Alih-alih Siska, Tomi datang ke tempat pertemuan. Jelas-jelas ia mengirim pesan ke nomor nyonya perusahaan saat Tomi ada di kantor.Apa Siska sengaja menyuruh Tomi karena dari awal ia tak percaya padanya?"Mau ke mana, Rena? Bukankah ada yang ingin kamu berikan padaku?""Apa maksudnya, Pak?" tanya Rena seolah tak tahu."Kamu pikir aku cuma iseng memperingatkanmu?" Tomi menyeret Rena duduk ke kursi. "Aku sudah pesan makanan. Mari kita makan dulu sebelum bicara."Ia memasukkan makanan susah payah. Sebab firasat buruknya selalu terjadi.Jefri pasti sudah tahu sejak awal. Mengapa ia mengkhianatinya? Padahal mereka di posisi sama-sama sulit.Rena menghentikan gerakan tangan. Dalam hati ia berpikir, "Kenapa aku harus cemas berlebihan?""Kenapa? Nggak suka makanannya? Mau aku pesankan yang lain?""Nggak usah, Pak. Ini semua sudah sesuai selera saya. Terima kasih banyak," Rena menjawab riang.Tingkah Rena menggelitik rasa ingin tahu pria itu. "Tadi ka
"Gimana rasanya?" Siska diam sejenak, lalu kembali bertanya, "Gimana rasanya setelah bercerai?""Tentu saja sedih dan sakit sekali. Tapi saya juga merasa lega setelahnya karena nggak perlu menghabiskan seumur hidup dengan orang yang mengkhianati saya." Rena meremas tangannya sendiri.Pandangan Siska tampak kosong. "Apa kamu pernah menyesal?"Pertanyaan bosnya sedikit mengusik hati. Sebenarnya Rena tak suka mengenang masa lalu pahit itu."Saya menyesal." Rena menunduk sembari memutar gelas kopi. "Saya menyesal karena pernah percaya dan mencintai mantan suami saya.""Aku nggak berniat membuatmu mengingat-ingat kenangan burukmu. Maaf." Siska menyesal setelah melihat raut kesedihan di wajah Rena."Apa Bu Siska..." Rena ragu-ragu."Kamu mau tanya, apa aku akan bercerai dengan suamiku?"Rena mengangguk. Ia turut prihatin dengan keadaan Siska saat ini.Masalah Siska berbeda dengan Rena walaupun sama-sama diselingkuhi suami. Sebab bos wanita itu juga haru
Rena sontak berbalik. Ia mendapati seorang wanita muda melotot marah padanya."Lina! Cepat minta maaf!" teriak Jefri."Jadi ini yang kamu lakukan di belakangku? Pantas saja nggak bisa dihubungi. Ternyata kamu selingkuh dengan cewek lain!" wanita yang dipanggil Lina itu menitikkan air mata.Jefri merogoh ponsel dalam saku. Sementara Rena tampak malu. Para pengunjung lain berbisik-bisik dan menatap sinis padanya. Lagi-lagi ia disalah pahami orang-orang."Aku nggak tahu handphoneku mati," gumam Jefri, "Kamu nggak apa-apa, Ren?"Rena menampik tangan Jefri yang ingin menyeka wajahnya dengan tisu. "Apa aku kelihatan baik-baik saja?" jawabnya ketus.Belum sempat mengeringkan diri, Lina kembali berulah. Pacar Jefri itu menarik rambut Rena. Kini mereka berdua saling menjambak satu sama lain."Lepasin nggak!" pekik Rena."Aku sudah tahu siapa kamu! Dasar janda perusak rumah tangga orang! Sekarang kamu mau mengincar pacar orang? Hah!""Berhenti!" Jefri
Rena celingak-celinguk mencari tamunya. Tak ada orang di teras rumah. Ia hendak mencari ke luar pagar namun kakinya membentur sesuatu yang keras.Ia memungut kotak hitam sebesar lantai keramik. Tak ada nama pengirim di setiap sisi. "Apaan nih?" ia menggoyang-goyangkan kotak itu.Tiba-tiba saja isi dalam kotak menyeruak keluar dari bagian bawah. Rena menjerit ketakutan tatkala krim lembut menyentuh kakinya."Jangan teriak-teriak!" seru tetangganya."Maaf!" ia balas berseru.Keterkejutannya tak berhenti begitu saja ketika kotak lain meluncur di antara krim merah muda. Tangannya gemetaran membuka kotak berlapis beludru hitam."I-ini..." Rena bangkit dan berlari keluar rumah.Tak ada seorang pun di sekitar jalan perumahan. Sekali lagi, pupilnya menangkap kilauan emas dari satu set perhiasan di dalam kotak itu.Ia membaca sepucuk surat dengan krim di tangannya. "Semoga kehidupan barumu menyenangkan. Jangan menangis lagi karena pria."Rena terdiam
