Share

Bab 5

Author: Humairah97
last update Last Updated: 2023-07-21 20:20:27

Berulang kali Hendra menghirup oksigen dan menghembuskan secara kasar untuk mengurangi sesak di rongga dada. Sebab, melihat kelakuan wanita yang baru saja menjadi istrinya itu.

"Ibuk nggak pernah mengaduh, La. Tapi, Mas tahu sendiri. Tolong hargai Ibuk, beliau sayang sekali sama kamu." Hendra meraih tangan istrinya yang mencengkram sprei.

Manik hitam milik lelaki itu menatap Laila dengan tatapan memohon.

Hendra benar-benar kasihan melihat ibunya yang sudah susah payah memasak, apalagi harus bangun pagi tanpa ada yang membantu. Walau keluarga Hendra golongan menengah ke atas, tetapi urusan rumah selalu diurus Bu Tari sendiri, tanpa asisten rumah tangga. Usaha Bu Tari mendekatkan diri pada menantunya mendapat penolakan. Hati Hendra sangat sakit melihat tatapan kecewa di mata ibunya.

"La, tolong!" Kembali Hendra memohon.

"Maaf, aku salah. Aku akan minta maaf sama Ibuk, tapi temenin ya?" Laila menundukan kepala. Ucapan maaf hanya untuk mengakhiri perdebatan di antara mereka. bukan berarti Laila serius untuk itu.

Senyum di bibir lelaki berkumis tipis itu mengembang sempurna, lalu mengangguk mengiyakan permintaan Laila. Dia pikir Laila benar-benar sadar akan kesalahannya. Nyatanya tanpa sepengetahuan Hendra, istrinya itu tersenyum miring.

'Kena kamu, Mas.' Laila bergumam dalam hati.

"Turun sekarang, yuk. Biasanya habis sarapan, Ibuk ada di taman, pas buat kamu minta maaf." Dengan antusian Hendra meraih tangan Laila. Tidak lupa, Hendra memberikan kerudung untuk menutup rambut indah milik istrinya.

"Nggak bisa nanti aja, Mas. aku belum selsai menggunakan masker." Laila berusaha menolak, tetapi Hendra tidak perduli.

Laila panik, sebab dirinya hanya ingin mengambil hati suaminya. Namun semua terlambat Hendra sudah membawanya menuruni tangga.

Sampai di dapur, mereka langsung menuju taman belakang milik pak Tono. Taman ini banyak di tanami bunga bugenvil dan beberapa pohon buah-buahan. Terlihat di tengah taman ada kolam ikan. Di situlah Bu Tari duduk sembari menikmati sinar mentari pagi, sedangkan Santi mengitari bunga guna membuang daun-daun kering.

"Buk, kenapa ya Laila sikapnya seperti itu? Sopan santunnya jauh banget, nggak seperti pamannya."

"Ibuk juga nggak tau, San." Bu Tari memejamkan matanya, tidak terlalu menanggapi ucapan anaknya.

"Sepertinya Hendra salah-"

"Ibuk lagi apa? Enak banget habis sarapan santai di sini." Sebelum kakaknya menyelesaikan ucapan lebih dulu Hendra berbicara dan mendekati ibunya.

"Kamu ngagetin aja Ndra!" ujar Santi, sedikit kesal. Kemudian dia menoleh, lebih terkejut lagi melihat ada Laila berdiri tidak jauh dari pintu.

"Eh, ada Laila juga. Sini La, duduk." Santi sedikit salah tingkah, takut jika Laila mendengar apa yang diucapkan.

Sementara Laila masih diam terpaku dan kedua tangannya mengepal. Kesal, ada yang membandingkan dirinya dengan orang lain. Ucapan Santi pun tidak di sambut baik.

"Sayang, duduk sini." Hendra lebih dulu duduk, lalu menepuk-nepuk kursi di sampingnya. Dia mencoba mencairkan suasana dengan bersikap seolah tidak mendengar apapun.

"Iya duduk di sini, La. Capek berdiri terus." Bu Tari menimpali ucapan Hendra.

Dengan terpaksa Laila jalan mendekat, lalu duduk di samping suaminya.

Kemudian Hendra memberi kode dengan usapan di tangan Laila agar berbicara pada Bu Tari, sesuai kesepakatan tadi. Namun, Laila tidak kunjung mengeluarkan suara. Sehingga Hendra yang lebih dulu membuka pembicaraan.

"Sayang, katanya kamu tadi mau bicara sama Ibuk."

Bu Tari menoleh, menatap menantunya penuh tanya.

