Share

Salah Pilih Istri
Salah Pilih Istri
Author: Humairah97

Bab 1

Sepasang pengantin berbalut baju dengan warna senada tampak serasi, berdiri menyambut kedatangan para tamu. Begitu juga kedua keluarga mempelai membersamai. Di atas pelaminan bertuliskan nama keduanya. Hendra dan Laila.

Tidak ketinggalan dekorasi cantik beserta musik gambus mengiringi acara resepsi tersebut. Dan yang paling menjadi sorotan adalah hantaran dari mempelai lelaki, memenuhi bagian depan pelaminan.

"Selamat Mbak, Mas."

"SAMAWA ya!"

Silih berganti tamu memberikan doa terbaik. Pengantin wanita berparas ayu tersebut menyunggingkan senyum terpaksa, tidak seperti pengantin pria yang menyunggingkan senyum manis, penuh dengan ketulusan.

Di hati Laila masih belum rela melepas masa gadisnya pada lelaki yang kini berdiri di sampingnya. Sedikit Laila mencuri pandang ke arah sang suami.

'Ganteng sih, cuma udah tua!' gumam Laila dalam hati.

Setelah antrian tamu habis, Hendra duduk kembali di kursi pengantin. Orang tua Hendra dan paman Laila pun turut meninggalkan pelaminan karena merasa lelah.

"Dek, duduk dulu, ini aku ambilkan minum."

Hendra mengambil botol minum yang disembunyikan di balik pagar ayu. Ragu-ragu dirinya memberikan pada sang istri.

Wanita yang masih baru menyandang status istri itu pun hanya berdehem, lalu mendaratkan tubuh yang letih di samping Hendra. Tidak lupa Laila memberi jarak di antara mereka.

Kemudian Laila menerima botol mineral yang Hendra berikan.

"Kamu masih kuat berdiri lagi?" tanya Hendra sekedar mengisi pembicaraan antara keduanya, untuk mengurangi rasa canggung.

"Iya kuat," jawab Laila datar.

Kemudian mereka saling diam. Hanya alunan musik gambus pengiring untuk para tamu undangan. Mereka menikah karena perjodohan yang dilakukan oleh sahabat Hendra dan paman Laila.

Awalnya Laila tidak ingin karena perbedaan usia di antara mereka cukup jauh. Laila berusia 20 tahun sedangkan Hendra sudah menginjak 30 tahun.

"Kamu mau yang seperti apa lagi Laila? Ayahmu sudah tidak ada. Siapa yang kamu tunggu, lelaki pengangguran itu?" bentak Ardi, paman Laila.

"Aku belum siap menikah, Paman," ucap Laila lirih.

"Tidak ada kata tidak siap. Harus siap! Kamu pacaran siap, tapi menikah tidak. Mau jadi apa? Mau jadi mangga busuk yang habis dipegang sana dan sini!"

Dirinya benar-benar terpojok karena apa yang dituduhkan benar adanya. Laila masih menunggu pinangan dari sang kekasih, tapi karena pemalas dan berbeda keyakinan, Ardi tidak mengizinkan mereka meneruskan hubungan.

Laila yang tertunduk, kini menatap pamanya dengan tatapan sayu.

'Haruskah aku terima semua ini?' gumam Laila dalam hati.

"Kurang apa lagi calon yang Paman berikan, La? Mapan, tampan, dan keluarganya baik."

Tanpa kata Laila menginggalkan Ardi dengan perasaan kesal.

Setelah pertengkaran malam itu, akhirnya Laila memberi keputusan menerima pinangan Hendra, walau dalam hati belum ada cinta.

Suara langkah kaki menuju pelaminan terdengar kembali. Laila yang tengah menunduk mengingat pertengkaran antara dirinya dan sang paman, kini mengangkat kepala.

"Mantu Ibu masih kuat 'kan Sayang berdiri lebih lama?" tanya Bu Tari heboh. Sampai mengundang banyak mata memperhatikan.

"Masih, Bu," jawab Laila pelan.

Diusapnya kepala Laila penuh rasa sayang. Begitu sayang Bu Tari memperlakukan menantu barunya. Bahagia, anak lelaki semata wayangnya telah melepas masa lajang. Apalagi mendapatkan wanita muda, dan cantik.

"Oya, sini makan dulu, Ibu suapi. Baru ingat ke sini mau antar makanan," ujar Bu Sri sembari menuntun sang menantu duduk kembali.

