Share

Bab 5

Berulang kali Hendra menghirup oksigen dan menghembuskan secara kasar untuk mengurangi sesak di rongga dada. Sebab, melihat kelakuan wanita yang baru saja menjadi istrinya itu.

"Ibuk nggak pernah mengaduh, La. Tapi, Mas tahu sendiri. Tolong hargai Ibuk, beliau sayang sekali sama kamu." Hendra meraih tangan istrinya yang mencengkram sprei.

Manik hitam milik lelaki itu menatap Laila dengan tatapan memohon.

Hendra benar-benar kasihan melihat ibunya yang sudah susah payah memasak, apalagi harus bangun pagi tanpa ada yang membantu. Walau keluarga Hendra golongan menengah ke atas, tetapi urusan rumah selalu diurus Bu Tari sendiri, tanpa asisten rumah tangga. Usaha Bu Tari mendekatkan diri pada menantunya mendapat penolakan. Hati Hendra sangat sakit melihat tatapan kecewa di mata ibunya.

"La, tolong!" Kembali Hendra memohon.

"Maaf, aku salah. Aku akan minta maaf sama Ibuk, tapi temenin ya?" Laila menundukan kepala. Ucapan maaf hanya untuk mengakhiri perdebatan di antara mereka. bukan berarti Laila serius untuk itu.

Senyum di bibir lelaki berkumis tipis itu mengembang sempurna, lalu mengangguk mengiyakan permintaan Laila. Dia pikir Laila benar-benar sadar akan kesalahannya. Nyatanya tanpa sepengetahuan Hendra, istrinya itu tersenyum miring.

'Kena kamu, Mas.' Laila bergumam dalam hati.

"Turun sekarang, yuk. Biasanya habis sarapan, Ibuk ada di taman, pas buat kamu minta maaf." Dengan antusian Hendra meraih tangan Laila. Tidak lupa, Hendra memberikan kerudung untuk menutup rambut indah milik istrinya.

"Nggak bisa nanti aja, Mas. aku belum selsai menggunakan masker." Laila berusaha menolak, tetapi Hendra tidak perduli.

Laila panik, sebab dirinya hanya ingin mengambil hati suaminya. Namun semua terlambat Hendra sudah membawanya menuruni tangga.

Sampai di dapur, mereka langsung menuju taman belakang milik pak Tono. Taman ini banyak di tanami bunga bugenvil dan beberapa pohon buah-buahan. Terlihat di tengah taman ada kolam ikan. Di situlah Bu Tari duduk sembari menikmati sinar mentari pagi, sedangkan Santi mengitari bunga guna membuang daun-daun kering.

"Buk, kenapa ya Laila sikapnya seperti itu? Sopan santunnya jauh banget, nggak seperti pamannya."

"Ibuk juga nggak tau, San." Bu Tari memejamkan matanya, tidak terlalu menanggapi ucapan anaknya.

"Sepertinya Hendra salah-"

"Ibuk lagi apa? Enak banget habis sarapan santai di sini." Sebelum kakaknya menyelesaikan ucapan lebih dulu Hendra berbicara dan mendekati ibunya.

"Kamu ngagetin aja Ndra!" ujar Santi, sedikit kesal. Kemudian dia menoleh, lebih terkejut lagi melihat ada Laila berdiri tidak jauh dari pintu.

"Eh, ada Laila juga. Sini La, duduk." Santi sedikit salah tingkah, takut jika Laila mendengar apa yang diucapkan.

Sementara Laila masih diam terpaku dan kedua tangannya mengepal. Kesal, ada yang membandingkan dirinya dengan orang lain. Ucapan Santi pun tidak di sambut baik.

"Sayang, duduk sini." Hendra lebih dulu duduk, lalu menepuk-nepuk kursi di sampingnya. Dia mencoba mencairkan suasana dengan bersikap seolah tidak mendengar apapun.

"Iya duduk di sini, La. Capek berdiri terus." Bu Tari menimpali ucapan Hendra.

Dengan terpaksa Laila jalan mendekat, lalu duduk di samping suaminya.

Kemudian Hendra memberi kode dengan usapan di tangan Laila agar berbicara pada Bu Tari, sesuai kesepakatan tadi. Namun, Laila tidak kunjung mengeluarkan suara. Sehingga Hendra yang lebih dulu membuka pembicaraan.

