Share

07. Mulai Berlatih

"Cerberus itu berasal dari dataran Yunhan, tetapi bagaimana caranya roh siluman itu bisa menetap pada tubuh Panglima Howechung?" tanya Guru Yeom kepada dua panglima yang menaruh kebingungan sama besar.

Sekembalinya Raja ke Geumjung—kediaman utama Raja, Guru Yeom beserta kedua pangilma tersebut tetap berada di paviliun tamu di tengah sisa kekacauan yang masih terpampang nyata. Mereka bertiga membentuk suatu lingkaran yang menutupi meja sepinggang dari pandangan Muhan.

Muhan mengembuskan napas perlahan. Selepas keterkejutan yang menghampirinya berangsur merendah, pemuda itu berdiri di ambang pintu sembari memandang sepasang telapak tangannya. Siapa yang mengira bila dia memiliki kemampuan seorang Gyeonggukdae?

Belum lagi, Raja langsung menyuruh Kasim Heo untuk mengikutsertakan namanya sebagai calon peserta Pasukan Pemburu Naga yang akan diseleksi sebentar lagi. Mengetahui dirinya diperbolehkan memegang salah satu pedang saja sudah sangat membahagiakan. Lalu menjadi calon peserta? Entah kepada siapa Muhan harus bersyukur.

Kenyataan yang setara mimpi indah ini menyergapnya tanpa pemberitahuan. Melampaui logikanya sendiri yang sedari dulu ditandai sebagai manusia biasa dengan jiwa yang tak mengikat kekuatan sedikit pun.

"Tapi, kenapa aku langsung memuntahkan cairan kehitaman lagi setelah memegang pedang tadi ya?" Muhan melangkah keluar, berderap pelan menuju sisi lain paviliun tamu tempatnya muntah tadi. Dan benar saja, bekasnya yang kehitaman itu mulai memudar seakan turut tersapu angin.

"Memudar?" Muhan memiringkan kepala. "Kenapa bisa berwarna hitam, tapi sekarang ... memudar?"

Baru saja larut dalam kebingungan baru, tiba-tiba saja Guru Yeom keluar dari paviliun tamu. Muhan cepat-cepat mengekori, tetapi dia menyadari sebuah kecanggugan yang terpancar. Teringat pula bahwa Guru Yeom merupakan orang pertama yang menolak keikutsertaan Muhan untuk menjadi bagian dari calon peserta Pasukan Pemburu Naga.

Sepanjang perjalanan dari Istana hingga ke Perguruan, Guru Yeom tak membuka suara sekecap pun. Namun anehnya, Guru Yeom membiarkan tandu yang membawanya melangkah jauh di belakang. Sedangkan Guru Yeom berjalan di depan Muhan yang tidak paham akan situasi saat ini.

Begitu memasuki Perguruan, Guru Yeom menarik ujung baju lusuh Muhan dan membawa pemuda itu ke ruangannya. Bukan pertama kali Muhan memasuki ruangan tersebut. Dia sudah memasuki berbagai ruangan di Perguruan guna membersihkan tiap debu yang ada. Namun Muhan tak diperbolehkan melangkah lebih jauh ke pintu lainnya yang berada di ruangan Guru Yeom.

Secara mengejutkan, Guru Yeom membuka pintu tersebut tanpa mengatakan sepatah kata pun. Muhan terhenyak, apakah pantas baginya untuk diam di tempat dan melihat isi dari ruangan tersebut?

Guru Yeom menyerahkan sebuah pedang yang terbungkus rapi dalam gulungan kain hitam. "Gunakan pedang ini dulu, Muhan."

"Sa-saya?"

"Aku tidak tau bagaimana kau bisa mendapatkan kekuatan baru yang cukup mengejutkan itu, Muhan." Ucap Guru Yeom. "Sejak bayi, baik aku ataupun pengajar lain di Perguruan ini bisa mengatakan seyakin-yakinnya jika kau tidak mempunyai Him apa pun. Tetapi yang terjadi di Istana tadi, aku tidak bisa menampiknya begitu saja. Ada keanehan dalam dirimu yang tidak bisa kujabarkan detik ini juga."

Jangankan Guru Yeom, Muhan sendiri saja tidak mengerti mengapa dia bisa membuat pedang Gyeonggukdae milik mendiang Kim Joon bercahaya.

"Satu-satunya cara untuk mencari tau jawabannya ialah dengan berlatih." Guru Yeom mengarahkan dagunya ke luar. "Aku akan melatihmu secara langsung, tapi tidak di sini."

"Ha? Lalu di mana, Guru?"

"Sebelum matahari menampakkan diri, aku tunggu di depan gerbang, Muhan. Tidak ada keterlambatan, atau kau tidak akan berlatih sama sekali."

