Pov Alia"Bapak...," panggil Syasya dan aku bersamaan. Lelaki dengan penampilan wah itu menatap tajam ke arah Syasya lalu beralih ke arahku. Raut amarah tergambar jelas di sana. Bapak melangkah mendekat, lengan kemeja ia tarik ke atas. Kini penampilannya jauh lebih muda, berbeda dari terakhir kali kami bertemu. Jelas, aku bertemu ia di dekat lampu merah. Bapak tengah mengemis kala itu. Sebuah tanda tanya terlintas dalam benak, dadi mana ia mendapatkan uang untuk membeli barang-barang mewah itu? Melihat Bapak mendekat, dengan cepat Syasya memutar tubuh hingga berada di belakangku. Dia bahkan memeluk erat tubuh ini. Layaknya seorang anak kecil yang ketakutan. "Tolong aku, Mbak!" ucapnya lirih seraya mempererat pelukan. "Di sini kamu, ya! Ayo pulang!" teriak Bapak seraya menarik tangan Syasya dengan kuat. "Syasya tidak mau ... Lepas!" Syasya menepis kasar tangan Bapak, kemudian mempererat pelukannya di tubuhku. "Jangan jadi anal durhaka kamu, Sya!" pekik Bapak dengan sorot mata
Pov AliaRutinitas yang kulakukan terasa membosankan, hanya berkutat dengan lingkungan rumah, kantor dan begitu seterusnya. Hidupku hampa, terasa kurang lengkap meski dipenuhi dengan limpahan kebahagiaan. Mungkin orang lain menilai aku adalah wanita yang paling bahagia sedunia karena memiliki harta, suami dan orang tua yang tulus menyayangiku. Namun mereka tidak tahu, ada bagian hati yang terasa kosong. Ya, aku mendambakan hadirnya buah hati di antara kami. Bang Rizal memang tak pernah bertanya atau mungkin menuntut lahirnya buah hati. Namun aku tahu di dalam hatinya tersimpan keinginan itu. Siapa yang tak menginginkan anak? Semua pasangan suami istri pasti menginginkan itu, termasuk kami. Tapi apa mau di kata hingga tiga bulan usia pernikahan kami, Allah belum menitipkan janin dalam rahimku. "Kenapa melamun, Sayang?" ucap Bang Rizal seraya mencubit pelan pipiku. Aku menoleh ke samping, seulas senyum kaku kuberikan untuknya. "Gak apa-apa kok, Bang," dustaku. "Sejak kapan istri A
Pov Alia"Ha ha ha ... BH kamu ketinggalan, Al?" Bang Rizal bangun dari tempat tidur sambil terpingkal-pingkal. Dia mentertawakan nasib sial yang menimpaku, istrinya. Sungguh menyebalkan. "Ketawa aja terus sampai kencing di celana baru tahu rasa!"Aku menyilangkan kedua tangan di dada, kutatap tajam Bang Rizal. Perlahan dia berjalan mendekatiku. Tangan kirinya segera menarik tubuhku hingga kepalaku menempel di dada bidang miliknya. "Abang lebih suka kamu tak memakai dalaman, lebih leluasa," ucapnya kemudian mengedipkan mata ke arahku. "Abang mesum terus pikirannya!" Kudorong tubuhnya hingga menjauh dariku. Lagi suamiku tertawa lalu mengedipkan mata menggoda ke arahku. Baru juga sampai tapi pikiranku sudah travelling ke mana-mana. "Mandi dulu sana, nanti kita beli setelah shalat. Waktunya tidak cukup kalau kita beli dalaman dulu.""Masa pakai daleman yang udah kotor, Bang," ucapku merajuk. "Gak usah pakai dulu, pakai baju longgar dan hijab besar."Aku mengangguk pasrah, kuambil
Pov AliaPonsel Bang Rizal berbunyi, segera ku ambil benda pipih yang ada di atas meja. Seketika dada ini bergemuruh melihat nama Kartika tertera di layar ponsel. Mau apa lagi wanita itu? Aku melirik ke kamar mandi. Memastikan Bang Rizal masih di sana sebelum kuberikan pelajaran pada wanita yang tidak memiliki urat malu itu. Kartika memang sahabat Bang Rizal, tapi bagiku dia parasit yang harus dibasmi. Bukan, bukan aku tak menghargai sahabat suamiku. Namun aku tak ingin ada wanita lain yang merebut apa yang menjadi milikku saat ini. Setelah memastikan semua aman, segera kugeser gambar telepon berwarna hijau ke atas. "Sudah kubilang jangan pernah dekati suamiku, apa kamu tidak mengerti? Kamu itu hanya sahabat dan selamanya akan tetap seperti itu.""Ta ....""Tidak usah mencari pembenaran atas sebuah kesalahan. Kamu tau, apa sebutan yang pantas bagi wanita seperti kamu. Kamu wanita yang tidak memiliki ....""Telepon dari siapa, Al?" Aku tersentak, suara Bang Rizal bagai halilintar.
