Sepasang pengantin berbalut baju dengan warna senada tampak serasi, berdiri menyambut kedatangan para tamu. Begitu juga kedua keluarga mempelai membersamai. Di atas pelaminan bertuliskan nama keduanya. Hendra dan Laila.
Tidak ketinggalan dekorasi cantik beserta musik gambus mengiringi acara resepsi tersebut. Dan yang paling menjadi sorotan adalah hantaran dari mempelai lelaki, memenuhi bagian depan pelaminan."Selamat Mbak, Mas.""SAMAWA ya!"Silih berganti tamu memberikan doa terbaik. Pengantin wanita berparas ayu tersebut menyunggingkan senyum terpaksa, tidak seperti pengantin pria yang menyunggingkan senyum manis, penuh dengan ketulusan.Di hati Laila masih belum rela melepas masa gadisnya pada lelaki yang kini berdiri di sampingnya. Sedikit Laila mencuri pandang ke arah sang suami.'Ganteng sih, cuma udah tua!' gumam Laila dalam hati.Setelah antrian tamu habis, Hendra duduk kembali di kursi pengantin. Orang tua Hendra dan paman Laila pun turut meninggalkan pelaminan karena merasa lelah."Dek, duduk dulu, ini aku ambilkan minum."Hendra mengambil botol minum yang disembunyikan di balik pagar ayu. Ragu-ragu dirinya memberikan pada sang istri.Wanita yang masih baru menyandang status istri itu pun hanya berdehem, lalu mendaratkan tubuh yang letih di samping Hendra. Tidak lupa Laila memberi jarak di antara mereka.Kemudian Laila menerima botol mineral yang Hendra berikan."Kamu masih kuat berdiri lagi?" tanya Hendra sekedar mengisi pembicaraan antara keduanya, untuk mengurangi rasa canggung."Iya kuat," jawab Laila datar.Kemudian mereka saling diam. Hanya alunan musik gambus pengiring untuk para tamu undangan. Mereka menikah karena perjodohan yang dilakukan oleh sahabat Hendra dan paman Laila.Awalnya Laila tidak ingin karena perbedaan usia di antara mereka cukup jauh. Laila berusia 20 tahun sedangkan Hendra sudah menginjak 30 tahun."Kamu mau yang seperti apa lagi Laila? Ayahmu sudah tidak ada. Siapa yang kamu tunggu, lelaki pengangguran itu?" bentak Ardi, paman Laila."Aku belum siap menikah, Paman," ucap Laila lirih."Tidak ada kata tidak siap. Harus siap! Kamu pacaran siap, tapi menikah tidak. Mau jadi apa? Mau jadi mangga busuk yang habis dipegang sana dan sini!"Dirinya benar-benar terpojok karena apa yang dituduhkan benar adanya. Laila masih menunggu pinangan dari sang kekasih, tapi karena pemalas dan berbeda keyakinan, Ardi tidak mengizinkan mereka meneruskan hubungan.Laila yang tertunduk, kini menatap pamanya dengan tatapan sayu.'Haruskah aku terima semua ini?' gumam Laila dalam hati."Kurang apa lagi calon yang Paman berikan, La? Mapan, tampan, dan keluarganya baik."Tanpa kata Laila menginggalkan Ardi dengan perasaan kesal.Setelah pertengkaran malam itu, akhirnya Laila memberi keputusan menerima pinangan Hendra, walau dalam hati belum ada cinta.Suara langkah kaki menuju pelaminan terdengar kembali. Laila yang tengah menunduk mengingat pertengkaran antara dirinya dan sang paman, kini mengangkat kepala."Mantu Ibu masih kuat 'kan Sayang berdiri lebih lama?" tanya Bu Tari heboh. Sampai mengundang banyak mata memperhatikan."Masih, Bu," jawab Laila pelan.Diusapnya kepala Laila penuh rasa sayang. Begitu sayang Bu Tari memperlakukan menantu barunya. Bahagia, anak lelaki semata wayangnya telah melepas masa lajang. Apalagi mendapatkan wanita muda, dan cantik."Oya, sini makan dulu, Ibu suapi. Baru ingat ke sini mau antar makanan," ujar Bu Sri sembari menuntun sang