Yang ditatap tentu saja menjadi salah tingkah, sebab Laila tidak siap mengakui kesalahannya. Kesal yang berangsur hilang, kini tumbuh kembali, malah semakin subur. Sehingga Laila merasa enggan meminta maaf pada sang mertua.

'Tadi cuma pura-pura mau minta maaf, sekarang terjebak situasi nggak enak. huuu!' Dalam hati Laila menggerutu.

"Hm .... aku mau minta maaf, Buk," ucap Laila terbata sembari tertunduk. Tangan saling bertaut.

Bu Tari tersenyum, lalu tangannya meraih tangan menantunya itu dan di tepuk-tepuk pelan.

"Tanpa kamu minta maaf pun, Ibuk udah memaafkan."

Hendra menghembuskan napas penuh kelegaan, melihat kedua wanita spesial dalam hidupnya sudah akur. Walau sebenarnya dia yakin jika sang ibu tidak menyimpan dendam, tetapi ucapan maaf itu sangat penting. Apalagi Hendra mulai mengajarkan Laila untuk lebih menghargai dan memaafkan orang lain. Setelah Bu Tari dan Laila saling memaafkan, lalu keduanya berpelukan.

Kini, Santi mendekati Laila untuk meminta maaf. Wanita itu berbesar hati lebih dulu meminta maaf karena melihat tatapan mata sang ibu berbinar bahagia saat memeluk Laila. Dia tidak ingin melihat kesedihan di mata tua itu hanya karena pertengkaran dirinya dan Laila. Namun, permintaan maaf itu disambut setengah hati.

"Mbak buat aku malu. Tapi, oke lah aku maafkan." Laila mengucapkan dengan gaya congkak.

Terlihat Santi menghela napas. Meski kesal dengan jawaban Laila, dia berusaha tersenyum.

"Maaf udah buat kamu malu. Kita berbaikan?" Santi menyodorkan tangan.

Laila menyambut tangan yang sudah lama menggantung di udara dan memiringkan sedikit bibirnya.

Wanita yang mengenakan gamis tosca itu tidak pernah sadar jika yang membuat malu adalah dirinya sendiri, bukan Santi atau pihak keluarga lainnya. Namun, dia berasumsi penyebab kekacauan adalah iparnya itu.

Lama tidak ada pembicaraan, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kemudian ponsel di saku gamis Laila berbunyi, memecah keheningan.

"Siapa, Dek?" tanya Hendra ingin tahu.

"Emak." Laila menjawab sembari menggeser ikon hijau di layar ponselnya, lalu sedikit menjauh.

"Laila, bilang ke mertua kamu ya, besok Emak datang. Jangan lupa masakkan yang enak." Laila sedikit menjauhkan telepon dari telinga, sebab suara cempreng ibunya menyakiti telinga.

Dan, suara itu pun masih bisa di dengar oleh Bu Tari, Santi dan Hendra. Padahal Laila cukup jauh dari mereka. Bu Tari dan anak perempuannya saling pandang, lalu tersenyum kaku. Permintaan ibu Laila terdengar sangat memalukan, belum lagi bertemu sudah minta di masakan.

"Jangan buat malu, Mak!" Laila berbisik.

"Alah sama besan sen-"

"Ck, sampai jam berapa nanti?" Laila berdecak kesal, sebelum ibunya selesai berbicara lebih dulu di potong.

"Kebiasaan, kamu suka seenaknya. Tunggu aja, pokoknya Emak minta banyak makanan yang enak, ya. Pamanmu bilang kamu dapat suami keluarga kaya." Tidak tahan dengan suara sang ibu, Laila memutus panggilan.

'Punya Emak satu cerewetnya minta ampun. Aduh, mana buat malu lagi.' Laila menebalkan muka menghadap mertua dan suaminya. dia tersenyum kaku.

"Buk, Emak di kampung katanya mau datang besok," ujar Laila.

"Mau ngapain ke sini?" Santi bertanya sembari tersenyum sumbang, sebab dia tidak suka dengan permintaan ibu iparnya itu.

"Huss .... Santi!" Bu Tari memperingatkan.

