk di atas ranjang dengan perasaan tak menentu. Bayangan Mas Alvan selingkuh menari-nari di pelupuk mata. Apa benar Mas Alvan memiliki tambatan hati selain diriku? Apa benar Mas Alvan tega, mengkhianati cintaku?

Bulir bening nan hangat menetes begitu saja.

Ya Tuhan, membayangkan saja dadaku terasa sesak. Bagaimana jika itu kenyataan? Aku bahkan tak sanggup jika sampai hal buruk itu terjadi padaku.

Prasangka ini membuatmu semakin tak karuan. Apa aku telepon saja Mas Alvan untuk menanyakan hal ini. Lama-lama aku bisa gila memikirkan masalah ini.

Kupencet dua belas digit nomor Mas Alvan tapi sebelum ku tekan tombol panggil. Ku letakkan kembali ponsel itu di atas nakas. Aku tak mau mengganggu pekerjaan Mas Alvan. Lebih baik ku tanyakan setelah dia pulang. Membicarakan masalah ini dari hati ke hati.

Masalah kehamilan dan pakaian bayi adalah hal sensitif bagi hubungan kami. Aku tak mau paket yang tidak jelas itu justru menghancurkan rumah tangga kami.

***

Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima. Sebentar lagi suamiku akan pulang. Beberapa kali ku lirik benda bulat yang menempel di dinding. Satu menit terasa begitu lama saat tengah menunggu.

Bruumm....

Suara mobil Mas Alvan memasuki halaman rumah. Segera aku keluar menyambut lelaki yang ku cintai.

Ku cium punggung tangannya dengan khidmat. Lalu Mas Alvan mencium keningku dengan mesra. Rasanya tak mungkin suamiku berkhianat sedang dia begitu hangat padaku. Mungkin ini hanya kekhawatiran diriku saja.

"Mas mau mandi atau makan dulu?" tanyaku setelah kami tiba di kamar.

"Mau mandi dulu sayang, sudah bau asem," ucapnya sambil memencet hidung seperti orang sedang mencium bau tak sedap.

"Aku siapkan pakaian ganti, Mas." Mas Alvan mengangguk lalu segera masuk kamar mandi.

Kuletakkan celana pendek dan kaos warna putih di atas ranjang. Tak lupa ku letakkan paper bag berisi pakaian bayi di sampingnya baju ganti suamiku. Aku ingin lihat bagaimana ekspresinya melihat benda kotak berwarna merah itu.

Kreek....

Suara pintu kamar mandi di buka. Mas Alvan keluar dengan handuk dililitkan di pinggangnya. Tubuh atletis suamiku terlihat jelas saat dia bertelanjang dada.

Dia tampan dengan tubuh binaragawan. Tak menutup kemungkinan banyak wanita di luar sana yang tergila-gila padanya. Karena aku sendiri bucin padanya.

"Kenapa lihatin aku seperti itu sayang? Pengen ya?" Mas Alvan mengedipkan mata padaku.

Dia memang menggoda tapi tidak untuk saat ini. Aku harus tahu untuk apa dia membeli pakaian bayi itu.

"Buruan ganti baju, Mas!"

Tanpa menjawab Mas Alvan berjalan mendekat ke arah ranjang. Matanya tertuju dengan benda kotak berwarna, merah itu.

"Kamu masih kasih surprise ya sayang?" ucapnya sambil memakai pakaian yang ku siapkan. Aku masih diam tak menjawab. Biar saja dia tahu sendiri apa isi kotak itu.

"Ini untuk Mas, sayang?" tanyanya sambil mengambil paper bag itu.

Wajahnya yang tadi sumringah mendadak berubah menjadi tegang. Ku lihat suamiku menelan ludah dengan susah payah.

Kenapa kamu begitu terkejut dengan paket yang kamu beli, Mas?

Apa memang benar firasatku jika kamu telah mendua? Sungguh tega jika itu benar.

"Kenapa tegang gitu Mas? Bukankah pakaian bayi itu kamu yang beli?" tanyaku datar dengan mata menatam tajam ke arahnya.

Mas Alvan kembali menelan saliva dengan susah payah. Wajahnya masih saja tengang.

"Kenapa kamu beli pakaian bayi, Mas? Bukankah kerabat atau saudara kita tak ada baru melahirkan? Lalu untuk apa Mas beli pakaian itu?" cecarku.

"Apa kamu selingkuh, Mas?" tanyaku lagi.

Uhuuk ... Uhuuk....

Mas Alvan bantu mendengar pertanyaan terakhir yang ku katakan.

Apa benar kamu selingkuh Mas? Kenapa kamu begitu gugup saat ku tanyakan hal itu?

Sakit jika itu benar terjadi. Meski aku sangat mencintaimu tapi jika kamu berkhianat aku tak akan segan-segan meninggalkanmu.

"Jawab Mas! Kenapa kamu diam saja!" Ku naikkan nada bicaraku. Kesal, suamiku hanya diam mematung.

"I-itu sayang, Mas ...."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Salah Kirim Paket   Ending

    Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin

  • Salah Kirim Paket   Surat Bu Nur

    Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a

  • Salah Kirim Paket   Memaafkan

    Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak

  • Salah Kirim Paket   Bimbang

    Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa

  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    "Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me

  • Salah Kirim Paket   Kritis

    Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status