menantu duduk kembali.Pelan, Bu Tari menyuapkan nasi. Walau sempat ada penolakan. Namun, Bu Tari tetap kekeh menyuapi menantunya. Pemandangan itu mencuri banyak pasang mata, mereka merasa iri dan ingin memiliki mertua seperti itu, tetapi tidak dengan Laila, wanita itu menerima suap demi suap dengan hati kesal. Menurut Laila diperlakukan seperti itu sangat memalukan.Acara makan terpaksa sudah selesai, Bu Tari sudah kembali turun dari pelaminan."Maafkan Ibu ya, Dek. Ibu memang begitu orangnya," kata Hendra tidak enak karena bisa dilihat wajah terpaksa istrinya.Tidak dihiraukan ucapan Hendra, Laila sibuk mengedarkan pandangan melihat dekorasi sederhana, tapi sangat memanjakan mata. Tiba-tiba jantung Laila berdetak kencang melihat tamu yang berdiri di sudut ruangan. Sesekali lelaki itu melihat ke arah pelaminan sembari menyunggingkan senyum.'Kenapa kamu datang?' tanya Laila dalam hati sembari melihat kanan dan kiri, takut jika pamannya mengetahui kedatangan tamu tidak diundang itu.Wanita yang baru saja menyandang status istri itu mulai gelisah, dan wajah pucat pasi."Dek, kamu kenapa?" tanya Hendra membuyarkan fokus Laila."Eh, i-ya ng-gak apa, Mas." Laila menjawab terbata sebab rasa gugup tiba-tiba datang mendera."Tapi muka kamu pucat begitu. Kamu capek?"Laila menggeleng seraya menatap sang suami. Meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Namun, saat melihat kembali ke arah tadi dia tidak menemukan siapa pun di sana.Tiba-tiba ada suara langkah kaki mendekati pelaminan, Laila menoleh seketika sekujur tubuh menegang.Deg!Jantungnya berdetak kencang, keringat dingin mulai membasahi telapak tangan."Selamat, semoga menjadi keluarga bahagia," ucap lelaki itu sembari menjabat tangan Hendra.Ya, lelaki itu bernama Doni, mantan kekasih Laila. Mereka harus putus karena Laila lebih memilih menerima pinangan Hendra, dari pada menunggu Doni yang tidak tentu arah jalan hidupnya."Terimah kasih. Kamu?" Hendra mengerutkan alis, sebab bingung tidak pernah melihat lelaki di hadapannya itu.Sebelum menjawab, Doni dengan sengaja melirik Laila, sontak saja wanita itu menjadi semakin salah tingkah."Doni, teman dekat Laila," jawab Doni sembari menyunggingkan senyum sinis."Oh, teman dekat, sedekat apa?"Ada nada cemburu di pertanyaan Hendra. Setahu lelaki itu istrinya tidak memiliki teman dekat, begitu informasi yang didapat dari paman Laila. Namun, ada lelaki yang tiba-tiba datang mengaku teman istrinya, tentu saja Hendra merasa cemburu."Hanya sekedar kenal Mas, bukan dekat artian lain," sanggah Laila cepat.Doni tersenyum kecut mendengar sanggahan dari Laila."Bener yang istrimu katakan. Sekali lagi selamat untuk kamu Laila." Doni beralih menjabat tangan mantan kekasihnya.Kemudian dia membisikkan kata yang mampu membuat tubuh Laila meremang."Aku rindu kamu."Mata Laila melotot tajam, segera dihempaskan tangan mantannya itu. Doni terkekeh seraya berjalan menjauh.Gerakan bibir tadi bisa ditangkap oleh Hendra, tetapi dia mensugesti diri agar tidak terpancing emosi, walau kedua tangan sudah mengepal hingga buku-buku jari memutih."Benar dia hanya sekedar teman?" tanya Hendra ingin tahu, setelah kepergian Doni."Iya, dia hanya teman, tidak lebih."Jawaban mantap yang keluar dari mulut Laila, seketika meredam amarah di dada Hendra."Nggak ada kebohongan diantara kita 'kan Dek?" Lagi, Hendra memastikan segalanya agar tidak salah melangkah. Ditatap manik mata coklat itu untuk mencari kejujuran di sana."Kami teman biasa, Mas."Hendra tersenyum lega melihat tidak ada kebohongan di mata istrinya. Padahal sekuat tenaga Laila berusaha terlihat biasa saja.Baru saja merasa bahagia Hendra percaya, Laila harus menahan napas melihat kelakuan mantannya di atas panggung."Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m
Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi
Beberapa kali Laila mencoba menemui Ahmad di luar hanya mendapat kegagalan. Padahal dia ingin sekali menggunakan Ahmad sebagai alat agar uang terus mengalir ke dompetnya. Namun, ada saja halangannya. Kini, dia kembali mencoba, tetapi di rumah Bu Tari. Berharap Ahmad bermain di luar.Baru percobaan pertama mendapat penolakan dari penjaga rumah. Dia kekeuh ingin masuk hingga memancing amarah. Tanpa rasa hormat penjaga tersebut menyeret Laila hingga jauh dari rumah majikkannya."Lebih baik, Mbak pergi dari sini.""Huuu, dasar pembantu kurang ajar," makinya kesal sembari berjalan menjauh.Wanita itu tidak menyerah, dia mencari tempat sembunyi menunggu Hendra keluar rumah, baru menemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Laila tersenyum lebar saat melihat mobil Hendra keluar. Cepat dia menghadang.Decitan ban mobil dan jalan memekakan telinga. Terpaksa ngerem mendadak. Lantas Hendra dan Saka saling pandang melihat wanita berdiri merentangkan tangan."Laila," gumam Hendra tak percaya dengan p
Berkat bantuan ibunya kini Laila benar-benar terlepas dari Arman, lelaki yang diperjuangkan, tetapi penuh perjuangan pula saat ingin lepas darinya. Laila mengancam akan membunuh jika Arman tidak pergi. Mau tidak mau, setelah terucapnya talak Arman pergi dari kampung, membawa amarah terpendam.Sekarang dengan tekat yang kuat, Laila akan berangkat ke tempat di mana dia selalu di jadikan ratu. Cukup sudah penderitaannya yang dia rasakan. Berbekal uang hasil kerja keras menjadi buruh dia pergi menggunakan bus. Dia duduk gelisah, tidak sabar menemui lelaki yang selalu berada dalam benaknya. Berharap dalam hati sang pujaan hati belum memiliki tambatan hati baru.Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Laila sampai di terminal."Akhirnya .... Aku datang, Mas ...." ucapnya sembari menghirup udara kota yang sudah lama tidak dirasakan. Bibirnya tidak henti tersenyum.Rindu kian menggebu kala mengingat semua kenangan manis bersama Hendra berputar bak karet. Padahal dulu Laila menganggap
"Paket .... Paket ....""Iya, paket dari siapa, Mas?" tanya Laila pada kurir. Merasa heran tidak biasanya ada paket."Ada alamatnya di situ, Kak, bisa dilihat sendiri."Wanita yang mengenakan kerudung instant itu mendengkus. Tentu dia tahu, hanya saja malas membaca siapa pengirimnya. Bertanya lebih mudah, begitu menurut Laila.Setelah membubuhkan tanda tangan, kurir segera pergi meninggalkan Laila yang wajahnya berubah masam."Apa sih, ini?" Dibaca alamat yang tertera. Betapa senangnya Laila tahu jika pngirimnya adalah Hendra. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri membayangkan isinya. Sebab, teringat ibunya yang menelepon meminta uang pada mantan suaminya itu."Apa uang, ya. Tapi, ringan. Apa surat rumah?" Laila menerka-nerka seraya membuka bungkusan itu. Tidak sabar mengetahui isinya. Jika benar dugaanya, betapa senang hidupnya."Eh, apaan tuh, La? Tumben banget dapet paket?" tanya Wak Ijah yang lewat seketika Laila menghentikan aktivitasnya."Bukan urusan Uwak, paket-paketku juga."
