Pov AliaAku melangkah gontai masuk ke rumah. Langkahku terhenti saat melihat Bang Rizal sudah berdiri di balik pintu. Sejak kapan dia ada di sini? Jangan-jangan dia menguping pembicaraanku.Aku berjalan melewati Bang Rizal yang menatap tajam ke arahku. Aku bagai maling yang ketahuan mencuri. Namun langkahku terhenti saat tangan kekarnya mencengkeram tangan kananku. "Lepas Bang! Sakit!" Tangan kiri menarik tangan kanan Bang Rizal mencengkeram kuat. Namun bukannya terlepas tapi justru semakin terasa sakit di pergelangan tangan. Bang Rizal menatap tajam dengan pundak naik turun, menahan emosi. Kenapa Bang Rizal seperti ini? Baru kali ini aku takut melihat kakak kandungku sendiri. "Kenapa sih Bang? Ngomong kalau Alia salah, jangan memperlakukan aku seperti ini!" sungutku. "Alia, kamu tahu tidak statusmu apa? Masih istri orang, Alia! Jangan kecentilan pada Baim atau pria lain. Harusnya kamu mikir, bagaimana reputasi perusahaan jika pemimpinnya saja kecentilan. Seperti wanita murahan!"
Pov AliaAlarm di ponsel berbunyi nyaring. Segera ku matikan. Ku buka mata perlahan meski terasa berat. Menangis semalaman membuat mataku menjadi bengkak hingga membuka mata saja terasa susah. Seperti ada yang mengganjal di pelupuk mata. Melangkah dengan gontai ke kamar mandi. Guyuran air dingin membuat tubuhku merasa segar. Dinginnya air sedikit mengurangi panasnya hati saat mengingat perkataan Bang Rizal. Memakai mukena berwarna putih, segera aku tunaikan ibadah wajib dua rakaat. Menengadahkan tangan kepada Sang Pencipta. Mengeluarkan sesak di dalam rongga dada. Rasa tenang merasuk di hati. Mungkin ini cara Allah untuk mengingatkan diriku agar tidak dekat dengan lelaki lain sebelum aku resmi berstatus janda. Lewat kemarahan Bang Rizal aku menyadari satu hal, jika Bang Rizal sangat menyayangiku. Ya, meski ucapannya salah dan justru melukai hatiku. ***Perlahan menuruni anak tangga. Sesekali berhenti. Ingin makan tapi malas bertemu Bang Rizal. Membayangkan wajahnya saja sudah memb
Pov RizalMama boleh meminta sesuatu pada kalian?" "Boleh ma," jawabku. Ada rasa penasaran dengan perkataan mama yang terlihat serius. "Alia setelah kamu resmi bercerai dan masa iddahmu selesai, mama ingin kamu dan Rizal menikah.""Apa?" ucap kami serentak. Aku dan Alia sangat terkejut hingga mulut kami berbuka lebar. Untung saja tidak ada nyamuk atau lalat yang mampir ke gua kami. Bisa gawat jika makhluk kecil sampai masuk. "Udah ah, ma. Jangan bercanda. Gak lucu tahu!" ucap Alia dengan sedikit gugup. Wajah bingung terlihat jelas di sana. Aku sendiri tak tahu harus bagaimana. Satu sisi aku sangat bahagia bisa memiliki Alia seutuhnya. Namun lagi-lagi logika menyangkal. Aku tak segila itu. Mana bisa aku menikah dengan adikku. Bisa cepat kiamat dunia ini jika banyak orang berpikir seperti mama. Dalam hukum agama dan negara jelas dilarang adanya incest tapi kenapa mama justru meminta kami melakukan hal yang dilarang itu. Ya Tuhan, kenapa aku harus mencintai orang yang salah dan be
Dengan langkah gontai kuturunin anak tangga. Sesekali ku hapus bulir bening yang mengalir membasahi pipi. Meski aku mencoba kuat dan tak menangis tapi nyatanya aku tak sanggup. Kabar ini bagai batu besar yang menghimpit dada. Menyesakkan hingga menghirup udara saja seakan tak bisa. "Zal, kamu baik-baik saja kan?" Mama memegang pundakku. Ku letakkan bingkai dengan foto keluarga di atas meja. Mama diam dengan mata berkaca-kaca. Sementara Alia tampak kebingungan. "Apa anak angkat itu, aku, ma?"ucapku parau. Mama masih membisu, tapi air bah mulai turun hingga akhirnya membasahi pipi wanita berhati lembut itu. Diamnya adalah jawaban iya untuk pertanyaanku. "Itu tidak benar kan, ma? Bang Rizal, kakak kandungku kan?" Alia mengguncangkan pundak mama. Mencari jawaban di balik diamnya wanita yang telah merawat kami. "Iya, Rizal bukan anak kandung mama. Maafkan mama, nak, telah menutupi semua kebenaran ini dari dulu. Mama hanya...." Mama tak mampu melanjutkan kata-katanya. Hanya air mata y