Kemudia Bu Tari berkata pada Laila,

"Kamu tenang aja, kita semua bakal nyambut Ibu kamu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Salah Pilih Istri   Bab 116

    "Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m

  • Salah Pilih Istri   Bab 115

    Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi

  • Salah Pilih Istri   114

    Beberapa kali Laila mencoba menemui Ahmad di luar hanya mendapat kegagalan. Padahal dia ingin sekali menggunakan Ahmad sebagai alat agar uang terus mengalir ke dompetnya. Namun, ada saja halangannya. Kini, dia kembali mencoba, tetapi di rumah Bu Tari. Berharap Ahmad bermain di luar.Baru percobaan pertama mendapat penolakan dari penjaga rumah. Dia kekeuh ingin masuk hingga memancing amarah. Tanpa rasa hormat penjaga tersebut menyeret Laila hingga jauh dari rumah majikkannya."Lebih baik, Mbak pergi dari sini.""Huuu, dasar pembantu kurang ajar," makinya kesal sembari berjalan menjauh.Wanita itu tidak menyerah, dia mencari tempat sembunyi menunggu Hendra keluar rumah, baru menemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Laila tersenyum lebar saat melihat mobil Hendra keluar. Cepat dia menghadang.Decitan ban mobil dan jalan memekakan telinga. Terpaksa ngerem mendadak. Lantas Hendra dan Saka saling pandang melihat wanita berdiri merentangkan tangan."Laila," gumam Hendra tak percaya dengan p

  • Salah Pilih Istri   Bab 113

    Berkat bantuan ibunya kini Laila benar-benar terlepas dari Arman, lelaki yang diperjuangkan, tetapi penuh perjuangan pula saat ingin lepas darinya. Laila mengancam akan membunuh jika Arman tidak pergi. Mau tidak mau, setelah terucapnya talak Arman pergi dari kampung, membawa amarah terpendam.Sekarang dengan tekat yang kuat, Laila akan berangkat ke tempat di mana dia selalu di jadikan ratu. Cukup sudah penderitaannya yang dia rasakan. Berbekal uang hasil kerja keras menjadi buruh dia pergi menggunakan bus. Dia duduk gelisah, tidak sabar menemui lelaki yang selalu berada dalam benaknya. Berharap dalam hati sang pujaan hati belum memiliki tambatan hati baru.Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Laila sampai di terminal."Akhirnya .... Aku datang, Mas ...." ucapnya sembari menghirup udara kota yang sudah lama tidak dirasakan. Bibirnya tidak henti tersenyum.Rindu kian menggebu kala mengingat semua kenangan manis bersama Hendra berputar bak karet. Padahal dulu Laila menganggap

  • Salah Pilih Istri   Bab 112

    "Paket .... Paket ....""Iya, paket dari siapa, Mas?" tanya Laila pada kurir. Merasa heran tidak biasanya ada paket."Ada alamatnya di situ, Kak, bisa dilihat sendiri."Wanita yang mengenakan kerudung instant itu mendengkus. Tentu dia tahu, hanya saja malas membaca siapa pengirimnya. Bertanya lebih mudah, begitu menurut Laila.Setelah membubuhkan tanda tangan, kurir segera pergi meninggalkan Laila yang wajahnya berubah masam."Apa sih, ini?" Dibaca alamat yang tertera. Betapa senangnya Laila tahu jika pngirimnya adalah Hendra. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri membayangkan isinya. Sebab, teringat ibunya yang menelepon meminta uang pada mantan suaminya itu."Apa uang, ya. Tapi, ringan. Apa surat rumah?" Laila menerka-nerka seraya membuka bungkusan itu. Tidak sabar mengetahui isinya. Jika benar dugaanya, betapa senang hidupnya."Eh, apaan tuh, La? Tumben banget dapet paket?" tanya Wak Ijah yang lewat seketika Laila menghentikan aktivitasnya."Bukan urusan Uwak, paket-paketku juga."

  • Salah Pilih Istri   Bab 111

    "Kenapa uangnya cuma segini!" bentak Arman karena Laila membawa pulang uang hanya lima puluh ribu saja."Memang adanya segitu. Lihat ini tanganku melepuh kerja dari pagi sampai jam segini. Pulang-pulang malah dapet amukan. Kita cerai aja!" teriak Laila tidak kalah kuat. Mencoba untuk tidak kalah. Lantas melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Arman mencekal tangannya.Plak! Plak!"Apa katamu? Cerai? Enak aja. Atau mau aku viralkan video kita?" tanya Arman sembari menunjuk-nunjuk wajah wanita yang baru sehari menjadi istrinya.Serangan yang tiba-tiba membuat Laila terduduk di lantai, tak kuasa menahan tangis. Bukan karena sakitnya tamparan, tetapi tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan tekanan lelaki yang kini menatap nyalang ke arahnya. "Nangis? Gitu aja nangis?" teriak Arman. Urat lehernya sampai terlihat karena terlalu emosi."Kalian ini kenapa sih, ribut terus. Lihat itu, semua ketakutan." Bu Hambar menunjuk anak-anaknya yang mengintip di balik pintu kamar.Sepasang suami

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status