"Kenapa uangnya cuma segini!" bentak Arman karena Laila membawa pulang uang hanya lima puluh ribu saja."Memang adanya segitu. Lihat ini tanganku melepuh kerja dari pagi sampai jam segini. Pulang-pulang malah dapet amukan. Kita cerai aja!" teriak Laila tidak kalah kuat. Mencoba untuk tidak kalah. Lantas melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Arman mencekal tangannya.Plak! Plak!"Apa katamu? Cerai? Enak aja. Atau mau aku viralkan video kita?" tanya Arman sembari menunjuk-nunjuk wajah wanita yang baru sehari menjadi istrinya.Serangan yang tiba-tiba membuat Laila terduduk di lantai, tak kuasa menahan tangis. Bukan karena sakitnya tamparan, tetapi tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan tekanan lelaki yang kini menatap nyalang ke arahnya. "Nangis? Gitu aja nangis?" teriak Arman. Urat lehernya sampai terlihat karena terlalu emosi."Kalian ini kenapa sih, ribut terus. Lihat itu, semua ketakutan." Bu Hambar menunjuk anak-anaknya yang mengintip di balik pintu kamar.Sepasang suami
"Nah, ini Pak RT dia bawa laki-laki masuk ke rumah ini," ujar Wak Ijah sembari menunjuk wajah Laila."Usir aja! Usir!"Iya usir dari kampung kita!"Mengerti maksud wanita di hadapannya, seketika Laila panik. Apalagi terdengar sahutan dari beberapa warga yang meminta dirinya di usir. Belum hilang rasa sakit dipukul sang ibu, kini harus menghadapi kenyataan bahwa warga sudah tahu keberadaan Arman. Dia melihat ibunya serta lelaki yang sama paniknya dengan dirinya. Bingung harus berbuat apa. Sedangkan Arman segera menjauh tahu situasi tidak aman, sebelum warga menyadari keberadaannya."Ada apa ini Pak? Kenapa ribut di rumah saya?" tanya Bu Hambar yang baru beranjak dari duduknya seraya mengerutkan alis bingung. Sebab, pelataran rumah penuh dengan warga dan tatapan sinis terasa menusuk.Belum lagi dia melihat kumpulan geng gibah ikut serta. Mereka tersenyum remeh, membuat Bu Hambar geram."Begini Buk, ibu-ibu di sini heboh karena melihat Laila bawa laki-laki selain suaminya masuk ke rumah
"Tumben pulang? Ada angin apa?" tanya Bu Hambar. Terkejut melihat putrinya pagi-pagi sudah berdiri di depan pintu dengan dua koper di bertengger cantik di belakangnya."Aku laper mau makan." Tanpa memperdulikan tatapan protes dari sang ibu, Laila menerobos masuk.Tubuhnya lelah minta istirahat setelah melakukan perjalanan cukup panjang. Ya, tadi malam Arman berhasil mencari bus tercepat menuju desa hingga pagi-pagi buta telah sampai di rumah ibunya. Meski harus bertaruh nyawa karena supir bus yang ugal-ugalan.Dia langsung menuju dapur mencari makanan, lalu setelahnya memeriksa baju-bajunya agar terlihat sibuk, tidak ingin mendapat pertanyaan yang tentu sulit di jawab. Sementara itu Bu Hambar yang akan pergi ke sawah mengurungkan niatnya. Menatap penuh curiga gelagat putrinya yang tidak biasa. Menjadi orang sok sibuk. Tahu betul anaknya tidak pernah serajin dan tanpa ada sebab pulang begitu saja. "Kenapa pulang sendiri? Mana Hendra?"Pertanyaan itu menghentikan aktivitas Laila. Dili
Sudah seminggu sejak Laila memutuskan meninggalkan rumah. Sejak itu pula Ahmad tidak berhenti menangis mencari ibunya.Selalu menanyakan di mana ibunya, kenapa belum kembali. Tidak satu pun Hendra jawab, hanya mencoba mengalihkan perhatiannya. Namun, hanya bertahan sebentar saja karena setelahnya Ahmad kembali menangis."Amad berhentilah nangis, Nak." Hendra mulai frustasi menghadapi anaknya yang menangis sejak bagun pagi.Tadi Hendra di bantu Saka, hanya diam sebentar lalu menangis lagi. Hingga akhirnya Hendra meminta sahabatnya itu untuk pergi menggantikan dirinya di bengkel. Mau sepercaya apapun pada kariyawan bengkel tidak bisa di tinggal begitu saja.Sudah beberapa hari ini Hendra tidak bekerja, harinya habis untuk bermain dan menenangkan Ahmad saat menangis mencari Laila hingga penampilannya kacau. Tubuh wangi serta baju rapi tidak ada lagi, hanya ada kantung mata hitam karena terlalu sering bergadang."Amad mau Bubu, Ayah .... Bubu kemana nggak pulang-pulang?" tanya anak kecil