Sinar mentari menerobos masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Hangat sinarnya menyilaukan mata ini. Perlahan kugerakkan mata ini. "Astagfirullah ... bangun, Bang. Sudah jam sembilan!" Aku menggoncang tubuh Bang Rizal sedikit keras. Suamiku menggeliat lalu kembali memejamkan mata. Astaga, Bang Rizal benar-benar menguji kesabaran. "Bang sudah jam sembilan, kita ketinggalan shalat subuh, Bang!" Rasa sesal semakin besar memenuhi rongga dada. Meninggalkan shalat adalah suatu dosa besar. Meski Allah tahu aku tak sengaja melakukannya. Namun aku tak sanggup membayangkan murka Tuhan kepadaku. Berkali-kali kuguncangkan tubuh Bang Rizal, tepati lelaki itu justru menarik selimut kembali. Suara dengkuran terdengar. "Bang, bangun! Sholat subuh dulu!" Kugoncangkan lagi tubuhnya. Tapi tetap saja ia tak bergerak. Sungguh menyebalkan! Tanpa menunggu Bang Rizal bangun, aku segera beranjak dari ranjang. Sedikit berlari kuambil pakaian lalu menuju kamar mandi. Dalam hati terus berdoa se
Pov AliaAku mengatur napas. Pertanyaan wanita itu tak ubahnya sindiran karena aku menikah dengan kakak angkatku sendiri. Mengepalkan tangan di samping, kutahan emosi yang tiba-tiba memenuhi rongga dada. "Seperti tak ada orang lain saja. Memang stok lelaki di dunia ini sudah habis?" sindirnya. Dadaku kian bergemuruh. Rasanya mulut wanita itu harus diberi pelajaran agar tahu mana yang baik dan tidak. "Sayang, kamu di sini?" Aku bernapas lega Bang Rizal datang tepat waktu. Setidaknya aku bisa menghindari wanita itu. Tak kenal, tapi kelakuannya membuat emosiku naik. Apa seperti ini gambaran netizen? "Kami permisi, Mbak tukang ghibah!" ucapku lalu menggandeng tangan Bang Rizal pergi dari hadapannya. Sempat kulihat wajah wanita itu memerah menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Baru juga dikatain tukang ghibah sudah kepanasan saja. "Kenapa senyum?" tanyaku saat melihat Bang Rizal tersenyum seraya menggelengkan kepala. "Dasar anak kecil."Anak kecil? Ini istri kamu, lho, bukan a
Pov Alia“Kenapa kamu bersama Marcel,Al?” tanya Bang Rizal ketika aku sampai di hadapannya. Perlahan kuhembuskan napas yang terasa sesak. Pertanyaan Bang Rizal adalah sebuah kecurigaan yang ia tujukan padaku.“Mereka tadi bermesraan di dalam toilet,Zal. Lihat aja baju mereka sampai basah seperti itu,” ucap Kartika lalu tersenyum sinis ke arahku.Aku diam,biarlah Bang Rizal percaya kepada siapa,aku atau dia? Dari sini dapat kulihat seberapa dekat ia dengan wanita tak punya urat malu itu. Kalau dia mengenalku,pasti ia percaya aku tak akan melakukan hal hina seperti yang Kartika tuduhkan.“Apa benar seperti itu,Al?” Menggelengkan kepalaku pelan, menatap Bang Rizal penuh kekecewaan kemudian kulangkahkan kaki meninggalkan sepasang sahabat itu. Pertanyaan suamiku menunjukkan jika ia tak mempercayai aku. Lalu untuk apa kujelaskan?“Alia,tunggu! Abang belum selesai bicara!” Aku terus melangkah,tak kuhiraukan suara Bang Rizal yang terus memanggil namaku. Rasa kesal kian memenuhi rongga dada
Pov Alia"Apa maksud kamu, Bisma? Apa hubungan kamu dan Syasya?""Ck! Jangan pura-pura tidak tahu, Alia. Bukankah mantan adik iparmu sudah cerita semuanya?" Bisma melangkah mendekat, refleks aku mundur. "Aku tidak mengerti, kita baru saja kenal. Apa lagi Syasya. Jangan mengada-ada kamu, Bisma!"Aku kembali mundur satu langkah. Sial, kaki ini menyentuh dinding. Toilet berada di ujung ruangan. Sekeliling tempat ini sepi, Allah... Bantu aku lepas dari lelaki gila ini. "Katakan di mana wanita itu? Jangan coba-coba menyembunyikannya dariku!" Bisma mencengkeram lengan kiri hingga aku meringis kesakitan. "Aw... Sakit, aku akan katakan pada Bang Rizal. Kupastikan dia membatalkan kontrak kerja sama dengan kamu. Lelaki tidak tahu malu!" "Kamu!" Tangan lelaki itu melayang ke udara. "Tolong! Tolong!" Lebih baik berteriak meminta pertolongan, aku tidak akan sanggup menghadapi lelaki ini. Entah dari mana Bang Rizal menemukan teman seperti Bisma dan Kartika. Teman yang menusuk dari belakang.