"Sayang, katanya kamu tadi mau bicara sama Ibuk."

Bu Tari menoleh, menatap menantunya penuh tanya.

Yang ditatap tentu saja menjadi salah tingkah, sebab Laila tidak siap mengakui kesalahannya. Kesal yang berangsur hilang, kini tumbuh kembali, malah semakin subur. Sehingga Laila merasa enggan meminta maaf pada sang mertua.

'Tadi cuma pura-pura mau minta maaf, sekarang terjebak situasi nggak enak. huuu!' Dalam hati Laila menggerutu.

"Hm .... aku mau minta maaf, Buk," ucap Laila terbata sembari tertunduk. Tangan saling bertaut.

Bu Tari tersenyum, lalu tangannya meraih tangan menantunya itu dan di tepuk-tepuk pelan.

"Tanpa kamu minta maaf pun, Ibuk udah memaafkan."

Hendra menghembuskan napas penuh kelegaan, melihat kedua wanita spesial dalam hidupnya sudah akur. Walau sebenarnya dia yakin jika sang ibu tidak menyimpan dendam, tetapi ucapan maaf itu sangat penting. Apalagi Hendra mulai mengajarkan Laila untuk lebih menghargai dan memaafkan orang lain. Setelah Bu Tari dan Laila saling memaafkan, lalu keduanya berpelukan.

Kini, Santi mendekati Laila untuk meminta maaf. Wanita itu berbesar hati lebih dulu meminta maaf karena melihat tatapan mata sang ibu berbinar bahagia saat memeluk Laila. Dia tidak ingin melihat kesedihan di mata tua itu hanya karena pertengkaran dirinya dan Laila. Namun, permintaan maaf itu disambut setengah hati.

"Mbak buat aku malu. Tapi, oke lah aku maafkan." Laila mengucapkan dengan gaya congkak.

Terlihat Santi menghela napas. Meski kesal dengan jawaban Laila, dia berusaha tersenyum.

"Maaf udah buat kamu malu. Kita berbaikan?" Santi menyodorkan tangan.

Laila menyambut tangan yang sudah lama menggantung di udara dan memiringkan sedikit bibirnya.

Wanita yang mengenakan gamis tosca itu tidak pernah sadar jika yang membuat malu adalah dirinya sendiri, bukan Santi atau pihak keluarga lainnya. Namun, dia berasumsi penyebab kekacauan adalah iparnya itu.

Lama tidak ada pembicaraan, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kemudian ponsel di saku gamis Laila berbunyi, memecah keheningan.

"Siapa, Dek?" tanya Hendra ingin tahu.

"Emak." Laila menjawab sembari menggeser ikon hijau di layar ponselnya, lalu sedikit menjauh.

"Laila, bilang ke mertua kamu ya, besok Emak datang. Jangan lupa masakkan yang enak." Laila sedikit menjauhkan telepon dari telinga, sebab suara cempreng ibunya menyakiti telinga.

Dan, suara itu pun masih bisa di dengar oleh Bu Tari, Santi dan Hendra. Padahal Laila cukup jauh dari mereka. Bu Tari dan anak perempuannya saling pandang, lalu tersenyum kaku. Permintaan ibu Laila terdengar sangat memalukan, belum lagi bertemu sudah minta di masakan.

"Jangan buat malu, Mak!" Laila berbisik.

"Alah sama besan sen-"

"Ck, sampai jam berapa nanti?" Laila berdecak kesal, sebelum ibunya selesai berbicara lebih dulu di potong.

"Kebiasaan, kamu suka seenaknya. Tunggu aja, pokoknya Emak minta banyak makanan yang enak, ya. Pamanmu bilang kamu dapat suami keluarga kaya." Tidak tahan dengan suara sang ibu, Laila memutus panggilan.

'Punya Emak satu cerewetnya minta ampun. Aduh, mana buat malu lagi.' Laila menebalkan muka menghadap mertua dan suaminya. dia tersenyum kaku.

"Buk, Emak di kampung katanya mau datang besok," ujar Laila.

"Mau ngapain ke sini?" Santi bertanya sembari tersenyum sumbang, sebab dia tidak suka dengan permintaan ibu iparnya itu.

"Huss .... Santi!" Bu Tari memperingatkan.

Kemudia Bu Tari berkata pada Laila,

"Kamu tenang aja, kita semua bakal nyambut Ibu kamu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status