Pelan, Bu Tari menyuapkan nasi. Walau sempat ada penolakan. Namun, Bu Tari tetap kekeh menyuapi menantunya. Pemandangan itu mencuri banyak pasang mata, mereka merasa iri dan ingin memiliki mertua seperti itu, tetapi tidak dengan Laila, wanita itu menerima suap demi suap dengan hati kesal. Menurut Laila diperlakukan seperti itu sangat memalukan.

Acara makan terpaksa sudah selesai, Bu Tari sudah kembali turun dari pelaminan.

"Maafkan Ibu ya, Dek. Ibu memang begitu orangnya," kata Hendra tidak enak karena bisa dilihat wajah terpaksa istrinya.

Tidak dihiraukan ucapan Hendra, Laila sibuk mengedarkan pandangan melihat dekorasi sederhana, tapi sangat memanjakan mata. Tiba-tiba jantung Laila berdetak kencang melihat tamu yang berdiri di sudut ruangan. Sesekali lelaki itu melihat ke arah pelaminan sembari menyunggingkan senyum.

'Kenapa kamu datang?' tanya Laila dalam hati sembari melihat kanan dan kiri, takut jika pamannya mengetahui kedatangan tamu tidak diundang itu.

Wanita yang baru saja menyandang status istri itu mulai gelisah, dan wajah pucat pasi.

"Dek, kamu kenapa?" tanya Hendra membuyarkan fokus Laila.

"Eh, i-ya ng-gak apa, Mas." Laila menjawab terbata sebab rasa gugup tiba-tiba datang mendera.

"Tapi muka kamu pucat begitu. Kamu capek?"

Laila menggeleng seraya menatap sang suami. Meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.

Namun, saat melihat kembali ke arah tadi dia tidak menemukan siapa pun di sana.

Tiba-tiba ada suara langkah kaki mendekati pelaminan, Laila menoleh seketika sekujur tubuh menegang.

Deg!

Jantungnya berdetak kencang, keringat dingin mulai membasahi telapak tangan.

"Selamat, semoga menjadi keluarga bahagia," ucap lelaki itu sembari menjabat tangan Hendra.

Ya, lelaki itu bernama Doni, mantan kekasih Laila. Mereka harus putus karena Laila lebih memilih menerima pinangan Hendra, dari pada menunggu Doni yang tidak tentu arah jalan hidupnya.

"Terimah kasih. Kamu?" Hendra mengerutkan alis, sebab bingung tidak pernah melihat lelaki di hadapannya itu.

Sebelum menjawab, Doni dengan sengaja melirik Laila, sontak saja wanita itu menjadi semakin salah tingkah.

"Doni, teman dekat Laila," jawab Doni sembari menyunggingkan senyum sinis.

"Oh, teman dekat, sedekat apa?"

Ada nada cemburu di pertanyaan Hendra. Setahu lelaki itu istrinya tidak memiliki teman dekat, begitu informasi yang didapat dari paman Laila. Namun, ada lelaki yang tiba-tiba datang mengaku teman istrinya, tentu saja Hendra merasa cemburu.

"Hanya sekedar kenal Mas, bukan dekat artian lain," sanggah Laila cepat.

Doni tersenyum kecut mendengar sanggahan dari Laila.

"Bener yang istrimu katakan. Sekali lagi selamat untuk kamu Laila." Doni beralih menjabat tangan mantan kekasihnya.

Kemudian dia membisikkan kata yang mampu membuat tubuh Laila meremang.

"Aku rindu kamu."

Mata Laila melotot tajam, segera dihempaskan tangan mantannya itu. Doni terkekeh seraya berjalan menjauh.

Gerakan bibir tadi bisa ditangkap oleh Hendra, tetapi dia mensugesti diri agar tidak terpancing emosi, walau kedua tangan sudah mengepal hingga buku-buku jari memutih.

"Benar dia hanya sekedar teman?" tanya Hendra ingin tahu, setelah kepergian Doni.

"Iya, dia hanya teman, tidak lebih."

Jawaban mantap yang keluar dari mulut Laila, seketika meredam amarah di dada Hendra.

"Nggak ada kebohongan diantara kita 'kan Dek?" Lagi, Hendra memastikan segalanya agar tidak salah melangkah. Ditatap manik mata coklat itu untuk mencari kejujuran di sana.

"Kami teman biasa, Mas."

Hendra tersenyum lega melihat tidak ada kebohongan di mata istrinya. Padahal sekuat tenaga Laila berusaha terlihat biasa saja.

Baru saja merasa bahagia Hendra percaya, Laila harus menahan napas melihat kelakuan mantannya di atas panggung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status