"Eh? Sepagi itu? Bukankah saya harus membersihkan—"

"Tidak ada alasan, Muhan. Sekarang, keluar dan bawa pergi pedangmu itu. Oh iya, jangan sampai terlihat oleh siapa pun."

•••••

Pagi-pagi buta, Muhan menuruti perkataan Guru Yeom untuk bergegas pergi ke gerbang utama sembari membawa pedang pemberian pria itu. Semalam, Muhan tidak bisa berhenti tersenyum. Kenyataan bahwa dia akan dilatih oleh Guru Yeom membangkitkan semangat hidup yang tak pernah bertandang.

Ketika Muhan melewati asrama laki-laki, dia tidak menyadari jika seseorang telah berada di paviliun asrama untuk mencari udara segar. Melihat sosok Muhan yang berlari kecil seolah pergi secara diam-diam, mengundang segurat keheranan pada kening orang tersebut.

Tetapi dikarenakan orang itu tidak terlalu peduli, maka diabaikannya kepergian Muhan lantaran tak penting sama sekali.

Muhan tidak kesusahan sedikit pun saat harus melewati medan berbahaya yang kerap dilaluinya setiap hari. Berbeda dengan Guru Yeom, dikarenakan usia dan ketangguhan tubuh yang sudah tidak seperti dulu, pria itu agak kepayahan.

Mereka tiba di atas lembah yang senantiasa menjadi titik peristirahatan Muhan. "Wah! Indah sekali pemandangannya!"

Guru Yeom mendongakkan kepala, turut memandang matahari terbit yang berkilauan di ufuk timur sana. "Ya, indah. Tapi tidak ada waktu bagimu untuk terus-terusan menikmati keindahan ini, Muhan. Ingat apa yang akan kita lakukan hari ini?"

"Baik, Guru." Muhan tersenyum cerah, lantas meletakkan pedang yang masih terbungkus rapi di atas batu besar. Beberapa detik kemudian, Muhan mengacungkan pedang tersebut ke arah Guru Yeom.

"Apa yang kaulakukan?" tanya Guru Yeom.

"Berlatih, Guru!"

"Siapa yang mengizinkanmu untuk berlatih menggunakan pedang, hah?"

"Eh? La-lalu? Saya harus berlatih menggunakan apa?"

Guru Yeom mendesah pelan, nyaris melupakan kenyataan bahwa Muhan merupakan seseorang yang sangat baru dalam dunianya. Senjata, Him, keterampilan bela diri, Muhan ibarat daun muda yang baru terlihat setelah ditanam bertahun-tahun lamanya.

"Putari lembah ini, dari ujung timur sampai ujung barat. Aku tau kau pasti sudah mengenal bagaimana seluk-beluk hutan ini."

"Oh, itu mudah!" Muhan tersenyum senang, berpikir jika latihan pertamanya tidak berat-berat amat.

"Ya, memang mudah. Kau sendiri sudah bertahun-tahun mencari sesuatu di hutan ini tanpa kesulitan apa pun. Tapi ingat, ini masih pagi—terlalu pagi bagi penghuni hutan."

"Ah, itu mudah, Guru!" Muhan meregangkan tubuhnya, bersiap berlari memutari lembah seperti yang diperintahkan.

"Jangan sampai tengah hari!"

"Hah?" Muhan mengernyit bingung. "Memutari lembah yang tidak seberapa ini, tentunya dalam dua jam saya sudah kembali, Guru."

Guru Yeom tersenyum timpang. "Kalau begitu, mulailah!"

Penuh semangat, Muhan berlari meninggalkan Guru Yeom ditemani senandung riangnya. Tanpa mengulang ucapan Guru Yeom yang bermakna sebuah peringatan, Muhan melaju secepat yang dia bisa.

Pada sisi lain lembah yang dipenuhi oleh berbagai macam jamur beracun, pergerakan tungkai Muhan memelan. Mengikuti asal suara asing yang menyapa telinga secara mendadak, terdapat sebuah batang pohon besar yang berlubang. Tertutupi oleh semak belukar, membelakangi sinar matahari.

Muahn mendekat, terdengar geraman lemah yang membuat bulu kuduknya berdiri. Memicingkan mata, kepala pemuda itu hendak melongok ke dalam lubang tersebut. Akan tetapi—

"AKHHH!!!! TOLONG!!! ADA SERIGALAAA!!!"

Sekumpulan burung terbang mendengar teriakan Muhan di atas sana. Dari tempat Guru Yeom terduduk saat ini, pria itu mendengus pelan.

"Sudah kuduga. Kalau memang dia seorang Gyeonggukdae, maka dia adalah Gyeonggukdae yang bodoh."

Latihan hari pertama, diawali oleh Muhan yang dikejar oleh binatang buas panjaga hutan.

•••••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status