Pov Alia"Saya tidak tahu harus memberi selamat atau tidak. Semoga kehidupan Mbak Alia jauh lebih baik dari kemarin," ucap Pak Yusuf setelah selesai sidang terakhir. Setelah tiga bulan menunggu akhirnya hakim memutuskan jika aku dan Mas Alvan resmi bercerai. Tak ada perebutan hak asuh anak serta harta gono gini membuat proses perceraian berjalan lebih cepet. Semua ini tak luput dari bantuan Pak Yusuf, pengacara sekaligus teman Bang Rizal. "Saya harus berterima kasih pada Pak Yusuf karena telah membantu saya." Ku ulurkan tangan sebagai ucapan terima kasih. Dengan senang hati bapak dua orang anak itu menyambut baik uluran tanganku. "Saya permisi. Sampaikan salam saya pada Rizal, suruh kakakmu itu segera menikah," ucapnya sambil tersenyum. "Baik." Sabahat Bang Rizal itu pergi setelah mengucapkan salam. Melangkah dengan penuh percaya diri meninggalkan ruangan sidang. Namun langkah ini terhenti saat bayangan Bang Rizal nampak di pelupuk mata. "Alia setelah kamu resmi bercerai dan mas
Pov MegaKukira dengan menjadi istri kedua Mas Alvan hidupku akan bahagia. Memiliki banyak uang tanpa harus bekerja. Namun nyatanya kebahagiaannya yang ku rasa hanya sesaat. Kini aku tak tahu harus kemana? Percuma menikah dengan Mas Alvan jika ujungnya aku tak punya apa-apa? Rumah di sita karena uang yang digunakan untuk membayar DP adalah hasil korupsi. Kini aku sendiri dan harus mengurus Aira. "Sekarang aku harus kemana?" gumamku pelan. Rumah orang tua Mas Alvan, ya, mereka pasti mau menampungku. Tak mungkin mereka tega membiarkan Aira hidup terlunta-lunta di pinggir jalan. Berjalan pelan sambil menarik koper menuju pangkalan ojek tak jauh dari rumah. Untung Aira terlelap dalam gendonganku. Ingin naik taksi tapi aku tak mampu membayarnya. Mau tak mau aku harus naik ojek agar bisa sampai ke rumah ibu dan bapak. "Ojek, Bang!" Lelaki berkulit hitam menatap penuh selidik ke arahku. "Bawaan segini banyak, Mbak?" ucapnya sambil menggelangkan kepala melihat dua koper di tangan kanan
"Ini dimana ya, Pak? Tadi kan saya sudah memberi alamat Bapak.""Ini rumah saya Mbak. Saya tidak tahu alamat rumah Mbak, lagi hujan saya takut nyasar," kilahnya. "Bapak bisa bangunkan saya,kan?" "Saya tidak tega, Mbak. Mari masuk, Mbak. Saya buatkan teh hangat. Tak mungkin saya mengantar Mbak dalam keadaan hujan deras seperti ini?" ucapnya lalu turun dari mobil. Dengan sedikit ragu, aku turun dari mobil. Tak lupa ku ambil koper kecil karena di dalamnya berisi susu dan keperluan Aira. Melangkah gontai masuk ke rumah minimalis berlantai dua. Meski tak mewah tapi tertata rapi dengan pernak-pernik kekinian. Rupanya selera bapak itu bagus juga. Dua gelas teh hangat ia letakkan di atas meja. Lalu tanpa malu ia jatuhkan tepat di sampingku. Oweek... Oweek.... Aira menangis kencang. Segera ku buka koper kecil lalu menuang air panas dari termos ke dalam botol. "Maaf Pak, ada air putih?" "Ada Mbak, sebentar saya ambilkan," ucapnya lalu berjalan ke dapur. Oweek... Oweek... Tangis Aira
Alia berjalan perlahan, gamis berwarna hijau army ia angkat sedikit saat menuruni anak tangga. Gamis hadiah dari Rizal tiga tahun yang lalu kini bisa ia kenalan lagi. Berat badan Alia turun drastis. Tak main-main tujuh kilo turun dalam waktu tiga bulan. Semua itu tak luput dari pola makan sehat dan rajin berolahraga. Wanita berumur tiga puluh satu tahun itu nampak lebih muda dengan tubuh idealnya. Terkadang rasa benci dan kecewa membuat orang memperhatikan penampilannya. Seperti yang Alia rasakan. Setelah mengetahui perselingkuhan Alvan, wanita berbulu mata lentik itu kian menjaga penampilan dan berat badan. Semua ia lakukan agar Alvan merasa menyesal telah meninggalkannya demi Mega. "Mau kemana Al?" tanya Rizal saat berpapasan dengannya di teras depan. Lelaki dengan wajah penuh kharisma itu tak berkedip saat melihat penampilan Alia. Dalam hati ia memuji kecantikan sang adik. "Mau ke lapas?" jawab Alia dengan santainya. "What? Dengan dandanan secantik ini? Jangan bilang kamu ma