Kelopak mata Rena berkedut-kedut sebentar lalu terbuka. Sesuatu seperti meremas-remas isi kepalanya. Berat dan menyakitkan.Rena meringis menahan nyeri di sekujur tubuh. Ia ingin bangkit namun tak punya tenaga yang cukup untuk melawan gravitasi. Tubuhnya melekat bak terlapis lem di sebuah ranjang berukuran luas."Sudah bangun? Apa yang dirasakan sekarang?" tanya seorang perawat."Pusing," jawab Rena singkat."Ingat nama Kakak?""Renata Cahyani."Setelah bertanya beberapa hal lain, si perawat memanggil dokter yang menangani Rena. Selagi menunggu sang dokter, netranya berkeliaran di sekeliling ruangan.Mendadak ia ragu jika sekarang tengah dirawat di rumah sakit. Kamar yang ditempati Rena lebih mirip dengan isi hotel bintang lima. Kalaupun ada ruang VIP semewah ini, ia tak akan sanggup menanggung biaya rawat inap perharinya."Halo Rena, gimana keadaanmu? Ada bagian lain yang sakit?" tanya Felix mengejutkan."Oh, kamu... Hmm...""Sepertinya
"Aku bosan sekali! Apa besok aku boleh pulang? Kepalaku juga nggak terasa sakit lagi. Lihat ini!" Rena menggeliat-geliat di atas ranjang."Belum boleh," tegas Felix.Sang dokter memasukkan suntikan di selang infus. Biasanya perawat yang melakukan pekerjaan itu. Tapi selama tiga hari berturut-turut ia sendiri yang mengerjakannya.Jelas sekali ia telah terpikat pesona sang janda. Dan setiap kali berjumpa, wanita itu selalu menunjukkan pesona yang berbeda.Adakalanya Rena bersikap dewasa layaknya orang tua yang telah mengalami banyak hal. Terkadang seperti anak kecil kala Felix menggoda. Tak jarang pula Rena menunjukkan sisi lembut yang selalu berhasil Felix berdebar."Kamu nggak pernah pulang? Perasaan nggak ada dokter lain yang datang."Felix membuang muka. "Pasien-pasien di sini nggak banyak. Nggak sembarang dokter juga bisa naik ke sini.""Oh, berarti kamu punya posisi spesial di rumah sakit ini. Tapi kenapa kamu bisa nggak tahu siapa orang yang membawaku ke sini?"Dari awal Rena men
Siska datang pagi-pagi sekali untuk menjemput Rena. Melihat temannya tampak lesu, ia bertanya, "Mana si dokter ganteng, Ren?""Nggak tahu. Dari pagi tadi dokternya ganti. Biasanya cuma ada Felix di sini."Rena mengambil nafas panjang. Rasanya ada yang kurang.Tiap pagi sampai sore dan terkadang sampai malam pria itu tak pernah absen menemani. Tapi tiba-tiba saja Felix tak bisa dihubungi."Kenapa nggak ditelepon saja?""Sudah beberapa kali. Yang jawab cewek.""Hah! Siapa? Pacarnya?""Bukan. Operator. Handphonenya mati."Seorang dokter paruh baya datang menyapa. Memberikan obat dan beberapa pesan pada si pasien. Lalu mengantar mereka sampai ke depan lift.Rena memutar badan. Melihat sekali lagi lorong mewah VVIP. Sepintas ia melihat bayang-bayang Felix berlari sambil tersenyum jahil ke arahnya.Tak bisa dipungkiri, hubungannya dan Felix lebih dari sekedar dokter pasien saja. Karena itu, ia sedikit kecewa sang dokter tak datang di saat-saat
Rena menghirup udara segar pagi hari di balkon apartemen. Sambil menyeruput teh hijau pekat, ia mengambil novel lalu mulai membaca bab akhir cerita.Walaupun penasaran oleh akhir cerita tragedi yang sangat disukainya, akan tetapi ia tak dapat berkonsentrasi menggabungkan kata demi kata dalam novel itu. Pandangannya mengikuti bayangan hitam di balik kaca buram yang memisahkan balkonnya dengan milik pria itu.Aroma kuat kopi hitam menusuk hidung. Rena tak suka menghirup bau menyengat di pagi hari. Namun ia tetap diam tak beranjak dari kursi goyang.Tanpa melihat langsung sosok pria itu pun jantungnya bergemuruh tak karuan. Rena penasaran dengan pria tampan itu. Tapi ia selalu kehilangan rasa percaya diri di hadapannya."Haruskah aku menyapa?" bisiknya pada diri sendiri, "Nggak, nggak. Nanti malah dikira keganjenan."Rena kembali fokus pada novel di tangannya. Meskipun benaknya terus melayang ke apartemen tetangga."Pagi, Rena." Billy mendongak dari ujung kaca p